Bab 1

2876 Words
Tidak masalah bila aku tidak tampan, karena laki-laki tidak memimpin dengan ketampanan melainkan dengan tanggung jawab... Syafiq   Ruangan kamar bernuasa minimalis masih terlihat gelap gulita. Walau hari sudah siang, namun sang penghuni kamar seperti enggan hanya untuk membuka tirai hitam yang menutupi sinar matahari untuk masuk. Tepat di atas tempat tidur kayu yang cukup besar, berisi seorang laki-laki yang masih tertidur lelap dengan posisi tengkurap seperti mayat. Tidak ada pergerakan, hanya suara dengkuran yang menemaninya. Lalu di lantai kamar tersebut penuh dengan barang-barang yang dibiarkan saja tidak pada tempatnya. Entah itu pakaian atau sajadah dan sarung yang menjadi saksi bila laki-laki itu tidak lupa menyapa sang Pencipta di subuh tadi. “ABAAAAAANGGGGGGG!!” teriak seorang gadis remaja berpakaian seragam SMA yang masih baru berdiri di depan pintu. Digedornya berkali-kali namun penghuni dalam kamar tidak bergerak sedikitpun. “Selalu deh begini...” gumamnya seorang diri sambil melirik jam tangan barunya yang dia pakai. Ini adalah hari pertama dia memasuki bangku SMA. Dan abangnya yang satu ini sudah berjanji akan mengantarkan ke sekolah. Tetapi sudah berkali-kali dibangunkan, laki-laki muda itu masih saja tidak terlihat batang hidungnya. “Huh.... Nada kesel pokoknya,” ditendang-tendang pintu kayu yang bertuliskan “Women not allowed” dengan kuat. Tetapi tak lama, dia meringis sendiri karena merasa kesakitan. “Ibu, abang nggak mau bangun nih!!” teriaknya cukup kencang. Bagi Nada, semua yang dia inginkan harus terpenuhi. Maklum saja dikeluarga Al Kahfi dialah cucu perempuan satu-satunya, sedangkan bila dari keluarga sang Ibu, dia memiliki dua saingan lainnya. “Kenapa sih nak?” teriak Sabrin sama kuatnya dengan yang dilakukan sang anak. Keduanya bila sudah seperti ini memang sangat kompak. Suara-suara keras mereka langsung meramaikan suasana rumah tersebut. Apalagi bagi orang lain yang melihat kekompakan mereka langsung menyakini bila Nada adalah putri dari Sabrina. Seorang Ibu muda dengan dua anak yang kelakuannya sangat mirip dengannya. Padahal perempuan itu selalu berdoa agar kedua anak mereka memiliki sikap seperti suaminya, namun tetap saja takdir berkata lain. “Abang Syafiq nggak mau bangun tuh,” adunya setengah merengek. Namun tiba-tiba saja pintu kayu tersebut terbuka dengan menampilkan wajah abang kesayangannya yang masih setengah mengantuk. Dialah Maheswara Syafiq Al Kahfi. Cucu pertama yang terlahir dari keluarga ini memang cukup aneh sikapnya. Sejak kecil julukan penghancur nomor satu sudah tersemat baik dibelakang namanya. Lalu ketika dewasa, semua kelakuan Syafiq membuat Fatah dan Sabrin sering-sering mengelus d**a sambil mengucapkan istigfar. Banyak orang-orang di sekitar mereka yang menggosipkan hal yang tidak baik mengenai Syafiq. Entah gosip tentang dia adalah bandar narkoba atau salah satu gembong teroris yang sering dicari dari pihak kepolisian. Awalnya Syafiq memang tidak menanggapi hal itu, tetapi semakin ke sini dia semakin kesal bila sudah ada yang mengatakan hal yang tidak benar tentangnya. “Ih, abang belum mandi ya?” todong Nada dengan kedua jari telunjuknya ke arah Syafiq. “Udah kok.” sahutnya enteng. “Nada nggak percaya,” ucapnya kembali sembari mengikuti langkah Abang Syafiq menuruni tangga menuju dapur dimana sang Ibu kesayangan berada. Dari belakang tubuh besar Syafiq, Nada mencibir melihat kelakuan abangnya itu. Bagaimana dia bisa percaya bila Abang Syafiq sudah mandi. Pakaian yang Syafiq pakai saja masih tshirt putih tipis yang memiliki bolong disekitar bahunya ditambah dengan celana pendek hitam yang biasa laki-laki ini pakai untuk tidur. Belum lagi rambut panjang Syafiq yang sebahu dibiarkan tergerai acak-acakkan. Kalau Nada kembali kroscek dari depan, wajah dengan banyak lipatan karena tertindih saat tidur masih bisa dia lihat. Lalu bulu-bulu halus di rahangnya yang Syafiq pelihara membuat Nada geli. Jorok sekali abangnya ini. Jelas saja jorok, dari kecil memang dia paling sulit untuk diajak mandi. Selalu saja alasan kepada sang ibu bila ingin dimandikan. Kini setelah dewasa semakin hancurlah dia. “Bu, Abang nggak mandi tuh.” adu Nada kembali. Tetapi dengan menyesal dia meringis karena diberikan tatapan horor dari Abang Syafiq. “Mandi dulu dong Bang, kamu kan janji mau anterin Nada ke sekolah.” bujuk Sabrin sembari menyodorkan segelas air putih kepada Syafiq yang sedang sibuk memeluknya dari belakang. “Bu, Abang sayang sama Ibu,” ucapnya. Dagunya dia letakkan dibahu Sabrin dengan kedua mata yang terpejam. “Ibu juga sayang sama Abang.” balas Sabrin dengan senyum dibibirnya. “Idih Abang, ngaca coba. Tampilan sangar begitu tapi kelakuan kayak anak manja,” ledek Nada yang merasa sejak tadi kata-katanya tidak dipedulikan Syafiq. “Hus, Nada nggak boleh gitu sama abang.” “Habis bu, Abang nggak pantes banget kayak begitu.” “Heh bocah, kalau Abang begini berarti Abang sayang sama Ibu. Coba kamu cari cowok kayak Abang yang masih setia meluk Ibunya? Nggak akan ada. Cuma Abang. Mereka semua lupa kalau dulu bagaimana dirinya dipeluk dan dimanja sama Ibu mereka. Tapi setelah mereka dewasa mereka lupa melakukan hal yang sama kepada Ibu mereka.” Bela Syafiq sambil menoyor kening sang Adik dengan kesal. “Udah-udah, kalian ini ribut terus,” “Bu, bilangin Abang dong. Cepetan. Nanti Nada terlambat,” rengek Nada tak mau kalah manja kepada Sabrin. Dia memeluk lengan Sabrin lalu mencubit tangan Abang Syafiq yang tertidur kembali. “Aduh, aduh. Kalau kalian begini, Bbu nggak bisa bantu bibik beres-beres nih.” “Nada sayang Ibu.” ucap Nada tidak peduli dengan protesan Sabrin. Sabrin mengusap kepala putrinya yang terbalut hijab putih. Jika ditanya bahagiakah Sabrin, jelas dia bahagia. Karena biar bagaimana pun sikap kedua anaknya, tidak sedikitpun keduanya lalai melakukan kewajiban sebagai seorang muslim. “Bang...” kini Nada merengek kepada Syafiq agar diantarkan. “Abang Syafiq, bantu Ibu dong. Antar Nada ke sekolah ya,” bujuk Sabrin. “Iya, iya. Syafiq antar,” gumam Syafiq pada akhirnya. Diraihnya gelas berisi air putih lalu diminumnya sampai tandas. Ada sedikit sisa-sisa air yang menempel di gelas itu diusapnya dengan jari telunjuk kemudian dia tempelkan ke mata seperti orang yang sedang mencuci mukanya. “Iyuuhh.. Bu, lihat kelakuan Bang Syafiq tuh!” “Kenapa?” tanya Syafiq tidak suka. “Jorok,” cibir Nada. “Peduli?” “Jadi benar Abang nggak mandi? Ya Tuhan, ampuni Abangku ini.” Nada berbicara seakan-akan sedang berdoa pada Tuhan melihat kelakuan dari Abangnya. Dalam hatinya dia merapal doa jangan sampai menikah dengan laki-laki seperti Syafiq. “Masalah kalau abang jorok? Masalah kalau Abang nggak mandi? Dengar ya, Abang cuma bilang sekali tapi harus kamu pahami sampai seterusnya,” “Mulai kan,” cibir Nada kembali. “Jangan bisanya mencibir doang kamu. Dengar Abang dulu. Abang pernah baca disebuah artikel yang ditulis bapak Fuadi. Beliau sering buat artikel yang singkat namun begitu memikat. Dan kutipan ini Abang ucapkan mengikuti tulisannya..” “Udah deh cepet,” Protes Nada. “Yang namaya muslim sejati itu harus seperti air laut. Meskipun ratusan sungai mengalirkan air tawar, ia tetap asin, dan tak pernah memaksa ikan di dalamnya menjadi asin. Paham nggak kamu?” “Ayo dek, paham nggak?” goda Sabrin sekarang kepada putrinya. “Nggak paham kan kamu. Berisik doang bisanya, paham aja nggak. Inget dek, kita ini tinggal di negara Indonesia yang diam nggak berisik kayak Jepang.” ucap Syafiq dengan cepat. Kemudian dia berjalan lebih dulu sebelum Ibu nya mengerti akan kata-katanya tadi. “Abang Syafiq...” teriak Sabrin kesal. Sabrin hanya bisa menggelengkan kepala dengan segala keanehan yang dimiliki Syafiq. Mulai dari tingkah laku hingga perkataan yang seperti sudah menjadi ciri khasnya. Sudah ribuan kali Syafiq diingatkan tetap saja kelakuan anehnya itu muncul kembali. ** Syafiq sudah berada di dalam mobilnya sambil mendengarkan musik klasik yang sering dia dengar. Dia merapikan rambutnya yang panjang untuk dia ikat. Dengan bermodal kaca spion tengah mulailah dia membenahi dirinya. Walau tidak mandi, Syafiq tahu dia tetap tampan. Karena ketampanan itu sejatinya tercipta dari lahir. Ya seperti dirinya ini,  tampan dan berkharisma. Itu yang selalu dia ucapkan di depan wajah sang adik bila Nada terus saja menyuruhnya agar mandi. “Bang, nanti jangan lupa jemput Nada ya. Nada pulang jam 2 bang, abang jangan keluyuran dulu. Awas kalau abang nggak jemput Nada” Syafiq menatap tak suka saat Nada mulai memasukkan banyak barang yang dia bawa ke dalam mobil miliknya. Mulai dari tabung gambar pink, lalu sebuah tas pink yang berisikan baju olah raga, belum lagi tas ransel berwarna pink, lalu sepatu convers yang juga berwarna pink. Niatnya sepatu ini akan Nada pakai sewaktu berolah raga nanti dan yang terakhir tas tangan berisikan kotak bekal dari Sabrin yang lagi-lagi berwarna pink. Syafiq memang sudah biasa dengan warna pink kesukaan adiknya. Tapi yang dia masalahkan banyaknya barang yang Nada bawa. “Kamu nggak salah bawa barang sebanyak itu? Mau ke sekolah apa mau pindahan?” “Menurut abang?” jawab Nada dengan santai sambil menyeruput s**u kotak berwarna pink “Nada, Nada. Sekolah itu yang penting fokus. Percuma kamu bawa segudang barang begini kalau kamunya nggak fokus, sama aja” “Cie.. kalau udah bijak begini pasti nyawanya udah kumpul” goda Nada. Karena kesal, Syafiq merebut s**u kotak berwarna pink yang tengah Nada minum. “ABAAAAANGGGG” makinya kesal. “Diem kamu berisik aja” Syafiq mulai menjalankan mobilnya keluar dari rumah yang dia tempati bersama kedua orang tua serta kakek neneknya. Sejatinya sejak ia kecil hingga dewasa, ayah dan ibunya selalu setia menemani kakek dan neneknya. Karena itu kelak Syafiq akan melakukan hal yang sama kepada kedua orang tuanya nanti. “Abang, itu kan mobil Ayah” teriak Nada menunjuk sebuah mobil sedan hitam yang bergerak menuju rumah mereka. “Biarin aja, ini waktunya ayah buat seneng-seneng sama ibu. Kan udah 2 hari ibu ditinggal ayah tugas luar kota” Seketika keduanya tersenyum kompak sembari melirik mobil itu masuk ke dalam pagar rumah mereka. Mereka paham apa yang akan terjadi selanjutnya. Karena hal seperti ini sudah biasa bagi mereka. Ketika sang ayah tidak pulang karena sibuk bekerja maka akan ada adegan merajuk dari sang ibu. ** “Inget, kalau udah pulang langsung keluar. Hubungi abang. Abang mau ke tempat temen dulu” Nasihat Syafiq sebelum Nada keluar. “Iya.. iya. Duh, bang. Bantuin Nada dong buat keluarin barang-barang Nada” keluhnya. “Lagian bawa barang banyak banget” Dengan sangat terpaksa Syafiq membantu Nada untuk mengambilkan barang-barangnya dari kursi belakang. Namun saat Syafiq ingin ikut turun dari mobil, Nada menahannya. “Cukup disini saja ya abang ganteng. Nggak usah turun” “Kenapa?” protes Syafiq. “Bikin malu” ringisnya. “Dasar kamu” Buru-buru Syafiq turun, mengejar Nada yang sudah lari menjauh terlebih dahulu. Beberapa murid sekolah yang baru berjalan masuk, menatap Syafiq dengan pandangan yang sulit di artikan. Ada yang memuja, ada yang menatap seolah mengatakan ‘apaan sih nih orang’, ada juga yang senyam senyum tak jelas karena Syafiq hanya memakai pakaian bangun tidurnya tadi. Saat dia baru ingin masuk ke dalam mobilnya kembali, terdengar deru suara motor yang tidak asing ditelinganya. Dan benar saja, apa yang dia lihat kini membuatnya kesal. Buru-buru Syafiq ingin masuk kembali ke dalam mobilnya tetapi telat sudah. Karena namanya telah dipanggil. “Woy, Bang...” panggil si pengendara motor yang tidak lain dan tidak bukan adalah Shaka. Laki-laki yang berbeda 2 tahun usianya dari Syafiq sedang mengantarkan kedua adik perempuannya yang kebetulan satu sekolah dengan Nada. “Hmm” sahut Syafiq malas-malasan. Dia melihat satu persatu adiknya Shaka turun dari motor matic namun berkenalpot racing yang sangat dibenci oleh Syafiq. Kadang dia suka mengutuk Shaka, mengapa laki-laki itu tidak membawa mobil untuk mengantarkan kedua adiknya. Apa dia tidak takut terjadi hal yang tidak diinginkan. Apalagi kedua adik Shaka tidak memakai helm untuk keselamatan. Benar-benar keterlaluan. “Pagi abang Syafiq” keduanya nampak kompak menyalami Syafiq satu persatu. Memang umur mereka berdua hanya terpaut satu tahun dan itu yang terkadang membuat banyak orang berpikir jika Tabitha dan Kanaya adalah anak kembar dari bapak Imam Abdul Hamid. “Iya pagi. Sana masuk” perintah Syafiq. Keduanya melangkah pergi meninggalkan Syafiq dan Shaka. “Nanti kuliah jam berapa bang” tanya Shaka. Kedua tangannya sibuk membuka helm lalu terlihatlah wajah putih Shaka yang sedikit kemerahan. “Kuliah? Lo yang kuliah, gue libur” sungut Syafiq kesal. Tetapi laki-laki dihadapannya ini hanya tersenyum menanggapinya. Tidak ada rasa ingin membalas Syafiq sedikitpun dalam hatinya. “Abang nggak masuk kelasnya pak Rahmat?” “Gue udah masuk kelas dia minggu kemarin bareng sama kelas lain” jawab Syafiq jujur. Kedua matanya menatap ke sekitar dan.. damn...!!! Pemandangan pagi yang cukup menyegarkan. Begitulah yang Syafiq rasa. Seorang murid perempuan berjalan masuk ke dalam sekolah. Wajah murid perempuan itu cukup memikat hati. Rambutnya yang hitam panjang, lehernya yang cukup jenjang, ditambah tingginya yang semampai. Tapi ada satu hal yang membuat Syafiq down seketika, rok panjang yang gadis itu pakai memiliki belah panjang dibelakang. Hingga paha belakang gadis itu bisa terlihat. “Heh..” bentak Syafiq pada Shaka yang ikut terlarut melihat pemandangan indah itu. “Sexy ya bang” “Sexy.. sexy!! Benerin dulu tuh tangan” “Kenapa sama tangan gue bang? Perasaan masih suci, ya walau sering ternodai pakai sabun. Tapi masih aman kok” jawab Shaka yang masih celingukan melihat kemana perginya gadis itu. “Lo aja kalau sholat angkat tangan lo belum bener. Masih aja doyan godain cewek” tegas Syafiq. “Minggir lo, gue mau masuk” didorongnya motor Shaka yang terparkir di dekat pintu masuk mobilnya. “Eh, bang. Lo mau kemana?” “Ke Arab” jawab Syafiq asal. Kemudian mobilnya mulai bergerak pergi meninggalkan Shaka dengan seribu senyuman dibibirnya. Sejak dulu mereka memang tidak akan pernah akur.   ** “Jadi bener lo mau terima tawaran gue?” “Iya, gue udah putusin” Syafiq menjawab dengan tegas sembari matanya menatap ke sekitar dimana dia berada saat ini. keseluruhan bangunan ini tersusun dari kayu jati yang di plistur dengan sangat elegan. Lalu di barisan depan terdapat jejeran mesin yang biasa digunakan untuk mengolah biji kopi berkualitas. Apalagi tempat ini memang dikhususkan bagi pecinta kopi. Ya walau ada banyak menu lain yang dijajakan disini, tetapi menu kopi tetap yang utama. “Terus bokap lo setuju? Bro, memang gue yang nawarin lo kerja disini, tapi apa lo nggak ingin buat gantiin kedudukan bokap lo atau kakek lo?” Syafiq dengan mantap menggeleng, kemudian dia meraih cangkir kopi yang berisi black coffee tanpa gula dan tanpa s**u. Meski pahit tapi inilah yang menjadi kenikmatan bagi Syafiq. Dari kepahitan kopi yang dia minum, dia menjadi tahu begitu berartinya rasa manis dalam sebuah kepahitan. “Itu urusan belakangan. Lagi juga bokap gue masih bisa handle itu semua. Ya walau dibantu sama kedua paman gue” tungkasnya. “Ya kalau begitu, selamat datang di toko kopi sederhana gue” jawab sahabat Syafiq yang bernama Adi. “Kapan gue bisa mulai kerja?” “Besok kalau lo mau? Gue ok” Syafiq tersenyum senang. Akhirnya apa yang dia inginkan tercapai. Ternyata Allah masih mendengar doanya pada sholat sunnah sebelum subuh. “Deal..” Percakapan panjang mereka diinterupsi oleh suara panggilan telepon masuk dari Nada. Kening Syafiq berdenyit ketika mengetahui siapa yang menghubunginya. “Sorry bro, gue cabut dulu. Panggilan iblis kecil. Biasa” Setelah pamit dengan sahabatnya, Syafiq mulai menjalankan mobilnya menuju sekolah Nada kembali. Tetapi ketika dia sampai sana, adik perempuannya itu tidak kelihatan sama sekali. Dengan kesal Syafiq mencoba menghubungi Nada melalui ponselnya. Berkali-kali dia lakukan tetap sama hasilnya. Nada tidak menjawab satu panggilan pun dari Syafiq. Rasa khawatir mulai mengerayanginya. Syafiq turun dari mobil kemudian berjalan masuk ke dalam sekolah. Mencari dimana keberadaan Nada. Namun ternyata dia salah mengambil langkah. Adik perempuannya itu tengah berdua dengan gadis yang tadi pagi menjadi tatapan lapar dirinya dan Shaka. “Sudah-sudah, nggak papa kok. Santai aja” “Sekali lagi makasih ya kak” Ucap Nada. Ketika perempuan muda itu melewati Syafiq, tidak sedikitpun Syafiq dilirik olehnya. Seakan-akan Syafiq adalah tiang sekolah yang terus berdiri walaupun murid-murid mengencinginya. “Kenapa kamu?” Nada menunduk, lalu menggeleng. Kemudian berjalan lebih dulu melewati Syafiq yang diam karena bingung. “Heh, kamu kenapa?” Teriak Syafiq yang tidak di hiraukan. “Dek...” Panggilnya lebih keras. “Apaan sih bang?” “Kamu kenapa aneh gitu. Mana jalannya aneh” Tanya Syafiq karena penasaran. “Kepo banget sih bang” Syafiq masih menatap Nada bingung. Baru kali ini dia melihat Nada bersikap aneh. Apa ada yang salah di hari pertamanya sekolah? “Kamu kenapa? Cepet bilang abang” todong Syafiq kembali setelah mereka di dalam mobil. Murid-murid sudah tidak terlihat karena sekolah yang sudah bubar sejak tadi. “Nada haid bang” ucapnya malu. “Terus kenapa kalau...” ucapan Syafiq terhenti ketika mendengar perkataan adiknya. Ya Allah, ini adalah kejadian pertama bagi adiknya. Pantas saja Nada malu seperti itu ketika ia tanya. “Alhamdulillah. Adek abang udah besar. Makin susah deh abang jagainnya. Makin banyak deh laki-laki yang coba deketin kamu. Tapi dibalik itu semua, abang mau bilang selamat ya dek. Jangan lagi kayak anak kecil. Kamu udah gede sekarang. Banyak hal yang harus kamu jaga mulai detik ini. Kalau ada yang mau kamu tanyain, bisa ke ayah, ibu atau abang. Pasti abang jawab.” Nasihat Syafiq dengan bijak. “Makasih ya bang” “Kita pulang ya, cerita sama ibu sama ayah” ucap Syafiq sembari mengusap lembut pipi Nada yang putih. Sekarang tugasnya sebagai abang semakin besar. Dia harus menjaga ibunya, ibunya, ibunya dan adiknya yang kini sudah memasuki usia remaja. Walau terlihat berat namun Syafiq yakin dia bisa melakukan semuanya. Bukannya Allah selalu menguatkan hambanya untuk terus bertahan menghadapi cobaan.  ------ Continue
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD