Bertemu, Peluk dan Menciummu

1735 Words
Bagai mendengar petir di siang hari, Riska menggeleng dan masih tak percaya dengan penglihatannya. “Ka--kau? Kenapa kau bisa ada di sini, Nick?” Cukup terkejut melihat pria di hadapannya sekarang adalah Nick, pria yang sejak tadi menghubungi melalui panggilan ponsel. Pria yang ia duga sedang berada di New York. Namun, dugaannya salah. Nick tidak sedang di New York melainkan di Indonesia. Di Bogor, tepatnya di ruangan yang sama dengannya sekarang. Nick menyeringai sambil terus melangkah  maju. “Karena aku merindukanmu dan aku …." Sebelah tangannya menarik kencang pinggang Riska hingga membuat tubuh mereka bersentuhan. "Menagih janjimu, Ris ....” Lalu memiringkan wajahnya cepat, menekan kuat-kuat bibir Riska yang setengah terbuka lalu mengulumnya lembut meskipun merasakan kedua tangan Riska berada di depan d**a bidangnya dan mencoba untuk mendorong.  "Aku sungguh-sungguh merindukanmu, Ris." Kalimat itu terlontar lagi dengan tatapan sayu lalu mengulum antusias bibir Riska. Merasakan ciuman Nick lagi, kali ini Riska pasrah. Ia membiarkan Nick mengulum bibirnya sementara sebelah tangannya reflek berada di punggung dan sebelahnya lagi berada di belakang kepala Nick.  Mata Riska terpejam menikmati setiap kuluman Nick yang terpaksa membuat kepalanya terkulai ke belakang. Hangat, manis dan b*******h.  Itulah ciri khas ciuman Nick yang pernah Riska rasakan sebelumnya. Ciuman yang pernah membuatnya terlena dan melakukan stupid mistake. Namun, kali ini ia menikmati tanpa beban karena statusnya bukanlah seorang istri, melainkan wanita yang bebas menerima dan mencium pria yang ia suka. "Nick." Riska membuka mata dan menatap sayu Nick. Napasnya menjadi pendek, darahnya berdesir kencang dan ia kembali memejamkan mata menikmati kuluman Nick yang semakin menjadi-jadi hingga tak sadar membalas ciumannya penuh hasrat. Kedua kaki Riska melangkah mundur merasakan desakan langkah Nick. Langkahnya terhenti ketika kakinya membentur meja kerjanya lalu melepaskan ciuman dan membuka matanya lagi melihat wajah Nick yang merah padam dan merasakan embusan napasnya yang tak beraturan. Sama seperti yang ia rasakan sekarang. "Aku sangat merindukanmu, Ris," Sekali lagi Nick mengulang kalimatnya dengan jujur. Perasaan kerinduannya yang sudah lama terpendam dan kali ini ia akan membiarkan Riska mengetahui isi hatinya tulus karena wanita itu bukanlah milik Aldi ataupun Ryan, tapi wanita yang akan menjadi miliknya. Kedua mata Nick berkabut dan menginginkan ciuman itu lagi setelah merasakan hasrat liarnya bangkit sebagai pria normal. Sekali … dua kali mencium bibir Riska tidaklah cukup untuk membayar hasratnya yang selama ini ia pendam. Ia menginginkannya lagi, mungkin lebih dari itu. Dengan kedua tangan yang mendekap, Nick mendorong sebagian tubuh Riska ke atas meja hingga membuatnya terbaring. Ia kembali mengulum bibirnya dan sama sekali tak ada perlawanan dari Riska karena ia yakin adik iparnya itu juga menginginkan hal yang sama. Sebuah ciuman.  Dugaan Nick benar. Riska membalas setiap kulumannya, bahkan namanya terlontar seiring laju napasnya yang tak beraturan. Kuluman Nick memang berbeda dari Ryan ataupun Aldi. Riska menjadi b*******h dan antusias menikmati Nick menarik bibirnya  begitu juga lidahnya yang menyapu isi mulutnya hingga menciptakan sensasi rasa yang nikmat. Entah apa yang ada di pikirannya sekarang walau menyadari pria yang sedang menciumnya adalah kakak iparnya, tapi yang ia lakukan juga bukan hal yang salah karena ia sekarang adalah wanita single, seorang janda yang ditinggal wafat suaminya. Bahkan pria yang menciumnya ini bukan orang lain, masih satu darah dengan suami yang ia cintai. Sapuan lidah Nick yang menari bebas di dalam mulutnya, membuat Riska kehilangan kesadaran. Hasrat liarnya mendambakan hal lebih dari sekadar ciuman. Ia tahu Nick juga merasakan hal yang sama setelah merasakan milik Nick menegang keras dan menyentuh di atas pahanya.  Apa yang Riska bayangkan pun terjadi. Ia kehilangan kendali merasakan ciuman Nick kini beralih menyusuri lehernya yang jenjang. Erangan kecil pun terlontar begitu saja. Kepalanya terkulai ke belakang menikmati tiap jejak bibir Nick yang menciumi leher dan meninggalkan bekas merah di sana. Ia juga bisa merasakan belaian lembut tangan Nick mengelus paha di balik rok hitam midi yang ia kenakan. Oh no. I did a stupid mistake again! Riska terperangah ia tak mau ciuman itu menjadi cumbuan. “Stop it, Nick!” Riska setengah berteriak menghentikan ciuman Nick yang mulai mengarah ke dadanya lalu menepis tangan Nick yang masih mendarat di paha. “Kau melewati batasmu!” Mendorong d**a Nick yang reflek bangkit dan berdiri di depannya. "Ini tidak seharusnya terjadi." Riska berusaha menormalkan ritme napasnya yang pendek. Ia memandang Nick yang setengah tertawa, sementara tangan Nick mengusap bibirnya sendiri yang terkena noda lipstik. “Riska, aku ….”  Jeff membuka dan menyembulkan kepala dari balik pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Ia terkejut melihat setengah tubuh Riska terbaring di atas meja kerja dan tak jauh darinya berdiri seorang pria.  Melihat kehadiran Jeff, Riska dan Nick reflek menoleh ke arah pintu. Mereka melihat Jeff berdiri mematung dengan dahinya yang berkerut. Sial! Riska bergegas bangkit dari meja sedangkan Nick berjalan menuju sofa. “Apa aku mengganggu kalian?” Jeff masuk ke dalam ruangan mendekati Riska yang berbalik dan merapikan blus yang kancing atasnya terbuka. “Sí, nos estás molestando, Jeff. (Ya, kau sedang mengganggu kami, Jeff).” Nick menjawab sinis sambil membulatkan kedua matanya karena kesal. Ia mendengus dan duduk bersandar di sofa. Tanpa merasa bersalah, Jeff mengangkat sudut bibirnya sebelah. “Dejaste tu copia abajo, Nick.(Kau meninggalkan kopermu di bawah, Nick).” Ia mengabaikan ucapan Nick tadi, tapi senyum tipis Nick menjadi jawaban. “Por qué no lo pones en mi habitación, mi querido primo? (Kenapa kau tidak menaruhnya di kamarku, Sepupuku tersayang?)” Nick menunjuk kamar sebelah. "Of course." Jeff setengah tertawa lalu membuang wajah sebentar. “No tienes que decirme que lo ponga, Nick.(Tak usah kau suruh aku sudah menaruhnya, Nick).” membalas tatapan Nick dengan kesal.  “Ada apa, Jeff? Kau minta apa?” Riska memotong percakapan mereka. Ia mengetahui bahwa mereka tidak pernah akur meskipun bersaudara. Itu karena Nick selalu membully Jeff saat mereka masih kecil. Berbeda dengan Aldi yang selalu membela dan melindungi Jeff dari bully-an Nick. "Oh iya." Jeff melirik Riska. Ia kembali bersikap profesional, menganggap Nick menghilang selayaknya hantu. “Aku minta laporan data pembelian bahan makanan Resto yang sudah kau tanda tangani, Ris,” pintanya. Namun, tiba-tiba tatapannya tertuju pada tanda merah yang membekas di leher Riska.  Amazing. Jeff tidak menyangka Nick senekat itu menorehkan kissmark di leher Riska. Lebih tepatnya mereka sudah b******u seperti apa yang sudah ia lihat tadi. Namun, ia harus memaklumi jika mereka benar-benar menjalin hubungan serius, karena Aldi sudah tenang di alam sana.  Menurut Jeff, Riska memang sudah lama mempunyai perasaan khusus terhadap Nick. Yang ia tahu Riska sempat terjerat pesona Nick saat bulan madu di Paris, hal yang pernah Aldi ceritakan padanya setahun yang lalu. “Ini, Jeff.” Riska menyodori dua lembar kertas. "Yang ini bukan?" Lamunan Jeff buyar, ia mengerjapkan mata lalu menerima dan memastikannya lagi. “Ya, yang ini." Kepalanya terangguk memastikan menerima kertas sesuai pintanya tadi. "Oke, Thanks. Aku bawa dulu ke bawah.” Tersenyum, meski tatapannya tertuju pada tanda merah itu lagi. "Aku pergi dulu." Lalu beranjak melangkah menuju pintu utama. “La próxima vez que llames a la puerta antes de entrar, Jeff. No quiero que nos molestes de nuevo.(Lain kali kau mengetuk pintu sebelum kau masuk, Jeff. Aku tak ingin kau mengganggu kami lagi).” Nick setengah berteriak ke arah Jeff yang sedang membuka pintu. Jeff tidak menjawab dan berbalik. Ia hanya mengacungkan jempol sejajar dengan kepalanya lalu membuka pintu dan keluar dari kamar itu. Kaki Jeff terdiam di depan pintu lalu bergumam. “Si no eres mi primo, te he matado Nick! (Kalau kau bukan sepupuku, sudah kuhabisi kau Nick!).”  Riska duduk di sofa menatap kesal Nick yang tersenyum puas seakan baru saja merasakan sebuah kemenangan. Nick duduk bersandar di hadapannya sambil menggoyangkan kedua kaki.  “Bagaimana kau bisa tiba di sini, Nick?" Sejujurnya kehadiran Nick yang tiba-tiba membuat Riska penasaran. Pria itu benar-benar sudah memberinya kejutan sekaligus jebakan. Dengan santai Nick menjawab, “Dengan bantuan Doraemon, Ris.” Menjawab lugas lalu tertawa melihat Riska mendengus dan menekuk wajah. "Menjengkelkan." Riska memicingkan kedua matanya. “Kau sudah menjebakku, Nick. Jika kutahu kau sudah di Indonesia, aku takkan mengatakan itu padamu." Menyesal sudah menerima tantangan Nick mengenai ciuman tadi. Jika saja tahu Nick sedang dalam perjalanan menuju tempatnya, ia takkan melayani tantangan Nick yang hanya membuatnya terlihat pasrah dan menikmati ciumannya. Walaupun ia mengakui ciuman Nick memang berbahaya. "Oh ya?" Nick menyeringai. “Sepertinya ucapanmu terdengar bukan sebuah penyesalan, tetapi …  seperti kau menginginkannya lagi, Ris,” sahutnya dengan nada mengejek karena tahu Riska juga menginginkan ciuman itu, bahkan ia mendengar jelas erangan dan namanya disebut saat mencium lehernya. Erangan yang membuatnya hampir kehilangan kendali. Secara reflek, Riska menggigit bibir bawahnya. Ia memang mengakui kuluman Nick seperti wine. Meneguk sedikit terasa manis, tetapi jika terlalu banyak bisa memabukkan. Saat ini ia tak ingin mabuk, karena takut tak bisa sadarkan diri.  “Aku hanya terbawa suasana saja.” Riska membalas sambil membuang wajah. “Ya, suasana romantis, Ris,” timpal Nick yang tahu Riska menutupi perasaan yang sebenarnya, sudah terjerat dengan pesona dirinya sejak setahun yang lalu. Nick bangkit lalu berjalan ke depan mendekati Riska. “Itu belum seberapa, Ris. Aku bisa membuatmu lebih romantis lagi.” Lalu duduk di samping Riska. Mendekatkan wajahnya lagi dan menatap bibir Riska yang baru saja ia kulum. Ia ingin mengulanginya lagi, seperti tadi. Tak ingin terjebak dengan hasrat, Riska membuang wajah dan menyembunyikan wajahnya yang merah padam. “Sebaiknya kau ke kamarmu, Nick. Aku ingin istirahat,” tolaknya sungguh-sungguh. Selain tak ingin kehilangan kendali dan mabuk menikmati ciuman Nick, ia merasakan lelah dan mengantuk siang ini. Setidaknya membutuhkan waktu sekitar satu jam untuk berbaring di ranjang. Senyum Nick memudar mendengar penolakan Riska, tetapi ia memaklumi dan takkan memaksanya untuk saat ini karena ia sudah kembali ke tempat sebenarnya ia berada.  Untuk bersama Riska. “Baiklah." Nick bangkit dan mengangguk. "Aku akan ke kamarku, tapi aku ingin nanti malam mengajakmu makan malam bersama di luar,” ajaknya melirik jam dinding yang menunjukkan tiga jam lagi memasuki jam makan malam. “Aku merindukan nasi goreng ala penjual gerobak. Aku merindukannya karena tidak menemukannya di New York,” tambahnya lagi lalu berjalan menuju pintu sambil melambaikan tangan. "See you, Ris."  Nick membuka pintu lalu keluar kamar meninggalkan dirinya yang reflek menyandarkan punggung lalu mengatupkan bibirnya. “Ya Tuhan, apa yang baru saja aku lakukan?” Menghela napas berat lalu memegang bibir bawahnya dengan kedua jari. “Ciumannya membuatku terlena dan ....” Matanya terpejam dan teringat jelas ciuman Nick yang memabukkan. Ciuman yang pernah menjadi stupid mistake nya saat di Paris. "Menginginkannya lagi …." 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD