Eps. 1

3612 Words
Setelah menerima semua hal yang harus dibawa untuk penelitiannya beberapa hari lagi, Doni pun mulai menyiapkan kebutuhannya. Dimulai dari bahan makanan, buku-buku tentang Galunggung, termasuk sejarahnya dan pakaian ganti. Dia akan berada di Tasikmalaya kurang lebih selama tiga bulan. Sebagai seorang ketua di kelompoknya, anggota yang disiapkan oleh dewan dipilih secara acak dan dia mendapat empat orang yang akan menemaninya penelitian tiga bulan ke depan, sebagai tanggungjawabnya. Lelaki jurusan Geologi itu harus menyiapkan semuanya termasuk mental dan fisik. Menjadi ketua berarti memikul beban anggotanya. Doni harus menanggung keselamatan mereka dimulai dari berangkat sampai kembali lagi ke Bandung dengan selamat. Doni sudah membaca buku tentang Galunggung dan bagaimana kondisi di sana. Menanyakan adat dan budaya serta hal-hal apa saja yang terjadi beberapa tahun terakhir di Galunggung, termasuk masalah metafisik yang ada di lokasi. Setelah merasa cukup yakin, dia menyarankan itu jadi tempatnya KKN. “Gue pilih salah satu gunung di Jawa Barat. Menurut buku dan artikel yang gue baca, bukan cuma pemandangannya yang bagus, tapi juga kondisi alam di sana belum terlalu banyak diteliti,” jelas Doni saat mereka berkumpul di lapangan. Dia memberitahukan lokasinya pada empat anggotanya. “Di mana itu?” tanya Rere, gadis berambut panjang, diikat bagian atas, menggemaskan. “Gunung Galunggung,” jawab Doni mantap, mengangguk. Empat teman lainnya menyelidik, penasaran. “Kayaknya pernah denger. Tasik?” tanya Riani. Gadis berambut pendek sebahu itu menyipitkan matanya yang sudah sejak awal sipit jadi seperti garis lurus. Dengan hobi membacanya, bukan hal yang tidak mungkin jika Riani tidak tahu soal gunung itu. Doni mengangguk menjawab. Dia mendapatkan informasi tentang gunung itu dari seseorang yang bercerita dalam artikel. Setelah mendiskusikannya dengan dewan, Doni mendapatkan izin untuk melaksanakan tugasnya di sana. “Selama aman, gue oke aja,” timpal Rega santai. Dia membetulkan rambut hitam belah duanya dengan tangan kiri, sesekali menarik napas panjang karena dadanya merasa sesak. Soni menyerahkan inhaler pada Rega, tapi pemuda itu menggeleng menolak. “Tenang, gue yakin Galunggung lebih dari aman. Lo tahu kenapa? Karena di sana tempat wisata.” Doni tersenyum puas, seakan-akan apa yang dia ucapkan bukan hal yang harus dikhawatirkan. Itu malah membuat Rere senang. Kalau bisa bermain sambil bertugas, kenapa tidak? Rere dan Soni menanggapinya dengan senang. Mata mereka berbinar.  “Oke, gue rasa itu aja dulu yang harus disampaikan sama kalian. Kita kumpul di rumah Rega dua hari lagi. Bawa apa pun yang menurut kalian penting untuk penelitian, dan Rere ....” Doni menunjuk gadis itu sesaat sebelum si gadis mengambil alih pembicaraan untuk menyampaikan apa yang ada di kepalanya. “Jangan bawa barang-barang yang gak penting.” Rere merengut sebal. Jika pun bawa banyak barang, dia tak akan menyuruh Doni untuk membawakannya. “Camilan dan boneka?” tanya Rere, setengah berharap jika Doni akan mengizinkannya membawa barang-barang itu. Terutama boneka, siapa yang tahu jika mereka akan membutuhkannya? “Dan itu artinya termasuk,” jawab Doni enteng. Mengedikkan bahu seolah jika jawabannya bukan sesuatu yang akan membuat gadis di hadapannya merengek. Riani hanya terkekeh-kekeh sambil mengelus pundak Rere. Dia tahu betul jika gadis itu sedang dalam mode tidak baik-baik saja sekarang. “Lo udah minta izin soal ini sama pihak sana?” ucap Rega di sela kekehannya menertawakan Rere yang kesal akibat ulah Doni. “Soal izin, gue udah komunikasi sama pihak sana. Selebihnya nanti gue ceritakan di jalan. Sekarang kalian semua siapkan perlengkapan.” “Kalau lo butuh bantuan buat omongin soal ini sama dewan, gue bisa bantu.” Rega mengangguk menawarkan diri. Namun Doni menggeleng pelan, karena semua perizinan sudah dia urusi sejak beberapa hari lalu. Doni menyarankan semua anggotanya kembali ke rumah untuk menyiapkan semuanya. Karena menurutnya, KKN ini akan jadi petualangan yang panjang. Dia yakin itu. Begitulah diskusi singkat mereka untuk persiapan keberangkatan menuju Galunggung. Sebagai ketua, dia tidak bisa diam begitu saja. Setelah menemui dewan, dia membicarakan hal ini juga dengan kedua orangtuanya. Mereka mengatakan jika Galunggung memang tampak baik-baik saja. Tidak ada masalah. Doni pulang ke rumah dengan doa dari ayah dan ibu. Lelaki itu mengehela napasnya sejenak, menutup buku sejarah yang dia baca sejak tadi sampai kepalanya terasa berdenyut nyeri. Otaknya tak bisa lagi menampung informasi yang bisa dia simpan di kepalanya. Kantuk menggelayuti matanya sejak tadi. Dari beberapa sumber yang dibacanya, dia mendapat satu-dua informasi jika Gunung Galunggung pernah memuntahkan lavanya sebanyak empat kali. Kejadian terakhirnya ketika tahun 1982, dan itu berlangsung paling lama, sekitar 9 bulan. Waktu yang sangat lama untuk sebuah bencana. Apa yang terjadi pada perkampungan itu setelahnya? Doni tak bisa membayangkan. Namun dia yakin jika semua itu bisa jadi bahan penelitian yang menjanjikan. Dari hal itu juga Doni semakin yakin jika pilihannya menuju Galunggung tepat. Pasalnya, mengingat kejadian itu bisa saja banyak material dari muntahan Gunung Galunggung yang mengendap di tanah dan menjadi hal yang menarik untuk diteliti. Doni menguap, menaruh bukunya di wajah sambil menyandarkan tubuhnya pada kursi kayu. Mungkin terlelap sejenak tak masalah. Dia masih harus istirahat setelah kesibukannya di kampus akhir-akhir ini. Paling tidak, selama di Tasik nanti dia bisa meregangkan otot-otonya yang kaku dengan mandi air hangat. Namun, sebelum itu semua, biarkan dia tertidur barang sejenak sampai ayam jantan kembali berkokok dan memaksanya untuk pergi ke rumah Rega. Sebelum itu, dia meraih ponselnya untuk kembali menghubungi pihak perizinan dari Galunggung. Doni bilang jika mereka akan berangkat besok pagi. Lelaki yang ada dalam telepon menyarankan agar mereka tidak berangkat malam hari. Doni pun menyudahi teleponnya dan bergegas untuk tidur. Tak berselang lama dia mulai terlelap. Dalam tidurnya, Doni merasa tubuhnya masuk dalam ruangan gelap dan pengap. Tak ada apa pun. Ruangan itu seakan memantulkan suaranya yang berat dan terdengar berkali-kali lipat lebih kencang dari apa yang bisa dia keluarkan. Keheningan melanda setelah suara-suara itu sirna dari pendengarannya. Menyisakan kegepalan yang benar-benar merengut semua penglihatan. “Halo, ada orang di sini?” tanyanya sambil menyusuri kegelapan yang melanda. Dia meraba udara, takut jika menendang sesuatu yang bisa melukai dirinya sendiri. Pundaknya meremang. Ada keheningan yang menusuk ke ulu hati, membuat dia merasa sedang diawasi dari kejauhan. Dalam kegelapan. “Siapa pun, apa ada orang di sini?” Jelas tak ada satu orang pun yang akan menjawabnya. Gulita menyelimuti dan Doni merasa lantai di pijakkannya mulai bergerak, tak lama berubah menjadi lipatan-lipatan kecil, seperti sebuah kulit hewan yang terus mengeluarkan rambut halus. Di ujung ruangan, dia melihat setitik cahaya, mulai mendekat, dan makin membesar. Membuatnya bisa menyadari jika ruangan yang tadi diliputi kegelapan ada dinding-dinging berupa tanah kecokelatan mirip dengan kulit hewan. Rambut cokelat gelap itu menggeliat keluar dari lantai pijakan serupa kulit tadi, merambat sekencang-kencangnya, melilit tubuh Doni dan menarik tubuh itu memasuki lipatan kulit yang terlihat penuh luka dan koreng. “Hah?” Doni kaget sejadinya. Hanya dengan melihatnya saja membuat isi perut Doni melilit kencang, mual. Belum lagi dengan respons rambut-rambut menjijikan yang terus menariknya masuk. Sekuat tenaga lelaki berwajah tirus itu meronta dan menginjakki rambut lainnya yang mulai berdatangan. Bau bangkai menyeruak dari tanah yang terus mengisapnya ke dalam. Doni semakin tidak tahan dengan itu. “Lepas. Ini apaan? Siapa pun, lepasin gue. Tolong!” teriaknya. Aroma busuk menyeruak lagi dari kulit penuh luka itu, menusuk hidungnya seakan-akan jarum yang memaksa masuk. Doni sukses memuntahkan cairan kuning penuh bulu cokelat lebat dan seketika sosok aneh bertubuh hitam legam berdiri di depannya dan siap mencabut kepalanya. Lelaki itu memelotot karena terkejut akan kehadiran sosok mengerikan di depannya. Tubuh Doni yang sudah tak bisa bergerak, tiba-tiba berada di sebuah ruangan gelap lagi. Dia sadar saat matanya menatap ikatan tali tambang yang melilit tubuhnya dan terikat di atas kursi kayu bersama seseorang. Sekuat tenaga dia berusaha melepaskan diri, tapi usahanya sia-sia. Lelaki itu merasakan seseorang diikat bersamanya di ruangan gelap itu. Kepala orang yang ada di belakang tubuhnya tersandar ke belakang kepalanya. Doni mencium lagi bau busuk dari sosok yang ada di belakangnya. “Hei?” kata Doni, berusaha berinteraksi dengan sosok itu. Namun tak ada jawaban. Dia terus menggoyangkan tubuhnya agar seseorang yang terikat bersamanya terbangun. Namun semakin kencang dia menggerakkan tubuhnya, sesuatu malah terjadi di luar dugaanya. Kepala sosok itu terjatuh, menggelinding ke sampingnya. Darah bercucuran di jalur yang tadi dilewati kepala tersebut. Kedua mata Doni memelotot. Dia tahu betul jika kepala yang ada di depannya adalah miliknya. Dia menjerit, dan ikatan di tubuhnya semakin menguat. Ketika Doni melepaskan ikatan, saat itu seorang lelaki berwajah hitam legam mendatanginya sambil membawa golok panjang. Tanpa menunggu Doni bernapas, sosok itu mengangkat goloknya tinggi-tinggi, dan dalam hitungan detik, memelesat ke tubuh Doni. Lelaki itu menjerit dan terbangun dari tidurnya. “Hah ... haah ... hah ... haah.” Dia terbangun dengan keringat mengucur deras dari pelipis. Dadanya basah dan napasnya sesenggal. Perutnya terasa melilit, mual. Dia tahu jika itu mimpi buruk, tapi rasa mual dan rasa takut itu terasa benar-benar nyata. Sambil menyeka keringat yang mengucur di pelipisnya, Doni bangkit dan melirik arloji di tangan kiri. Sudah pagi. “s**t. Gue kesiangan. Argh ....” Dia mengurut pelipisnya kencang-kencang. Merasa pusing sendiri memikirkan mimpi aneh yang muncul di tidur singkatnya barusan. Itu pasti efek karena dia kelelahan. Tak menyangkal jika di hatinya yang paling dalam, Doni merasakan ketakutan dan khawatir yang amat saat memikirkan perjalan mereka menuju Galunggung ini. “Gue otw,” ucapnya dalam pesan grup, dan mulai merapikan diri untuk segera menemui teman-temannya di rumah Rega. Tanpa tahu jika di bawah tempat tidurnya ada sepasang bola mata yang berkedip. ** Malam sebelum keberangkatan, Raini yang sedang duduk di kursi depan rumah, merasa dirinya tidak enak perasaan. Seakan ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Namun dia tidak tahu apa itu. Beberapa kali kedua orangtuanya menelepon, menanyakan kabar. Ibunya bahkan sudah tiga kali menghubunginya sehari ini. “Aku baik-baik aja, Bu. Mulai besok aku KKN di Tasik,” balas Riani dalam telepon. Dia memandang langit malam penuh bintang ditemani secangkir kopi panas dan setumpuk buku-buku tebal. Angin malam berembus kencang. Ada hawa aneh yang menyelinap di tengkuknya. Namun sebisa mungkin dia tak memedulikannya. “Kabari Ibu kalau kamu sudah sampai di sana, Nak.” “Iya, Bu. Aku sudah denger itu sejak tadi.” “Apa kamu enggak mau pulang dulu ke rumah? Ibu sama Ayah kangen kamu,” ucapnya. Riani hanya merasa makin bersalah akan hal itu, karena beberapa waktu terakhir ini dia belum pulang. Jika dia harus KKN di Tasik selama tiga bulan, itu artinya dia akan jauh dari rumah selama itu. “Enggak, Bu. Aku enggak punya waktu lagi. Besok sudah harus berangkat. Ibu bisa tunggu aku tiga bulan lagi. Seperti biasa.” Wanita paruh baya di seberang sana mengangguk ragu. Ada rasa sakit yang menjalar di hatinya. Keraguan melepas putrinya membara di hati. “Kamu jaga diri baik-baik di sana.” Riani mengangguk, walau wanita paruh usia itu tidak tahu jika dia melakukannya. “Iya, Bu,” jawab Riani. Dia menilik gumpalan awan yang beriringan di langit, perlahan menutup rembulan yang cerah tersenyum kepadanya. Ada perasaan aneh yang melonjak dari dalam tubuhnya, menyeruak naik ke permukaan, membuat dia merinding tanpa sebab. Beberapa jenak suasana makin mencekam. Telepon mereka masih tersambung, tapi saling diam cukup lama. Riani menolehkan pandangan ke kanan dan ke kiri. Mencari apa pun yang membuat tubuhnya merinding. “Aku harus segera tidur, Bu. Besok aku harus bangun pagi,” tambahnya setelah menyesap kopi yang perlahan mulai dingin. Wanita di seberang telepon seakan ragu mengiakan, tapi tetap melakukannya. “Baiklah. Ingat, kabari Ibu setelah kamu sampai di lokasi.” “Baik. Aku tutup teleponnya,” kata Riani setelah mengucap salam dan menutup sambungannya. Sejenak dia terpejam, merasakan hawa aneh itu. Matanya berkedut. Benar, dia merasakannya. Sesuatu yang aneh. Riani beranjak dari duduknya, membereskan buku-buku yang bertumpuk ke pelukannya, kemudian masuk ke rumah. Tanpa tahu jika di ujung semak-semak rumahnya ada sepasang mata yang memerhatikan. Berkedip. “Aku harus segera tidur.” ** Rere sudah merengut sebal menanggapi keterlambatan Doni. Sebagai ketua, dia seharusnya menjadi orang yang disiplin dan tepat waktu, patut untuk dicontoh oleh anggota lainnya. Bukan malah datang telat dan membuat mereka lama menunggu. Dia bahkan datang ke rumah Rega jauh sebelum ayam berkokok. Semangat di dalam dirinya berkobar-kobar bagai api tersiram minyak tanah. Selain kesal pada Doni yang datang terlambat, dia juga tengah marah-marah kepada pemilik mobil jazz yang sedang membungkuk di depan kendaraan roda empat itu. Pasalnya, mobil yang akan mereka tumpangi ini sedang bermasalah. Mogok. “Ish. Mobil rusak masih aja disimpen. Buang sana,” ucapnya ketus. Dia menarik tali ranselanya kuat-kuat, sebal sendiri karena Rega tidak terlatih untuk merawat mobilnya sendiri. Riani yang duduk tak jauh darinya hanya menggeleng. Bukan hal aneh sebenarnya ketika Rega tak bisa untuk memperbaiki mobilnya. Karena dia anak manja, dibesarkan dalam keluarga berada, dan dilayani oleh beberapa asisten rumah tangga. Sebagai salah satu bukti jika Rega tak bisa melakukan hal dengan tangannya sendiri adalah mobil mogok di depan Rere ini. Benda itu hadiah ulang tahunnya yang ke dua puluh tahun, tapi dia tidak bisa merawatnya dengan baik. Namun sebagai orang kaya, Rega sama sekali tak terlatih untuk melakukan semua halnya sendiri. Biasanya pelayannya akan membawa mobil ini ke bengkel, dan ketika pelayan pulang kampung, Rega jadi malas mengurusinya dengan tangannya sendiri. Seperti inilah hasilnya. “Mata lo buang! Lo kira ini barang bisa dibeli pake daun? Maen buang aja.” Rega menendang salah satu ban mobilnya kesal. Rere hanya merengut tak suka sambil masih menilik ke kanan dan kiri, mencari Doni. Riani duduk di belakang Rere, di atas anak tangga sambil membaca buku. Rambut pendeknya tertiup angin. Kacamata hitam bertengger di kepalanya. “Udahlah, Re santai aja. Lagian kita enggak buru-buru, kan. Harusnya kamu bantu Rega, bukan malah marah-marah.” Riani menurunkan bukunya, tersenyum. “Iya, nih. Cerewet dasar. Lo pikir gampang benerin mobil?” Soni menyambar. Lelaki bermata sipit itu tertawa menanggapi respons Rere. Gigi gingsulnya terlihat ketika bibir merahnya merekah. “Kan lo tahu kalau mobil ini mau dipake KKN, kenapa enggak lo periksa dulu ke bengkel?” tanya Rere pada Rega yang sedang mengetuk-ngetuk ban mobilnya. “Diam lo!” Rega mendelik tak suka. “Udahlah kalian, kita sekalian nunggu Doni. Udah enggak apa-apa,” sergah Riani menengahi. Soni hanya tersenyum sambil masih mengutak-atik bagasi depan mobilnya. Di tengah perdebatan, Doni datang dari arah kanan perumahan. Dia turun dari sebuah mobil hitam, mengeluarkan barang bawaanya dan pamit pada seseorang yang teman-temannya pikir adalah keluarganya. “Bro ....” Soni berteriak, melambai dan berlari menghampirinya untuk membantu mengangkat barang. “Telat lo.” “Sori,” katanya. “Nyebelin lo!” teriak Rere. Dia makin merengut. “Sori, Re, sori.” Soni kemudian memberitahu Doni jika mobilnya sedang mogok. Tanpa babibu lagi, pemuda itu langsung mengambil alih untuk memperbaikinya. Setelah proses perbaikkan, membicarakan banyak hal dan diskusi singkat tentang apa yang akan dilakukan setelah sampai di Tasik, akhirnya mereka berangkat. “Don.” Riani mencekal tangan Doni, memaksa lelaki itu berhenti sebelum masuk mobil. Merasa ada yang aneh dengan ekspresi si gadis, Doni sedikit mengernyit. “Ada yang perlu gue bicarakan sama lo,” jelas Riani, memasang wajah tegang. Namun sebisa mungkin dia bersikap biasa dengan terus menggosok sikutnya beberapa kali setelah melepas pegangan tangannya dari Doni. “Apa?” “Gue ....” Riani tidak tahu harus bagaimana menyampaikannya. Bibir bawahnya digigit pelan. Melengkapi rasa gelisahnya, gadis itu mengangkat tangan ragu-ragu dan berkata pelan, “Gak. Gue enggak apa-apa. Gak jadi.” Dia tersenyum pelan. Merasa ada yang aneh, Doni menatap gadis itu lekat-lekat. Namun sampai detik ke sekian, dia tak menemukan apa pun. “Oh, oke. Lo enggak enak badan?” tanya Doni ketika melihat wajah gadis itu pucat dan berkeringat. “Gue gak apa-apa. Kita lanjut aja.” Riani mengeratkan tali ranselnya dengan dua tangan, tersenyum kemudian menyuruh Doni masuk mobil karena tiga temannya sedang menunggu. “Oke.” Doni berbalik dan masuk mobil. “Mulai dari sekarang, perjalanan kita dimulai. Jadi, here we go!” teriaknya, diikuti sahutan teman-temannya yang juga bersemangat. ** Sudah sekitar satu jam perjalanan, dan tak ada hambatan ataupun macet. Mereka meluncur menuju Tasik di antara pepohonan dan melihat pemandangan yang menyejukkan mata. Doni dan Rega duduk di depan, sementara tiga lainnya di belakang. Soni duduk dekat jendela kiri dan Rere di sebelah kanan, membuka kaca setengahnya, membiarkan angin lembut menyapa pipinya. Riani duduk di tengah, tertidur. Semuanya baik-baik saja. Meski ada satu hal yang sangat mengganggu perjalanan mereka dari tadi. Mereka semua mendengarnya, kecuali Riani. Suara yang bahkan membuat konsentrasi Doni buyar. Suara perut Soni! Sungguh, itu mengganggu sekali. Sudah habis sekitar lima bungkus roti yang diberikan Rere, perut Soni masih saja meronta dan meminta lebih. Teman-temannya heran, sebenarnya sebesar apa cacing yang hidup dalam perutnya? “Masih jauh gak, nih? Laper nih gue.” Soni mengusap perutnya berulang kali, matanya lagi-lagi tertuju pada tas pelastik putih di depannya. Rere sudah begitu was-was memegang erat pelastik itu, tidak mau jika Soni mengambil lagi roti persediaanya. Lima saja sudah cukup! “Sabar, Son. Perjalanan tinggal setengahnya.” “Tahu nih, lapernya gak bisa ditahan apa?” “Lo kalau laper mana bisa tahan. Gue tahu lo laper. Udah bagi aja itu rotinya.” “Gak!” Rere memindahkan tas pelastiknya ke pelukan, kemudian gadis itu menatap jalanan dari jendela. “Pemandangannya bikin sejuk, sawahnya hijau semua. Keren. Aku enggak tahu kalau di luar Bandung ada pemandangan seindah ini.” Rere bergumam pelan, pipinya tertempel pada setengah kaca jendela sembari asik menyusuri tiap petak sawah yang dilalui laju mobilnya. Kedua tangan memeluk tas pelastik. “Segini masih B aja kali, Re. Lo harus lihat setelah masuk Tasik entar. Beuh ....” Doni menggeleng saking takjubnya, menatap Rere lewat kaca spion. “Jelek?” sambung Soni. “Keren parah,” tambah Doni. Mobil jazz itu memelesat melewati pemukiman warga, melintasi petak demi petak sawah yang terus menguarkan aura sejuk sepanjang jalan. Soni sudah tak lagi merajuk minta makan setelah tadi mereka berhenti di rumah makan. Selama perjalanan itu, nyaris dihabiskan dengan bercerita soal Galunggung, sesuai apa yang Doni ketahui. Dia juga memberikan informasi apa yang harus mereka kerjakan jika bertemu warga setempat. Setidaknya menghormati budaya yang ada. Berbeda dengan Riani, dia masih terlelap sambil terus bergerak-gerak tak nyaman dalam lelapnya. Keningnya berkerut berkali-kali. Jika tak ada angin yang berembus, tubuhnya pasti sudah basah kuyup karena keringat dingin. Rere yang menyadari keadaan Riani menoleh dan melapor pada Rega. Meminta tisu. “Gak. Gak. Enggak! Jangan! Aku mohon jangan. Enggaak!” teriaknya, memelan berbarengan dengan tubuh yang kini tegap duduk di kursi penumpang. Bersamaan teriakkannya memantul di langit-langit mobil, Doni menginjak rem dalam-dalam. “Ni, lo kenapa?” Rere menepuk pundak gadis itu pelan. Khawatir. “Hah ... hah ... hah ... haah.” Riani mematung dengan wajah pucat, memelotot. Tatapannya kosong pada jalanan di depannya. “Ga, minum,” ucap Soni, menyuruhnya mengambil sebotol air mineral di dekat dashboard. “Ni, minum dulu,” tambahnya. “Ada apa, Ni?” Rere mengusap punggung gadis itu. “Gue mimpi buruk. Mimpi ....” Tatapannya teralihkan pada teman-temannya, bergantian. Memaparkan wajah gelisah sekaligus takut yang terus menggerogoti setiap sorot matanya yang kian melemah. “Mimpi apa? Mimpi apaan?” tanya Rere memaksa, memandang sekeliling. Teman-temannya sama penasarannya. Jika melihat reaksi Riani setelah tidur barusan, Rere jadi berasumsi jika gadis itu baru saja mendapat mimpi buruk. Namun tentang apa? Doni seketika menegang di tempat. Matanya membulat yang disadari oleh Rega dan mengguncang tubuhnya kencang-kencang, mencoba menyadarkannya dari ketegangan. “Don, lo kenapa? Kalian kenapa hah? Jangan bercanda, please. Gue gak suka. Ini gak lucu.” Rega menggeleng kasar, mendorong Doni karena menganggap jika ini permainan yang dibuat oleh mereka berdua. “Rega?” Rere menoleh ke arahnya karena tak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan. “Apa lo mimpi tentang sosok aneh hitam, Ni?” tanya Doni pada akhirnya. “Lo juga dapet mimpi, Don?” tanya Rere. Soni di samping Riani hanya diam sambil menatapi Doni di depannya yang makin lama semakin terlihat keras menegang. Entah apa yang sedang terjadi, tapi apa pun itu telah membuat atmosfer di dalam mobil berubah drastis. Mencekam. Ada aura dingin yang menyelinap di antara kerah baju Soni, menyusup tanpa permisi di jaket Rega dan menggelitik tengkuk Rere. Riani masih dikuasai oleh sesuatu dalam mimpinya. Gadis itu hanya menatap jalanan di depan dengan tatapan kosong sampai akhirnya tersadar saat Soni menepuk pundaknya beberapa kali. “Jadi lo mimpi apa?” tanya Soni. “Gak. Gue bukan mimpi itu. Tapi ... tentang sosok anak kecil. Anak itu ....” Riani menahan napasnya kuat-kuat, manatapi satu per satu temannya yang sama tegangnya dengan dirinya. Rere menelan ludah sebisanya, menunggu apa yang akan dikatakan Riani. Apa pun itu, Soni tidak suka. Dia terus meringis menunggu Riani mengatakan mimpinya. “Anak itu punya mata hitam, aneh dan ... dan dia ngajak gue ke ....” Ucapannya terpotong lagi oleh napas yang mulai kembali terasa sesak di d**a. Mengingat mimpi buruk itu seakan mengisap seluruh kekuatannya. Riani mendadak merasa lemas. “Ke mana?” Soni mengguncang tubuh Riani, karena melihat gadis itu sedikit melamun, menahan ucapannya. “Ke lubang gelap dan penuh darah.” “Ih!” Rere bergidik. Doni menegang. Kasusnya nyaris mirip dengan apa yang dia alami. Ada apa sebenarnya ini?  “Gue harap itu cuma mimpi. Tapi mimpi itu datang dua kali, dan gue takut kalau itu tanda buruk, apa pun itu,” jelas Riani sambil mengurut pelipisnya yang basah. Kedutan demi kedutan terasa menyakitkan di kepalanya. “Anjir, please ini gak lucu. Jangan bikin gue takut, Ni!” bentak Rega. Doni memelotot ke arahnya, menegurnya agar tetap tenang karena Riani lebih membutuhkan pertolongan ketimbang dirinya yang meributkan hal kecil. “Ih serem dong. Gimana ini, Don?” tanya Rere panik. “Oke, kita istirahat dulu. Ini udah jauh, perjalan kita tinggal seperempatnya, dan kita gak mungkin balik lagi karena KKN udah mulai besok pagi.” Doni melepas seatbelt-nya, mematikan mesin dan menyuruh semuanya turun. Mereka sedang berada di jalan antara Garut dan Tasikmalaya. Doni menepikan mobilnya di dekat pagar penghalang, yang di bawahnya jauh terlihat jurang penuh pohon rimbun hijau. Mereka berempat kecuali Riani berdiri di depan pagar penghalang. Masing-masing dari mereka membayangkan sesuatu yang mengerikan. Doni sempat bercerita tentang mimpinya, tapi itu tak lantas membuatnya mengambil keputusan untuk pulang ke Bandung dan membatalkan KKN-nya. “Re, lo jagain Riani. Dia butuh istirahat. Kasih dia minum,” titah Doni. Gadis itu mengangguk dan mencari-cari sebotol air di tasnya dan berlari ke arah Riani untuk membantu meringankan masalah di pikirannya. Riani duduk dekat pohon sambil menghirup udara segar perlahan. Matanya tertuju pada jalanan di depannya, sambil sesekali menatap mobil yang lewat. Rere setia di sampingnya menunggu, menenangkan. “Kamu udah baikkan, Ni?” tanya Rere, mengelus punggungnya. Riani menggeleng. Jelas dia tidak baik-baik saja. “Kita akan lanjutkan, yaa. Kamu hanya butuh istirahat. Doni bilang kita berangkat setelah kamu merasa baikkan.” Riani tahu dia hanya terlalu takut. Kepekaanya naik sejak tadi. Gadis itu tidak ingin sesuatu terjadi ketika mereka mengabaikan apa pun petunjuk yang muncul. Namun di sisi lain dia juga belum yakin soal itu. Benar apa kata Rere, mungkin dia hanya lelah. “Jangan dipikirin, ya? Doni juga bilang kalau dia terlalu lelah, sampai bikin dia halusinasi beberapa kali. Doni juga mimpi buruk semalam.” Riani menggeleng lagi. “Gue takut itu ada apa-apanya, Re.” “Selama kita ikuti aturan yang ada, semuanya akan baik-baik aja, kan? Kamu tenang, ya?” Meski ragu, Riani mengangguk pelan. Gadis di sampingnya tersenyum kemudian memeluknya erat, mencoba menenangkan. “Aku tahu, kok kamu khawatir, tapi aku juga gak berharap itu pertanda buruk. Itu mimpi buruk, cuma mimpi buruk.” Rere mengangguk meyakinkan. Melepas pelukannya dari Riani. “Udah, yah. Ayo kita kembali ke mobil. Kita kasih tahu Doni kalau kamu udah lebih baik.” “Ayo,” jawab Riani, mengangguk dan berdiri sambil mulai menenangkan diri. Meyakinkan jika semua akan baik-baik saja. Namun, sedetik ketenangan itu muncul, sedetik itu pula hal lainnya muncul. Riani baru saja melihat sebuah mobil memelesat di depannya. Setengah kaca mobil belakangnya terbuka, dan di sana da seoarang anak kecil sedang mengintip pemandangan lewat jendela. Anak itu tersenyum, sempat melihat Riani sekilas. Dan anak itu adalah sosok yang ada di mimpinya tadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD