CHAPTER 3. KEBAHAGIAAN HANYALAH ILUSI

2615 Words
    Galia mendesis panjang, dirasa gangguan utamanya sudah menghilang. Ia kembali melata menuju goa berisikan anak – anak, berniat untuk memangsa mereka.     Anastasius tidak bisa membiarkan Galia lolos, ia harus melakukan sesuatu selagi menunggu Cenora untuk bangun. Percikan listrik muncul di kedua telapak tangan Anastasius. Ia lantas berlari dan memegang ekor Galia, berniat untuk menyetrum Galia dengan tegangan listrik yang tinggi.     Suara lolongan terdengar kembali, kali ini ia terlihat jauh lebih marah dari sebelumnya. Galia mengayunkan ekornya, hendak melempar Anastasius. Namun, Anastasius berhasil menghindar.     Kekuatan mereka sangat jauh berbeda, Galia adalah siluman yang sudah hidup selama ratusan atau bahkan ribuan tahun. Sedangkan, Anastasius hanyalah seorang bocah tujuh belas tahun yang masih belum bisa menguasai sihirnya.     Meskipun begitu, Anastasius tidak akan membiarkan Galia lolos untuk menelan mangsa. Cenora sudah berusaha menyelamatkan mereka, kalau sampai Anastasius gagal menolong anak – anak, semua kesalahan harus jatuh ke tangan Anastasius.     Anastasius meloncat, kembali menghantarkan energi listrik ke tubuh Galia. Ular itu hanya menggeliat, listriknya bagaikan sebuah bulu kecil yang menggelitik. Tidak memiliki efek apapun. Kali ini, Anastasius menghunuskan pedangnya. Menimbulkan suara nyaring tatkala besi bertemu dengan sisik ular yang keras.     Galia mendesis, melesatkan kepalanya menuju Anastasius. Pedang milik Anastasius kini beradu dengan taring Galia, berusaha untuk menghalangi taring itu mengenai tubuhnya. Kedua kaki Anastasius bagai tertanam di tanah karena menerima tekanan besar dari atas.     PRANG.     Pedang milik Anastasius terbelah menjadi dua, sebelum taring Galia berhasil menembus tubuh Anastasius. Anak lelaki itu segera meloncat menghindar.     Ia tidak memiliki pilihan lain. Mengambil resiko adalah jalan terakhir yang bisa ia pikirkan. Anastasius mengepalkan kedua tangannya, mengalirkan seluruh energi listrik di dalam tubuh untuk berpusat ke kedua tangan.     Ia kemudian mengarahkan kedua tangannya kehadapan Galia, membentuk sebuah bola raksasa listrik yang dapat mengurung seluruh tubuh Galia didalamnya. Setidaknya, perisai listrik ini bisa menahan Galia beberapa saat.     Anastasius belum mampu mengendalikan sihirnya dengan leluasa, sehingga mengeluarkan energi sebesar itu sangat melelahkan untuknya. Jika Cenora tidak bangun dalam jangka waktu yang lama, habislah sudah.     Manik perak Anastasius menatap Cenora yang masih tak sadarkan diri, “Nora, Cepatlah bangun.”       ••••     Cenora merasakan cahaya menusuk kelopak mata, ia kemudian membuka kedua kelopak matanya. Menampilkan manik emas yang begitu bercahaya. Cenora menengok ke segala arah, hanya mendapati dirinya tengah berbaring di hamparan rerumputan hijau. Aroma hujan tercium samar diantara rerumputan tersebut.     “Aku dimana?” Ia mendudukan dirinya diatas hamparan rumput. Merasakan setiap hembusan angin yang menerpa kulitnya, membuat Cenora memejamkan matanya sejenak.     Ia merasa asing dengan lingkungan disekitarnya, seperti ada sesuatu yang berbeda. Namun, segalanya terasa begitu tenang.     “Cenora!” Pekikkan seorang anak perempuan bersurai merah terdengar membuat Cenora reflek menengok kearahnya.     Anak perempuan itu berlari seraya memegang beberapa tangkai bunga matahari dipelukannya, ia diikuti oleh dua anak lelaki yang juga tersenyum ketika melihat Cenora.     “Neola?” Ujar Cenora ragu.     “Cenora, apa yang kau lakukan disini? Aku sudah mencarimu kemanapun, padahal kita sudah berjanji ingin memetik bunga matahari bersama.” Neola menggembungkan pipinya kesal karena Cenora telah melanggar janji yang telah mereka buat bersama.     Cenora bangkit untuk berdiri, namun ia kembali merasa ada yang aneh. Tinggi pandangannya terasa berbeda, ia merasa pandangannya lebih tinggi sebelumnya. Kenapa sekarang begitu pendek, seakan ia berada ditubuh anak – anak.     “Kenapa kamu terlihat aneh? Apa kamu sakit?” Tanya Ilya, seorang anak laki – laki yang mengikuti Neola kemanapun.     “Aku tidak tahu. Tapi aku merasa asing dengan segala hal di sekitarku. Apa aku sakit?” Tanya Cenora.     Neola menepuk pundak Cenora, “Ini pasti karena kamu terlalu banyak tidur di siang hari, Ayah bilang kalau terlalu banyak tidur bisa menyebabkan kamu hilang ingatan.”     Penjelasan Neola langsung disambut gelak tawa oleh anak – anak lain.     Danis merupakan orang yang tertawa paling keras di antara yang lain, “Neola, dasar bodoh. Kenapa kamu percaya dengan omong kosong itu, kamu sangat bodoh.”     Wajah Neola terlihat memerah karena kesal atas ucapan Danis, “Aku tidak bodoh! Kamulah yang bodoh!”     Danis, “Hah, mana mungkin. Bocah sepertimu tidak akan bisa mengalahkan kejeniusanku. Aku bahkan mendapatkan peringkat satu dalam pelajaran teori!”     Ilyas ikut berbicara, “Danis, kau itu hanya pintar teori. Yang paling hebat disini tentu saja Cenora, ia selalu menjadi kebanggaan Desa Evanthe. Bahkan semua orang tua memperlakukannya seperti seorang dewi.”     Cenora menaikkan alisnya, “Benarkah?”     Neola mengangkat tangannya tinggi, “Tentu saja! Ibuku bahkan memberikan bunga matahari ini untukmu. Katanya kau bersinar seperti matahari!” Neola menyerahkan semua tangkai bunga matahari ke tangan Cenora.     Cenora tersenyum hingga memperlihatkan sederetan gigi putihnya, “Terima kasih. Aku sangat menghargainya.”     Matahari berada tepat diatas kepala saat ini, membuat cuaca sangat panas hingga menusuk kedalam tempurung kepala. Melihat matahari yang semakin tinggi, membuat Ilya melonjak kaget.     “Apa kalian bodoh! Bukankah kita punya kelas latihan elemen dengan Tuan Theodore sekarang?”     Mendengar pernyataan Denis spontan anak – anak lain ikut membelalakan mata karena ketakutan. Tuan Theodore adalah guru sihir mereka yang terkenal akan reputasi kejamnya terhadap murid yang terlambat.     Neola, “Mungkin kita bisa masuk tepat waktu bila berlari.”     Semuanya mengangguk setuju, kaki pendek mereka mulai berlarian di padang rumput menuju balai kota yang menjadi tempat dilaksanakannya sekolah umum untuk semua penyihir muda.     “Nora, cepatlah bangun.”     Cenora menghentikkan langkah kakinya, ia merasa seperti mendengar suara yang sangat ia kenali. Namun, ketika ia menoleh kebelakang. Cenora tak bisa menemukan siapapun disana, selain ilalang tinggi yang bergoyang karena tertiup angin.     Danis berteriak dari jauh karena melihat Cenora berdiam diri, “Cenora! Ayo cepat, nanti kita terlambat.”     Cenora kembali mengarahkan pandangannya kedepan, tidak terlalu memusingkan suara tersebut, “Iya! Aku segera kesana.”     Sesampainya mereka di balai kota, Tuan Theodore sudah memulai kelas. Pria berkacamata bulat itu melihat dengan pandangan bengis ke arah para murid yang terlambat. Ia memegang rotan kayu ditangan kanannya, alat yang biasa pria itu gunakan untuk memukul tangan anak – anak yang sulit diatur.     “Kalian berempat! Berbaris didepan!”     Keempatnya langsung menegangkan tubuh mereka karena takut, tapi masih mengikuti arahan dari Tuan Theodore. Pria itu melangkahkan kakinya menuju mereka, memperhatikan wajah keempatnya dengan seksama.     Tuan Theodore bahkan mulai menepuk – nepukkan batang rotan ke tangan kirinya. Seakan bersiap untuk memukul seseorang. Namun, pandangan pria itu melembut tatkala melihat ke arah Cenora.     “Cenora Evanthe, kamu adalah seorang yang jenius dan selalu hadir tepat waktu di kelas saya. Bagaimana bisa sampai terlambat?”     Cenora menggigit bibir bawahnya karena gugup, “Aku. Aku terlambat karena tak sengaja tertidur.” Jawabnya seraya menundukkan kepala malu.     Tuan Theodore hanya menghembuskan nafas dan tersenyum. Ia lantas menepuk pelan pucuk kepala Cenora dengan tangan kanannya, “Kamu pasti telah belajar sihir elemenmu semalaman sampai bisa tertidur di siang hari. Tidak apa apa, kamu boleh masuk kedalam kelas.”     Cenora tersenyum senang, “Anda serius?”     Tuan Theodore mengangguk, “Masuklah.”     Cenora lantas langsung berlari kecil masuk kedalam balai, takut bila Tuan Theodore akan berubah pikiran. Di lain sisi, Tuan Theodore menatap bengis ketiga anak – anak dihadapannya.     “Kalian! Lagi – lagi selalu terlambat! Bagaimana kalian bisa menjadi seorang Evanthe bila untuk datang belajar saja tidak tepat waktu!”     Setelah itu terdengar suara rotan kayu yang bertubrukan dengan kulit, berulang kali hingga suara teriakan anak kecil mulai terdengar. Bahkan Neola sudah menangis keras.     Cenora hanya melihat semua itu dalam diam, entah mengapa ia sama sekali tak merasa iba. Bahkan ada sedikit rasa senang di hatinya, bukankah itu tak wajar. Sebagai teman, Cenora seharusnya tidak senang ketika teman – temannya tersiksa seperti itu. Namun, bagaimana bisa ujung bibirnya naik begitu tinggi, dengan perasaan senang yang membuncah.     Apakah aku sudah gila? Pikir Cenora yang langsung menormalkan ekspresi miliknya sebelum ada orang lain yang melihat.     ••     Cenora berlari kecil menuju rumah sederhana miliknya. Rumah yang terletak berdekatan dengan kebun jagung, fasad bangunan terlihat begitu sederhana dengan material utama menggunakan kayu berwarna kemerahan. Menimbulkan kesan hangat ketika memasuki rumah tersebut.     Uap asap terlihat keluar dari cerobong asap, menjadi pertanda bahwa Nyonya Elena sedang memasak untuk makan malam. Cenora membuka pintu depan, menoleh ke segala sisi rumah untuk mencari Nyonya Elena yang tengah menuangkan sup dari panci ke dalam mangkuk besar.     “Mama! Mama! Lihatlah!” Cenora memperlihatkan sebuah kertas berwarna kuning yang di tuliskan huruf A dengan sangat besar. Nilai dari ujian praktek sihirnya dengan Tuan Theodore.     Nyonya Elena tersenyum bangga, segera meletakkan panci ke atas meja. Ia lantas berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan tinggi Cenora, wanita itu kemudian membelai halus rambut perak yang begitu halus milik Cenora.     “Wah, Cenora mendapat nilai tinggi lagi. Anak mama sangat bekerja keras setiap hari.”     Cenora tersenyum dan mengangguk, “Aku akan menjadi yang terhebat di Desa Evanthe.”     Nyonya Elena tertawa kecil, “Cenora memang sudah menjadi yang terbaik disini.”     “Aku pulang.” Suara anak lelaki terdengar dari pintu masuk.     Cenora menoleh ke arah pintu, “Helios. Aku mendapatkan nilai A lagi.”     Helios yang merupakan adik Cenora hanya tersenyum kecil, “Kamu memang terbaik.”     “Cenora, bisa kau ambilkan air dari sumur? Persediaan air kita sudah habis.” Tanya Nyonya Elena.     Cenora mengangguk patuh, “Aku akan segera mengambilnya.”     Nyonya Elena kemudian menyerahkan sebuah baskom air kepada Cenora. Anak itu langsung berlari keluar rumah, suasana hatinya sangat baik hari ini.     Ia bersenandung kecil sepanjang jalan menuju sumur yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah mereka. Cenora melompat – lompat kecil sambil sesekali menendang batu, tidak memperhatikan jalan yang ada didepannya.     Hingga akhirnya dia menabrak seorang pria tinggi yang membuatnya terpental jatuh, bahkan baskom air yang ia pegang jatuh entah kemana. Telapak tangannya terasa sakit akibat menahan bobot tubuhnya ketika jatuh, bohong bila ia berkata kalau dia tidak kesal.     Cenora menaikkan kepalanya untuk melihat wajah pria yang menabraknya. Sosok pria berkulit sepucat salju tersenyum kepada Cenora, ia mengulurkan tangan untuk membantu anak itu untuk berdiri.     “Maafkan saya.” Ujar Pria seraya membungkukkan badannya. Pundaknya terlihat bergetar, seakan sedang menanggung penyesalan yang begitu banyak.     Cenora merasa aneh, untuk apa membungkuk sedalam itu hanya karena tak sengaja menabrak anak kecil.     “Tuan, bukankah anda terlalu berlebihan. Hanya jatuh ke tanah tidak akan membuat saya mati.”     Pria itu masih membungkuk, “Maafkan saya, Nona Cenora. Saya sangat menyesal.”     Ia jatuh ke atas tanah, bersujud dihadapan Cenora hingga hampir mencium kakinya. Jika saja Cenora tidak menahan pundak pria itu.     “Tuan, anda tidak perlu sampai seperti ini.”     “Bisakah anda membantu saya?” Tanya Pria itu, ia kemudian menaikkan kepalanya dan menatap mata Cenora.     “Bantuan? Seperti apa?”     “Bisakah anda membebaskan saya dari penyiksaan ini.”     Cenora memiringkan kepalanya, “Membebaskan anda? Dengan cara apa?”     “Bunuh saya.”     Cenora semakin bingung dengan arah pembicaraan mereka, pria dihadapannya sangat aneh. Hampir terlihat seperti orang tidak waras yang melantur. Namun, Cenora merasa ada sensasi tak asing dari pria tersebut.     “Saya tidak mengerti, Tuan.”     Pria itu tersenyum sendu, “Sesulit itukah meninggalkan ilusi ini?”     Ilusi?     Ada rasa sakit yang langsung mendera kepalanya, terasa sangat menyakitkan hingga ia tidak kuasa untuk menopang tubuhnya sendiri dan terjatuh ke atas tanah. Suara berdenging memenuhi telinga, membuat Cenora tidak bisa mendengar suara di sekitarnya.     Cenora tidak mengerti. Apa yang dimaksud dengan meninggalkan ilusi? Bukankah ini semua adalah kehidupannya, kehidupan yang begitu menyenangkan hingga membuat ia merasa sangat bahagia setiap detiknya.     Untuk apa meninggalkan dunia ini?     Ini bukan ilusi.     Cenora berusaha meyakinkan diri bahwa dunia ini adalah kenyataan. Semua yang telah ia lalui hari ini merupakan kenyataan. Seluruh orang di Desa Evanthe sangat menyayanginya juga kenyataan. Teman – temannya adalah nyata. Keluarganya, suasana desa, semua ini nyata.     “Cen..”     Samar – samar ia kembali mendengarkan suara yang begitu tidak asing di telinganya. Suara yang seakan sering ia dengar setiap hari, suara yang membuat dunianya terasa berbeda.     “Nora! Bangunlah!”     Semua suara dengung yang tiada henti bertabuh di gendang telinganya berhenti, rasa sakit kepala pun mulai menghilang.     “Asta?” Bisiknya pelan.     Cenora menegakkan kepalanya, Pria tinggi dihadapannya telah menghilang. Tubuh kecil Cenora mulai tergantikkan kembali menjadi tubuh wanita dewasa.     Ini hanya ilusi.     Ketika Cenora membalikkan badannya kebelakang. Yang ia lihat hanyalah lautan api merah yang melahap seluruh rumah warga. Teriakan demi teriakan nyaring dari seluruh penduduk Desa Evanthe terdengar. Banyak anak kecil yang terhimpit oleh kayu rumah, sehingga tidak bisa menyelamatkan diri. Para orang dewasa pun semuanya hanya tergolek lemah diatas tanah.     Aroma amis darah bercampur dengan asap. Menimbulkan bau pekat yang sangat buruk. Mereka semua merangkak, merintih, dan memohon ampunan diantara kobaran api.     Cenora tertawa dengan keras seraya memegang keningnya. Seakan sedang menertawakan dirinya sendiri yang bisa dengan mudah dikelabui oleh Ilusi siluman. Kehidupan indah dan tenang seperti itu tidak pernah nyata dalam hidupnya. Seumur hidup, sejak ia dilahirkan ke dunia, Cenora selalu menjadi tameng terdepan untuk menghadapi dunia yang begitu kejam.     Cenora hanyalah senjata, dan ia tidak berhak untuk bahagia.     “Terbakarlah. Karena, itu adalah kenyataan.”     Ras Evanthe telah musnah. Terbakar bersama kobaran api, menjadikan Cenora sebagai satu – satunya keturunan Evanthe yang masih hidup.     ••••     Cenora perlahan membuka kelopak matanya, pemandangan pertama yang ia lihat adalah Anastasius yang terlihat sangat pucat sedang membentuk perisai listrik untuk menahan Galia. Anak itu seperti sudah akan pingsan bila ia terus mengeluarkan energinya.     Luka di lengan Cenora sudah menutup dengan sempurna, wanita itu bangkit berdiri. Pusaran elemen gelap mengelilingi seluruh tubuh Cenora.     Anastasius bisa merasakan kehadiran Cenora kembali, ia menghentikkan aliran listriknya. Seluruh energi didalam tubuhnya seakan sudah habis, sehingga tak mampu untuk berdiri tegak. Anastasius hampir terjatuh keatas tanah bila saja Cenora tidak melesat cepat untuk menahan tubuh Anak itu.     Cenora tersenyum lembut, “Istirahatlah. Aku sudah disini.”     Anastasius hanya mengangguk, ia memegang lengan Cenora, “Galia sangat aneh, dia tidak seperti siluman yang memiliki kesadaran. Galia seperti boneka yang digerakkan oleh orang lain.”     “Aku mengerti.”     Setelah Cenora meletakkan Anastasius di tanah serta memberikannya pelindung sihir. Cenora menatap Galia, ia menghembuskan nafas seraya menutup matanya sejenak.     “Seperti keinginanmu, Galia. Aku akan membebaskanmu.”     Galia berteriak begitu keras, gelombang suaranya mampu membuat tanah bergetar bahkan dinding jurang retak. Cenora memunculkan perisai di sekeliling tubuhnya, menghalau gelombang suara tersebut.     Manik mata milik Cenora berubah menjadi merah pekat, di tangan kanannya muncul sebuah pedang yang terbuat dari sihir elemen gelap. Ujung pedangnya begitu runcing, mampu menembus apapun tanpa terkecuali.     Cenora melesat begitu cepat, menghunuskan pedangnya ke beberapa titik lemah Galia. Ia bergerak begitu cepat, hingga Galia kesulitan untuk menangkapnya. Ular itu hanya menggeliat tanpa henti dan meraung kesakitan.     Sedari awal memang Cenora lebih unggul. Hanya saja, ia terlalu ragu untuk menyerang Galia. Mereka adalah kawan lama, sudah melalui berbagai macam peperangan serta sejarah dunia dalam jangka waktu yang begitu panjang.     Namun, Galia sudah tidak ada. Yang tersisa kini hanyalah cangkang siluman tak berotak yang hanya bisa mencari mangsa dan menyerang.     Energi gelap menjalar di seluruh tubuh Galia. Menghisap seluruh energi dari siluman itu, tanpa menyisakkan apapun. Membuat Galia mulai melemah dan tak bisa menegakkan kepala.     Cenora meloncat begitu tinggi, bahkan melebihi kepala Galia. Ia menghunuskan pedangnya menuju tempurung kepala Galia. Ujung pedang menembus dari kepala hingga ke mulutnya.     Titik terlemah dari siluman ular adalah tempurung kepala. Bagi mereka, tempurung kepala merupakan wadah untuk mengumpulkan energi sihir dan kekuatan. Bila, kepalanya terkoyak ataupun tertusuk oleh benda tajam. Seluruh energi yang dikumpulkan akan menyeruak keluar untuk meninggalkan tubuh. Membuat tubuh siluman menjadi cangkang kosong yang lemah.     Tubuh raksasa Galia perlahan mulai menyusut.  Ekor ular membentuk dua kaki manusia, seluruh tubuh ular itu telah berganti menjadi sosok manusia berkulit pucat. Seperti luka yang berada di tubuh ularnya, tubuh manusia Galia pun mendapatkan luka tusukan pada kepalanya.     Cairan merah mengalir begitu deras dari kepala. Menggenang di antara kaki Cenora. Galia masih bernafas, ia menatap Cenora seperti melihat kenalan lama yang sudah lama tak berjumpa. Ada kerinduan yang begitu dalam di kedua manik kelabunya.     Kesadaran Galia mulai kembali di penghujung kematian, “Nona Cenora. Maafkan saya.” Lirihnya.     Cenora berlutut disamping Galia, menggenggam tangan kanan siluman itu, “Apa kamu ingin hidup?”     Galia menggeleng pelan, sudut bibirnya terangkat membentuk senyum tipis. Buliran air mata mulai menuruni pipinya, “Selama ini saya terjebak, saya dapat berfikir namun tak bisa mengendalikan tubuh saya.”     Ada jeda panjang sebelum Galia kembali melanjutkan, “Saya telah membunuh ribuan manusia dalam satu tahun terakhir. Saya sudah tidak berhak untuk hidup.”     Genggaman tangan Cenora semakin mengerat. Ada rasa bersalah di diri wanita itu karena terlambat menemui Galia. Seandainya ia datang lebih cepat, seandainya mereka bertemu lebih cepat. Mungkin Galia tidak akan membunuh.     Galia hidup sebagai siluman yang memiliki kesucian tinggi. Ia berpedoman kepada surga, menyembah dewa dan bahkan telah menjadi pelindung bagi dewa yang turun ke dunia manusia. Membunuh manusia yang tak berdosa sama seperti mengakui darah siluman yang paling ia benci.     Meskipun kesadarannya telah kembali, Galia tidak akan mungkin bisa menjalani kehidupan seperti sebelumnya. Setiap langkah kakinya akan meninggalkan jejak dosa atas darah yang telah ia korbankan. Memilih mati adalah jalan terbaik untuknya.     Cenora menggigit bibir bawahnya, “Apa yang terjadi padamu?”     “Saya tidak ingat. Semua terjadi begitu cepat. Maafkan saya, Nona Cenora.”     Cenora meletakkan tangannya diatas kening Galia, menghantarkan energi gelap untuk memyerap energi kehidupan Galia yang terakhir. Membebaskan kawan lamanya dari penyiksaan.     “Kamu telah melakukan yang terbaik. Tidurlah, Galia.”     Energi kegelapan mengalir ke seluruh tubuh Galia. Menghisap seluruh kehidupan, dan menyisakkan jasad Galia yang sudah tak bernyawa.  **** To Be Continued
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD