Eps 2.1

1908 Words
Kota yang satu ini berjuluk Kota Santri. Tutur katanya lemah lembut, tingkah lakunya sopan dan santun. Ya, sudah menjadi rahasia publik jika Tasikmalaya memiliki orang-orang itu di dalamnya. Bahasa Sundanya paling halus, enak didengar dan menenangkan. Sebuah Kabupaten yang terletak di provinsi Jawa Barat. Tasikmalaya, dari sisi toponiminnya menimbulkan berbagai penafsiran. Ada yang berpendapat bahwa nama Tasikmalaya diambil dari kata “Tasik” dan “Laya”. Tasik yang berarti keusik atau pasir dan laya berarti ngalayah atau menghampar. Jadi Tasikmalaya diartikan sebagai keusik ngalayah atau pasir yang menghampar akibat letusan Gunung Galunggung pada 8 dan 12 Oktober 1822. Ada penafsiran lain tentang makna kata Tasikmalaya. Tasik bisa berarti telaga atau danau dan Malaya berarti jajaran gunung-gunung, atau gunung yang berjejer. Seperti dalam ungkapan yang berkembang di masyarakat Tasikmalaya “Jajaran gunung-gunung teh lobana cai lir cai laut” Penafsiran kedua dihubungkan dengan letusan Gunung Galunggung 8 dan 12 Oktober 1822, yang menyertakan terbentuknya sekitar 3.648 bukit kecil di Kota Tasikmalaya. Sekarang dikenal dengan 10 ribu bukit. Informasi dari buku yang dibacanyalah yang berhasil membuat Riani sedikit melupakan tentang sosok anak lelaki yang dilihatnya tadi. Dia melipat buku tebal itu di pangkuannya, menoleh ke arah luar ketika sadar mereka sudah ada di Tasikmalaya. Lembayung senja menyelinap di antara pepohonan, mengintip orang-orang yang anteng melakukan aktivitas sore hari. Kebanyakan orang tengah bertransasksi dan bercakap-cakap depan toko. Riani sama sekali tidak menyangka jika pa yang dilihatnya di perjalanan itu adalah sesuatu yang juga muncul di mimpinya. Apa maksud dari semua itu? Siapa anak itu? Bagaimana dia bisa mengajak Riani k dalam jurang yang gelap penuh darah? Gadis itu menggeleng tak mengerti. Tidak mendapat jawaban apa pun dari semua pemikirannya selama beberapa jenak setelah menutup bukunya di pangkuan. Mobil jazz yang mereka tumpangi memelesat di antara kemacetan dan rutinitas, berkelok di pertigaan ke sebelah kanan setelah lampu merah. Awalnya Doni akan membawa mereka langsung ke Galunggung dan mencari penginapan di sana. Namun melihat kondisi yang semakin gelap, firasatnya mengatakan untuk berdiam diri di kota dan mencari penginapan di daerah situ. Doni juga mendadak teringat dengan ucapan seseorang di telepon yang mengatakan jika mereka jangan berpergian di malam hari. Selain itu, Rere menambahkan jika mereka harus istirahat dan menikmati kota sebelum semua kesibukan melanda. Proses KKN pasti akan menyita waktu mereka. Akhirnya, sebuah penginapan di sebuah kampung tak jauh dari jalan utama menjadi tempat mereka bermalam. Karena tak terlalu mahal, jadi fasilitas yang diberikan pun tak terlalu mewah. Hanya sekadar untuk tidur saja. Tiga kamar dan satu kamar mandi. Soni bersyukur karena kamar mandinya ada di dalam rumah, meski kondisinya tidak sebagus yang ada di indekosnya. Itu lebih dari cukup. “Yakin gak langsung aja?” Rega bertanya ragu. Dia sedikit risi dengan penginapan ini. Terlebih ketika dia mengingat soal Riani tadi siang. Gadis itu pun tampak banyak melamun sejak kedatangan mereka ke Tasikmalaya. “Iya, sih, yakin mau di sini?” tambah Rere ikut-ikutan. Dia menoleh kepada Doni yang sedang mengangkat barang. Jika dipikir-pikir, lokasi penginapan itu pun terlalu jauh dari keramaian.  Sepi. “Gue rasa lebih baik istirahat dulu. Kita juga gak tahu pas di sana dapat penginapan apa enggak. Ini murah, lho. Sayang kalau gak diambil.” Doni menyerahkan tasnya pada Soni, dan lelaki itu menyerahkannya pada Rere. Semacam estapet. Rumah sederhana itu bernuansa Belanda dengan dinding pagar setinggi lutut diukir oleh batu-batu kali yang kasar. Kemariknya warna kuning gelap dipenuhi lumut-lumut yang mengering. Ada pohon beringin tua dan rimbun tumbuh di samping penginapan itu. Akar dan sulur merambat di atasnya, bergelantungan. Nyaris mirip dengan rumah-rumah hantu dalam film horor. “Serem juga rumah ini,” gumam Rere. Dia kembali menerima tas dari Soni dan menyerahkannya pada Rega. “Kalau gitu, jangan sampai kita melewatkan makanan khas dari Tasik,” tambah Rere antusias. “Iya, sih. Kitakan sekalian bisa nyoba makanan khas Tasik. Gue udah search apa aja. Gue pengin coba tutug oncom!” sahut Soni semangat. Mendengar itu Rere berhenti di anak tangga, menoleh ke arah Soni dan menyetujui ucapannya. “Dasar!” Doni menggeleng. “Kalau gitu, lo harus coba nasi cikur juga,” saran Doni menyeringai. Barang-barang mereka sudah turun semua. Masing-masing membawa satu dan mulai berjalan memasuki rumah. “Apa pun,” jawab Soni bangga. Riani yang sejak tadi diam di depan rumah, kini mulai masuk. Tatapan gadis itu terhenti di sebuah semak-semak tepat di bawah pohon beringin. Ada sesuatu di sana. Namun ketika dia akan mendekat, sosok yang sejak tadi menganggunya lenyap. Hanya angin yang berembus menyisakan rumput bergoyang. Mereka akhirnya masuk dan mulai menata ruangan yang memang terlihat sedikit berantakan, karena pemiliknya bilang kalau orang yang terakhir menyewa ini sedikit ‘rusuh’ dan tak tahu sopan santun. Selain itu, pemiliknya belum punya waktu untuk bersih-bersih. Lelaki tua dengan sarung hijau tersampir di bahu kanan menghampiri Doni. Dia terkekeh-kekeh sambil membungkuk sopan. Kedua tangannya digosok perlahan sembari menatapi satu per satu orang yang ada. Doni sedikit risi, tapi tak menunjukkannya pada si lelaki tua. “Kalian bisa pakai rumah ini kalau mau, tapi beginilah keadaanya. Maklum, penginapan jauh dari keramaian.” “Gak papa, Pak. Kami bisa bersihkan ini,” kata Doni. Dia menyamakan ucapannya dalam bahasa Indonesia, menyesuaikan diri dengan pemilik penginapan yang berusaha berkata-kata dengan bahasa meski aksennya Sunda. “Tapi semua aman, kan?” tanya Soni. Sejak kedatangannya di Tasik, Soni sudah merasa jika kota ini tidak baik-baik saja untuknya. “Maksudnya?” jawab lelaki yang memakai penutup kepala berupa topi penjaga vila itu. “Enggak ada ... ya, Bapak tahu sendirilah maksud saya,” jawab Soni enteng. Pemilik penginapan itu sedikit terkekeh, kemudian menggeleng. “Aman atuh. Semua mah aman aja. Kalau yang dimaksud sama Nak ganteng ini teh hantu, di sini mah enggak ada hantunya. Jadi santai aja atuh. Kalian juga enggak akan kenapa-kenapa kalau mau nurut sama aturan daerah yang ada.” Doni mengangguk. Tentu saja. Dia sudah mengatakan itu pada teman-temannya. Mereka harus menghormati adat dan budaya yang ada. Percakapan terhenti sejenak. Hening. Mereka bergerak ke sana kemari, dan Rere berhenti di depan kamar dekat pintu masuk. Di sana ada dua saklar. Gadis itu menekannya perlahan. “Lampunya mati, ya?” tanyanya sembari mendongak. Lampu di plafon tak berkedip sedikit pun. “Nyala semua. Tapi jalan ke arah kamar mandi mah lampunya teh mati da belum sempat saya benerin geningan. Kalau mau ke kamar mandi malem-malem mah pake senter aja, ya.” “Oke, Pak. Terima kasih.” “Kalau gitu, saya pulang dulu, ya.” Pemilik penginapan menyerahkan kunci sebelum pamit pulang. Doni hanya mengangguk mengiakan. Tidak ada rotan, akar pun jadi. Tidak ada hotel, penginapan seadanya pun tidak masalah. Mereka akan menginap untuk mengembalikan tenaga sampai besok. Setelah membereskan semuanya, malam pun datang. Mereka sejenak mengistirahatkan badan sebelum kembali berkeliling mencari makan malam. Soni dan Rere sudah tak sabar ingin makan tutug oncom. Mereka bahkan sudah mandi dan siap-siap. “Ni, lo dah baikkan?” tanya Doni. Rega duduk di sofa sambil main ponsel. Rere dan Soni sedang mencari tempat makan enak di kota. “Gue udah enggak apa-apa.” Riani mengangguk, membetulkan rambut pendeknya dengan tangan kiri, menyingkap anak rambut yang lolos dari kelompok. Buku tebal tentang sejarah Tasikmalaya sedang dia genggam. Setelah kepergian pemilik penginapan, gadis itu kembali membacanya. Hanya memastikan ada beberapa informasi yang terlewat olehnya. “Oke. Kita berangkat.” “Siap.” Riani mengangguk. “Lo mandi, ya? Abis itu kita makan malam. Sekalian cari info tentang lokasi yang akan kita datangin.” Riani hanya mengangguk lagi menanggapi. Setelah percakapan itu, mereka pun mulai menjalankan kegiatannya masing-masing. Riani dengan semua kegelisahannya pada penginapan, Rere dan Soni pada pencariannya dan Rega serta Doni pada ponselnya masing-masing. ** Rere duduk bersebelahan dengan Riani, Doni yang berada di samping Rere menghadap ke Soni dan Rega. Acara makan malam ditemani tutug oncom yang mereka dapatkan dari hasil berburu di kota malam hari. Mereka sengaja berkeliling mencari makanan khas. Sekalian menikmati pemandangan sebelum kerja yang tidak ada hentinya besok hari. Seperti kebanyakan kota lainnya, Tasik bisa dikatakan kota yang tidak tidur. Bahkan di sepanjang bibir jalan, dipenuhi oleh remaja yang tengah nongkrong bersama teman-temannya. Kota yang hidup, celetuk Rere. Mereka sedang menikmati makan sambil berbincang. “Apa kalian pikir Galunggung beneran aman?” Soni menceletuk di tengah makannya. Semua temannya berhenti makan dan menoleh dengan tatapan penasaran. “Maksud lo?” tanya Rega. “Bukannya aneh, ya kalau gunung segede itu enggak ada apa-apanya? Menurut Riani tadi siang, dia bilang kalau Galunggung enggak punya cerita kelam. Entah benar apa enggak, gue enggak tahu. Kalian tahu sendiri, kan gunung-gunung semacam Merapi dan ....” Soni menelan tutug oncomnya sekuat tenaga. “Gunung Salak. Mereka punya ceritanya masing-masing.” Rere dan Rega yang sedang asik menyantap harus berhenti karena perkataan Soni barusan. Mereka buru-buru menelannya. “Maksud kamu cerita angker?” Rere menanggapi serius. Namun sejenak kemudian mulai merasa tak peduli karena dia pikir itu hal yang wajar. “Yoi.” “Gue enggak bilang kalau Galunggung enggak punya cerita kelam,” protes Riani tak terima. Soni hanya mendelik tak suka. “Selama kita menuruti apa yang jadi aturan sini, its ok. Gue yakin,” jawab Doni mengedikkan bahu pelan. “Menurutku Tasik dan Galunggung itu nyaman, terlepas dari legenda atau cerita yang kayak kamu bilang, ya ... meskipun panas. Tapi ini masih mending ketimbang di Bandung,” seru Rere sembari menyuap lagi nasi di sendok dengan tangan kanannya. Dia berusaha untuk tidak peduli dengan gosip yang tadi ditebar oleh Soni. “Gue setuju,” sergah Rega. “Segini sih udah kebilang panas. Coba aja beberapa tahun ke belakang, kota ini beneran nyaman, sejuk. Dan soal legenda atau cerita itu, gue rasa semua aman-aman aja,” balas Doni. Doni tahu itu. Selain dari membaca, karena dia juga pernah tinggal di Tasik untuk beberapa waktu saat dirinya masih kecil. Maka tak heran jika dirinya tahu betul bagaimana kondisi Tasikmalaya tahun-tahun ke belakang. Rere tak begitu tertarik dengan pembahasan di acara makannya kali ini, dia hanya terus menyuap nasi tutug itu dengan lahap. Sebenarnya bukan masalah bagi Rere soal panas ataupun tidaknya kota ini. Pikirnya, ketika merasa panas, carilah sesuatu yang menyejukan, jika pun terlalu sejuk, cari hal yang bisa menghangatkan. Sesederhana itu. Rere berpikir sederhana, hal seperti itu tidak perlu diributkan, pikirnya. Soni sepemikiran. Apalagi dirinya, hanya makan dan makan saja yang diingatnya. Kalian masih ingat ketika Soni terus meminta lebih roti setelah Riani memberinya lima bungkus roti untuk menyumbat perutnya agar diam? Itu bukti jika dia hanya memikirkan tentang makan. Menyebalkan. “Jadi, kita mulai besok nih?” tanya Rega. Dia hanya memutar sendok makannya, belum secuil pun memakan nasi di piringnya. Entah ada apa, tapi semenjak Soni membicarakan hal tentang cerita kelam dan hal-hal semacam itu, aura di sekitarnya mendadak berubah. Lelaki itu menelan salivanya sekuat tenaga. Mengabaikan apa pun gangguan yang mengusik bulu kuduknya. Doni menatap ke arah Rega, kemudian mengangguk setelah menyadari perubahan wajah Rega yang sedikit menegang dari sebelumnya. “Jika memungkinkan, tapi siap atau enggak pun, kita tetap harus melaksanakannya besok,” balas Doni. Lelaki itu membalik sendoknya, merasa selera makannya lenyap begitu saja ketika melihat Riani dan Rega yang terlihat tidak baik-baik saja. Menyadari perubahaan yang ada, Rere dan Soni saling pandang. “Lo mau tambah?” tanya Rere. Gadis itu malah tidak peka pada kondisinya sekarang. Soni menggeleng. Soni sudah tambah dua kali dan sekarang hampir tambah lagi, dia akan makan tiga piring nasi T.O. Itu gila! “Gue rasa makan malamnya enggak perlu terlalu lama. Besok udah harus berangkat, kan.” Doni menatapi satu per satu temannya yang dibalas dengan anggukan pelan. “Gua udah atur jadwalnya. Jadi kita coba untuk lebih efektip dalam kerja. Gue tahu risiko apa pun pasti ada, tapi yang jelas, selama kalian berada di sini, gue mau kalian semua menuruti aturan yang ada. Semua demi keselamatan kita semua..” Doni menoleh keempat temannya itu. Alis matanya dinaikan beberapa kali. Mereka mengangguk menanggapi. Apa pun yang akan Doni katakan, mereka sebisa mungkin untuk menuruti. Makan malam itu dihabiskan dengan percakapan tentang Galunggung di masa lalu. Mereka menerka apa yang ada di masa-masa itu sebelum menjadi seperti sekarang. Doni sempat bilang apa pun yang terjadi, itu bukan sesuatu yang akan menganggu mereka KKN. “Kalau gitu, kita pulang, gue udah kenyang,” kata Soni. Semua teman-temannya tak percaya dengan itu. Mereka melongo. “Hah?” kata Rere dan Riani bersamaan. “Tumben banget!” Setelah Doni membubarkan makan malam, kelimanya bergegas meninggalkan meja makan yang ada di sisi lapangan kota. Mereka harus segera ke penginapan untuk mengistirahatkan diri masing-masing. Tanpa ada satu orang pun yang sadar, jika sosok perempuan berambut panjang tengah berdiri memerhatikan. Matanya yang hitam menatap Riani dengan saksama. Mencekam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD