Waktu terus berjalan, Bu Lis semakin meminta untuk Haura kembali ke rohis. Belakangan, Haura masih sempat bertemu dengan Richo namun nta mengapa Richo yang ada di sekolahnya terlihat begitu berbeda, Richo tidak pernah lagi mengusiknya.
“Woooiii! Ngelamunin apa sih lo?” tanya Indah yang tiba-tiba menagetkan Haura yang tengah melamun.
“Ya biasalah. O ngapain sih ngagetin gue? Nggak kaget juga gue,” kata Haura.
“Yeuuuu …. Nggak kaget badannya keluatan kaget begitu. Gimana sih si ibu,” kata Indah.
Haura hanya bisa tertawa begitu saja.
“Eh, Ndah, menurut lo gue balik ke rohis gak ya?” tanya Haura.
“Kenapa emang?” tanya Indah.
“Yak an gue udah cerita sama lo. Masa gue harus cerita lagi?” Kata Haura.
“Kalau gue boleh saran, Ra, mending lo masuk lagi sana. Dari pda tiaap haari lo kena terror. Tapi ya … klau lo emang gak nyaman di rohis gakpapa lo nyakinin aja Bu Lis kalau lo nggak mau,” kata Indah.
“Kak Albie juga,” kata Haura.
“Eh? Bang Albie juga apa? Juga nyuruh lo balik?” tanya Indah terkejut.
Haura pun langsung menganggukkan kepalanya begitu saja.
“Wah, kalau itu si kayaknya lo emang harus balik, Fra. Soalnya ini kesempatan lo gitu,” kata Indah.
“Tapi Ndah gue kayaknya malas deh kalau di suruh ikut rohis lagi. Ada so Richo,” kata Haura.
“Gue liiat-liat kayaknya lo nggak suka banget deh sama dia. Emang dia kenapa sih?” tanya Indah.
Haaura langsung memutar otaknya agar bisa menjawab pertanyaan itu. Dia tidak bisa menjawab pertanyaan itu dengan jawaban yang sesjujurnya. Meski Haura snagat dekat dengan Indah namun Haura belum siap untuk menceritakan masa lalunya.
“Ya nggakpapa, gue nggak suka aja. Soalnya anaknya nyebelin,” kata Haura.
Indah hanya bisa terkekeh saja, “Kalo nggak gini aja, Ra. Lo masuk aja ke rohis nah tinggal lo cari cara buat keluar lagi deh. Gampang kan?” tanya Indah.
Haura terdiam. Apa yang dikatakan oleh Indah memanglah benar adanya.
“Bener juga,” kata Haura.
“Ya bener lah masa gue bohong,” kata Indah.
Haura pun langsung menganggukkan kepalanya.
***
Sepulang sekolah, Haura pun memutuskan untuk kembali ke Masjid dan bergabung dengan teman-teman rohisnya. Awalnya dia seperti biasa melaksanakan salat ashar di sekolah setelah itu dia bertemu dengan Sarah. Slaah satu teman rohisnya.
“Hauraaa!” seru Sarah dengan suara lembutnya.
“Iya?” sahut Haura.
“Kamu ke mana saja? Kok gak ikut rohis. Hari ini ikut rohis kan? Ada rapat loh,” kata Sarah.
“Rapat apa?” tanya Haura.
“Nggak tahu sih, belum di kasih tau,” kata Sarah.
Haura pun menganggukkan kepalanya.
“Ayok!” semua anak-anak udah ngumul tuh!” kata Sarah yang langsung menggandeng tangan Haura.
“Eh?” Haura ingin memprotes namun tidak dia lakukan.
Sesampainya di tempat anak rohis berkumpul. Haura langsung bergabung. Beberapa anak rohis langsung menyambutnya. Haur amelihat Albie di tempatnya mengamatinya. Lalu Haura langsung mnegalihkan pandangannya kea rah lain.
Albie pun memulai rapat dengan salam dan doa, lalu langsung mengutarakan maksud rapat mereka.
“Karena sudah kumpul semua jadi saya ingin mengatakan tujuan diadakannya rapat ini. Mungkin diantara teman-teman sudah tahu kalau kita mendapatkan surat undangan dari SMAN 39 untuk mengikuti lomba yang diadakan oleh rohis di sekolah tersebut. Adapun nama-nama lombanya ada di surat yang sudah difotokopi dan ada di saya juga di Samantha,” kata Albie.
Semua orang pun mendengarnya dengan antusias. Haura hanya bisa mendengarkan saja, dia tidak antusias mengikuti lomba. Lagi pula lomba yang diadakan itu lomba dari ekskul rohis juga jadi Haura merasa kalau isi lombanya tentulah tentang Islami.
Pengetahuan Haura akan Islam belum banyak. Dia masih fakir ilmu. Jadi dia merasa tidak bisa mengikuti hal tersebut.
“Saya harap semua anggota ikut berpariisipasi dalam lomba ini karean lombanya cukup banyak. Untuk teman-teman yang berminat mengikuti lomba, silakan tulis nama dan nama lomba yang diikuti di kertas ini” kata Albie sambil memperlihatkan sbeuah kertas yag berisi kolom-kolom.
“Dala lomba ini, saya tidak akan meminta kalian untuk menang. Saya hanya ingin kalian berkontribusi, agar punya pengalamaman dalam mengikuti lomba. Tapi saya juga berharap kalian bisa mempersiapkan dan menyiapkan diri,” kata Albie.
Setelahnya Albie pun meminta untuk yang perempuan untuk membuat lingkaran khusus anak perempuan dan membicarakan mengenai lomba terebut, begtu juga dengan anggota rohis yang laki-laki.
“Assalamualaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.” Salam Samantha.
“Waalaikumsalam wa ramhatullahi wa barakatuh.” Jawab yang lain.
“Jadi seperti yang telah di smapaikan oleh ketua, saya akan membacakan lomba-lomba yang diadakan. Lombanya itu ada lomba MTQ, MHQ, marawis, adzan, Da’i/Da’iyah, Kaligrafi, Puisi Islami, Cerpen Islami, dan Nasyid,” kata Samantah yang membacakan satu persatu lomba yang ada di surat tersebut.
Semua orang menyambutnya dengan sneg hati, kecuali Haura. Haura terlihat biasa-biasa saja. Dia bahkan berpikir untuk tidak mengikuti lomba.
Haura memang sedikit tertarik dengan Cerpen dan Puisi namun karena temanya islami jadi dia tidak jadi ingin mengikutinya,
“Kak Samantha, Bolehikut dua kah?” tanya Sarah yang terlihat snagat antusias.
“Boleh. Waktunya tidak berbarengan juga. Tapi maksimal ikut 3 lomba ya,” kata Samantha.
“Wah … aku mau kak, mau,” kata Sarah.
“Boleh, Sarah,” kata Samantha sambil terkekeh.
Haura melihat mata Smaantha yang terlihat begitu sembab seperti habis menangis. Dia jadi penasaran mengapa Samantha seperti itu belakangan. Padahal sebelumnya sepertinya biasa saja. Haura jadi mulai berpikir kalau ini smeua ada sangkut pautnya dnegan pacar baru Samantha.
Apakah Smanataha mengamai penganiayaan? Pertanyaan itu muncul saja dalam benaknya.
Haura tidak mau memikirkannya lebih lanjut.
“Haura, kamu mau ikut yang mana?” tanya Sarah aapada Haura.
“Eh? Aku nggak ikut deh, nggak bisa aku,” kata Haura.
“Loh, kan tadi Bang Albie sudah bilang kalau kita nggak dituntut buat menang,” kata Sarah.
“Ya kan kita tetap harus mempersipkan diri. dan aku nggak siap,” kata Haura.
Untungnya Haura mendengarkan apa yang dikatakan oleh Albie. Padahal sebetulnya Haura tidak mau mendengarkan apa kata Abie namun ntah mengapa dia bisa dengan mudah mendengarkannya.
“Nggak papa, Ra. Aku juga belum paham tapi aku ikut,” kata Sarah.
Haura tetap menggelengkan kepalanya.
“Kak Sam, ini biaya lombanya kita bayar sendiri-sendiri ya?” tanya seorang anggota rohis lain.angggota yang kelas 10 sangat antusias untuk mengikuti lomba karena diajak oleh kakak kelasnya.
“Tenang aja. Kita pakai uang khas rohis. Nanti untuk transport juga ditanggung sama Bang Albie,” kata Smantha.
“Loh, kita nggak dapet fasilitaas dari sekolah?” tanya Sarah.
Samantha hanya bisa tersenyum dan menggeleng. “Saya dan Bang Albie sudah minta ke sekolah, tapi sekolah memang tidak bisa memberikan.” Terangnya.
“Ya ampun, sekolah kita pelit banget sih. Padahal kan kalau kita ada yang menang pialanya pasti minta dipajang di sekolah.” Gerutu seseorang.
Haura hanya bisa mendengarkan saja tidak mau terlalah banyak berpikir.