MCKR 23 – Curhat Kepada Mama

1043 Kata
Hari pun terus berjalan. Haura mendekati ibunya, dia ingin mengatakan kalau besok dia harus mengikuti lomba. Dia takut kalau pulang telat dan ibunya mencemaskannya. Bagaimana pun, Haura sadar kalau dirinya sangat 'istimewa'. "Ma ..." panggil Haura. "Ada apa, Sayang?" tanya ibunya. "Besok, aku harus ikut lomba diminta ikut sama Kak Albie,” kata Haura. "Wah, lomba apa, Sayang?" tanya Ibunya. "Lomba menulis cerpen sama menulis puisi. Ngeselin banget kan dia, Ma? Masa aku di suruh ikut dua lomba sekaligus, padahal semua anak rohis ikut semua, Kenapa nggak nyuruh mereka aja sih, huh kesal,” kata Haura. Ibunya Haura pun tersenyum melihat bagaimana anaknya cemberut seperti itu. Putrinya itu tengah mengadu. Beliau selalu bersyukur saat putrinya itu menceritakan apapun tentang kehidupan di sekolahnya kepada beliau. Karena dengan begitu beliau mengetahui dan bisa memantau anaknya. Ibunya Haura justru meras takut kalau anaknya tidak mau menceritakan apa-apa kepada beliau. Kalau sampai hal itu terjadi, beliau tentulah akan merasa repot sendiri. "Tunggu ... siapa namanya?" tanya Ibunya haura. "Kak Albie, Ma,” kata Haura. "Dia laki-laki?" tanya Ibunya Haura. Haura pun langsung menganggukkan kepalanya, "Iya, dai laki-laki dna dia ketua rohis, Ma." terang Haura. "Oh, ketua rohis. Kalian berpacaran?" tanya Ibunya Haura. Haura langsung menoleh ke arah ibunya. Sebagai seorang ibu yang juga terkena dampak dari masa lalu Haura, beliau juga merasa sedikit mengkhawatirkan pertemanan haura dengan teman-teman laki Haura. Beliau masih takut kalau anaknya sampai menjalin hubungan dengan seorang laki-laki lagi. Beliau belum bisa melupakan apa yang terjadi jadi beliau merasa tidak ingin kalau hal tersebut terjadi lagi. Orang tua mana yang mau anaknya terluka? tentulah tidak ada. Haura seketika tertawa mendengar apa yang diaktakan oleh ibunya tersebut. Kalau saja ibunya mengetahui bagaimana prangai Albie. tentulah beliau tidak akan perna bertanya mengenai hubungan anaknya dnegan Albie tersebut. "Kok kamu ketawa sayang?" tanya Ibunya Haura yang bingung melihat putrinya tersebut tertawa. "Bagaimana aku nggak ketawa mamaku sayang? Mama nggak kenal Kak Albie sih. Kalau Mama lihat dia, mama pasti nggak akan tanya aku soal itu,” kata Haura. "Maksud kamu dia menyimpang?" tanya Ibunya Haura. "Eh, bukan, Ma. Bukan ..,” kata Haura. Haura terkekeh lagi. Ntah mengapa pada saat dia menceritakan Albie seketika emosinya meledak-ledak. Kadang kesal, kadang bahagia, namun Haura merasa nyaman sna denang saat menceritakannya. Dia sepertinya tahu banyak soal Albie. "Trus gimana?" tanya Ibunya Haura. "Dia itu ketua rohis, Ma. Laki-laki Alim. Alim banget, di rohis itu nggak boleh pacaran. Katanya Bang Albie, pacaran itu mendekati zina. Jadi dia nggak mau pacaran. Dia aja nih Ma, gak mau deket-deket sama perempuan. Kalau ada perempuan yang mau ngobrol sama dia itu harus jaga jarak. Trus tiap ngomong matanya nggak mau natap perempuan yang ajak ngobrol, Ma. Zina katanya. Lucu kan?" kata Haura yang kembali tertawa. Ibunya Haura kini sedikit lega ketika mendnegar apa yang dikatakan oleh anaknya tersebut. Awalnya beliau sangat merasa takut kalau anaknya tersebut menjalin hubungan dnegan sekolahnya. "Dia sendiri yang bialng sama kamu?" tanya Ibunya haura. Haura kali ini langsung menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Ya ... enggak sih, Ma. Kita aja jarang ngobrol, dia anti banget sama aku. Aku itu taunya dari temen-temen,” kata Haura sambil nyengir lebar. "Trus kenapa kamu diminta untuk ikut lomba dua?" tanya Ibunya Haura. Haura langsung merapatkan bibinya dan menggelengkan kepalanya. Dia malu mengakui kalau dirinya bandel karena bermain ponsel selama ekskul berlangsung. "Hayo, kenapa?" tanya Ibunya Haura. Akhirnya haura pun dengan wajah memelas langsung mengatakkan hal yang sejujurnya kepada ibunya, "Karena tadi aku ketahuan bermain hape di Masjid, Ma. waktu lagi ekskul,” kata Haura. "Duh, lagian akmu sih bandel,” kata Ibunya Haura. "Ma ... abis aku bete tadi, aku bingung harus ngapain jadi gitu deh. Aku main hape. Tapi ini kayaknya lagi apes aja ketahuan Kak Albie,” kata Haura. Ibunya Haura hanya bisa menggelengkan kepalanya. "Yasudah kalau begitu kamu harus bertanggung jawab dong,” kata Ibunya Haura. "Bertanggung jawab?" tanya Haura. Ibunya Haura hanya bisa menganggukkan kepalanya. "Kamu ikuti aja hukuman kamu. Lagian hukumannya itu sifatnya positif, bisa bangun kamu. Jadi mama rasa cukup adil dan menyenangkan,” kata Ibunya haura. "Mama ... kok malah belain Kak Albie?" tanya Harura. "Ya kan apa yang dia lakukan itu baik, Sayang,” kata ibunya. Haura pun mengerucutkan bibirnya. *** Hari perlombaan pun datang. Haura mau tak mau harus masuk ke sekolah karena tidak mau dianggap tidak menepati janji oleh Albie. Namun, Haura memang sengaja berangkat lebih siang agar tertinggal rombongan. Rombongan anak-anak rohis berkumpul di sekolah jadi Haura pun datang ke sekolah terlebih dahulu meskipun di tasnya dia tidak membawa apapun. Haura memanglah sengaja tidak membawa buku pelajara. Di tasnya hanya membawa satu buku kosong, tempat pensil, ponsel, dan dompet. “Haura, sudah siang, Nak!” seru Ibunya Haura di luar rumah. “Iya, Ma. Sebentar lagi!” kata Haura. “Nak, nanti kamu telat!” seru Ibunya Haura lagi. Haura tengah sibuk memperhatikan jam tangannya. Dia ingin terlambat agar tidak jadi ikut lomba namun mau bagaimana lagi. Dia tidak bisa melakukannya. Ibunya terus menerus memanggilnya sehingga dirinya tidak tahan dan harus berangkat saat ini juga. “Hauraa!” panggil ibunya lagi. “Iya, Mama. Sabaaar … orang sabar di sayang papa!” seru Haura. Haura pun langsung beranjak dari tempat duruknya dan langsung berjalan keluar rumah menghampiri ibunya yang memang berteriak di depan rumah. Haura pun langsung berpamitan kepada ibunya. “Dah, aku berangkat dulu. Assalamualaikum!” salam Haura. “Waalaikumsalam. Eh, kerudungnya mana? Kata kamu mau lomba bersama dengan anak rohis. Pasti disuruh pakai kerudung kan?” tanya Ibunya Haura. “O iya, aku berarti harus ke atas, Ma,” kata Haura dengan senang hati. Haura merasa senang karena harus mengambil kerudungnya di kamarnya karena itu artinya dia memiliki waktu untuk mengulur waktu agar telat. “Nggak usah-nggak usah. Mama sudah siapkan kerudung di dlaam mobil,” kata Ibunya Haura. Haura pun langsung mengerucutkan bibirnya. “Yasudah kamu sana berangkat. Goodluck ya Sayang buat lombanya!” kata Ibunya Haura. Haura hanya bisa menganggukkan kepalanya. Memang apalagi yang bissa dia lakukan selian itu? Tidak ada bukan? Tak lama kemudian, Haura pun pergi ke sekolah setelah berpamitan dengan ibunya lagi. Sesampainya di sekolah dia pun tersenyum karena gerbang sekolahnya sudah ditutup setengah. Dia mengira kalau anak rohis sudah pergi semuanya. Namun, seketika senyumannya sirna begitu saja setelah dia keluar dari dalam mobilnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN