Detektif Polisi Dari Satuan Pusat

1235 Words
“Selamat pagi!” Bryan, si detektif yang kadang dibilang polisi begajulan, kali ini berpakaian formal hingga badan tinggi besarnya terlihat tidak setegap biasanya. Jasnya bersih dan rapi, meski sebenarnya itu jas dua tahun lalu yang dipakai dua tiga kali dalam setahun. Dulu jas itu sedikit longgar, tapi sekarang agak kekecilan. Di belakangnya, dua petugas berseragam polisi mengikutinya masuk ke ruang rawat. “Kami dari kepolisian, ditugaskan untuk mengusut kasus tabrak lari Tuan Markus Liem.” Dia menunjukkan lencananya, kemudian mengantonginya lagi. Menghampiri Andrew dan Dennis, bersalaman dan saling berkenalan. “Saya minta Anda berdua keluar sebentar. Saya akan mengajukan beberapa pertanyaan pada Tuan Liem!” “Apa kita tidak bisa tetap di sini?” pinta Andrew. “Ini prosedur. Proses tanya jawab ini bisa terganggu bila ada warga sipil ikut mendengarkan.” “Tapi kami keluarganya.” Andrew masih tidak mau menyerah. “Kami tidak akan mengeluarkan suara sedikit pun selama proses tanya-jawab berlangsung.” “Maaf, ini prosedur!” ulangnya tanpa ada basa-basi. “Anda berdua bisa bertanya pada Tuan Liem setelah kami selesai.” Andrew tidak ingin meninggalkan Markus. Namun polisi punya wewenang untuk menghindarkan semua orang yang berpotensi mengganggu proses tanya-jawab. Andrew tidak akan menyerah kalau saja Dennis tidak memarahi dan menariknya keluar dari ruang rawat. Pintu segera ditutup setelah kedua teman Markus itu keluar ruang rawat. Satu polisi ikut keluar untuk berjaga di luar pintu dan seorang lagi berjaga di dalam ruangan. “Selamat pagi!” Bryan mengulang sapaannya. “Tuan Liem, saya detektif polisi yang ditugaskan untuk menginterogasi Anda,” terangnya dengan gaya formal. “Saya Bryan Trevor, detektif dari satuan pusat.” “Aku mendengarnya saat Anda berkenalan dengan kedua temanku tadi,” sahut Markus yang tidak mau berbasa-basi. Markus merasa tidak nyaman melihat Bryan. Penampilan, gerak gerik, dan juga perkataan detektif itu sok formal. Orang yang formalitasnya tidak sempurna, pasti ada yang salah dengan orangnya. Markus punya banyak pengalaman dengan orang-orang seperti itu, yaitu kliennya. Dia tidak menyukai orang bergelagat aneh, salah satunya Bryan. Markus berharap interogasi akan berjalan cepat. “Baguslah kalau begitu. Saya akan mulai bertanya, saya harap Anda tidak keberatan mengingat kejadian tabrakan semalam.” “Tidak keberatan.” Bryan mempersiapkan kertasnya. Dia mengeluarkan alat tulis dari dalam saku kemejanya, lalu menekan kepala pulpen untuk memunculkan ujungnya. Bryan berdehem sejenak sebelum mulai melontarkan pertanyaan. “Tuan Liem ...,” “Mark saja.” “Mark,” Brian mengulang. “Pukul berapa Anda pulang kantor semalam?” “Pukul 10.25,” jawab Markus. “Sekitar pukul sebelas lebih aku sampai di dekat tikungan itu.” “Bagaimana situasi tadi malam? Anda merasa ada sesuatu yang janggal seperti ada yang mengikuti atau mengawasi gerak gerik Anda?” Markus menggeleng cepat. “Bagaimana Anda bisa sampai di sana tadi malam?” “Aku naik mobil.” “Naik mobil?” Bryan mengernyit. “Pihak polisi tidak menemukan mobil Anda di tempat kejadian.” Kalau Markus naik mobil, bagaimana bisa dia jadi korban tabrak lari dengan tubuh tergeletak di tepi jalan? Keluarga yang menemukan Markus juga tidak melihat ada mobil di sekitar sana. Bryan memberitahukan penemuan itu pada Markus. Membuat Markus sangat terkejut. Markus sempat melihat dua mobil itu pergi, tapi dia pingsan kemudian. Yang terakhir dia ingat, mobil miliknya masih ada di tepi jalan tempat dia memberhentikannya. “Bisa Anda ceritakan detail kejadian itu? Yang Anda ingat saja. Syukur-syukur kalau bisa mengingat semuanya!” Markus menghela napas sebelum mulai. “Aku pulang pukul sepuluh lebih. Berhenti di mini market untuk membeli barang. Sekitar pukul sebelas aku hampir sampai tikungan itu. Ada satu mobil melesat cepat di belakangku yang kemudian melambat saat sudah dekat. Mobil itu menyerempet badan mobilku, lalu berhenti kira-kira lima-enam puluh meter di depan. Karena sisi kiri mobilku rusak parah, aku berniat menghampiri mobil itu dan marah pada pengemudinya.” Markus menjeda kalimatnya untuk mengambil beberapa napas panjang. Dia baru bangun dari pingsan panjangnya. Masih lemah. Bicara banyak menguras tenaganya yang bahkan belum diisi. Jadi, dia butuh setidaknya beberapa napas tambahan untuk menguatkan diri. “Saat berada di tengah jalan, mobil lain datang dengan kecepatan tinggi dan menghantam tubuhku. Aku terpelanting, tubuhku mati rasa dan tak bisa bergerak, tapi aku masih sadar ketika melihat kedua mobil itu pergi,” lanjutnya. Bryan banyak menulis di kertasnya setelah mendengar cerita singkat dan padat itu. “Kedua mobil itu pergi setelah Anda tertabrak?” tanyanya yang langsung diiyakan oleh Markus. “Anda seperti berpendapat kalau kedua pengendara mobil itu bersekongkol?” “Mungkin begitu,” jawab Markus tidak begitu yakin. “Tapi aku masih melihat mobilku di tempatnya.” “Bisa saya tahu merek, jenis, dan plat nomor mobil Anda?” Markus menyebutkan dan Bryan menulisnya. “Bisakah Anda mengingat mobil yang menyerempet itu?” “Mobil sport. Lamborghini warna abu-abu pekat. Aku pernah hampir membeli mobil yang serupa tahun lalu. Tapi aku tak tahu tipenya.” “Tidak masalah,” kata Bryan sambil terus menulis. Pemilik mobil mewah dengan merek itu tidak terlalu banyak. Tidak akan sulit mencarinya karena polisi jelas-jelas punya nama seluruh pemilik kendaraan bermotor di negara ini. “Anda ingat plat nomornya?” Markus menggeleng. “Kalau mobil kedua?” “Tidak sama sekali. Aku cuma ingat benda hitam itu menghantamku dengan kuat lalu melesat pergi tanpa menurunkan kecepatannya.” “Apakah Anda merasa punya musuh selama ini?” Markus menyangkal. Selama ini dia bersikap tidak acuh pada masalah orang lain, itu dimaksudkan agar tidak ada orang yang mencampuri urusannya. Dia tidak suka cari musuh. Kalau menurut Dennis, sifat tidak acuhnya itu hampir membuat separuh karyawan mereka sebal padanya. Mungkin dari sifat itulah yang membuat beberapa orang tidak suka padanya. Tetapi Markus yakin, tidak ada orang yang ingin mencelakainya hanya karena sebal padanya. Itu hanya sebuah pendapat pribadi, dia tidak perlu mengatakannya pada Bryan. “Pukul berapa jam kantor Anda berakhir?” “Lima sore.” “Anda pulang sebegitu larut?” “Aku lembur akhir-akhir ini.” Markus terbatuk batuk sebelum menyelesaikan kalimatnya. Tenggorokannya kering setelah sejak tadi bicara terus. Tadi dengan Andrew dan Dennis, sekarang dia ditanyai Bryan. Dia butuh air lagi untuk membasahi tenggorokannya. “Aku butuh minum.” Bryan mempersilakan. Dia menyibukkan diri dengan catatannya sementara Markus bersusah payah meraih air minum di sebelah ranjangnya. Bryan mengalihkan pandangannya pada Markus ketika lelaki itu menjatuhkan tutup gelas. Markus tidak berhasil meraih gelas di atas meja. Bryan dan Markus berpandangan sebentar, kemudian kembali pada kegiatan masing-masing. “Tak jadi minum?” tanya Bryan yang melihat Markus bersandar lagi ke bantalnya. Markus bukan tidak jadi minum, dia tidak berhasil mengambil gelas. Bryan pasti tahu soal itu, tapi detektif itu tidak mau repot-repot membantu. Dia berpikir kedatangannya cuma untuk mengajukan pertanyaan pada korban, sedangkan membantu mengambil minum bukan bagian dari pekerjaannya. “Kita lanjutkan ...,” Markus mendengus samar, tapi dia pasrah. “Anda lembur akhir-akhir ini, apa ada pekerjaan penting yang harus segera diselesaikan?” Markus berdehem, melonggarkan tenggorokannya. “Kami baru saja menang tender.” Bryan menggaris bawahi kata ‘kami’ dan Markus segera menjelaskannya. “Aku dan kedua temanku tadi bekerja di perusahaan yang sama. Kami baru saja memenangkan tender kelas Internasional. Karena aku yang memimpin presentasinya nanti, aku lembur untuk memastikan pekerjaan sesuai target.” Markus berdehem lagi. Dia mengambil waktu, sekadar untuk menggeser posisi kepalanya. “Sudah sekitar dua minggu ini aku lembur dan tidak terjadi apa-apa sebelumnya.” “Anda masih ingat siapa saja yang ikut dalam perebutan tender itu?” Markus mengiyakan. “Apakah ada salah satu dari mereka terlihat kecewa setelah kalah tender.” “Sepertinya tidak. Kita sering bertemu di perebutan tender sebelum-sebelumnya. Lagipula kalah menang dalam bisnis itu sudah biasa.” Bryan melihat arlojinya dan mengerutkan dahi karenanya. Waktunya menipis, sedangkan dia masih punya banyak pertanyaan. Dia harus segera ke kantor karena ingin bertemu dengan atasannya. “Untuk hari ini cukup sampai di sini. Kita akan bertemu lagi nanti siang,” kata Bryan masih sambil melihat ke arah jam tangannya. “Sebelum saya pergi, ada yang ingin Anda tambahkan?” Markus menggeleng cepat. “Baiklah, saya pamit sekarang. Selamat pagi!” Markus mengembuskan napas lega ketika Bryan mulai menjauh dari ranjangnya. Pintu ruang rawatnya sudah dibuka petugas polisi, tapi saat berada di depan pintu, Bryan berbalik. Detektif itu berjalan ke sisi kiri ranjang, lalu berjongkok ke lantai untuk mengambil tutup gelas yang tadi dijatuhkan Markus. Bryan meletakkan tutup itu di meja. Dia beralih pada gelas berisi air putih dan menggesernya ke tepi, dekat dengan ranjang agar Markus bisa menggapainya. “Tak perlu sungkan,” kata Bryan ketika Markus memandang curiga padanya. “Sekadar bantuan kecil.” Dia benar-benar pergi setelahnya
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD