BAB 1

1077 Words
-Terkutuklah bocah jaman sekarang, baru aja TK udah ngomongin pernikahan. Mereka pikir, nikah itu segampang ngayunin lidah?- __    Setelah kemarin menolak ajakan Rifky secara langsung, hari ini Stefanny harus kembali menahan kejengkelan di hatinya. Tak sengaja, ia mendengar dua orang anak berumur lima tahun sedang bicara di halaman sekolah. Tentang sebuah pernikahan, rumah tangga, kebahagiaan. Menggeleng, wanita itu memilih menatap meja kerjanya yang masih penuh dengan tumpukan kertas putih. Tak lupa ia memeriksa jam yang ada di mejanya, baru pukul delapan, satu jam dari sekarang Sava akan selesai dengan kelasnya.    "Mbak, dari tadi ngelamum terus"    Suara bass Reno membuat Stefanny kaget, ia mengalihkan tatapannya dan melayangkan pulpen di tangannya. Sukses menghantam kening Reno, "Kamu tuh ya, suka ngagetin orang!" tegas Stefanny.    "Ya maaf, Mbak. Abisnya, ngelamun aja dari tadi," jawab Reno sembari mengelus kening lebarnya.    "Cuma lagi mikir, Ren." Stefanny bersandar di kursi, "tadi, Mbak gak sengaja denger anak-anak umur lima tahun pada ngobrol." Stefanny terkekeh.    Reno menatap heran, "Lalu?" tanya pria itu pelan, ia menunggu Stefanny yang malah tertawa lantang. Beberapa pegawai menatap mereka penuh tanya.    "Udah, nggak usah Mbak kasi tau aja ke kamu," jawab Stefanny di sela tawanya. Ia bangkit berdiri, menatap empat orang bawahannya yang balas menatapnya bingung.    "Mbak, sehat?" tanya Selly, dia adalah bawahan Stefanny yang membantu di gudang pupuk dan racun. Gadis berumur sembilan belas tahun, adik sepupu Stefanny dan baru bekerja satu tahun belakangan.    "Mbak Stef, abis obat?" kali ini Herman, dia mengawasi gudang bahan bangunan, berumur dua puluh tiga tahun dan baru bekerja tiga tahun, sama seperti Reno.    Stefanny menatap dua bawahannya yang memilih diam, tatapannya jatuh pada seorang gadis muda, umurnya sekitar dua puluh dua tahun. Esti yang bekerja di gudang bahan pertanian, ia mengawasi bibit, "Es, ntar kamu ikut Mbak ke gudang ya. Ada beberapa bibit yang perlu dikeluarin."    "I-iya Mbak." Esty menelan ludahnya kasar.    "Kok tegang?" tanya Stefanny.    "Mbak, Esti lupa bilang. Kalo Mang Syarif balikin bibit kacang yang kemaren dibeli. Katanya, konsumen dia nyari jenis yang lain." Anwar yang tahu masalah Esti mencoba untuk bicara, ia tahu Esti masih baru dan tentu takut dengan Stefanny. Esti baru bekerja dua bulan terakhir, dan ini kali pertama dia menangani pembelian bibit setelah di ajari dengan ketat oleh Stefanny.    "Kemasannya rusak nggak?" tanya Stefanny. Ia terlihat biasa saja.    "Enggak Mbak," jawab Esti sambil menunduk.    "Mang Syarif emang cerewet orangnya, tapi … puji Tuhan dia gak pernah rusakin barang. Maklum aja, dia juga nurutin maunya petani." Stefanny tersenyum, ia sudah terbiasa menghadapi Syarif, seorang pemilik toko bibit pertanian.    "Mbak, beberapa pakaian di gudang ada yang digigit tikus. Itu, harus di gimanain? Soalnya, kalo saya yang lapor ke Bos, bakalan kena omelan pedas." Anwar menggaruk kepalanya, ia terlihat salah tingkah dengan tatapan mata Stefanny yang langsung menajam. Anwar baru bekerja dua tahun, mengawasi gudang kain dan pakaian. Ia juga harus mengawasi peralatan rumah tangga yang digabung menjadi dua bagian di gudang itu. Umur Anwar dua puluh lima tahun, sudah dewasa dan bisa diandalkan.    "Gini aja, War. Kamu data berapa banyak yang rusak, terus laporin ke Mbak. Nah, kamu juga bantu-bantu bersihin gudang. Jangan lupa, pasang perangkap tikus."    Mendengar perintah Stefanny, Anwar hanya mengangguk. Ia meraih buku dan pulpen lalu berpamitan pergi. Suasana kembali terkendali, Stefanny tersenyum senang dan menatap empat bawahannya yang tersisa. Hari ini, waktunya dia memeriksa gudang dan mengurus beberapa data pembelian barang.    "Mbak, kita mulai dari gudang mana?" tanya Reno.    "Gudang makanan," jawab Stefanny sambil melangkah pergi. …    Setelah kesibukannya usai, Stefanny menatap laporan yang ia dapatkan. Beberapa barang yang sudah terlalu lama di gudang segera dikeluarkan. Setiap tahun, Stefanny akan mengadakan pelelangan barang. Dia jelas saja tak ingin merugi dan terus mempertahankan barang lama.    Sedang dalam keadaan serius, Stefanny harus dikagetkan dengan suara alarm dari ponselnya. Wanita itu mengembuskan napas, lalu meraih benda persegi panjang itu. Stefanny berdiri, ia menatap Anwar yang ada di ruangan bersamanya dan menghampiri meja kerja pria muda itu.    "War, Mbak mau jemput Sava dulu. Kamu, tolong awasin Reno sama Selly ya."    "Iya, Mbak. Teneng aja, ntar Anwar pukul pakek palu Thor kalo mereka nakal." Anwar terkekeh. Ia menatap Stefanny yang hanya menggeleng pelan, "skalian antar Sava pulang?" tanya pria itu lebih lanjut.    "Iya, di rumah juga ada pengasuhnya. Ya udah, Mbak jalan dulu ya."    "Iya Mbak, hati-hati."    Stefanny mengangguk, wanita itu meraih tas kecil dan ponsel yang ada di mejanya. Ia segera melangkah pergi, keluar dari ruangan dan menuju tempat parkiran. Panas tidak terlalu terik, tetapi cukup menyengat. Stefanny segera saja mengendarai motornya dan pergi dari kawasan tempat ia bekerja.    Perjalanan cukup jauh, dia harus menjemput anaknya yang menuntut ilmu di TK Bruder Nusa Indah, Pontianak bagian selatan . Bukannya tidak ada sekolah yang dekat dari rumahnya, Stefanny selalu berusaha mencari hal terbaik bagi putri kecilnya.    Sialnya, perjalanan tidak berjalan mulus. Saat berada di lampu merah, Stefanny harus berhenti cukup lama dan menahan rasa kesalnya. Jika begini, dia akan terlambat dan membuat anaknya menunggu. Wanita itu meraih ponsel yang ada di saku celananya, lalu menghubungi salah satu guru yang menjadi pembimbing di TK itu.    "Halo, Ibu Stefanny," suara itu terdengar begitu ramah.    "Bu Sinta, bisa tolong jaga Sava bentar aja nggak? Saya masih di jalan, kejebak macet ini." Stefanny menatap lampu merah, tidak ada tanda-tanda akan menjadi hijau dan membuatnya semakin khawatir.    "Loh, bukannya suami Ibu yang jemput?" tanya Bu Sinta.    Suami? Seketika Stefanny panik. Bagaimana mungkin ayah kandung Sava datang tanpa pemberitahuan. Yang ia tahu, mantan suaminya seseorang yang sibuk dan tidak akan sempat mengunjungi dia dan Sava. Baik, bukan dirinya, lebih tepatnya mengunjungi Sava.    "Halo Bu," suara di seberang sana kembali menggema.    Stefanny tersadar, "Udah lama Bu perginya?" tanya Stefanny.    "Masih di depan Bu. Sava lagi makan di warung," jawab Bu Sinta.    "Bu, tolong tahan. Jangan sampai mereka pergi, saya akan kesana secepat mungkin!" tegas Stefanny.    "Baik, Bu."    Sambungan telepon terputus, Stefanny segera menyimpan ponselnya. Wanita itu terlihat gelisah, ia menatap lampu merah yang masih setia menyala. Ditatapnya beberapa pengendara motor yang sama gelisahnya, semua orang sedang mengejar waktu dan mereka harus bersabar karena peraturan lalu lintas.    Lima belas menit berlalu, akhirnya lampu hijau menyala. Dengan cepat, Stefanny melajukan motor ninja-nya dan membelah jalanan kota. Dia hanya punya waktu dua puluh menit lagi untuk sampai di TK anaknya, rasa khawatir semakin menjadi dan membuatnya mau tak mau semakin melajukan kendaraannya.    "Sial!" maki Stefanny pelan, ia mencari jalan pintas dan harus berbelok ke arah gang-gang kecil. Untung saja, semasa remaja dulu dirinya sering menjelajahi kota dan tahu banyak jalan pintas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD