t i g a

1089 Words
Pagi ini senyum seorang Sella tampak lebih manis dari biasanya tentu di sebabkan oleh sang abang yang baru tadi malam pulang setelah beberapa Minggu mengurus dan memantau pembangunan cabang restorannya di daerah Jawa Barat, tepatnya di Bandung. “Adek, kok tumben senyumnya manis banget,” sindir Etty. Sella terkekeh manis, lalu menjawab dengan ceria jika nanti ia akan diajak abangnya untuk quality time. Alan hanya tersenyum kecil melihatnya, gemas sendiri. Ia rasa sudah lama sekali meninggalkan adiknya, sedari kecil mereka berdua bak prangko yang tak mau lepas satu sama lain. Setelah sarapan bersama kini Sella diantar oleh Alan menuju sekolah, di dalam mobil tidak hening karena lagu Tatu mengalun sedikit keras diikuti oleh suara merdu milik Sella. “Tak gintang gintang gintang …,” nyanyinya dengan semangat, Alan hanya bisa menggeleng pelan meski ia juga menikmati lagu itu. “Udah sampai,” kata Alan. Sella menatap ke luar jendela sekilas, lalu menyalimi tangan kakaknya, Alan tersenyum kecil dan mengusap kerudung putih itu membuat sang empunya memberengut tak suka karena dirasa kerudungnya berantakan akibat usapan Alan. Sekolah masih terlihat sepi meski jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh lebih satu menit, di kelasnya pun hanya ada beberapa siswa saja. Rena juga belum datang, memang terkadang sekolah seperti itu, apa kalian pernah merasakan? Sella memilih duduk di kursi Rena untuk menempelkan tubuhnya pada tembok putih yang dingin, tangganya mulai men-scroll layar perusak mata dengan semangat. Menggunakan WiFi sekolah mungkin lebih menyenangkan untuk streaming atau mendownload beberapa kumpulan lagu favoritnya. Sella mengambil buku kecil berwarna baby blue dari dalam tasnya, tadi malam ia sudah menuliskan beberapa lagu yang harus ia download di sekolah. Mumpung ada internet gratis begitu pikirnya. Download Lagu: - Suket Teki - Sepine wengi -Dalan Anyar -Mundur alon-alon -Dalan liane -Gede roso Lagu pertama dan kedua sudah selesai, dan ia kembali mengetikkan judul lagu selanjutnya di papan keyboard. Tepukan bahu diikuti salam dari Rena ia jawab dan hanya menatapnya sekilas dengan senyum manis, sebelum kembali mengalihkan pandangannya dari benda pipih itu menelusuri kira-kira ia harus mendownload versi official nya atau versi covernya. Jari telunjuknya ia ketukkan di pelipisnya; berpikir. Lima menit Rena hanya menatap Sella jengah, sebelum ia kembali bersuara menyuruh tukar tempat duduk karena bel masuk berbunyi. Seorang guru dengan perawakan gagah dan lumayan tampan memasuki kelasnya, semua siswi di kelas tampak sedikit riuh. Sepertinya ini guru pengganti atau guru baru dari Pak Simon. Guru mapel IPA–matematika. Tidak ada perkenalan guru itu langsung duduk dan menyuruh para murid membuka buku paket halaman 45, pelajaran terakhir bersama pak Simon minggu lalu. “Pak Simon bilang jika materi ini sudah dijelaskan Minggu lalu, beliau juga bilang semua murid saat ditanya menjawab 'paham' saya minta nama yang saya sebut untuk segera maju ke depan mengerjakan soal dari saya,” ujar guru itu tegas. Semua murid tampak sedikit jengkel mengingat Pak Simon tidak pernah setegas ini, beliau lebih ke guru kalem dan penuh kesabaran mengajarkan mereka sampai benar-benar paham, namun saat dengan guru baru tiba-tiba saja langsung diberi soal, tanpa mengenalkan dirinya terlebih dahulu. Ketar-ketir, membolak-balik buku, merapal rumus dadakan dan berdoa sebisa mungkin agar tidak menjadi sasaran soal guru pengganti itu. Berbeda dengan Sella ia memilih santuy membolak-balik buku merapal sedikit rumus untuk memastikan jika dirinya masih hafal beberapa rumus cepat yang di ajarkan sang bunda dan ayahnya. Sedangkan Rena tampak gelisah meremas tangan Sella yang berada di bawah meja. Sungguh ia lupa tidak belajar tadi malam karena kelelahan. “Ehm … laki-laki yang berada di barisan kedua dari belakang pojok kiri.” semua mendesah lega, seorang laki-laki yang ternyata adalah Ujip itu tampak sok tenang meski ia ingin berteriak meminta tolong sang mami mudanya. Ujip berjalan kaku ke depan kelas, menghadap guru baru yang menyuruhnya menuliskan dan menjawab soal di papan tulis. Matanya membulat saat selesai menulis soal, rumus-rumus yang tadi ia hapal seakan sirna di otaknya, blank. Lima menit Ujip hanya bisa mengerjakan separuh dengan rumus yang ia coba ingat mati-matian. “Ehm, maaf pak saya cuma bisa mengerjakan sampai sini,” ujar Ujip, menatap penuh sopan santun pada sang guru yang nampak masih sangat muda. Guru baru itu menoleh sekilas, lalu kembali menatap ke arah murid yang tampak menunduk seperti tengah berdoa. “Selalluna Nugroho,” ucapnya sedikit keras. Sella yang tengah memejamkan mata sambil menghafal rumus terlonjak kaget dengan mata membulat, segera saja ia bangkit dan berjalan pelan ke depan. “Kerjakan ulang.” nada datar dan syarat akan perintah. Sella mengambil penghapus dan mengerjakan ulang soal yang ternyata sangat mudah menurutnya. “Selesai.” tak sampai lima menit. Guru itu sedikit kaget terlihat dari raut wajahnya. “Sebaiknya kau ajari juga pacarmu, duduk.” Sella dan Ujip memelototkan matanya, pacar? Astaghfirullah. Apa-apaan? Namun apa daya ia saja tidak kenal dengan guru baru ini, jadi yasudahlah anggap biasa saja. Sella duduk kembali dan mendengarkan penjelasan guru baru itu dengan tenang. ——— Sambil bermain ponsel, bibir Sella sedari tadi tidak berhenti mengoceh ini itu. “'Kan, aku takut jadi fitnah. Guru aja udah bersalah sangka sama aku, padahalkan aku bukan pacarnya Ujip,” ujarnya kesal. “Iya, sebaiknya kamu jangan terlalu dekat sama cowok entar jadinya fitnah, malah kita yang dosa.” “Emm, bener juga ya. Tapi kok guru baru itu langsung nyimpulin gitu ya, aneh ga sih dia kan belom tau apa-apa,” bebernya dengan kesal.. “Maybe.” “Jadi, aku sama Ujip nggak bisa konser bareng di kelas?” Sella sedikit merasa tak enak dan kurang saja rasanya karena sudah hampir dua tahun ia hanya akrab pada Ujip. “Sebaiknya gitu Sell,” suara bariton dari arah pintu masuk kelas membuat kedua gadis itu menoleh. Ujip berjalan dengan merangkul Egar– sahabatnya. “Gue takut fitnah, menurut buku yang mimud gue kasih nih, fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan,” ujarnya berlagak seperti guru. “Mimud siapa, Ji?” Egar menatap Ujip penasaran sebelum kepalanya terdorong ke belakang. “Lo temenan sama gue udah dari orok Mimud gue aja gatau Lo! Mimud Gar! Mami Muda gue!!!! Emak gue!” Semua yang ada di sana tertawa, sedangkan Egar mengaruk belakang kepalanya dengan meringis, memang ia pelupa sampai-sampai Orang tua sahabatnya saja tidak diketahuinya. “Kebanyakan makan sih Lo kalo kerumah gue, sampe yang nyediain makanan aja kaga tau,” kesal Ujip, ngambek. “Yaelah, Jip. Baperan amat lu ah, kaga asik!” Egar meringis tak enak memang jika main ke rumah Ujip itu enaknya makan karena berbagai camilan dan makanan sudah tersedia rapi di meja makan, enak-enak pula. “Dahlah males.” Ujip ngambek dan pergi membuat semuanya kembali tertawa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD