CHAPTER 4. KAWAN LAMA TELAH BERPISAH

2478 Words
    Anastasius memperhatikan semuanya, ia mengerti bahwa Galia merupakan orang penting di masa lalu Cenora. Baru kali ini, ia bisa melihat Cenora menampakkan ekspresi yang berbeda. Cenora tampak begitu sedih, namun tak menangis.     “Nora, kamu baik – baik saja?” Tanya Anastasius Khawatir.     Cenora menoleh kepada Anastasius, ia memperhatikan tubuh Anastasius yang memiliki luka goresan – goresan kecil yang sepertinya didapatkan karena bertarung dengan Galia. Wanita itu berdiri dan menghampiri Anastasius.     “Kemarikan tanganmu. Kamu terluka.” Perintah Cenora.     Cenora tidak menjawab pertanyaannya, dan hal itu sedikit membuat Anastasius merasa tidak nyaman, “Cen—”     “Diamlah. Aku akan menyembuhkanmu.” Cenora menarik tangan kanan Anastasius. Ia meletakkan telapak tangan kanannya diatas tangan Anastasius. Cahaya berwarna keemasan berpendar di telapak kanan Cenora kemudian berpindah ke tangan Anastasius.     Sihir penyembuh milik Cenora mampu menutup luka kecil di seluruh tubuh Anastasius dan mengembalikkan energi Anak itu secara bertahap. Cara menggunakan sihir penyembuh kepada orang lain pada dasarnya adalah dengan mengalirkan energi sihir milik diri sendiri kepada orang yang terluka. Sehingga energi Cenora lah yang akan terkuras. Namun, energi sihir didalam tubuh Cenora tidak akan semudah itu untuk menurun drastis.     Cenora melirik ke arah Anastasius dalam diam, ia yakin anak itu memiliki sejuta pertanyaan di otak kecilnya. Pertanyaan yang akan selalu berputar sampai mendapatkan jawaban yang pasti. Dan Cenora tidak ingin dipusingkan oleh hal itu dalam jangka waktu yang lama.     “Galia adalah temanku.” Ujar Cenora lirih.     Jawaban yang ditunggu oleh Anastasius telah terdengar, membuatnya memandang Cenora dengan seksama. Ia tak perlu bertanya lebih lanjut, karena pada akhirnya Cenora akan menjelaskan semuanya.     “Dia memang siluman. Tapi dia berbeda, dia menyembah dewa dan tak pernah menyakiti manusia tak berdosa. Kami pernah menjadi rekan yang berjuang dalam perang melawan iblis dan siluman.”     Sekitar empat ratus tahun yang lalu, Cenora berkelana tanpa henti dari satu tempat menuju tempat yang lain. Melakukan apapun yang ia anggap tidak membosankan, Cenora sudah membunuh ratusan siluman sepanjang perjalannya hingga namanya terdengar oleh para dewa di surga.     Dewa Philomenos yang merupakan dewa utama di surga meminta Galia untuk mencari Cenora, dan meminta Cenora menjadi rekan untuk Galia dalam membasmi siluman dan iblis di dunia manusia.     Anastasius bertanya, “Lalu kamu mau?”     Cenora tertawa kecil, “Tentu saja tidak. Aku tidak mau bekerja untuk dewa. Mereka menyebalkan.”     “Jadi kau tetap menjadi rekan Galia hanya untuk bersenang – senang?”     “Hidupku membosankan, dan Galia memiliki banyak musuh yang menarik.”     Sejak pertemuan itulah, selama dua ratus tahun lamanya mereka menjadi rekan. Melewati banyak peristiwa ataupun kesenangan yang sulit untuk dilupakan.     Namun, kebersamaan mereka haruslah berakhir tatkala Galia memutuskan untuk bertapa di atas gunung Hestia agar bisa mencapai kemuliaan tertinggi dan bisa menjadi Dewa di surga. Sedangkan Cenora tetaplah masih berkelana, mencari banyak kesenangan duniawi yang bisa membunuh rasa bosannya.     Karena hal itulah, sangat mengejutkan melihat Galia secara tiba – tiba ingin memangsa manusia. Galia yang ingin menaikkan kemuliaannya menjadi seorang dewa, pada akhirnya harus memupuk seluruh keinginannya karena dijebak oleh sesuatu yang belum diketahui.     “Galia adalah temanku yang paling berharga. Namun, aku jugalah yang membunuhnya dengan tanganku sendiri.”     Cenora menghela nafasnya panjang, ia tersenyum getir seraya menatap ke arah manik perak Anastasius, “Tidakkah itu ironis?”     Anastasius menarik lengan Cenora, memerangkap tubuh wanita itu kedalam pelukannya. Menyalurkan rasa nyaman dan kehangatan yang wanita itu butuhkan, meskipun ia tidak mengatakan apapun.     Selama ia tinggal bersama Cenora. Tak pernah sekalipun wanita itu menampakkan perasaan dalam raut wajahnya, walau tersenyum sekalipun. Hal itu tidaklah lebih seperti senyuman ejekan atau palsu untuk mengelabui orang – orang di sekitarnya.     Untuk pertama kalinya, Anastasius bisa merasakan emosi dalam raut wajah Cenora. Dan perasaan yang ia perlihatkan bukanlah suatu hal yang membahagiakan.     Anastasius dengan ragu menepuk punggung Cenora, “Galia pasti lebih tenang mati ditanganmu, dibanding harus dibunuh oleh orang lain. Karena kamu adalah teman berharganya. Dan, kamu pun hanya membebaskan Galia dari penyiksaan. Semua akan baik – baik saja.”     Awalnya Anastasius takut jika Cenora akan mengamuk karena tidak suka atas tindakan serta ucapan Anastasius yang menyinggung Cenora. Namun, Cenora tidak menjawab apapun melainkan mengeratkan kedua tangannya ke pakaian Anastasius dan menundukkan wajahnya.     Cenora berbisik, “Aku tidak menangis.”     Anastasius, “Ya, kamu tidak menangis.”     Meskipun pada kenyataannya, Cenora memang tidak menangis. Air mata di matanya seakan kering dan tak bisa keluar entah seberapa menyakitkan perasaan yang sedang menggerogoti hatinya.     Mungkin karena selama ini ia menanamkan pikiran didalam otaknya berulang kali sejak ia kecil, “Kamu akan mati bila menangis.”     Berada di pelukan Anastasius memberikan ketenangan sesaat untuknya. Perasaan yang bergejolak bagaikan api mulai mereda seiring berjalannya waktu.     Cenora kemudian melepaskan diri dari pelukan Anastasius, merasa sungkan untuk terus berada di pelukan seorang bocah. Dan Anastasius cukup tahu diri akan hal itu.     Rembulan di langit nampak bercahaya begitu terang, menjadi penerang untuk jurang yang sebelumnya segelap malam. Kabut yang mengelilingi jurang pun mulai menghilang tatkala Galia menghembuskan nafas yang terakhir.     “Anak – anak itu pasti sudah terlepas dari ilusi. Mereka akan segera bangun.” Ujar Cenora seraya berjalan menuju goa yang jalan masuknya sudah dihancurkan oleh Anastasius.     Cenora menoleh ke arah Anastasius, “Kekuatan sihirmu sudah berkembang rupanya.”     Anastasius menggaruk tengkuknya yang tak gatal, “Ah, benarkah?”     “Tidak buruk. Tapi tidak bagus juga. Kontrolmu buruk sekali. Memakai pedang pun juga tak becus.”     Anastasius hanya tertawa kecil mendengarnya, sudah biasa dengan kritikan tajam yang dilontarkan oleh Cenora. Akan tetapi, dia memang mengakui kalau kekuatan sihirnya masih terbilang buruk. Ilmu pedangnya juga masih sangat minim sekali ditambah sekarang pedang miliknya telah patah akibat bertarung dengan Galia.     Anak – anak masih terbaring diatas tanah dengan tertidur lelap. Ilusi di mimpi mereka memang sudah menghilang, tapi butuh waktu agar mereka bisa sadar sepenuhnya. Umumnya, manusia yang terkena sihir ilusi tidak akan mengingat apapun ketika sudah bangun. Mereka akan melupakan segala ingatan yang terjadi ketika mereka masih dibawah kendali ilusi.     Hal ini menguntungkan bagi Cenora dan Anastasius, mereka berdua tidak mau ada satupun penduduk Kota Kalla yang mengetahui identitas mereka sebagai penyihir. Berada di satu wilayah dengan penyihir, terkadang membuat banyak orang yang ketakutan. Karena, menurut kebanyakan orang, penyihir memiliki kekuatan besar yang bisa membunuh manusia dengan mudah.     Baik ataupun buruk, bagi semua manusia biasa penyihir sudah dianggap sebagai ancaman bagi manusia. Dan Cenora serta Anastasius hanya ingin hidup dengan tenang di kota terpencil ini.     “Bawa mereka semua keluar goa.” Perintah Cenora.     Anastasius mengikuti perintah dari Cenora. Ia membawa tubuh mereka satu persatu keluar dari Goa. Mereka semua benar – benar seperti jatuh kedalam tidur yang begitu dalam sehingga sulit untuk dibangunkan.     Setelah semua anak dikeluarkan dari Goa, tanpa berbicara lagi Cenora melingkupi semua tubuh anak – anak itu dengan lingkaran angin. Membawa tubuh mereka terbang perlahan ke atas jurang.     “Kau juga kembalilah terlebih dahulu.” Ujar Cenora. Ia langsung menghempaskan Anastasius ke luar jurang dengan kecepatan yang tinggi. Membuat anak itu lagi – lagi berteriak keras karena merasa diperlakukan tak pantas oleh Cenora. Namun, Cenora tak akan memperdulikan hal itu.     Cenora melangkahkan kakinya mendekati tubuh Galia yang terbujur kaku. Kulitnya yang sudah pucat semakin memucat akibat darah tidak lagi mengalir didalam tubuhnya. Galia sudah benar – benar mati.     Kehidupan memang pada akhirnya harus berakhir.     “Tidurlah dengan tenang, Galia.”     Kobaran api melahab tubuh milik Galia. Menimbulkan percikan api kecil meletub – letub. Api tersebut membakar tubuh Galia dengan cepat, tak menyisakkan satupun daging atau tulang belulang miliknya. Hanya abu yang tersisa di atas tanah.     Kumpulan abu tersebut berterbangan di udara akibat sihir milik Cenora. Melayang menuju rembulan yang bersinar dengan terang, keluar dari sarang persembunyian yang begitu gelap. Cenora akan menerbangkan abu milik Galia hingga mencapai langit surga. Tempat yang paling Galia cintai seumur hidupnya.     Cenora lantas naik keluar dari jurang, terlihat ada beberapa anak – anak yang mulai membuka mata dan memegangi kepala mereka karena pusing, Anastasius membantu Anni untuk duduk setelah membuka matanya.     Anni merasa pandangannya masih terasa buram dengan kepala yang sakit. Ia melihat ke sekelilingnya dan mendapati sosok Anastasius yang sedang menatapnya dengan khawatir.     “Anni, kamu baik – baik saja?” Tanya Anastasius.     “Aku dimana?”     Cenora bersender di batang pohon besar yang letaknya tidak jauh dari tempat anak – anak duduk, ia kemudian berkata, “Di pinggir jurang. Kalian hampir mati karena menghirup kabut beracun.”     Charli yang ada disamping Anni langsung bangun dengan sigap, “Pinggir jurang? Kabut racun? Seingat kami, kami tidak bermain sampai sini.”     Cenora mendecih, “Tentu saja kamu tidak ingat, salah satu efek dari kabut racun juga bisa membuat kamu lupa ingatan.”     “Cepatlah bangun, jangan membuatku tambah susah.” Lanjut Cenora.     Anastasius mengusap pelan kepala anak – anak yang masih terlihat pusing, “Berdirilah jika sudah tidak pusing. Kami akan mengantarkan kalian ke kota.”     Diam – diam, Cenora mengalirkan energi sihir penyembuh di atas permukaan tanah. Sihir itu terserap ke seluruh tubuh anak – anak, mereka tentu tidak menyadari adanya sihir yang masuk kedalam tubuh mereka. Kesadaran mereka perlahan mulai pulih, dan rasa sakit yang mendera kepala pun sudah hilang.     Anak – anak itu pulih dan bisa berdiri dengan tegap kembali. Energi mereka bahkan sudah sangat penuh, hingga bisa berlarian di sekitar tubuh Anastasius.     “Aneh sekali. Aku langsung merasa sehat.” Ujar Gio seraya meloncat – loncat diatas tanah.     Anni mengangguk cepat dan melompat ke pelukan Anastasius, “Asta! Apa karena kamu mengusap kepala kami hingga kami bisa sembuh?”     Anastasius tersenyum lembut, tangannya mengulur untuk mengangkat tubuh pendek Anni, manik peraknya menatap ke arah Cenora yang tengah menatap ke arah rembulan tanpa memperhatikan Anastasius atau anak – anak lainnya.     “Mungkin ada seorang peri yang menyembuhkan anak – anak manis seperti kalian.” Ujar Anastasius, namun matanya tak luput dari figur Cenora.     ••••     Penduduk Kota Kalla menyambut kedatangan mereka dengan suka cita, mereka langsung berlarian untuk memeluk atau memarahi anak – anak yang secara mendadak pergi tanpa memberitahu orang tua mereka.     Anastasius memberikan penjelasan, bahwa anak – anak mereka hampir saja mati karena menghirup kabut beracun yang ada di pinggir jurang perbatasan kota kalla. Kebanyakan ibu langsung menangis histeris dan memeluk anak mereka karena takut kehilangan.     “Kenapa bisa – bisanya kalian ketempat seperti itu?” Nyonya Beryl memarahi Anni yang langsung bersembunyi dibelakang Anastasius.     Anastasius berusaha menenangkan Nyonya Beryl, “Semuanya sudah berlalu Nyonya Beryl. Mungkin anak – anak hanya penasaran dengan perbatasan kota dengan Hutan Dyras. Mereka juga tidak tahu akan ada kabut beracun disana, yang terpenting adalah mereka semua selamat.”     Mendengar hal itu lantas membuat raut wajah Nyonya Beryl menjadi lebih baik, ia menggenggam kedua tangan Anastasius dan hampir berlutut bila Anastasius tidak menahan pundak wanita itu.     “Terima kasih banyak, Asta. Berkat kamu anak – anak kami bisa selamat. Apa jadinya mereka, bila kamu tidak menemukan mereka.”     Anastasius langsung menggeleng cepat, “Tidak. Tidak. Sungguh saya tidak melakukan apapun, Cenora yang menemukan me—”     Dia hendak melihat ke arah Cenora, namun tidak mendapati sosok Cenora dibalik kerumunan, “Dimana Cenora?”     Penduduk yang lain pun juga ikut mencari keberadaan Cenora, karena beberapa saat yang lalu mereka yakin masih melihat Cenora berdiri diantara mereka.     “Maaf, sepertinya saya sudah harus kembali.”     Anastasius berlari melalui kerumunan orang kemudian menelusuri jalanan Kota Kalla yang diterangi oleh lampu tiang berbentuk bulat di sepanjang jalan. Jalanan terlihat begitu sepi dikarenakan para penduduk yang tengah berkumpul di pusat kota untuk menyambut anak mereka.     Ia terlalu antusias untuk berbincang dengan penduduk kota sampai melupakan Cenora. Wanita itu selalu saja meninggalkannya bila Anastasius memalingkan wajah. Namun, Anastasius memang sudah tahu betul kalau Cenora tidak pernah menyukai anak – anak.     Dari kejauhan, Anastasius dapat melihat sebuah rumah sederhana yang ia dan Cenora tinggali. Lampu di rumah menyala, melalui jendela yang tak tertutup, Anastasius melihat Cenora yang duduk diatas kursi ruang makan dengan tumpukkan buku yang menggunung diatas meja.     Setelah sampai didepan rumah, Anastasius menarik kenop pintu. Mendengar adanya suara pintu yang terbuka membuat Cenora mengalihkan pandangannya ke arah pintu.     “Oh, akhirnya kau pulang.” Kata Cenora, lalu kembali membaca bukunya.     Anastasius berjalan mendekati Cenora, merasa bingung dengan hal yang dilakukan oleh wanita itu. Pasalnya, sangat tidak biasa seorang Cenora akan membaca di malam hari.     “Apa yang sedang kau baca?” Tanya Anastasius.     Cenora mengetukkan jarinya ke atas meja, “Buku sihir. Keadaan Galia membuatku tidak tenang hingga sekarang. Aku belum pernah mendengar ada sihir yang bisa mengendalikan orang lain.”     Anastasius menarik kursi di sebrang Cenora, “Lalu apa kamu sudah menemukan sesuatu?”     “Belum ada.”     “Mungkinkah teknik sihir yang dipakai merupakan teknik yang dilarang, sehingga tidak termuat didalam buku sihir.”     Awalnya Cenora mengerutkan keningnya karena berfikir, tapi ia kemudian mengingat sesuatu, “Itu mungkin. Aku pernah mendengar tentang adanya buku yang memuat sihir terlarang dari seseorang. Sayangnya aku tidak bisa menemukan buku seperti itu.”     Anastasius hendak menjawab, namun langsung panik tatkala melihat ada cairan merah yang mengalir keluar dari hidung Cenora. Dan sepertinya Cenora menyadari hal tersebut ketika tetesan darah jatuh ke atas kertas buku yang sudah menguning.     “Cenora hidungmu berdarah!” Anastasius langsung berjalan kesamping Cenora, ia mengeluarkan sapu tangan dari sakunya dan berusaha mengelap darah yang terus mengalir semakin banyak dari hidung Cenora.     Cenora hendak menarik tangan Anastasius, “Biar aku saja.”     Anastasius menepis tangan Cenora, “Kamu diam saja. Kenapa kamus selalu memaksakan diri?”     Cenora selalu seperti itu, ia selalu memaksakan diri dalam menggunakan sihirnya. Untuk bisa keluar sendiri dari ilusi seorang siluman, ia tentu butuh mengerahkan kekuatan yang besar agar bisa terbebas dari sihir ilusi. Hanya penyihir yang memiliki Elemen Gelap saja yang menghancurkan sihir ilusi, namun tenaga yang dikeluarkan pun tidaklah kecil.     Ia telah mengerahkan begitu banyak sihir gelapnya hari ini. Cenora melupakan batas pemakaian sihir gelap yang bisa ia tanggung hari ini, meskipun wanita itu tidak pernah menceritakan apapun kepada Anastasius mengenai sihirnya. Anastasius tahu betul bahwa Cenora tak bisa menggunakan sihir gelap dalam porsi yang berlebihan.     “Kalian bisa mati kalau aku tidak memaksakan diri.”     Tangan Anastasius berhenti bergerak, ia merasa seperti ada jarum kecil yang menusuk hatinya. Rasa bersalah menggerogoti pikiran maupun hati Anastasius, bila seandainya ia bisa lebih kuat, jika saja dia tidak lemah. Bukankah Cenora tidak harus selalu mengorbankan dirinya.     Anastasius tersenyum getir, “Maaf, aku memang tidak berguna.”     Cenora mengerutkan keningnya, merasa tak setuju dengan ucapan Anastasius, “Asta, berapa kali harus kukatakan, jangan terlalu banyak memikirkan hal tak berguna.”     “Tapi kenyataannya memang seperti itu. Seandainya aku bisa lebih kuat, kamu tidak harus memaksakan diri. Kamu tidak harus selalu sakit seperti ini.”     Cenora tidak mengerti. Ia sama sekali tidak pernah mengerti pola pikir Anastasius, apa yang salah dengan selalu di lindungi. Seumur hidupnya, Cenora memang selalu menjadi tameng terdepan dalam melawan musuh. Menjadi tombak tertajam yang selalu di muliakan oleh semua orang. Tidak pernah ada satupun orang yang memprotesnya tatkala ia harus berdarah demi melindungi nyawa mereka.     Kemarahan Anastasius adalah suatu anomali bagi Cenora. Untuk apa marah hanya karena dirinya terlalu memaksakan diri, lagipula Cenora pun juga tak bisa mati. Cenora memandangi Anastasius yang nampaknya merasa gusar, anak itu kembali duduk di sebrang Cenora dengan wajah yang tertunduk.     Cenora berfikir, mungkin Anastasius merasa frustasi karena kekuatannya berada jauh dibawah Cenora. Mungkin juga harga dirinya tercoreng karena selalu menjadi pihak yang lemah. Selama ini, Cenora tidak pernah mengajarkan Anastasius cara melatih sihirnya ataupun memakai pedang dengan benar, karena wanita itu selalu berfikir selama dirinya masih cukup kuat untuk melindungi Anastasius, anak itu tidak perlu menghabiskan waktu hanya untuk berlatih. Tapi nampaknya secara diam – diam Anastasius selalu melatih kekuatannya hingga sihirnya mulai berkembang.     Cenora mengetukkan jarinya ke atas meja, “Jika kamu bisa lebih kuat, apa kamu akan merasa lebih baik?”     Anastasius mengangkat kepalanya, “Tentu saja. Tapi kau juga tahu, aku selalu kesulitan berlatih seorang diri.”     Cenora mengalihkan pandangannya ke arah rembulan dari balik jendela, “Aku bisa mengajarimu.”     Anastasius merasa tercengang mendengar hal tersebut. Selama ini, ia memang tidak pernah meminta diajari oleh Cenora. Namun, ia tahu betul bahwa wanita itu sebenarnya enggan melihat Anastasius berlatih. Karena, Cenora selalu menganggap dirinya cukup kompeten untuk bisa diandalkan dalam situasi mendesak.     “Kamu tidak bercanda?”     “Memangnya aku pernah bercanda?”     “Tidak.” Anastasius tertawa.     ****     To Be Continued
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD