03. Keputusan Darurat

1660 Kata
Dia mengingatku! Hatiku sempat berbunga-bunga sebelum aku teringat kembali maut yang mengincarku. SOS! Aku terpaksa menarik Om Ganteng sebelum pamanku yang jahat memergoki kami. Kami bersembunyi di ujung gang. Aku mengintip ke arah jalanan untuk memastikan keberadaan pamanku. “Apa yang kau ....” Aku segera membungkam mulut Om Ganteng dengan tanganku. “Psttt! Tolong diam, Om. Darurat!” bisikku lirih. Untung dia bisa diam. Aku bisa melihat pamanku yang kehilangan jejak saat mencariku. “Adel, dimana kamu?” teriak pamanku geram sembari memeriksa sekelilingnya. “Paman tak akan menyakitimu. Keluarlah Anak manis. kita bisa membicarakan secara baik-baik.” Baik-baik, gundulmu! Pasti dia akan membunuhku untuk menghilangkan saksi kejahatannya, juga untuk mengangkangi harta kami yang tersisa. Aku tersenyum miris memikirkan hidupku yang sebatang kara, hanya tersisa pamanku yang berniat membunuh diriku. Tolong singkirkan lelaki jahat ini dari hidupku, Tuhan, batinku nelangsa. Sepertinya Tuhan menjawab doaku. Aku menarik napas lega begitu melihat pamanku yang jahat menjauh dariku. “Bisa kau lepaskan tanganmu dari mulut saya?” Teguran dingin itu menyadarkanku seketika. Astaga, jariku sudah betah hinggap di bibir s*****l pria tampan yang baru saja kuajak sembunyi bersamaku. Aku melepasnya dengan enggan sembari tersenyum rikuh. “Maaf, Om. Keterusan. Habis enak,” cengirku spontan. Dia mendelik gusar. Aih, mengapa sekarang Om Ganteng jadi jutek begini, sih? Perasaan, dulu dia hangat dan ramah. “Apa kamu sedang kabur dari keluargamu?” tuduhnya sambil menatapku tajam. “Bukan begitu, Om. Orang tadi adalah pamanku. Dia jahat sekali dan dia ....” Grep! Sekonyong-konyong Om Ganteng mencengkeram lenganku kuat, dia menatapku lekat. “Ayo, saya akan mengantarmu kembali pada keluargamu.” “Tidak! Jangan!” Aku memberontak darinya, dan Om berusaha menahanku. Aku menepis tangannya sekuat mungkin untuk melepaskan diri. Saat itulah topiku terjatuh tersenggol tanganku. Rambutku yang semula tersembunyi di balik topi terburai jatuh secara alami menutupi pipi, bahu dan punggungku. Pria itu terpaku menatapku. “Kamu seorang gadis!” Dari lahir, Om. Mengapa Om baru menyadarinya sekarang? Eh, mungkin aku bisa memanfaatkan ini untuk membujuknya. “Om, tolong Adel. Adel tak mungkin kembali ke rumah. Orang itu tadi ... dia sangat jahat. Dia berniat mencelakai Adel.” Aku bergelayut di lengannya, berusaha melunakkan hatinya dengan pesona kewanitaanku. Bukannya terbujuk, dia justru semakin meradang. “Jangan mencoba membujuk saya, Nona muda. Lebih lagi setelah saya tahu kamu seorang gadis, saya tak bisa membiarkanmu kabur dan hidup di jalanan!” Ini bencana! Aku harus melarikan diri darinya. Baru saja aku merancang pelarianku, terdengar suara lembut memotong pembicaraan kami. “Sayang, siapa yang tengah bersamamu?” Seorang wanita cantik dan lembut menatapku ingin tahu. Dia begitu anggun dan indah, seperti bidadari. Harus kuakui, aku kagum padanya. Apa hubungannya dengan Om Ganteng? Apa mereka suami istri? Harus kuakui, mereka cocok. Mereka sangat indah dan berkelas, seperti koleksi mahal ciptaan Tuhan. Btw, wanita ini terlihat sangat baik. Mungkin aku bisa meminta tolong padanya. “Nyonya, tolong saya ....” *** “Jangan berpikir kamu akan membatalkan niat saya mengembalikanmu pada keluarga dengan merajuk pada istri saya. Alana tak pernah membantah keputusan saya.” Aku terdiam mendengar omelan lelaki yang akhirnya kutahu namanya adalah Takeo. Mungkin dia kesal karena aku menganggu acara bulan madunya bersama istri tercinta. “Maaf kalau merepotkan Om. Saya bisa pulang sendiri, jadi Om bisa kembali pada istri Om. Kasihan Nyonya Alana ditinggalkan di cottage kalian.” Aku berusaha mengerahkan tipu dayaku, semoga Om Ganteng yang jutek ini bisa terkecoh. “Tidak, Alana baik-baik saja. Saya harus memastikan kamu kembali ke tangan keluargamu.” “Keluarga seperti apa? Keluarga tak akan membunuh anggota keluarga yang lain, kan?” sarkasku. Dia terdiam mendengar ucapanku, matanya menatapku penuh selidik. Mungkin dia ingin tahu apakah aku mengatakan kebenaran padanya. “Sungguh!” Dia hendak mengatakan sesuatu, namun mendadak matanya membeliak menatap di kejauhan. “Alana,” gumamnya was-was. Ada asap mengepul dari arah cottage yang baru saja kami tinggalkan. Ya Tuhan, kebakaran! Semoga Nyonya Alana baik-baik saja. “Kau bisa pergi sendiri? Saya harus kembali untuk melihat keadaan Alana.” Aku mengangguk, tetapi Om Takeo tak sempat melihatnya. Dia berlari cepat menuju cottage yang disewanya. Haruskah aku pergi begitu saja? Kurasa aku harus memastikan keadaan mereka dulu sebelum pergi. Dan aku tahu jalan pintas menuju cottage, mungkin aku bisa tiba lebih cepat dari Om Takeo. Benar saja. Ketika aku tiba di cottage yang terbakar, Om Takeo tak ada di sini. Astaga, api mulai melahap cottage ini dengan sangat rakus. Lalu dimana Nyonya Alana? “Tolong! Tolooong!” Teriakan dari dalam cottage menjawab pertanyaan yang kuucapkan dalam hati tadi. Ya Tuhan, Nyonya Alana terjebak di dalam cottage yang terbakar! Apa yang harus kulakukan? Aku tak mungkin membiarkannya begitu saja! Segera kulepas jaketku dan membasahinya dengan air kran yang berada di dekatku. Lalu aku memakainya sebagai pelindung saat aku menerobos api untuk memasuki rumah. Panas sekali, kurasa ada sebagian kulit dan rambutku yang terbakar. Namun aku berusaha tak mempedulikannya. Ada nyawa yang harus kutolong. “Nyonya Alana! Dimana Anda?” teriakku memanggilnya. “Adel, saya disini,” sahut Nyonya Alana lemah. Aku menghampiri asal suara. Terlihat dirinya yang terduduk di lantai, sebelah kakinya tertindih kayu plafon yang runtuh dari atas karena sebagian terbakar. “Ya Tuhan, tunggu Nyonya. Saya akan menolong Anda.” Aku berusaha menyingkirkan kayu itu, namun sulit. Terlalu berat. Meski tanganku lecet karena menyentuh kayu panas itu, aku tak bisa mengangkatnya sedikitpun. DUAAAR! DUAAAR! Terdengar ledakan api berturut-turut disusul oleh bunyi reruntuhan kayu dari atas. Aku berusaha melindungi Nyonya Alana dengan memeluknya erat sehingga serpihan kayu panas itu mengenai sekujur tubuhku. Sayangnya, ada sebuah kayu yang menimpa wajahku. Sangat perih, tapi aku berusaha bertahan. Dapat kurasakan kulit wajahku terbakar dan terkelupas. “Nyonya tak apa?” tanyaku sembari meringis menahan sakit. Dia menyentuh pipiku dan menatapku dengan sedih. “Tak ada waktu lagi. Pergilah, Adel. Tinggalkan saya.” Aku menggeleng keras dengan mata berkaca-kaca. “Tidak. Saya tak akan meninggalkan Nyonya. Saya akan membantu Nyonya keluar dari sini!” Aku bersikukuh menolongnya. Nyonya Alana menggeleng lemah. “Tak sempat. Kalau kau nekat melakukannya, kita akan mati konyol disini. Harus ada seseorang yang selamat, dan itu adalah kamu Adel.” Aku kembali menggeleng dengan airmata bercucuran. Sangat perih, airmata yang membasahi wajahku membuat luka bakar di wajahku lebih menyakitkan. “Kalau ada seseorang yang selamat disini, itu harus Anda, Nyonya. Anda memiliki keluarga yang bahagia. Ada suami yang amat mencintai Anda. Sedang saya?” Adel menghela napas berat. “Saya sebatang kara. Paman yang menikahi bibi saya telah membunuh istrinya dan kini mengincar nyawa saya. Dia akan memburu saya, kemana pun saya pergi. Hidup ini amat melelahkan bagi saya. Mungkin Tuhan telah menakdirkan saya tewas terbakar, setidaknya tidak di tangan paman saya yang jahat!” Aku tersenyum miris. Aku tahu wajahku telah rusak karena terbakar. Aku tak mau hidup dengan cacat di wajahku ini. Hidupku akan semakin suram, aku tak sanggup menjalaninya. “Kau salah, Adel. Kehidupan kami baik, tapi tak bahagia. Suamiku, dia tak mencintaiku. Kami menikah karena dijodohkan, bukan karena cinta. Dan ....” Airmata Nyonya Alana mengalir dengan deras. “Aku sekarat, Adel. Nyawaku sudah di ujung tanduk. Aku tetap akan meninggal meski bisa keluar dari sini.” Deg! Aku terhenyak mendengarnya. Ternyata kita tak bisa melihat hidup seseorang dari luarnya saja. Siapa yang menyangka Nyonya Alana yang terlihat memiliki segalanya ternyata tak bahagia dengan hidupnya. “Nyonya, Anda harus bertahan. Saya rasa pasti ada jalan keluar, semua akan baik-baik saja.” “Bertahun-tahun hatinya tak berubah. Dia mencintai seseorang dari masa lalunya. Aku tahu itu. Sudahlah tak perlu berdebat. Tinggalkan saya, Adel.” Aku menggeleng, menolaknya. “Anggap ini permintaan terakhir saya. Kau harus keluar dari sini dengan selamat dan ... gantikan kehidupan saya!” Aku melongo mendengar permohonannya. “Apa maksud, Nyonya?” “Jadilah diriku, Adel. Gantikan posisiku dengan menjadi Nyonya Presiden. Dampingi suamiku. Cintai dan bahagiakan dia.” Apa aku tak salah mendengar? “Saya tak bisa melakukannya, Nyonya. Itu tidak fair, kita menipu dunia!” “Tak ada yang tahu kecuali kita berdua. Juga, kita tak memiliki niat jelek karena melakukannya. Lagipula, kau ingin melarikan diri dari kehidupanmu yang kejam, kan? Ini satu-satunya jalan keluar bagimu!” ujar Nyonya Alana yang berusaha membujukku. Sesaat aku tergoda, tapi tetap saja hati nuraniku tak mengizinkan melakukannya. “Mustahil, Nyonya. Kita berbeda, tak mungkin mereka percaya.” Aku berkelit, mencoba menolak keinginan aneh Nyonya Alana. “Lagipula saya adalah ... anak dari keluarga berantakan. Saya tak layak mendampingi suami Nyonya.” Itu benar. Keluargaku berantakan dan aku terpaksa menjadi anak jalanan yang melakukan kejahatan kecil-kecilan karena bibi dan pamanku yang jahat selalu memerasku untuk melunasi hutang mereka. Hidupku memang neraka, ya, kan? Di luar perkiraanku, Nyonya Alana tak merendahkan diriku begitu tahu kehidupanku yang suram. Dia menggenggam tanganku lembut. “Kamu lebih mulia diantara semua wanita yang kutemui, hatimu bersih. Aku percaya padamu, Adel. Itu sebabnya kupercayakan Takeo padamu. Bahagiakan dia. Mungkin dia sedikit keras, tapi dia baik dan penyayang. Tak sulit bagimu jatuh cinta padanya,” bujuk Nyonya Alana. Memang tak sulit, karena aku telah jatuh cinta padanya sejak jumpa pertama ... ketika aku memandang manik biru matanya yang berkilau cerah. “Jangan khawatir, wajahmu ... maaf, aku seakan mensyukurinya. Wajahmu telah terbakar dan sulit dikenali. Mereka akan mengoperasinya begitu yakin dirimu adalah diriku.” Pikiranku kacau. Sungguh kacau, hingga aku tak sadar menyanggupi keinginan Nyonya Alana yang memintaku membahagiakan suaminya. Lalu dia melepaskan cincin nikahnya dan memasangkannya ke jariku. Aku membiarkanya supaya dia tenang dulu, supaya aku bisa menyelamatkannya dengan segera. Kali ini aku berhasil menyingkirkan kayu yang menindih kakinya. Aku memapahnya hingga sampai di pintu keluar. DHUAAAR! Terdengar ledakan hebat lagi di dekat kami. Api menyambar cepat ke arah kami. Aku masih terpaku di tempat ketika Nyonya Alana mendadak mendorongku keluar cottage. Aku menjerit dari luar menyaksikan api berkobar melalap tubuh Nyonya Alana dengan hebatnya. “Tidaaak!” jeritku keras. Aku ingin menolongnya, namun apa daya pandanganku menggelap. Ya Tuhan, jangan pingsan dulu. Aku harus menyelamatkan Nyonya Alana. “Aku harus menolongnya,” racauku lemah sebelum kesadaranku menghilang. BERSAMBUNG.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN