Keesokkan harinya, Haura pun diantar ayahnya ke sekolah. Haura terus tersenyum kepada ayahnya mencoba menyamarkan gemetar tangannya yang sangat hebat. Ia memang bertekad untuk masuk sekolah dan menjalani masa sekolahnya juga melawan rasa takutnya.
“Papa, Haura masuk dulu ya? Papa hati-hati di jalan,” kata Haura sambil mencium tangan ayahnya.
“Iya, sekolah yang rajin ya?” kata Ayah Haura. “Loh, tangan kamu kenapa dingin sekali?” tanya Ayah Haura.
“Nggakpapa, Papa. Ini biasa, aku sedikit gugup saja,” kata Haura sambil terkekeh meski jantungnya kini berdegup dengan kencang, dia takut kalau ayahnya mengetahui kalau dia berbohong.
Ayahnya pun mengangguk. Lalu Haura pun keluar dari mobil ayahnya dan langsung melambaikan tangan kepada ayahnya, lalu berjalan mulai melewati gerbang. Ayah Haura pun melesat bersama mobilnya.
Haura memegangi tembok yang ada di sampingnya setelah ayahnya pergi. Namun, dengan cepat dia langsung menegakkan tubuhnya kembali. Seketika, Haura langsung melihat Samantha yang tengah mengobrol dengan seseorang.
“Samantha!” pangil Haura.
Haura tidak tahu apakah keNdahusannya memanggil Samantha adalah hal yang benar atau tidak. Teman yang semula tengah mengobrol dengan Samantha pun pergi. Samantha tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.
Haura tersenyum licik, “Hai, Kakak Samantha,” kata Haura menyindir Samantha yang seharusnya tertinggal kelas seperti dirinya.
“A-aku harus pergi,” kata Samantha.
Haura terkekeh mendengar apa yang dikatakan oleh Samantha. ‘Aku’? Apa Samantha sedang bercanda? Begitulah yang ada di dalam kepala Haura.
“Eh, lo mau ke mana? Urusan kita belum selesai,” kata Haura.
Haura pun menarik tangan Samantha. Sebetulnya, ini hanyalah tameng dari seorang Haura. Melihat Samantha yang terlihat menghindarinya terus-terusan membuat Haura merasa kalau dia bisa meminta bantuan kepada Samantha.
“Ikut gue!” kata Haura dingin.
Kini Haura memancarkan aura yang begitu dingin dan tak tersentuh. Matanya bahkan sudah redup begitu saja.
“Eh, kita mau ke mana?” tanya Samantha yang mulai panik.
Samantha tentu merasakan perasaan takut kepada Haura karena bagaimanapun dia masih ingat betul tentang apa yang telah dia lakukan kepada Haura. Dia bahkan merasa takut kalau Haura akan membalaskan dendam kepada dirinya.
Samantha memang sudah berubah menjadi baik, namun tetap saja, jejak masa lalu tidak pernah bisa dihapusnya. Samantha sangat paham tentang hal tersebut. Haura tidak memperdulikan pertanyaan yang ditanyakan oleh Samantha kepada dirinya.
Samantha memandang Haura dengan tatapan ketakutan. Haura menarik ujung bibirnya, tersenyum miring, "Kenapa? Lo takut sama gue?" tanya Haura.
"Ada apa sebenernya?" tanya Samantha.
"Kenapa lo ada di sini?" tanya Haura.
"Y-ya ... karena aku mau sekolah,” kata Samantha.
Haura menyilangkan kedua tangannya di depan d**a yang berdecak, "Ck, sekolah ... Gue nggak tau apa yang terjadi kalau semua orang tau siapa lo yang sebenarnya." katanya.
Samantha membelalakkan matanya, dia merasa terpojok dengan situasi ini. Dia juga merasa takut.
"Ra, Ra ... aku mohon jangan lakuin itu. Aku benar-benar menyesal atas semua yang aku lakukan sama kamu. Aku mohon Ra. aku benar-benar menyesal. Jangan usik hidup aku lagi, aku mohon,” kata Samantha.
"Lo ngomong tentang siapa yang ngusik siapa, Tha? Lo nggak salah?" tanya Haura.
Samantha terdiam. Kalau sudah begini, dia sudah tidak bisa mengatakan apa-apa lagi. Samantha bukannya tidak tahu kalau selama ini Haura tengah menjalani perawatan hingga membuat dia merasa bersalah setiap memikirkannya.
Namun, dia sungguh menyesal dan tidak mau kalau masa lalu gelapnya tercium oleh teman-temannya. Apa kata teman-temannya nanti soal dia yang dikenal sebagai anak baik-baik, ketua keIndahan, dan juga sekretaris rohis kalau seperti itu?
"Aku minta maaf, Ra." katanya.
"Gue akan maafin lo kalau lo mau bantuin gue buat ngelewatin masa SMA gue di sekolah ini sampe lulus,” kata Haura.
Syarat yang diajukan oleh Haura sangatlah mudah, dan apa yang ada dalam bayangan Samantha hanyalah Haura meminta tolong kepada dirinya agar bisa memnatunya dalam belajar. Lagipula Haura sudah tertinggal pelajaran.
"Oke, aku setuju,” kata Samantha.
Haura memandang Samantha dengan sinis, enteng sekali Samantha mengatakan hal tersebut. "Lo yakin bisa bantu gue sampe lulus?" tanya Haura.
"InsyaAllah, Ra. Aku akan bantuin kamu sebisa aku,” kata Samantha.
"Lo yakin bisa bantuin gue lulus setelah liat dia?" tanya Haura.
Haura menunjuk seorang laki-laki yang belakangan mengganggu pikirannya hingga membuat Haura merasa ketakutan dan ingin pindah saat itu juga.
Samantha melayangkan pandangannya ke arah yang ditunjuk Haura dengan dagunya, beruntung mereka berada di pojokan sehingga laki-laki itu tidak bisa melihat keberadaan mereka berdua.
"Astaghfirullah kok ada dia?" tanya Samantha yang terkejut setengah mati dengan pemandangan yang disuguhkan oleh semesta.
"Kaget kan lo?" tanya Haura.
"K-kita harus gimana?" tanya Samantha panik.
Haura tersenyum kecut, padahal dulu, Samantha tidak mengenal kata takut ketika membullynya dan menorehkan noda trauma pemanen pada Haura. "Itu PR buat lo. Gue kasih waktu sampai nanti siang. Lo harus punya solusi,” kata Haura.
Haura pun langsung pergi meninggalkan Samantha.
Sebenarnya kepergian Haura bukan hanya karena malas melihat Samantha namun, dia merasa takut bertemu dengan laki-laki itu. Nama laki-laki itu adalah Richo. Dia adalah murid pindahan kelas 11 yang kini mulai mengganggu pikirannya.
Haura sadar, meski bagaimanapun dirinya menghindar, cepat atau lambat Richo akan mengetahui keberadaannya. Sekarang yang bisa dia lakukan hanya menghindar. Dia tudak tahu apakah Richo sudah berubah atau tidak. Namun, hati kecilnya menganggap kalau Richo tak akan berubah.
“Haura!” panggil Indah.
“Eh? Iya, Ndah?” tanya Haura.
“Lo ke mana aja? Lo udah sembuh?” tanya Indah.
Haura tersenyum dan mengangguk, “Udah kok,” jawabnya.
“Yaudah sini, mending lo duduk dulu,” kata Indah yang langsung membawa Haura untuk duduk.
Haura terkekeh, “So sweet banget si lo sama gue,” katanya.
Indah nyengir lebar, “Mumpung gue ada temen,” katanya.
Mereka berdua pun langsung bertawa. Beberapa teman Haura pun menanyakan keadaan Haura. Haura merasa sangat senang meski hatinya masih cemas.
Pelajaran pun mulai berlangsung, guru yang mengajar kali ini adalah Ibu Erna, beliau mengajarkan IPS. Beliau tengah menulis sesuatu di papan tulis, lalu menjelaskan materi. Lalu seusai menyelesaikan materi, beliau meminta kepada anak-anak muridnya untuk mencatat materi yang ada di papan tulis.
“Sekarang kalian catat dulu ya,” kata Bu Erna.
“Baik, Bu,” kata semua murid-murid.
Mereka semua pun mulai menulis kan isi tulisan yang ada di papan tulis, Haura pun begitu.
TOK TOK TOK!
Seseorang mengetuk pintu dari luar. Haura tidak terlalu antusias melihat siapa yang datang jadi dia memilih untuk fokus pada tulisannya.
“Masuk!” seru Ibu Erna.
Lalu, setelah dipersilakan masuk, seorang laki-laki datang ke kelas dan menemui Bu Erna. Indah menyenggol Haura. “Ra, Ra, liat deh…” kata Indah.
Haura pun langsung melihat laki-laki yang masuk ke kamarnya tersebut. Seketika jantungnya berdegup dengan kencang. Dia merasa takut kalau laki-laki itu sampai melihat dirinya.
“Maaf, Bu. Ini tugas saya yang kemarin,” kata Richo sambil menyodorkan sebuah buku tulis kepada Bu Erna.
Kelas kini berubah menjadi ramai karena sebagian besar perempuan sangat hijau ketika melihat wajah Richo yang sangat tampan.
“Hei, kalian ini seperti tidak pernah lihat laki-laki tampan saja,” kata Bu Erna.
Richo pun mau tak mau penasaran dengan orang yang dimaksud oleh Bu Erna. Lalu dia pun menyisir kelas. Seketika dia terkejut saat melihat Haura. Haura buru-buru memutus pandangan dengan langsung berpura-pura menulis.
Tangan Haura seketika gemetar hebat.
“Ra, lo kenapa?” tanya Indah yang menyadari mejanya bergetar.
“Nggakpapa. Gue laper jadi gemetar,” kata Haura berbohong.
Haura tidak lagi berani melihat ke depan, dia tidak berani melihat Richo.
“Namanya Richo, anak pindahan kelas 11 IIS 1,” kata Bu Erna.
Semua perempuan langsung bersorak-sorak dan langsung melontarkan celetukan-celetukan centilnya begitu saja.
“Sudah-sudah … Lebih baik kamu kembali ke kelasmu, Richo,” kata Bu Erna.
“Baik, Bu. Terima kasih,” kata Richo.
Richo sedikit membungkuk kepada Bu Erna dan sedikit membungkuk kepada teman-teman kelasan Haura. Haura menggigit bibirnya di tempatnya, dia berharap kalau Richo tidak melihat wajahnya. Dia tidak mau kalau Richo sampai mengetahui keberadaannya namun hal itu sia-sia saja. Keberadaannya sudah terendus oleh Richo. Mereka berdua bahkan sudah saling tatap.
Jika mengingat bagaimana keterkejutan Richo. Tentu Richo masih sangat mengenal Haura.
Haura terus mencoba mengandalikan dirinya, dia tidak mau kalau teman-temannya melihat dirinya dengan tatapan aneh. Teman-temannya tentu sangat baik kepada dirinya, dia tidak mau kalau teman-temannya mengetahui siapa dirinya sebenarnya semua orang tidak mau berteman dengan dirinya lagi.
Tak lama kemudian, bel istirahat pun berbunyi dan Bu Erna sudah menyudahi kelas dan sudah pergi dari kelas.
“Ke kantin, Ra?” tanya Indah.
“Gue kayaknya nggak ke kantin dulu deh, gue bawa bekal,” kata Haura.
Haura memang sengaja meminta kepada ibunya untuk membuat bekal agar dia tidak perlu ke kantin untuk makan. Sebab, dia takut kalau dia harus bertemu dengan Richo.
Setelah memastikan Indah sudah keluar dari kelas, Haura pun memilih untuk pergi mencari keberadaan Samantha. Tentunya dia berjalan dengan penuh waspada. Namun, sepertinya semesta tidak mengizinkannya untuk bebas saat ini, sebab, saat berada di koridor, dia melihat Richo yang tengah berjalan ke arah dirinya.
Mau tak mau, Haura pun berbalik, dia tidak mau bertemu dengan Richo.
"Haura!" seru Richo.
Haura berjalan cepat, jantungnya berdegub dengan sangat cepat hingga tak sadar dia berlari ke arah Masjid. Richo tidak tinggal diam, dia terus berlari mengejar Haura sekuat tenaga.
Sialnya, jalan buntu. Dan mau tak mau, Haura langsung membelokkan kakinya ke Masjid dan masuk ke sana. Di sana ada beberapa siswa yang tengah melaksanakan salat Duha.
"Jangan ikutin gue." Lirih Haura.
Haura mencoba mengatur nafas dan menoleh ke luar. Dia melihat Richo yang memandang area Masjid dan langsung memilih pergi. Haura pun mulai merasa bersyukur sebab, Richo tidak sampai mengejarnya sampai ke dalam.
"Sendalnya bisa di lepas?" tanya seseorang yang tiba-tiba berada di hadapannya. Tidak berada persis di hadapannya sebetulnya karena pemilik suara itu berada 2 meter dari dirinya.
"Eh? S-sorry, Kak,” kata Haura yang langsung melepaskan sendalnya dan berjalan keluar meletakkannya di luar.
Laki-laki itu mengangguk dan berbalik hendak pergi, namun Haura buru-buru menahan tangan laki-laki itu.
"Tunggu, Kak. Boleh gue di sini dulu?" tanya Haura.
Laki-laki itu memandangi tangan Haura, Haura langsung melepasnya dengan salah tingkah. Wajah laki-laki itu sangat tampan dan terlihat terus menghindari kontak mata dengan dirinya. "Sorrry,” kata Haura.
"Ini Masjid. Jadi, siapa aja boleh di sini. Muslim?" tanya laki-laki itu.
Haura menganggukkan kepalanya.
"Lebih baik Salat Dhuha dari pada berdiri di sini,” kata laki-laki tersebut.
Laki-laki itu pun berbalik dan pergi meninggalkan Haura. Haura hanya bisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Rasanya malu juga ditanyai seperti itu oleh dia.
Apa gue kelihatan seperti seorang non-muslim? -batin Haura.
Haura memandangi punggung laki-laki itu yang kian menjauh, "Ganteng juga." gumamnya sambil tersenyum. Seketika dia melupakan Richo yang tadi mengejar dirinya.
Haura menaikkan bahunya dan langsung masuk ke dalam Masjid lagi. Sebelumnya dia masuk ke arena laki-laki. Kini dia langsung masuk ke arena perempuan.
Saat masuk ke dalam, dia pun langsung mendapati Samantha yang baru selesai salat dan tengah melipat mukenanya.
Haura memandangi Smaantha dan arena Masjid.
Kenapa dia ada di sini? -batinnya.
"Samantha!" seru Haura.
"Astaghfirullah al-adzim." pekik Samantha kaget.
"Udah selesai kan?" tanya Haura.
Samantha menggigit bibirnya sebentar dan menganggukkan kepalanya.
Haura menoleh ke kanan dan ke kiri mendcari keberadaan laki-laki tadi. Lalu dia pun lega saat tidak menemukan laki-laki itu, sepertinya karena terhalang pembatas.
"Ikut gue!" perintah Haura dengan dingin.
Smantha pun menganggukkan kepalanya, lalu berjalan mengekori Haura sampai di depan dengan menneteng mukena yang sudah dia lipat dan dia masukkan ke dalam tas mukenanya.
"Gimana?" tanya Haura sesampainya di samping teras Masjid yang sepi.
Samantah menggelengkan kepalanya, "Apa kita tidak seharusnya melaporkan Richo?" tanya Samantha.
"Ta, gue nggak mau kalau orang tua gue sampe tau kalau ada Richo di sini. Karena suatu hal juga gue gak bisa pindah, jadi satu-satunya jalan adalah lo harus kenalin orang yang bisa jagain gue,” kata Haura.
"J-jagain bagaimana?" tanya Samantha.
Haura menghembuskan nafas kesal, sepertinya sudah menjelaskannya kepada Samantha.
"Ya jagain gue. Gini aja deh, menurut lo siapa cowok di sekolah ini yang paling kuat dan paling ditakutin, di seganin sama anak-anak?" tanya Haura.
Samantha terdiam sebentar, "Aku nggak tau,” kata Samantha.
"Ketua osis ditakutin sama anak-anak gak?" tanya Haura.
Samantah menggelengkan kepalanya. Haura memutar otak lagi.
"Ada preman atau anak yang suka tawuran gitu di sekolah ini?" tanya Haura lagi.
Samanta menggelengkan kepalanya lagi. Haura pun memijit kepalanya karena bingung harus menanyakan apa lagi. sebab, Samantha terus mengglenegkan kepalanya.
"Astaga, gue harus gimana dong? Siapa yang ditakutin? Masa lo gak tau? Kan lo udah sekolah di sini udah lama." omel Haura.
Samantha benar-benar bingung saat ini. Namun, diantara kebingungannya, dia pun melihat seseorang dari jauh.
"Ada satu orang yang paling ditakutin sama anak-anak,” kata Samantha.
Mata Haura langsung berbinar ketika mendengar apa yang dikatakan oleh Samantha, "Siapa?" tanyanya tak sabaran.
"Bang Albie. Ketua Rohis." Jawab Samantha.