Keadaan Fawaz

1277 Kata
"Maksudmu, dengan meninggalkan Mas Fawaz bersama hewan liar itu, apa Pier?!" kutip Ayla semakin histeris. Ia mencoba menahan isakkan tetapi derai air matanya terus turun deras. Wajahnya memang tidak ditatap Pierre secara langsung. Tapi kesedihan Ayla telah memutari palung hati pemuda tersebut. "Maaf, Mbak." Pierre berucap lirih masih bisa mendengar suara sesenggukkan Ayla dan setelahnya ponsel itu luruh dari tangannya. Pierre tidak lagi kuat menahan rasa bersalah yang menusuk tepat di jantung. Baik Irsyal, Yunus mau pun Bima melihat Pierre dengan pandangan kasihan. Tidak ada lagi mulut-mulut yang berusaha menyalahkannya. Karena mereka tahu, perasaan bersalah sudah terpatri di dalam d**a Pierre. *** "Ndok ... Ndok!" Seorang pria tua berlari tergopoh. Ia terlihat keberatan sebab sedang menggendong lelaki bertubuh tinggi besar disertai banyaknya darah yang mengalir dari perutnya. Wajahnya hampir tidak bisa lagi di kenali. Luka dan debu seakan menutupi jati dirinya. "Ndok ... Siapkan tempat tidur!" Suruh Pak Majid kepada anaknya Nimas, gadis 24 tahun yang tidak pernah pergi ke mana pun kecuali ke ladang. Bahkan Nimas tidak pernah bertemu lelaki lain selain ayahnya itu. Pak Majid memang selalu melarangnya mengikuti kegiatan warga dengan alasan takut anaknya tersesat ataupun diculik. Kata lain, Nimas adalah harta berharga yang sangat dijaganya. Disimpan rapat sebab tidak ingin anak itu rapuh termakan perkembangan zaman. Namun kali ini, pria tua itu malah membawa pulang seorang pria tampan meski pria itu berada diantara hidup dan matinya. "Iyah, Bi!" Gegas Nimas merapikan dipan terbuat dari kayu mulai lapuk dimakan rayap sehingga ketika diduduki muncul suara seperti hendak patah. Nimas membeberkan kain jarik motif kotak-kotak. Lantas mundur beberapa langkah demi memberi ruang ayahnya meletakkan beban yang sejak tadi menggelandoti pundaknya dengan hati-hati. Ketika pria itu telah terbaring di atas peraduan. Nimas segera menutup mulutnya. "Astagfirullah," pekik Nimas. Matanya melotot tidak percaya dengan pemandangan di depan matanya. "Abi. Dia kenapa?" Pak Masjid tidak menjawab. Bibirnya terus merancau kalimat istighfar dengan tangan sibuk merebahkan pria malang itu, agar tidurnya nyaman. "Bawakan air hangat, Nimas. Cepat!" Kali ini hanya itu yang mereka punya. Mustahil membawa pria malang itu keluar hutan menuju rumah sakit terdekat dengan keadaan separah ini. Andai ia nekat, yang ada pria itu cuma akan menghembuskan nafas terakhirnya sebelum sampai rumah sakit. Rumah sakit terdekat yang mereka maksud terletak sekitar satu kilometer dari sini. Perlu berjalan kaki menyusuri hutan rimba dengan segala rintangannya. Maka dari itu para warga lebih memilih membawa sanak saudaranya yang sakit ke mantri atau dukun beranak sesuai kebutuhan. Tapi sore ini, Pak Majid juga tidak bisa membawa pria malang itu ke Mantri Yanto. Karena beliau sedang pergi ke ibukota. Pun biasanya para warga sudah diberitahu jauh hari. Untuk mengantisipasi jikalau ada anggotanya yang perlu bantuan segera. Tapi kali ini keadaan di luar perkiraan. Ada seorang pria yang tidak mereka kenal terluka begitu parah. Ia luput dari pantauan sesepuh kampung untuk dilist. Karena memang pria itu bukan bagian dari kampung ini. Sedang mengabaikannya di tengah hutan juga tidak dibenarkan. Maka, satu-satunya cara yaitu nekat memberi pertolongan sendiri. Peluh membasahi dahi Pak Majid. Handuk kecil yang ia pakai untuk melap darah pria itu kini sepenuhnya telah bernoda darah. Berulang kali ia memasukkan handuk kecil ke dalam bak berisi air hangat dan mengulang basuhannya sampai terlihat luka mengangga di perut pria itu. "Eeggh!" Nimas menyerit ngeri. Tubuhnya merinding seakan ada hantu lewat. Ia tidak kuasa waktu melihatnya. Meski tidak sampai ke rongga dalam tapi tetap luka itu begitu lebar dan panjang. "Hah." Pak Majid menghembuskan nafas seraya menyesali kelengkapan kampung. Berhubung tempat ini hanya diisi beberapa kepala keluarga saja. Maka, para tetua menganggap tidak perlu sampai membangun sebuah klinik. Itu akan terlihat sia-sia, bukan? "Seharusnya Pak Rudi mau membangun klinik terdekat. Lahan warga kan masih banyak." Pak Majid merancau. Pembangunan klinik adalah idenya. Tetapi langsung dipatahkan Pak Rudi, selaku tetua desa. "Abi. Udah," rancau Nimas memegangi bahu Ayahnya. Ia terjongkok di samping Pak Majid. Mengelus keringat yang muncul di dahi ayah yang merupakan segalanya untuknya. "Nimas. Abi mau mencari tanaman herbal untuk menghentikan pendarahan. Kamu terus jaga dia. Jika darahnya keluar lagi langsung dibersihkan. Abi takut ada hewan liar lain yang merasa terpanggil dengan bau anyirnya." Sebenarnya ia segan meninggalkan lelaki itu bersama Nimas. Ia takut ada hewan predator yang mendekat dan ingin melahap pria tak berdaya itu. Tentunya Nimas tidak bisa banyak menghalau. Tapi menyuruh Nimas mencari tanaman bandotan juga sangat berbahaya. Akhirnya Pak Majid memutuskan biar ia melakukan pekerjaan itu secepat mungkin. Pak Majid tahu apa yang ingin ia cari. Sebuah tanaman bandotan diketahui mengandung senyawa asam amino yang bisa mengobati luka berdarah. Tak hanya itu, ia juga mencari tanaman obat-obatan lainnya guna meredakan rasa sakit dari luka. Mungkin pria itu tidak bisa tidur tenang menahan perih. Tapi Pak Majid bisa pastikan ia akan mengurangi rasa nyerinya. Sisi Nimas, setelah ditinggal ayahnya. Ia memandang pria asing itu dengan detail. Tangannya membelai wajah pria asing takut-takut. "Kamu siapa. Kenapa bisa terluka seperti ini?" desis Nimas. Ia melirik ke handuk kecil yang ada di tangannya. Mungkin ia bisa membasuh debu dan helaian daun yang masih menempel di wajah si pria. Nimas melakukan niatan. Jujur perasaannya berdebar karena pertama kali menyentuh pria-walau sebetulnya handuk itulah yang mengenai kulit pria malang itu. Nimas terpaku dengan wajah pria itu. Sudah pasti ia pria tampan. Nimas mengakuinya. Bulu matanya lentik dengan hidung bangir. Aura maskulin juga terlihat meski kini ia masih terbaring lemah. Nimas bertanya dalam hati. Siapakah nama lelaki itu. Apa gerangan hajat si pria sampai ia berada di hutan ini. Tidak ada tanda-tanda yang bisa ia dapati di tubuh Fawaz. Karena, Fawaz kebetulan sedang tidak memakai seragamnya. Nimas menggeleng setelahnya. Ia tahu, bukanlah waktunya mengurusi semua itu. Tapi gadis itu tetap terpaku. Menyaksikan dalam diam semua kejadian di luar nalar meski kini ia menatap korban langsung. "Eeuuhh ...!" Rintihan keluar dari sudut bibir si pria. Nimas gugup, ia mengambil handuk itu lagi dan menekan diluka pria itu. "Sakit,ya. Tunggu sebentar. Abi sedang mencarikan obat buat kamu," tutur Nimas resah. Tak tahu harus melakukan apa. Nimas menggengam tangan si pria itu erat. Pun pria itu membalas pegangan Nimas. Ia mencengkram tangan Nimas seakan mencari pegangan dari rasa sakitnya. "Sakit ... Ahk, sakit!" Fawaz meraung dengan mata terpejam. Dalam tidur menyakitkan itu, ia melihat Ayla menangis di sudut ruang. Ingin sekali Fawaz memeluk sang istri tapi punggung pria lain seolah menghalangi. "Sakit. Ahk!" jeritnya makin kencang dan serak. Bahkan kuku-kukunya menancap di tangan kecil Nimas. Nimas mengeratkan gigi merasa sakit, tapi anehnya ia tidak bisa menarik tangannya begitu saja. Nimas tahu, lelaki itu hanya mengekspresikan rasa sakit. Dan ia rela tangannya terluka demi mengurangi rasa sakit itu. "Kamu kuat. Aku tahu, kamu bisa bertahan!" Semua kata semangat Nimas ucapkan kepada pria yang baru ia kenal. Tak lama suara langkah kaki menginjak rating kering terdengar. Nimas spontan menoleh. Ia sangat takut jika itu bukan langkah Pak Majid. "Nimas. Abi sudah mendapatkannya." Nimas bisa bernafas lega karena ternyata benar abinya. Secepat kilat Nimas menarik tangan dan berdiri. "Nimas. Tolong tumbuk dedauan ini semua,ya. Dicampurkan. Cepat, Nak." Nimas menjalani titah sang ayah tanpa banyak tanya. Ia pergi ke dapur dan sebentar saja dedauan herbal itu sudah remuk sehingga siap dipakai. "Abi. Kok dia bisa kayak gini, sih?" Nimas sekalian menyerahkan ramuan tanaman itu ke tangan ayahnya. Sembari membalurkan ke luka Fawaz, Pak Majid menceritakan pengalamannya mengapa bisa bertemu pria malang itu. "Gini, Ndok. Tadi Abi lagi mengitari hutan area timur. Lantas Abi mendengar suara bising. Untung saja Abi membawa senapan. Apa yang Abi takutkan terbukti. Ada seseorang yang sedang diterkam babi hutan. Langsung saja Abi menghunuskan senapan dan menembak mati babi itu. Dan pria malang ini, Abi bawa ke rumah kita." "Ma Syaa Allah, Bi. Jadi dia terluka karena serangan babi hutan?" ulang Nimas tidak percaya. Pantas saja, keadaannya sangat mengenaskan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN