Alpha (2)

1094 Words
.... Kami bengong sejenak menyaksikan siaran beberapa rekaman kerusuhan, kehancuran, dan serangan zombi yang terjadi di beberapa negara, khususnya Eropa. “Zombie? Seriously? I can’t believe this!” teriak Tayn. “But, that’s the truth, Ex! Kau punya masalah dalam menerima kenyataan tentang hal ini juga?”  sahut Moana setengah kesal. “Moana ...,” desah Tayn. “Aku masih mencintaimu. Tidak bisakah kau memaafkan kesalahanku dan berikan satu kesempatan lagi untukku?” “Nope, thanks!” “Hei, hei. Ingat, kita sedang menghadapi zombi. Bukan waktunya saat ini untuk bertengkar dengan mantan!” tegur Aata. Tayn mendesah lesu. Moana membuka kulkas mini dan mengambil sebuah minuman soda. “Cuma ada buah di kulkas. Aku lapar, kurasa Alpha dan Lea juga. Tidak adakah makanan yang bisa kita pesan?” tanya Moana.   “Aku dan Tayn juga belum makan malam. Kita pesan saja. Kalian ingin makan apa?” sahut Aata sambil bertanya balik. “Pizza!” sahut kami serentak. “Hei, di hotel banyak makanan enak, yang kalian inginkan hanya pizza?” protes Tayn. “Kami sedang makan itu saat zombi bermunculan. Aku bahkan belum sempat menelan gigitan ketiga,” ujar Lea dengan wajah memelas. Kami sontak tertawa. Aata menggeleng-gelengkan kepala sebelum beranjak. “Baiklah. Pizza untuk tiga tamu cantikku.” Malam itu, kami menghabiskan waktu dengan berbincang-bincang tentang rencana menghadapi zombi serta sesekali bersenda gurau sambil makan bersama. Sama sekali tak mengira bahwa esoknya kami akan kehilangan beberapa teman yang berharga .... *** Keesokan harinya, aku membuka mata ketika mendengar suara-suara teriakan. Kulihat jam di dinding menunjukkan pukul 6 pagi. Aku segera membangunkan Moana dan Lea yang tidur satu ranjang denganku. Tayn masih tidur di ranjang sebelah. Aata tampak masih pulas di sofa. Moana terbangun seraya menguap, diikuti oleh Lea yang mengucek-ngucek mata. “Suara apa itu?” tanya Lea. Suara gaduh makin terdengar. Aku melangkah berjinjit menuju pintu dan mencoba mengintip melalui lubang intip. Beberapa orang tampak berlarian panik, kemudian disusul sejumlah zombi. “Taupo diserang! Zombi sudah menyebar ke sini!” teriakku sedikit tertahan. Moana segera membangunkan Aata dan Tayn. Dua lelaki itu segera bangkit, buru-buru mengenakan jeans serta pakaian seragam rugby lengkap dengan sarung tangan, lalu mengambil serta memakai tas ransel mereka yang telah diisi buah-buahan dan minuman dari kulkas mini, ditambah beberapa pakaian. “Seperti yang diberitahu mama Alpha, kita akan mencoba bertahan di tempat aman, berharap heli akan bisa menjemput kita. Kita tidak tahu kapan regu penyelamat akan tiba. Kita fokus pada rencana orang tua Alpha,” ujar Aata sambil menyelipkan ponselnya yang telah terisi penuh di saku jeans. Aku mengangguk dan turut memasukkan ponselku ke dalam tas selempang. “Sebaiknya kalian lindungi kulit dengan memakai jaket kulit atau baju tebal berlengan panjang. Kalian bisa pakai pad pelindung dan sarung tangan cadangan kami. Ingat, hindari gigitan atau muntahan zombi,” imbuh Tayn. “Bawa apa pun yang bisa dijadikan senjata,” saran Aata sambil menghancurkan sebuah kursi. “Incar kepala mereka.” Kami mengangguk serempak. Aku pun segera meraih sebilah kayu dari kursi yang cukup tebal. Moana memberiku sepasang sarung tangan, juga pada Lea. Setelah bersiap-siap ala pemain rugby aneh dengan tambahan baju tebal berlengan panjang ditambah celana jeans yang dipakai sebelumnya, kami dipimpin Aata keluar dari hotel. Beberapa kali aku, Moana, dan Lea berteriak histeris saat bertemu sejumlah tamu dan pegawai hotel yang kini menjadi zombi. Untunglah Aata dan Tayn sangat sigap menghantam kepala-kepala mereka dengan kayu. Jantungku hampir saja loncat saat bertabrakan dengan beberapa rekan tim Aata yang lain. Suara jeritan mereka sungguh  mengejutkanku. Wajah-wajah para pemain rugby itu tampak panik. “Sial! Kami tengah lari pagi. Tiba-tiba mereka ada di mana-mana! Kita kehilangan tiga anggota! Phil, Lucas, dan Erix!” lapor salah satu dari tim itu yang bertubuh paling tinggi. “Kenapa kalian malah kembali ke hotel?!” sergah Aata. “Kami tak ingin meninggalkanmu!” jawab si Tinggi. Aata mendesah. “Cari dan bawa benda apa pun yang bisa dijadikan senjata! Lakukan apa saja untuk melindungi diri kalian dari gigitan atau muntahan zombi! Kita akan mencari tempat aman sambil menunggu heli penjemput atau regu penyelamat.” Dua lelaki suku Maori itu segera memimpin jalan kembali. Aku, Moana, dan Lea ada di tengah. Di bagian belakang ada sisa anggota tim rugby. Di lorong sebelum pintu keluar, kami kembali bertemu segerombolan zombi yang tampak lapar. Wajah-wajah dan tubuh-tubuh yang rusak dan pucat itu menimbulkan bau tak sedap. Mereka terlihat agresif dan seperti kebingungan. Aku mengenali satu wanita penerima tamu hotel yang kini telah berubah menjadi mayat hidup. Aku seketika mual kala melihat darah di sekitar mulut dan tangannya. Bagian leher kanan wanita itu terkoyak lebar, membuat kepalanya condong ke kiri. “Kau tidak apa-apa?” tanya Aata dengan suara lembut padaku. “Iya, aku baik-baik saja,” jawabku pelan. Kemudian ia tampak memberi kode pada teman timnya untuk maju perlahan tanpa suara melewati gerombolan zombi. Tanpa sadar, aku memegang erat ujung jaket Aata. Lelaki itu menoleh padaku, lalu tersenyum. “Apa aku begitu memesona hingga kau tak ingin jauh dariku?” Aku buru-buru melepaskan peganganku dari jaketnya dengan wajah memanas. Moana seketika itu juga meninju bahunya. Aata hanya menggerakkan mulutnya seperti pura-pura mengaduh, tetapi tanpa suara. Tayn terlihat memutar bola mata melihat sikap dua saudara sepupu itu. Kami hampir berhasil keluar dengan aman, jika saja Lea yang tengah memakai sandal hotel tak sengaja menginjak pecahan kaca. Suara retakan sepertinya terdengar oleh para zombi. Mereka pun menjadi beringas, menyerang dengan gerakan cepat ke arah kami. Lea menjerit kalang kabut sambil memejamkan mata mencoba memukuli salah satu zombi yang mendekatinya dengan kayu di tangan. Namun, pukulannya lebih banyak luput. Zombi itu sedikit lagi akan menggigitnya ketika dengan gerakan cepat Moana memasukkan kayu miliknya ke mulut zombi. “Nice move,” bisik Tayn cukup keras ke arah Moana. Gadis bertato di dagu itu hanya mendengkus. “Namun, sekarang kau tak punya senjata,” ujar Tayn lagi, menatap Moana datar sebelum berpaling pada Aata. “Sudah kubilang, sepertinya dia punya masalah dengan otaknya.” “Memangnya kau akan mengharapkan apa? Kubiarkan saja si penerima tamu yang kini jadi mayat hidup itu menggigit Lea?” “Kau bisa menyerang kepalanya, kenapa malah memasukkan kayumu ke mulutnya?” “Kau dan kau, diamlah, atau akan kuumpankan kalian pada zombi,” cetus Aata. Dua mantan kekasih itu pun terdiam. Ekspresi mereka tampak sama-sama dongkol. Kami berhasil keluar dari hotel, langsung berlari ke arah parkiran, mengikuti arahan Aata. Baru beberapa meter, kami dikejutkan lagi oleh teriakan dari arah belakang. Aku tersentak begitu melihat si Tinggi tengah bergumul dengan zombi yang berpakaian kaos rugby. “Damn, Lucas!” maki Aata seraya menghantamkan kayu ke kepala zombi itu. “Aata, kau tega memukul Lucas?!” teriak salah satu temannya. “Dia bukan Lucas lagi! Ia zombi!” sahut Tayn. Lucas berhasil dilumpuhkan, tetapi si Tinggi terkena gigitan di lengan. “Oh, tidak ..., William ...,” gumam Aata seraya menatap penuh sesal ke arah si Tinggi. William bangkit dan berdiri gemetar dengan wajah pucat. “Katakan jujur padaku, apakah aku akan jadi seperti Lucas?” Kami tak menjawab, hanya menatapnya penuh kesedihan. Dia menggeleng-gelengkan kepala. “Jangan biarkan aku jadi zombi, Aata. Bunuh aku, kumohon.” Aata menghela napas panjang sembari melangkah mundur, diikuti olehku, dan juga yang lain. “Kumohon, jangan biarkan aku di sini dan jadi zombi! Bunuh aku!” teriak William. Saat kami terfokus dengannya, suara jeritan kembali terdengar. Aku sontak menoleh. Kembali salah satu teman Aata tergigit oleh zombi. ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD