04 : Wajah Baru

1090 Kata
Aku tersadar dan merasakan wajahku sangat kebas. Kusentuh wajahku dan terkesiap menyadari perban tebal yang membalut wajahku. Walau tubuhku terasa lemah, kukuatkan diriku untuk bangkit berdiri dan berjalan menuju ke depan cermin. Benar, kepalaku diperban total. Apa yang terjadi? Apa benar wajahku telah hangus terbakar? Berarti di balik perban ini tersimpan wajah monster yang mengerikan! Tak sadar, airmataku mengalir deras ... menangisi kemalangan hidupku. Aku terkesiap ketika seseorang memelukku dari belakang. Pelukannya terasa hangat dan tak asing. “Jangan sedih. Tim dokter telah mengoperasi plastik wajahmu. Kau akan pulih seperti semula, Alana.” Alana? Apa dia memanggilku? Tapi aku bukan Alana. Aku adalah Adel! Aku berbalik, ingin memberitahunya. “Tidak, a-aku bu ....” Dia menutup bibirku dengan jarinya. “Alana, jangan banyak berbicara dulu. Kau masih dalam masa pemulihan. Aku tahu apa yang ingin kau sampaikan.” Sungguhkah dia tahu? Aku yakin tidak! Buktinya dia menatapku sebagai istrinya. Aku merasa jengah. Dari matanya aku bisa merasakan kasih sayang yang terpancar, tapi bukan cinta. Sontak aku teringat ucapan Nyonya Alana. Dia bilang suaminya baik, tapi tak mencintainya. Benarkah? “Maaf, karena yang lalu aku gagal melindungimu. Aku berjanji akan menebusnya seumur hidupku. Alana, aku akan melindungimu dengan nyawaku. Aku berjanji padamu,” ucapnya sungguh-sungguh. Meski aku tahu ucapan itu sesungguhnya tak ditujukan untukku, tapi tak urung perasaanku bergetar. Hatiku yang selama ini hampa mendadak terisi penuh olehnya. Aku teringat akan permintaan terakhir Nyonya Alana. Apa aku boleh melakukannya? Mungkin ini yang terbaik bagi kami semua. Bagi Nyonya Alana, dia akan meninggalkan dunia ini dengan tenang karena yakin aku akan merawat dan menyayangi suaminya. Buat Om Takeo ... dia akan terhindar dari rasa bersalah karena menganggap istrinya masih hidup. Sedang buatku, ini adalah jalan keluar bagiku bisa terlepas dari jerat maut pamanku yang jahat. Mataku berkaca-kaca dengan perasaan campur aduk, antara lega, sedih, bahagia dan was-was bergabung menjadi satu. Ya Tuhan, ampuni aku yang terpaksa menjalani hidup penuh kepura-puraan ini. “Jangan takut, Alana. Aku akan selalu berada di sampingmu,” janji Takeo sembari memelukku hangat. Aku tersenyum miris. Apa janji itu akan terucap bila dia tahu siapa diriku? “Takeo ....” Aku menggumamkan namanya, dalam hatiku aku melanjutkan, “Nyonya Alana, tolong restui aku yang akan menggantikan peranmu di kehidupan ini.” Begitulah, hidupku bersama Takeo berawal. Mr President and I. ==== >(*~*) Tak terasa waktu berlalu cepat. Aku tak tahu sudah berapa lama wajahku diperban. Menurut dokter, pagi ini perbannya boleh dibuka. Hatiku berdebar kencang saat dokter membuka perbanku. Helai demi helai diurai, debaran di hatiku semakin keras. Hingga terasa angin menerpa wajahku, aku yakin perbanku telah terbuka seluruhnya meskipun mataku masih terpejam. Sentuhan ringan di bahuku membuatku sedikit terkesiap. “Bukalah matamu, Alana,” celetuk Om Takeo lembut. Kuturuti perintah itu, perlahan kubuka mataku. Sinar matahari yang menerpa menyilaukan mataku, sontak aku memicing untuk menyesuaikan diri. Begitu pandanganku tak lagi silau, yang kulihat adalah wajah bersinar Om Takeo. Tampan sekali, seperti biasanya. “Indah sekali …,” gumamku tak sadar. “Memang indah, bagaimana kau bisa merasakannya tanpa melihat wajahmu?” timpal Om Takeo sembari tersenyum geli. Mungkin dia mengira yang kumaksud indah adalah wajahku, hasil operasi plastikku. “Aku ingin melihatnya.” Seorang perawat memberiku cermin. Aku mengamati pantulan wajahku di cermin itu. Persis sekali! Aku bagai melihat Nyonya Alana hidup kembali. Apakah ini wajahku sekarang? Aku menyentuhnya dengan hati-hati. Halus sekali bagai porselen, tak seperti kulitku yang kusam dan agak hitam karena gosong terkena paparan sinar matahari terlalu sering. Aku merasa asing dengan wajahku sendiri, dan anehnya aku merasakan kehadiran Nyonya Alana setiap kali melihat pantulan wajahku di cermin. Apakah aku pantas menggantikanmu, Nyonya? “Nyonya Alana …,” gumamku lirih dengan mata berkaca-kaca. “Mengapa kamu memanggil dirimu sendiri dengan sebutan Nyonya?” Pertanyaan Om Takeo menyadarkanku. Sial! Mengapa dia mendengar gumaman lirihku? Apa telinganya radar kaliber tinggi? “Hanya untuk mengetes perasaanku, Takeo. Apakah aku merasa memiliki nama itu?” kataku berkelit. Hanya alasan ini yang terpikir olehku. Om Takeo mengangkat kedua belah bahunya. Sepertinya dia puas dengan penjelasanku, syukurlah. “Apa Anda puas dengan hasil operasi ini, Nyonya?” tanya Dokter yang mengoperasiku. “Tentu! Sangat puas. Dokter berhasil mengkopi wajah Nyo-“ Aku terdiam sejenak karena nyaris keceplosan. “Dokter berhasil mengembalikan wajah saya. Sama persis!” “Bagaimana menurut Mr President?” Kali ini Dokter bertanya pada Om Takeo. Suami asli tapi palsuku mengamatiku dengan seksama. Aduh, tatapan tajamnya membuatku jengah sekaligus malu. Apa dia merasa aku cukup cantik baginya? “Seharusnya begitu, tapi entah mengapa saya merasakan ada sesuatu yang berbeda,” komentar Takeo dengan dahi mengerut dalam. Mampus, apa Om Takeo tahu istrinya ini palsu? Padahal wajah kami sama persis? Apa yang membuatnya berbeda? Sikapku? Cara berbicaraku? Aku berdeham dan berusaha berkata seanggun mungkin, menirukan gaya Nyonya Alana. “Apa yang berbeda, Takeo? Apa sekarang aku tak secantik dulu?” Kubuat tatapan sesedih mungkin supaya Om Takeo iba padaku. Siapa tahu setelah itu kecurigaannya padaku menghilang. “Maaf, Alana. Aku tak berniat menyakiti hatimu. Kamu masih secantik dulu, bahkan mungkin … lebih cantik sekarang. Hanya matamu … tatapan matamu lain.” Mendadak Om Takeo mengibaskan tangannya pelan. “Sudahlah, abaikan saja.” Bagaimana bisa mengabaikannya? Kecurigaan kecil ini membuatku was-was. Belum-belum aku dihantui perasaan terancam bila penyamaranku terbuka. Apa yang terjadi jika itu terjadi? Apa mereka akan menghukumku dengan penjara? Atau hukuman mati? Aku bergidik membayangkannya. “Alana, apa kamu merasa tak enak badan? Badanmu gemetar,” tegur Om Takeo sembari memelukku lembut. Aku menggeleng perlahan. “Aku tak apa, mungkin hanya kecapekan.” “Istirahatlah. Kami akan berjaga diluar. Hubungi aku sewaktu-waktu jika kamu memerlukanku.” Aku mengangguk mengiyakannya. Saat ini lebih baik kami tak sering bertemu sebelum aku terbiasa menjadi Nyonya Alana. Aku khawatir Om Takeo akan semakin curiga melihat tingkahku yang berbeda dengan istrinya dulu. “Kamu ingat nomorku, kan?” Nomor apa yang dimaksudnya? Pikiranku yang korslet mencoba menebaknya. Semoga benar. “Tigapuluh lima?” Sebelah alis Om Takeo naik mendengar tebakanku. “Nomor apa itu?” tanyanya bingung. “Nomor sempakmu,” sahutku spontan. Om Takeo ternganga lebar. Mampus! Apa tebakanku salah? Berapa nomor celana dalamnya? 34? 36? Tak mungkin 40, kan? “Salah, ya?” tanyaku galau. “Tadi aku menanyakan nomor ponselku. Jangankan nomor ponsel, ukuran pakaian dalamku saja kamu melupakannya. Apa ingatanmu bermasalah?” tanya Om Takeo serius. Dia memutar jarinya di dekat keningnya. Tentu! Mengapa aku tak memakai alasan itu untuk menjelaskan keanehan dalam diriku? Ide hebat! Aku menghela napas berat, pura-pura sangat bersedih. “Sayang, aku ... sepertinya karena kebakaran itu, sebagian ingatanku jadi kacau.” Bersambung.

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN