Chapter 2

1853 Words
            Mereka tiba diruang kelas A. Ruangan yang cukup luas untuk diisi 15 siswa. Fasilitasnya sangat lengkap. Semua serba modern dan praktis. Jendela-jendela besar berjajar di sepanjang dinding. Memberi penerangan yang cukup untuk kelas itu. Ruangan yang dibuat senyaman mungkin untuk belajar.             Pak Abraham membagi tempat duduk bagi para siswa dan menentukan siapa yang menjadi ketua kelas, wakil dan sederet penanggung jawab kelas yang lain. Dan tentu saja Zachery yang terpilih menjadi ketua kelas.             “Baiklah. Mulai besok kalian akan langsung mulai pembelajaran. Kegiatan orientasi dan kegiatan yang lain akan dilakukan setelah tes penetuan bulan depan. Jadi untuk sekarang fokuslah dulu dalam belajar agar kalian terpilih menjadi penghuni Asrama Red Orchid. Mengerti?”             “Mengerti pak.” Seluruh kelas menjawab secara bersamaan. “Untuk sekarang, ketua dan wakil ketua ikut saya ke kantor. Ambil jadwal dan buku pelajaran lalu bagikan pada teman sekelas.”             Zachery nampak malas. “Kenapa harus aku yang jadi ketua kelas?” Dia bergumam pelan.             “Pfftt.” Rachel tersenyum senang mendengar gumaman Zach. Rasain deh! Orang sok akrab.             Zachery mendengar Rachel tertawa. Meski itu menertawakan dirinya. Dia tersenyum lega. Well, setidaknya dia sudah bisa tersenyum. Sejak tadi pertama melihatnya… Dia terlihat menyedihkan.             “Hei Dylan. Ayo kita ke kantor.” Zach menunggu wakil ketua kelas itu di ambang pintu. Dylan beranjak dari duduknya. Tanpa senyum, tanpa berkata apapun. Diam. Benar-benar anak yang misterius. Rachel yang duduk tak jauh darinya bahkan bisa merasakan hawa dingin yang meremangkan bulu kuduk.             “Wow, mereka keren banget nggak sih?!” Gadis-gadis di kelas langsung berisik begitu Zach dan Dylan sudah keluar kelas. “Bener banget! Pasangan ketua dan wakil di kelas kita bener-bener kece. Yang satu tampan dan baik hati, satunya lagi dingin dan misterius. Uwuuu, kita bakal dapat vitamin gratis tiap hari kan…”             Dan obrolan seperti itu terus berlanjut. Anak-anak perempuan memang tak bisa lepas dari gosip. Apalagi kalau tentang cowok keren? Meskipun mereka murid-murid terpintar di sekolah itu. Tapi perempuan tetaplah perempuan kan?             Rachel sama sekali tidak tertarik dengan pembicaraan anak-anak itu. Apa sih yang mereka ributin? Yang satu sok akrab. Yang satu lagi kayak hantu. Serem banget. Misterius apanya?             Tak berapa lama, Zach dan Dylan kembali dengan membawa setumpuk buku paket, denah sekolah dan jadwal pelajaran untuk anak satu kelas. Semua di distribusikan satu per satu pada semua anak.             “Setelah ini tidak ada kegiatan apapun kata pak Abraham. Jadi kita bebas melakukan apapun. Tapi baru boleh pulang setelah jam 1 siang ya. Kalian bebas mau ke perpus atau ke kantin. Yang penting jangan pulang dulu.” Zach memberi instruksi dengan lancar. Dia memang berbakat menjadi pemimpin.             Sebagian anak menghambur keluar kelas setelah Zach selesai bicara. Sebagian lagi memilih tetap didalam kelas. Belajar!! Tipikal anak teladan. Well, ini memang kelas unggulan kan?             “Rachel, mau ke kantin? Lapar nih.” Lagi-lagi Zach dengan aksi sok akrabnya. Zach duduk di kursi di depan Rachel yang kosong ditinggalkan pemiliknya. “Gimana?”             “Zach! Apa kamu tidak bisa berhenti mengajakku bicara? Aku benar-benar merasa terganggu!” Rachel sudah mulai kehabisan kesabaran menghadapi Zachery.             Zach tersenyum dengan sangat memikat. “Ahh, akhirnya kamu memanggil namaku Rachel.” Dan hasilnya, Rachel mendengus sebal.             “Apa kamu tidak penasaran dengan apa yang kukatakan tadi?” Zach memandangnya dengan intens. Rachel sedikit tersentak. “Bagaimana kalau aku bilang aku punya tujuan yang sama denganmu?” Kata-kata Zach kembali terngiang diingatannya.             Rachel akhirnya mengalah. “Baiklah, ayo ke kantin.” Mereka berdua beranjak keluar kelas. Menuju kantin yang cukup jauh dari kelas 1A. Rachel sempat menangkap dengan ekor matanya, Dylan… memandang mereka dengan tatapan yang sangat dingin… Membekukan.                                                                                 ******               Kantin begitu ramai sesak dengan anak-anak. Karena anak tingkat 1 belum mulai pelajaran. Banyak yang mengisi perut di kantin atau hanya sekedar mengobrol dengan teman-teman baru. Zach dan Rachel sendiri memilih tempat duduk yang paling ujung. Agar mereka bisa mengobrol dengan leluasa.             “Jadi, apa maksud perkataanmu tadi?” Rachel memulai percakapan setelah menyesap lemon tea miliknya.             Zachery tak langsung menjawab. Dia memandang Rachel dalam diam. Entah apa yang sedang dipastikannya.             “Rachel… Kamu… adik Raymond Nadean kan?” Zach berkata lirih. Tak ingin ada orang lain yang mendengar pembicaraan mereka.             Rachel terkejut mendengar nama kakaknya disebut. Jadi dia benar-benar tahu apa tujuanku masuk sekolah ini? Bagaimana dia bisa tahu?             “Bagaimana kau tahu?” Rachel masih tak percaya dengan pendengarannya. Selama ini, kasus itu tidak pernah dibahas lagi. Orang-orang seolah melupakan ada 4 orang yang menghilang. Mereka menjalani hidup seperti biasa, tanpa memikirkan bagaimana rasanya keluarga yang kehilangan orang tersayang mereka.             Zachery kembali diam. Dia menoleh ke kanan dan kiri. Memastikan tidak ada yang akan mendengar pembicaraan mereka. “Aku juga punya tujuan yang sama denganmu. Diana White.. dia adikku.”             Mata Rachel membesar penuh keterkejutan. Dia ingat, salah satu anak yang hilang bersama kakaknya ada yang bernama White. Jadi… Aku tidak sendiri? Entah mengapa… Ada sedikit kelegaan dihati Rachel. Setidaknya dia tidak sendirian. Setidaknya ada yang akan membantunya mencari kakaknya. Bagaimanapun juga, Rachel hanyalah gadis 15 tahun yang hanya tahu bagaimana caranya bermain piano. Hanya tekad yang dia miliki yang membawanya sampai sejauh ini…             “Kalau begitu kamu akan membantuku kan?” Rachel berkata penuh antusias. Cara bicaranya berubah 180 derajat. Dia tidak lagi memakai topeng keras dan sulit didekati. Dia kembali menjadi dirinya yang sebenarnya.             “Sttt. Pelankan suaramu.” Zach terkejut melihat perubahan sikap Rachel.             “Ahh… Maaf.” Rachel menyadari kesalahannya. Dia melihat ke sekitarnya dengan kikuk.             “Kita pindah saja. Disini terlalu banyak orang.” Zach mendahului bangkit dan mereka pergi keluar kantin. Mencari tempat yang lebih nyaman untuk berbicara.                         Rachel dan Zacheri duduk dibangku taman dibawah pohon yang cukup rindang. Mereka duduk dalam diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.             “Jadi… Kamu akan membantuku kan?” Tanya Rachel setelah mereka terdiam cukup lama.             “Tentu. Tujuan kita sama. Akan lebih baik jika kita saling membantu.” Zach berkata dengan lembut.             “Hei, apa sejak awal kamu tahu kalau aku adalah adik Raymond?” Tanya Rachel penasaran.             “Tidak. Aku tahu saat pak Abraham menyebutkan namamu. Aku sangat terkejut saat mendengar nama Nadean disebut.”             “Lalu, mengapa dari awal kamu terus mendekatiku dengan sok akrab begitu?” Rachel ingat betapa menyebalkannya Zach saat dia terus saja mengajak Rachel mengobrol.             “Ahh..” Zach tertawa kecil. “Aku sengaja mengganggumu.”             Rachel melotot marah. Dia tak habis pikir ada orang yang dengan sengaja mengganggunya. Mereka bahkan tidak saling kenal kan?             “Kamu mengingatkanku pada Diana... Dia sangat tomboy. Dia tidak bisa bersikap seperti anak perempuan. Dia juga tidak pandai mengungkapkan sesuatu dengan kata-kata. Saat pertama kali melihatmu, aku begitu terkejut. Potongan rambutmu, perawakanmu, dari belakang, kamu sangat mirip dengannya Rachel.” Zachery menerawang. Mengingat adik yang begitu disayanginya. Matanya memerah menahan tangis. “Adikku yang sangat manis itu... Bagaimana bisa ada orang yang tega menyakitinya... Bagaimana bisa ada orang yang....” Zachery tak mampu melanjutkan kata-katanya. Tenggorokannya tercekat. Berusaha menahan tangisnya agar tidak tumpah.             Rachel menepuk bahu Zach pelan. “Kita pasti bisa menemukan mereka. Pasti!! Aku sudah mempertaruhkan semuanya agar bisa sampai disini. Aku tidak akan pulang dengan tangan kosong.”             Zachery memandang Rachel. Berusaha tersenyum meski hatinya begemuruh penuh kesedihan. Zach menepuk kepala Rachel dengan lembut. “Tentu. Kamu hebat gadis kecil. Aku bisa melihat sebesar apa sayangmu pada kakakmu. Ayo kita bekerja sama.” Zach menyodorkan jari kelingkingnya pada Rachel.             Rachel menyambutkan dengan segera. “Ayo kita bekerja keras.” Mereka berdua tersenyum. Senyuman diatas hati yang berdarah.             “Jadi.. Kita berdua harus bisa masuk ke asrama. Aku yakin pasti ada petunjuk yang tertinggal disana.” Rachel berbicara penuh tekad.             “Ya. Aku sih yakin pasti masuk.” Zach menyeringai. Sengaja membuat Rachel sebal. Dia tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan.             “Oh Well. Tentu saja tuan rangking satu. Tapi jangan meremehkanku! Aku juga jenius. Aku hanya menyembunyikan kepintaranku.” Rachel terlihat tidak mau kalah.             Mereka terdiam cukup lama. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Rachel yang sedikit lega karena sekarang dia tidak sendirian. Dan Zachery yang... terbebani? Dia memandang Rachel dalam diam. Bagaimanapun juga, Rachel hanyalah gadis kecil. Dan yang akan mereka hadapi adalah penyelidikan yang berbahaya. Bagaimana kalau Rachel hanya akan menghambat jalannya? Namun, Zach juga tidak tega jika harus meninggalkan gadis itu sendirian. Dia bahkan lebih muda dari Diana...             “Hei Zach... Dari tadi ada yang mengganggu pikiranku.” Rachel memandang Zachery dengan intens. Menilai penampilan orang yang ada di depannya itu. Penampilan luarnya memang seperti anak SMA. Namun entah mengapa, tatapan matanya terlihat sangat dewasa. Lagipula... bila diperhatikan, garis wajahnya, rambutnya yang menjuntai di dahi, badannya yang cukup kekar, bagi Rachel itu terlihat seperti kamuflase untuk menyembunyikan identitasnya.             “Apa?”             “Kamu... Berapa usiamu? Kamu terlihat terlalu tua untuk menjadi anak SMA.” Zachery tersentak kaget. Dia sudah berusaha mendandani dirinya agar terlihat semuda mungkin. Dia sudah mengubah gaya rambut dan melepas kacamatanya. Well, kalau wajah tampanku memang tidak bisa disembunyikan kan?             Zachery menyeringai dengan sangat menggoda. Dia mendekat ke arah Rachel. “Berapa menurutmu?” Zachery balik bertanya, setengah berbisik.             “Ehmm, 25?” Jawab Rachel dengan sangat tepat.             Zachery terperangah. Tidak menyangka Rachel akan menebak dengan sangat tepat. “Hei.. Apa aku benar-benar tak kelihatan seperti anak SMA ya? Padahal aku sudah berusaha tampil semuda mungkin.”             Rachel tersenyum kecil. “Tidak, jika orang lain, mereka tidak akan bisa membedakan. Paling hanya mengira kalau kamu punya wajah yang karismatik dan dewasa. Tapi aku berbeda. Aku cukup jeli membaca wajah. Karena nya, umurmu yang sebenarnya sangat terlihat dimataku.”             Zachery memandang Rachel dengan lembut. “Kamu lebih cocok dengan kepribadianmu yang seperti ini. Pura-pura keras dan jutek sama sekali nggak cocok denganmu.”             Rachel tersenyum kecil. “Ini diriku yang sebenarnya. Sudah hampir setahun aku tak bisa tersenyum. Topeng keras dan jutek tadi bukanlah pura-pura. Tapi karena hatiku memang mulai membeku. Aku harus membekukan hatiku agar aku tidak terlalu merasakan sakit.” Air mata mulai menetes di kedua mata Rachel. “Setiap kali aku ingat kakak, rasanya sangat sakit... Bagaimana kalau aku tidak bisa bertemu dengannya lagi? Bagaimana kalau kakak tidak pernah kembali.”             Zacheri menepuk-nepuk pundak Rachel yang tangisnya semakin deras. Dia membiarkan Rachel menangis sepuasnya. Meski menangis tak akan menyelesaikan masalah apapun. Setidaknya dengan menangis, kita bisa meluapkan emosi kita, meski hanya sesaat.             “Sudah?” Tanya Zach saat Rachel sudah tak lagi sesenggukan. Sudah setengah jam lebih Rachel menangis. Dan Zachery dengan sabar menemaninya. “Ini yang terakhir ya. Setelah ini kamu harus kuat. Mengungkap sesuatu yang bahkan polisi saja tidak mampu bukanlah hal mudah. Dan aku yakin, akan banyak fakta kejam, hal-hal yang mengerikan yang sedang menunggu kita. Jadi, kuatlah. Pakai lagi topeng dinginmu jika itu memang bisa membantu menguatkanmu.”             Rachel menatap Zachery lama. Ada sedikit rasa takut yang bertumbuh di dalam hatinya. Namun Rachel langsung menepisnya jauh-jauh. Zach benar, Ada banyak hal yang sedang menunggu mereka. Dan mereka harus siap menghadapi apapun yang menghadang mereka di depan sana.             Rachel menyeka bekas air matanya. Ekspresi wajahnya berubah dingin. Aku tidak boleh terbuai dengan perasaanku. Tak perlu menunjukkan emosiku. Aku hanya perlu fokus pada tujuanku.             “Ayo kembali ke kelas. Aku harus belajar.” Rachel kembali menjadi pribadi yang dingin dan sulit di dekati.             Zachery tersenyum. Meski dia lebih menyukai Rachel yang sebenarnya, kalau memang dengan menjadi dingin membantunya kuat. Itu lebih baik.             “Baiklah nona manis, kita ke kelas sekarang.” Mereka bangkit dari duduknya dan berjalan berdampingan menuju kelas 1A. Mereka saling diam. Seperti orang yang tidak saling mengenal. Sibuk dengan pikiran masing-masing.                         Mereka berdua tidak menyadari, bahwa sedari tadi, Dylan mengamati keduanya dari balik jendela di kelas A. Dengan tatapannya yang sedingin es. Entah apa yang ada didalam pikirannya.                                                                 *******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD