Prolog

550 Words
Seminggu sekali Wijaya pulang ke rumah, karena tempat ia bekerja jauh dari rumah dan berbeda wilayah walaupun satu kota. Semua itu dilakukan agar menghemat waktu dan biaya yang dikeluarkan, ditambah ia pun tidak terlalu lelah di jalan karena harus bolak balik kantor dan rumah. Biasanya ia selalu pulang di hari Jumat malam dan kembali ke kost pada minggu malam. “Bu, besok saya ajak teman dekat saya ke rumah ya,” ucap Wijaya di Sabtu pagi, ketika mereka sedang sarapan. Hanifah yang mendengar putra tunggalnya menyebutkan seorang teman dekat, seketika melirik dan mengernyitkan dahi, tanpa berusaha menyela atau bertanya. Ia dengan santai tetap menyendok sayur pare kegemarannya dan mencomot satu potong tempe dan tahu goreng. Lalu ia menikmati sarapan tanpa menanyakan kembali pada putranya tentang teman dekat yang ia maksud. Wijaya yang melihat sang ibu tidak merespons, tidak berani bertanya lagi. Yang dilakukan adalah tetap mengunyah makanan yang telah berada di mulutnya secara perlahan dan terus menjelajahi pikirannya. Sekitar dua puluh menit kemudian, mereka selesai menikmati sarapan. Terlihat mbok Ijah, merapikan piring sisa makan mereka dan merapikan lauk pauk yang masih tersisa. Lalu, Wijaya berjalan mengikuti ibunya yang berjalan menuju teras rumah. Sesampai di teras, mereka duduk berdampingan pada sebuah bangku kayu jati dengan ukiran Jepara. “Bu, Jaya ingin bicara serius.” Bu Hanifah hanya menoleh ke arah Wijaya, menatap tajam wajah putranya yang telah berusia dua puluh tujuh tahun. Wijaya yang melihat ibu yang menoleh ke arahnya, dengan membulatkan hati untuk membicarakan hal yang penting bagi hidupnya. “Ibu, saya telah punya teman dekat yang akan saya kenalkan pada ibu, namanya Nilam, hemmm kami telah menjalin hubungan sejak kami kuliah Bu,” ujar Wijaya. “Dia memang berasal dari Desa, tetapi sejak remaja sekolah di Jakarta ikut pamannya, karena ia seorang yatim piatu.” Sejenak Jaya menghentikan kata-katanya, menunggu respons atas perkataannya. “Lalu...?” tanya Hanifah pada putranya dengan wajah dingin. Karena sebenarnya ia sudah paham dan mengerti maksud dari putranya. Hanya saja, sejak awal Hanifah telah memberikan peringatan keras, masalah jodoh adalah hak dia sebagai ibu yang menentukannya. “Bu, saya ingin ibu mengenal Nilam, dan kami ingin meminta doa res____.” Belum selesai Wijaya menyelesaikan apa yang akan diucapkan, Hanifah telah memotong kata-katanya. “Cukup Jaya! Jauh-jauh hari ibu sudah wanti-wanti sama kamu, kalau ibu sudah punya calon istri untuk kamu, dan tolong jangan membantah kata-kata ibu. Jangan buat ibu malu, Jaya,” di akhir kata Hanifah melunakkan intonasi ketika meminta Wijaya untuk memahami kondisinya. Karena ia sadar, kalau perjodohan ini tanpa persetujuan dari putranya. Tetapi janji yang telah diucap tidak mungkin ditarik kembali oleh Hanifah. Mendengar penjelasan ibu yang memang sejak Sekolah Menengah Atas telah diutarakan padanya, membuat Wijaya terdiam. Baginya percuma saja bila menjelaskan apa pun pada ibu, jika jawabannya adalah tidak. Persoalan ini yang membuat ia dan Nilam terus menunggu restu, hingga mereka berusia dua puluh tujuh tahun. Desakan keluarga Nilam, terutama pamannya sebagai wali dari kedua orang tua Nilam untuk secepatnya menikah, membuat Wijaya terus memikirkan jalan keluar yang terbaik bagi semua. Penolakan ibu atas Nilam yang dicintanya, membuat Wijaya mengambil sebuah keputusan yang kelak akan menjadi masalah besar bagi Nilam, ia dan wanita yang dijodohkannya. Karena ini adalah awal dari kebohongan kecil yang akan menjadi kebohongan lainnya yang kelak akan menjadi sebuah gunung kebohongan yang akan meledak setiap saat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD