MCKR 14 – Kehaluan Tingkat Dewa

2057 Kata
Acara keputrian itu benar-benar membuat perasaannya campur aduk. Haura bahkan merasa sedikit malu dan merasa menjadi manusia paling munafik seluruh dunia. Dia merasa apa yang disampaikannya dengan yang ada dalam kehidupannya tidak berbanding lurus.   Terlebih dia membawa-bawa masalah pribadinya dalam penjelasannya, sungguh Haura tidak tahu apakah itu hal yang benar ataau tidak.   Duh, sok bener banget dah gue. Nggak lagi-lagi deh ngisi keputrian. – batin Syahla.   Karena Haura merasa sudah selesai. Semua anak-anak juga sudah keluar, pun daftar hadir kelasanya sudah dia serahkan kepada salah satu kakak kelas anak rohis yang juga merupakan teman Samantha.   Haura menoleh ke kanan dan ke kiri mencoba mencari keberadaan dari Indah yang sejak dia masuk kelas keputrian sudah tidak bersama dengan dirinya.   “Indah ke mana ya?” gumam Haura.   Haura memutuskan untuk pergi ke kantin, dirinya berniat untuk melupakan apa yang terjadi. Bagaimana dia tidak malu? Dia menyampaikan materi keputrian dengan asal-asalan, yang penting bisa menahan audiens untuk tetap berada di dalam ruangan sampai anak laki-laki keluar dari Masjid.   “Bang Jawa, es teh manis satu ya!” seru Haura kepada penjual minuman.   “Oke, Neng.” Jawab Bang Jawa tersebut.   Bang Jawa sebetulnya bukan nama asli dari abang-abang penjual minumanan tersebut karena nama aslinya bukan Jawa. Nama itu memang julukan dari teman-teman Syahla karena kebetulan penjual minuman itu orang Jawa dan logatnya masih sangat kental dengan jawa. Dari situlah nama ‘Jawa’ di populerkan.   "Ra , Ra ra!" seru Indah yang terlihat begitu tergesa saat menghampiri Haura yang memang kali ini tengah berjalan sendiri karena dia mau beli es di kantin.   "Kenapa, Lo? Kok sampe lari-lari gitu sih?" tanya Haura.   Haura pun membayar esnya dan mengucapkan terima kasih setelah mengambil es teh manis yang disodorkan kepada dirinya.   "Makasih ya, Bang,” kata Haura.   "Sama-sama, neng." jawab penjual es.   Haura pun langsung memilih tempat duduk terdekat dari posisinya, lalu Indah membeli es yang sama dengan Haura dan langsung duduk di samping Haura.   Kali ini, Haura tidak berani untuk menoleh ke kanan dan ke kiri, dia merasa malu karena dia menyampaikan materi dengan ala kadarnya.   Namun, sejujurnya dirinya puas karena dengan menjadi pemateri yang kebetulan temanya pas dengan dirinya, dirinya jadi bisa mengungkapkan unek-unek atau rasa yang selama ini mengganjal di hatinya.   "Ra, dengerin gue, dengerin gue,” kata Indah yang mendatap Haura dengan serius di seberang Haura.   "Ada apa sih? Heboh banget,” kata Haura.   "Lo tadi ngomong apaan aja selama jadi pemateri keputrian?" tanya Indah yang merasa penasaran dengan materi yang disampaikan Haura.   Haura yang mendengar pertanyaan itu langsung mengerucutkan bibirnya, Apa tidak ada pertanyaan lain yang lebih membuat moodnya naik?   "Jangan ngomongin keputrian tadi deh, gue malu. Udah lagi nyoba lupain biar gak inget,” kata Haura.   "Eh, serius gue, ini penting banget soalnya,” kata Indah yang makin serius.   "Penting gimana sih? Gue nggak ngerti. Ah, gue tau, penting karena gue malu-maluin kan? Ah, tuhkan lo nyebelin banget jadi orang,” kata Haura.   "Stop dulu stop, biarin gue ngomong dulu. jangan dipotong-potong gue bukan kue tar,” kata Indah.   "Ih, lucu banget sih, haha!” kata Haura yang langsung menyedot minumannya.   Indah pun tertawa karena dia memang hanya ingin membuat Haura kesal, sebab dia sendiri tahu kalau dirinya tidak lucu.   "Ini serius ini serius. Semua orang lagi ngomongin lo,” kata Indah.   "Tuh kan!" ringis Haura.   Padahal dia baru memikirkannya namun ternyata hal itu benar terjadi. Benar-benar menyebalkan. Haura pun langsung berdiri.   "Eh, mau ke mana?" tanya Indah yang bingung melihat temannya berdiri.   "Kan lo bilang gue lagi diomongin, mending kita pergi ke tempat lain aja yu, ntar gue ceritain deh, sumpah gue nggak mau di sini,” kata Haura yang disertai dengan rengekan.   Indah hanya bisa menepuk jidatnya dan menggelengkan kepalanya, "Emang lo tau mereka ngomongin apaan?" tanya Indah.   "Ya nggak tau sih, tapi yaudah ayo pindah aja,” kata Haura.   Indah pun menganggukkan kepalanya dan langsung berjalan mengikuti Haura yang sudah jalan duluan.   Saat Haura tiba di dekat lorong, dia pun melihat Albie yang tengah berjalan sendiri  hendak ke kantin, Haura menoleh pada kaki Albie yang ternyata menggunakan sendal jepit. Senyumnya pun mengambang, dia merasa Albie lucu sekali.   Apa dia tidak pernah kena tegur ketika menggunakan sendal jepit di koridor? Ntahlah, mungkin karena tengah salat jumat dan bertepatan dengan waktu salat sehingga diperbolehkan. Haura tidak tahu secara persis.   "Eh, Kak Albie. Mau ke kantin?" tanya Haura.   "Ck..." Indah di belakang Haura hanya bisa berdecak melihat Haura yang kembali mencoba mendekati Albie.   "Iya,” kata Albie.   Albie hendak berjalan ke kiri untuk melewati Haura namun Haura dengan sengaja menghadangnya.   "Mau beli apa?" tanya Haura.   "Mau beli minum,” kata Albie.   Albie lebih memilih menjawab karena bila tidak menjawab Haura akan terus-terusan bertanya.   Haura yang mendengar jawaban Albie pun langsung tersenyum. Senyumnya merekah begitu saja, dai melriik Indah sekilas, "Oh, itu Bang Jawa abis minumnya kak mending minum pake ini aja, aku baru beli kok ini yang terakhir,” kata Haura berbohong.   Haura memang ingin memberikan sesuatu kepada Albie secara cuma-cuma namun dia sangat padaham dan mengerti kalau Albie tidak akan mau menerimanya.   "Nggak usah." jawab Albie.   "Udah, dari pada kaka nggak minum, bentar lagi bel loh. Ini ambil aja, dari pada ke Jawa udah gak ada minum, warung yang di sana juga sudah- ..,” kata Haura yang terus menerus mengatakan sesuatu.   Albie melirik es yang ada di tangan Haura, melihat es tersebut masih penuh dia mengira kalau es tersebut belum Haura minum, dia tidak enak sebenarnya namun mendengar Haura yang terlihat seperti tidak akan berhenti mengatakan kebohongan membuat dirinya malas.   Albie pun langsung mengambil gelas plastik minuman tersebut dan berbaik, "Bawel,” katanya.   Haura pun terkekeh, "Sama-sama ya, Kak. jangan lupa dihabisin, nggak ada racunnya kok,” kata Haura sambil terkekeh di tempatnya.   Indah yang melihat tingkah Haura hanya bisa menggelengkan kepalanya, dia tidak mengira kalau Haura sampai seperti orang gila seperti ini, "Ck, gak waras lo,” kata Indah yang lebih memilih berjalan mendahului Haura.   Haura yang awalnya senyum senyum sendiri sambil mendongak dan terus melihat Albie sampai Albie tidak terlihat lagi pun langsung menoleh kepada Indah. "Indah, tunggu ..,” kata Haura.   Lalu Indah dan Haura pun menuju kelas mereka, namun mereka tidak masuk ke kelas melainkan memilih duduk di ujung koridor yang sepi dari anak-anak.   Sampai di tempat duduk, Haura masih tersenyum-senyum sendiri memikirkan hal yang tadi.   "Gue rasa lo udah stres Ra,” katanya.   "Biarin,” katanya.   "Udah sih, ih, kayak lagi duduk sama orang gila tau gak liat lu nyengir gak jelas mulu,” kata Indah.   "Eh, Ndah, kan tadi gue udah minum esnya trus Kak Albie juga minum di sedotan yang sama. Itu artinya kita ciuman dong secara gak langsung?" tanya Haura.   "Astagaaa, udha ah masuk ajalah gue nggak jdi ngomongin kputrian,” kata Indah yang sudah malas.   "Eh, ndah-ndah tunggu!" seru Haura yang mengejar Indah ke kelas.   Sesampainya di kelas, mata sekua orang kini tertuju kepada Haura, Haura jadi teringat lagi mengenai apa yang dikatakan oleh Indah mengenai semua orang yang tengah membicarakannya.   "Ra ... yang dibilang anak sebelah bener?" tanya Wiwi yang merupakan salah stu teman kelasan Haura.   "Emang anak sebelah ngomong apa?" tanya Haura yang memang tahu apa yang terjadi diluar sana.   "Lo katanya tadi keren jadi pematerinya. Gila lo bisa bikin kicep kakak kelas katanya?" kata Wiwi.   Tak lama kemudian muncullah teman-teman Haura yang juga merasa penasaran dengan apa yang terjadi. Haura hanya bisa menghela nafas, "Kalian taunya dari saipa?" tanya Haura.   "Kata anak sebelah, banyak banget tau yang ngomong. Hebat banget lo. Katanya lo ngasih video ya? Ya ampun giliran di kelas kita-kita aja dikasihnya ceramah terus sampe ngantuk. Gimana sih anak rohisnya,” kata Wulan.   "Eh, jangan gitulah, gue tuh beda karena gue sendiri, ini sama sekali bukan salah anak rohis. Ini emang kesalahan gue jadi gue beda dari yang lain,” kata Haura sedikit menyesali.   Sebagai seorang anggota, tentulah Haura merasa tidak enak dan tidak mau kalau ekskul yang diikutinya dipandang buruk atau dijelek-jelekkan oleh orang lain.   "Jeh, ngapain lo ngerasa bersalah? Lo tuh keren banget tau. Tanya aja temen-temen yang lain. Iya kan?" tanya Desi ke yang lain.   "Ya iyalah siapa dulu temen seangkunya,” kata Haura yang langsung menarik Haura yang mulai tidak nyaman.   Bagaimana Haura bisa nyaman kalau semua orang terus mengajaknya bicara?   Bel pulang sekolah pun datang, seperti biasanya Haura pun langsung berjalan menuju Masjid, dia sudah berpisah dengan Indah yang memang selalu suka pulang duluan.   "Hai, Ra!" sapa teman kelas lain yang Haura sendiri tidak tahu namanya.   "Eh, iya, hai juga." sahutnya.   Haura pun berjalan dengan cepat, dia memang masih merasa takut kalau sedang berjalan sendiri. Dia merasa takut kalau Richo datang menghampirinya. Dia tentu tidak tahu apa yang terjadi jika hal itu terjadi.   Saat berjalan, tak sengaja mata Haura bertemu dengan dua orang yang langsung membuat jantungnya berdegub dengan kencang.   Di sana dia melihat ada Richo dan Albie yang saling bertatapan dnegan sengit hingga akhirnya Richo pergi meninggalkan Albie. Haura yang melihat Richo langsung bersembunyi tidak mau ketahuan.   Setelah Richo pergi, Haura pun langsung berjalan menuju Albie, "Kak Albie!" panggil Haura.   Albie pun menoleh pada Haura.   Haura berdehem sebentar mencoba menetralkan wajahnya.   Melihat Haura, Albie hanya bisa menghembuskan nafas, "Ada apa lagi?" tanya Albie yang sepertinya mulai malas menanggapi Haura.   Namun, Haura memang sudah tahan banting, kalimat pedas itu tidak berefek padanya sama sekali. "T-tadi- ..,” kata Haura.   Haura sendiri merasa bingung mengenai bagaimana cara menanyakannya, dia ingin sekali menanyakan kepada Albie apa yang dilakukan Richo sebelumnya.   "Jadi, kenapa kau mengaku padanya kalau kita berpacaran?" tanya Albie.   "Itu ... itu ..,” kata Haura.   Haura tentu tidak bisa mengatakan kalau sebenarnya itu hanyalah usahanya untuk menjauh dari Ridho.   "Karena dia mantan pacarmu dan kau merasa tidak mau dianggu oleh dia?" tanya Albie.   Haura langsung membelalakkan matanya. Ternyata Albie sudah mengetahui kalau Richo adalah mantan pacarnya.   "Apa dia yang bilang begitu?" tanya Haura.   Albie menganggukkan kepalanya, "Iya juga bilang kalau dia mau masuk rohis." terang Albie.   Haura membelalakkan matanya, dia tentulah tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Albie. Bagaimana bisa? Apa sebenarnaya yang telah direncanakan oleh Richo kepada dirinya? Tidak puaskah Richo selama ini mengganggunya? Tidak puaskah dia menghancurkan kehidupan Haura begitu saja?   "Kak, kaka lagi bercanda kan sama aku?" tanya Haura.   "Kenapa saya harus bercanda?" tanya Albie.   "Tapi kakak gak ngebolehin dia masuk rohis kan?" tanya Haura.   "Kenapa saya harus nggak ngebolehin? Saya udah bilang sama dia buat datang mulai senin besok,” kata Albie.   DEG!   Jantung Haura berdegub dengan kencang, seketika dirinya merasa takut. Dia merasa sangat takut kalau hal itu sampai benar terjadi. Kalau tahu begini dia harus mengundurkan diri.   "A-aku mau mengundurkan diri, Kak,” kata Haura.   Albie terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Haura. Namun, seketika dia sadar kalau Haura tidak sungguh-sungguh. Sepertinya Haura meminta keluar karena dia memperbolehkan mantan pacarnya masuk rohis, dan dia hanya mencoba menggretak Albie dengan meminta Albie untuk tidak menerima Richo.   "Kenapa?" tanya Albie.   "Pokoknya kalau richo masuk rohis, aku mengundurkan diri,” kata Haura.   "Baiklah kalau begitu." sahut albie dnegan enteng.   Haura begitu terkejut dengan jawaban yang dilontarkan oleh ketua rohisnya tersebut. Ternyata tidak ada cegahan sama sekali saat dia mengatakan hal tersebut. Haura pun merasa sedih, sepertinya apa yang dilakukannya selama ini memang sia-sia saja.   "Oke, aku ngundurin diri sekarang juga,” kata Haura.   Haura pun memutuskan untuk pergi dari sana. Dia sudah tidak mau lagi mengikuti ekskul yang banyak memberikan energi positif kepadanya itu. Dia merasa marah dan sebal pada Aridhi.   Haura memang sadar kalau tingkahnya sama seperti anak kecil yang 'ngambek' karena tidak diberikan permen, namun dia tidak bisa memaksakan kehendaknya.   "Semoga pilihanmu tepat." gumam Albie.   "Tentu saja." sahut Haura dengan cepat.   Api kemarahan mulai berkobar dalam matanya, dia juga merasa sangat cemas saat ini. Dia terus berjalan cepat menuju gerbang.   Di depan gerbang sekolahnya, jantung Haura kembali berdegub dengan kencang. Di sana dia melihat Richo yang terlihat seperti tengah menunggu seseorang, "Hai!" sapa Richo.   Haura menelan ludahnya. Richo pun terkekh dan berjalan mendekat. Haura secara refleks langsung mundur selangkah hingga tubuhnya terkena tembok.   "Mau apa lo?" tanya Haura dengan segalak mungkin.   "Gue cuma mau bilang kalau gue akan selalu ada di samping lo. Dan satu lagi, kayaknya cowok palsu lo itu lebih percaya sama gue ketimbang sama lo,” kata Richo.   Suara Haura seketika tercekat ditenggorokkan.   "Mau pulang bareng gue?" tanya Richo.   "Nggak mau. Gue nggak sudi pulang bareng lo." jawab Haura kasar.   "Nggakpapa, cepat atau lambat lo juga pasti bakalan balik smaa gue,” kata Richo dengan senyum miringnya.    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN