MCKR 22 – Sebuah Hukuman Tak Terduga

1133 Kata
“Yaudah kalau begitu, hukuman dari saya itu kamu harus ikut dua lomba,” kata Albie. Mendengar apa yang dikatakan oleh Albie membuat Haura langsung menoleh. Lagi pula bagaimana dia bisa ikut lomba? Haura tidak memiliki satupun keahlian yang bisa dia banggakan. Apalagi semua lomba itu berkaitan dengan keislamian. Haura tentu harus memutar otaknya dengan cepat. dia harus belajar lebih banyak. Dan dia meras atidak sanggup untuk belajar dan mempelajarinya dalam waktu dekat. “Yah … kak, gak bisa, satu aja saya nggak bisa apalagi dua,” kata Haura yang langsung mnyuarakan aksi protesnya. “Kenapa nggak bisa?” tanya Albie. “Yak arena aku emang gak bisa apa-apa. Kaka lihat sendiri kan? Ngaji aku nggak bisa, setiap dikasih pertanyaan aku gak bisa jawab, aku tuh meski udah 16 tahun Islam tapi aku nggakpaham apa-apa. Aku cuma tau kalau kewajiban kita salat lima waktu itupun bacaan saya masih belepotan dan kadang lupa-lupa ingat,” kata Haura jujur sejujur jujurnya. “Justru itu. Kalau saya memberi hukuman yang mudah dan memang kamu bisa melaksanakannya, itu bukan hukuman melainkan tantangan,” kata Albie. “Ck. Pokoknya nggak bisa kak,” kata Haura. “Harus bisa kalau kamu memang ingin saya menoleransi apa yang kamu lakukan hari ini,” kata Albie. “Kak, ayolah … itu tuh bukan sengaja,” kata Haura. “Saya hanya percaya pada apa yang saya lihat,” kata Albie. “Egois.” Celetuk Haura. “Ya memang. Berbicara sama kamu memang diperlukan keegoisan tingkat tinggi,” jawab Albie. “Tapi ikutan apa, Kak? Mau nyuruh aku adzan? Baca-baca Al-Quran pakai bada-nada? Ceramah? Kak … aku masih punya malu buat ikut itu! Lomba yang aku bisa ikuci cuma cerpen dan puisi tapi karena temanya Islami, mana aku bisa? Aku nggak bisa,” kata Haura. “Nah, kamu ikut cerpen dan puisi. Saya anggap kamu mendaftarkan diri untuk lomba memlalui saya,” kata Albie. Haura pun sontak melotot. Sepertinya dia salah bicara lagian dia memang tidak ingin mengatakan kalau dia ikut lomba! Benar-benar tidak ingin mengatakannya. Haura tidak memiliki plihan lain selain menyetujui apa yang dikatakan oleh Albie. Bagaimana pun reputasinya sekang ada di tangan Albie. “Oke kalau gitu,” kata Haura akhirnya. “Baiklah kalau gitu saya anggap selesai. Hape tetap saya sita, saya akan kembalikan setelah pelajaran selesai,” kata Albie. Albie pun mulai meninggalkan Haura. “Liat aja, abis lomba aku bakal bikin aku dikeluarin dari rohis!” gumam Haura kesal sambil menghentak-hentakkan kakinya. “Coba saja,” kata Albie yang ternyata masih mendengar apa yang Haura katakan. Haura mengekori albie untuk kembali masuk ke dalam Masjid dan mulai bergabung dengan teman-temannya. Teman-teman Haura pun langsung menatap Haura dengan tatapan curiga. “Ada apa, Ra?” tanya Samantha. “Itu, hape gue disita,” kata Haura yang sudah menyiapkan jawaban kalau adaorang yang bertanya mengenai apa yang terjadi. “Oh, gitu. Dulu aku juga pernah,” jawab Samantha sambil terkekeh. “Seneng yah ape gue disita?” kata Haura. “Haura … istighfar …” kata Sarah yang langsung mengusap-usap punggung Haura. Haura rasanya ingin mengatakan kepada Sarah kalau dirinya tidak sedang kesurupan atau tidak sadar, karena dia merasa sadar sesadar-sadarnya. “Gimana, Ra. Mau ikut lomba yang mana?” tanya Samantha. Haura langsung menatap Samantha rasanya kesal sekali namun dia tetap harus mengaatakannya. “Gue disuruh ikut lomba cerpen sama puisi sama ketua lo itu,” kata Haura. Semua orang dapat mengerti apa yang dikatakan oleh Haura saat ini. Haura menatap Albie dengan tatapan penuh kekesalan. Albie yang merasakan punggungnya panas karena seperti ada yang menancapkan laser ke punggungnya langsung meoleh dan menapati tatapan kesal Haura. Haura yang melihat Albie menoleh langsung membuang muka. Waktu sudah menujukkan pukul 17.00 WIB. Itu waktunyaa mereka semua mengakhiri kegiatan karena gerbang sekolah akan dikunci sekitar 5-10 menit lagi. lepas dari itu, pintu gerbang akan terkunci dan yang di dalam sekolah tentulah akan terkurung. “Kalian duluan aja.” Kata Samantha. Haura melirik Samantha dan tidak mau mengambil pusing memikirkan mengapa Samantha tidak langsung pulang. Haura merasa tidak ingin ikut campur dan tidak terlalu penasaran soal hal itu. Haura sudah meminta supirnya untuk menjemput dirinya sebelumnya, jadi kemungkinan supirnya itu sudah ada di depan sekolahnya  menunggu kedatangannya. Haura mempercepat jalannya dia tidak mau berbarengan dengan Richo walaupun Richo sudah tidak lagi mengganggunya atau pun hanya sekadar menyapa. “Haura aku duluan ya!” pamit Sarah yang memang sudah memesak ojek online dan sudah ada ojek online-nya di depan gerbang. “Oke, hati-hati ya!” kata Haura. “Assalamualaikum!” salam Sarah. “Waalaikumsalam,” jawab Haura. Haura pun kemudian masuk ke dalam mobilnya yang memang sudah terparkir di depan sekolahnya. Namun, seketika dia teringat sesuatu. Ada yang tertinggal. Dia lupa mengambil ponselnya. “Hape gue samapa Kak Albie lagi,” kata Haura. “Sudah, Non?” tanya supir. “Sebentar, Pak. Hape saya ketinggalan. Saya masuk dulu sebentar ya, Pak,” kata Haura. “Iya, Non. Silakan.” Jaawab supir tersebut. Haura pun langsung membuka pintu mobilnya dan berjalan menuju ke dalam sekolahnya lagi. Mau tak mau dia harus melewati Lorong agar bisa sampai di Masjid yang letaknya di ujung sekolah. Haura pun kembali berjalan melewati sebuah ruangan yang sampai sekarang membuat dirinya bergidik ngeri. Dia memang sebelumnya mendengar suara orang menangis dari ruangan itu. Haura mempercepat langkahnya. Lagi-lagi Haura mendengar suara yang aneh dari dalam kelas tersebut. Ada suara seperti bangku atau meja kelas yang saling bersinggungan hingga memunculkan bunyi. Bulu kuduk Haura lagi-lagi merinding. Dia sebenarnya merasa sangat penasaran dengan apa yang terjadi namun dia tidak berani mengecek secara langsung mengenai apa yang terjadi di dalam kelas. Dia tidak siap kalau harus bertemu dengan hantu. Haura mempercepat langkahnya, dia terus berlari dengan sesekali kepalanya menoleh ke belakang. BUG! “Aaaaa!” pekik Haura yang terperanjat karena menabrak seseorang yang tengah berjongkok membetulkan tali spatu. Haura hampir saja jatuh kalau saja tangan laki-laki yang ditabraknya tidak memegangi tangan Haura. “Kamu lagi, kamu lagi,” kata Albie yang sepertinya sudah bosan melihat Haura. Albie langsung melepaskan tangannya pada Haura. “Yeeee, emang kenapa sih? Nggak boleh? Lagian ini bukan sekolah punya nenek kakak kan?” kata Haura. Haura menyodorkan tangannya kepada Albie. “Hape aku mana?” tanya Haura. Albie pun langsung mengambil ponsel milik Haura dari dalam saku celananya dan menyerahkannya kepada sang pemilik. Haura pun langsung mengambilnya dna berbalik. Haura pun melangkahkan kaki satu langkah, namun seketika dia teringat pada bunyi-bunyi sebelumnya. Akhirnya dia yang merasa takut pun langsung berbalik dan berjalan di samping Albie. “Kenapa?” tanya Albie. “Nggakpapa,” kata haura. Haura tentu tidak akan pernah mau mengakui kalau dirinya tengah merasakan ketakutan karena sering mendengar suara aneh dari suatu ruangan. “Bilang saja kamu takut sendirian keluar,” kata Albie. “Yeuuu, jangan asal ngomong ya. Aku nggak takut tahu!” kata Haura.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN