Alpha (1)

2562 Words
“Wawancara?” tanyaku seraya menatap suamiku Aata yang tengah menggendong putri kami, Moana. Aata mengangguk. “Dia mengaku bernama Hussein Alatas, berasal dari Indonesia, dan ingin mewawancaraimu tentang kejadian enam tahun yang lalu di New Zealand. Sepertinya ia sedang menulis buku tentang para penyintas. Apakah kau mau menemuinya sebentar? Kasihan, lelaki itu jauh-jauh datang ke New Zealand hanya demi menemuimu.” Aku mendesah, “Baiklah, biarkan ia masuk.” Suamiku segera berbalik menuju pintu di ruang tamu setelah memberikan Moana Kecil padaku yang seketika memelukku erat. Aku mengecup lembut kepala bocah berusia empat tahun itu. Sebuah wajah terbayang di benak. Moana, sahabatku yang tak berhasil selamat dari serangan zombi. Mataku pun mulai berkaca-kaca. Tak lama kemudian suamiku kembali masuk ke kamar. “Ia sudah kuminta menunggu di ruang tamu.” Aku memberikannya anggukan seraya bangkit dari tepi ranjang. Kuserahkan kembali si Moana Kecil padanya sebelum menghapus air mataku. Aata mengangkat tubuh putri kami tinggi hingga gadis kecil itu memekik sambil tertawa geli. “Siapa yang paling cantik? Putri Papa!” Aku hanya tersenyum melihat keakraban mereka berdua sebelum mempercepat langkah menuju ruang tamu. Kulihat seorang lelaki muda berambut hitam dan berwajah ramah tengah duduk di sofa. Ia buru-buru berdiri begitu melihatku muncul. “Good morning, Nyonya Tangaroa, aku Hussein Alatas. Aku mengetahui alamat ini dari ayahmu. Ia menceritakan sedikit tentangmu. Kuharap kau tak keberatan dengan kedatanganku yang mendadak.” Aku mengangguk, sedikit lega dengan sikapnya yang sopan. “Good morning, Tuan Alatas. Tidak apa-apa, silakan duduk.” Ia pun kembali menduduki sofa. “Pertama-tama aku minta maaf karena datang tanpa memberitahu sebelumnya. Aku sedang berada di salah satu penginapan di India ketika ayahmu menghubungi dan memintaku menemuimu. Ia bilang telah mendengar soal keinginanku untuk mewawancarai para penyintas. Menurut beliau, mungkin aku akan tertarik dengan kisah saat kau menyelamatkan diri dari zombi bersama lelaki yang kini menjadi suamimu serta dua temanmu yang lain. Karena itu, aku pun memutuskan kemari secepatnya.” Aku lagi-lagi mengangguk sembari tersenyum. “Aku mengerti. Terima kasih sudah mau datang menemuiku. Entah apakah kisahku akan menarik, tetapi aku bersedia menceritakannya kembali untuk Anda.” Dia segera mengeluarkan alat perekam, buku catatan, dan pulpen untuk mencatat ceritaku. “Silakan, Nyonya.” *** Namaku Alpha, gadis keturunan campuran Maori dan Eropa. Aku tak pernah menyangka bahwa akan berhasil selamat dari para zombi saat berlibur bersama teman-temanku di Rotorua, New Zealand. Ditambah lagi, aku menemukan seseorang berharga yang kini menjadi bagian dalam hidupku. Meskipun, aku juga harus kehilangan seseorang yang penting. Kisah ini bukan hanya tentang perjuanganku menghadapi para zombi. Namun, ini juga tentang proses persahabatan yang berujung pada sebuah cinta. Semua berawal dari sebuah tiket ke New Zealand, hadiah ulang tahunku yang kedua puluh dari kakak perempuanku, Luna.  Sahabatku, Lea, memutuskan ikut menemani, sekalian kami bermaksud mengunjungi teman f******k kami, Moana, yang tinggal di Pulau Selatan New Zealand. Singkat cerita, kami segera dijemput oleh Moana begitu tiba di Bandara Internasional Auckland. Lea pun kebagian tugas menyetir menuju Pulau Utara, mengikuti petunjuk Moana. Kami memutuskan ke sana lebih dulu sebelum ke Pulau Selatan. Sepanjang jalan, aku cukup menikmati pemandangan. Meskipun, Moana bilang masih kalah indah dengan Pulau Selatan, menurutku suasananya cukup nyaman. Namun, kuakui kondisi jalan raya yang ramai membuat perjalanan cukup melelahkan. Ketika memasuki pusat Kota Rotorua setelah empat jam perjalanan, bau belerang mulai tercium disertai suara desis uap. Lea mengarahkan mobil kami ke Hotel Ibis. Letaknya yang tak terlalu jauh dari danau dan restoran menjadikan tempat itu sebagai pilihan Moana. Setelah kami beristirahat sebentar, Moana mengajak pergi ke Rainbow Springs yang menyajikan berbagai jenis tanaman, burung, dan mata air bening kehijauan, ciri khas New Zealand. Kami kembali menjelang sore, tetapi langit masih cukup terang. Kami memutuskan untuk memarkir mobil di tempat parkir hotel, lalu berjalan kaki menuju Danau Rotorua, sekalian mencari restoran di sana. Tidak ada yang aneh saat itu. Semua terasa hening, tenang, dan damai. Aku dan dua sahabatku menikmati makanan kami di Pizza Hut sambil memandangi danau. Hingga tak lama kemudian, terdengar suara-suara teriakan diikuti orang-orang yang berlarian. Sebagian besar terlihat ketakutan, bahkan ada seorang lelaki yang berlari sambil memegangi lehernya yang berdarah. Orang itu terjatuh sekitar beberapa meter dari tempat kami berada. Hanya dalam hitungan sekitar dua menit, ia kejang-kejang, menjerit-jerit histeris sebelum muntah darah. Seketika matanya pun berubah memutih. Dia bangkit, lalu mulai bersikap agresif dalam kebingungan, menyerang siapa pun di dekatnya, mengubah korban lain menjadi sama seperti dirinya. Aku, Moana, dan Lea sontak terkesiap. Sempat terlintas di benakku apakah sedang ada syuting film zombi atau apa. Namun, sentakan tangan Moana menyadarkanku untuk segera berlari secepat mungkin menjauh dari sosok-sosok itu. Lea sudah lari lebih dulu terbirit-b***t hingga tali sepatunya terputus ketika dia jatuh. Aku buru-buru meraih tangannya dan menariknya kembali, bahkan setengah menyeret agar ia tak tertinggal. Kami berencana kembali ke Hotel Ibis, tetapi melihat keramaian dan kegaduhan di sana, membuatku menahan dua sahabatku untuk tidak memasuki tempat itu. Kami memutuskan bersembunyi di salah satu mobil di tempat parkir. “Astaga, ini sedang syuting atau apa? Dari mana datangnya para zombi itu?!” teriak Moana terengah-engah. Gadis bermata cokelat gelap dengan rambut ikal panjang hitam kemerahan dan tato di dagu itu tampak panik sambil sesekali jelalatan melihat sekeliling. Lea melebarkan mata birunya yang jenaka seraya mengatur napas. Gadis dengan rambut hitam panjang kuncir dua itu melepas sepatu bertalinya yang tinggal sebelah. “Jika kau tak cukup sadar, aku bisa katakan padamu. Kita tak sedang melihat syuting film zombi. Ini nyata, Moana! Tidakkah kau lihat nasib sepatu kesayanganku?!” Kulihat sebentuk wajah dengan sepasang mata abu-abu dan rambut panjang lurus cokelat kemerahan acak-acakan memandangku balik di kaca spion mobil tempatku berlindung. Aku tampak luar biasa kacau. Segera kutundukkan tubuhku saat ada beberapa orang berlarian ke arah parkiran. “Aku tak sedang bermimpi, bukan? Kita harus bagaimana?” tanyaku seraya mencoba mengendalikan debaran jantung yang seakan hendak melompat keluar. Aku hampir saja memekik kesakitan jika saja Moana tidak buru-buru membekapku kala Lea menggigit lenganku. Mataku mendelik seketika. “Lea! What the hell were you doing?!” umpatku dengan suara tertahan sembari mengusap-usap bekas gigitannya. “Showing you that it’s not a dream,” jawabnya tanpa rasa bersalah. “Oh, kita sungguh sial. Mengapa ini terjadi saat liburan?!” “Tidak ada yang bisa mengontrol sesuatu jika harus terjadi. Kita pikirkan bagaimana cara kita pergi dari sini,” sahut Moana, terdengar lebih tenang. Darah Maori murni di tubuhnya sepertinya mampu membuat gadis itu mengendalikan diri dengan baik. Tidak seperti aku yang hanya memiliki setengahnya dari Mom. “Aku takut,” bisikku gemetar. “Kia kaha,” ujar Moana menguatkanku dengan kata-kata semangat dalam bahasa Maori. Aku mengangguk pelan mendengar kata-kata yang sering diucapkan Mom setiap aku merasa tertekan karena suatu masalah. Moana benar, Mom dan Dad tidak memberiku nama Alpha untuk membuatku lemah. Aku harus kuat. Kuraih ponselku dari dalam tas selempang kecil. Aku mengecek sinyal, tinggal sekitar dua persen. Damn! Aku lupa mengisi ulang ponselku sebelum ke Rainbow Springs. Kuangkat ke atas alat komunikasi di tangan, mencoba mencari sinyal yang tiba-tiba menghilang. “Sial! Ponselku tak dapat sinyal! Coba periksa punya kalian!” ujarku kesal. Moana menyodorkan miliknya ke depan wajahku. Sama. Tak ada sinyal. Ponsel Lea malah lebih parah. Layarnya gelap, tak ada gambar satu pun. Mati. “Dasar ponsel buatan alien!” umpatnya jengkel sambil memasukkannya kembali ke saku jeans. “Hei, salahkan dirimu yang terus saja menggunakannya untuk selfie!” tegur Moana tegas. Aku mendesah sebelum teringat sesuatu. “Kalian pernah nonton film tentang zombi, bukan? Ketika alat komunikasi terhambat, apa yang bisa digunakan?” “Radio! Kita cari radio di rumah-rumah warga!” “Di mana? Rumah siapa? Hari sudah gelap. Kita mau ke mana?” keluh Lea. “Mana kunci mobil?” tanya Moana. Leo mengeluarkan kunci dari dalam saku jeans-nya, lalu menyerahkannya pada gadis berkulit cokelat eksotis itu. Moana segera meraihnya, lalu dengan sigap membungkuk seraya menoleh ke sekeliling. “Sepertinya sudah cukup sepi, ayo ke mobil. Kita akan menemui sepupuku di Taupo. Sekitar satu jam dari sini. Kuharap di sana lebih aman.” Mataku membelalak sembari mengikuti langkahnya, diekori pula oleh Lea. “Kau punya sepupu di dekat sini, kenapa malah menyarankan kami tinggal di hotel?!” “Pelit!” bisik Lea sedikit keras. “Dia laki-laki! Anggota tim rugby. He’s in training camp. Kalian mau tinggal bersamanya? Lagi pula aku tak mau kalian bertemu Aata!” balas Moana ketus. “Kenapa?” tanyaku bingung. “Dia menyebalkan!” Setelah menemukan mobil kami, Moana segera membuka pintu bagian sopir. Aku dan Lea menyusul masuk ke kursi penumpang. Belum sempat aku dan Lea duduk, Gadis Maori itu langsung tancap gas, membuat aku dan Lea sedikit terpental ke sandaran kursi. “Moana!” jeritku dan Lea bersamaan. “Sorry!” Ia pun segera ngebut. Sepanjang jalan aku terperangah melihat zombi-zombi sedang memangsa para korbannya. Aku bergidik. Tak bisa kubayangkan manusia bisa menjadi sosok seperti itu. Moana menjerit saat terpaksa harus menabrak beberapa zombi di depannya. Aku dan Lea pun turut berteriak. “Terus jalan! Jangan berhenti atau aku yang akan menggigitmu!” teriak Lea panik. Jika tidak sedang dalam suasana tegang, aku pasti sudah tergelak mendengar ucapan Lea. Aku memandang ke depan dengan tubuh gemetar. Sesekali mataku melihat ke sekeliling. Hari beranjak gelap. Zombi-zombi itu mulai tak tampak. Aku sedikit merasa lega. “Kita ke mana?” tanyaku. “Ke Danau Taupo. Dia dan teman-teman timnya biasanya berenang di sana setelah latihan sore,” sahut Moana. Mulutku membulat. Melihat sejumlah kerusakan dan banyak toko yang tampak lengang, ditambah puluhan mobil tanpa pemilik di jalan, membuat kami terdiam. Kami terus waspada sepanjang perjalanan. Sepertinya Moana benar. Para zombi belum terlihat lagi. Aku rasa tempat yang kami tuju akan aman. “Itu mereka!” teriaknya sebelum menghentikan mobil setelah sejam perjalanan. Ia buru-buru keluar mobil dan berlari ke arah gerombolan lelaki berotot yang tengah menceburkan diri ke danau. Hawa dingin sontak menyambut begitu aku membuka pintu mobil. Suasana cukup terang dengan adanya pantulan cahaya bulan ditambah beberapa lampu penerangan dari hotel dan restoran. Lea pun ikut keluar. Kami berpandangan sejenak, lalu memanjakan mata menikmati pemandangan mengagumkan makhluk-makhluk seksi yang sedang berenang. Suara para pemain rugby cukup gaduh, tetapi terdengar menyenangkan di telinga. Seketika kami melupakan para zombi di Rotorua. Mataku membesar saat melihat Moana mendekati salah satu pemain rugby yang baru saja melepas kaos hitamnya. Meski samar, tampak tubuh berotot dengan hiasan beberapa tato berbentuk seperti spiral di bahu, pergelangan kaki, dan betis kanan, menarik perhatianku. Kulitnya yang cokelat eksotis membuatku menelan ludah, membayangkan bagaimana rasanya jika tanganku menyentuhnya. Mereka terlihat berbicara sesuatu dengan serius. Ekspresi panik terlihat di wajah Moana. Lelaki itu pun tampak berusaha menenangkannya. Tak lama matanya bertemu denganku. Ia dan Moana kini berjalan menghampiriku dan Lea. “Kia ora!” sapanya ramah dengan senyum penuh pesona. “Kia ora!” jawabku dan Lea serempak. “Aata, ini dua sahabatku yang kukenal melalui f******k selama beberapa tahun, Alpha dan Lea. Alpha, Lea, ini sepupuku, Aata.” Aata tersenyum memamerkan deretan giginya yang putih dan rapi sebelum mendekatkan wajahnya padaku. Aku sedikit kaget saat ia menempelkan dahi dan hidungnya padaku seraya memejamkan mata dan tersenyum. Meskipun, aku mengenal hongi, tetapi ini pertama kalinya seorang lelaki Maori melakukan salam tempel hidung padaku. Dia kemudian beralih dan melakukan hal sama pada Lea yang menerimanya dengan kikuk. “Apa yang terjadi dengan sepatumu?” tanyanya ramah pada gadis itu. “Alpha menyeretku saat aku hendak mengambil sepatuku yang terlepas. So ...,” sahut Lea seraya mengangkat bahu tanpa menyelesaikan kalimatnya. “Ah, jadi benar apa yang diceritakan Moana? Ada zombi di Rotorua?” tanyanya seakan tak percaya. Aku mengangguk cepat. “Boleh aku pinjam ponselmu?” “Ah, aku tak membawanya saat ini. Ada di kamar hotel,” sesalnya. Aku mendesah kecewa. Ia memandangiku penuh minat. “Kau mau ke sana?” “Tentu saja! Kami butuh ponsel, TV, atau radio, untuk mencari tahu apa yang terjadi!” sahut Moana. “Baiklah. Bisakah kau menunggu aku selesai mandi? Bukan berarti tubuhku tak wangi saat ini, tetapi aku tak ingin kau terpesona dengan aroma keringatku,” ucapnya seraya terkekeh dan mengedipkan mata padaku. Aku tersipu. Pipiku memanas saat memandangi d**a cokelat berototnya yang telanjang. “Suka dengan yang kau lihat?” godanya. Perlahan aku mengangguk, tetapi dengan cepat aku menggeleng begitu menyadari kebodohanku. “Ah, maksudku iya, aku akan menunggumu.” “Hei, Aata! Aku tahu kau ingin bicara berduaan dengan Alpha. Namun, lihatlah. Aku dan Lea bukan patung di sini!” omel Moana. Aata tergelak seketika. “Sorry, Cousin, Alpha mencuri pandanganku. Saat ini aku hanya bisa melihatnya. Kau tak ada.” Moana spontan mendaratkan tinjunya ke bahu Aata. Lelaki itu hanya tertawa seakan tinju sepupunya tak berarti apa-apa. “Lekaslah mandi! Hari semakin gelap! Aku khawatir para zombi itu akan kemari,” kata Moana. “Tenanglah. Ada aku dan teman-temanku di sini. Tak akan terjadi apa-apa pada kalian,” jawabnya enteng sebelum menatapku dengan pandangan menggoda. “Tunggu aku sebentar, Little Wolf. Aku akan membawamu ke kamarku nanti.” “Hei!” protes Moana. “Iya, iya, maksudku membawa kalian semua ke hotel,” lanjutnya lagi seraya tertawa dan lagi-lagi mengedipkan mata, lalu berlari melanjutkan mandinya yang tertunda. “Kalian lihat, bukan? Dia menyebalkan! Jangan terpesona padanya, Alpha! Aku memperingatkanmu!” sergah Moana. “Kurasa ia cukup manis,” sahut Lea sebelum menengok ke arahku. “Benar, bukan, Alpha?” Aku mengangguk sambil mengusap wajahku yang memanas. “Aku tak melihat angsa-angsa hitam. Bukankah seharusnya mereka ada di sini?” tanya Lea heran. “Entahlah. Seharusnya. Sepertinya mereka pergi karena sudah malam atau tengah beristirahat di suatu tempat,” jawab Moana. “Atau mungkin mereka takut terhadap sesuatu. Bukankah hewan mempunyai insting tajam? Mungkinkah mereka tahu kalau zombi-zombi itu akan kemari?” tanyaku gelisah. “Aku pun tidak melihat hewan-hewan lain di sepanjang jalan tadi.” “Bisa jadi dugaanmu benar, Alpha,” sahut Moana. Kami menunggu hingga sekitar seperempat jam. Tak lama terdengar suara-suara para pemain rugby kembali ke pinggir danau dan memakai kembali baju mereka. Gerombolan pria tampan bertubuh besar dan berotot itu tampak mulai berjalan sambil bercakap-cakap ke arahku, Moana, dan Lea. “Kia ora!” sapa mereka. “Kia ora!” balas kami. Hanya Aata dan seorang lagi ternyata yang memiliki tato khas suku Maori. “Moana, Aata bilang kau dan dua temanmu ini diserang zombi di Rotorua, benarkah? Kalian yakin itu bukan lelucon atau syuting film?” tanya salah satu di antara mereka yang memiliki tato seperti Aata. “Mata dan otakku cukup sehat untuk mengetahui itu bukan lelucon atau syuting film, Tayn,” jawab Moana kesal. Mereka tampak saling berpandangan, sementara beberapa lelaki terdengar mengeluarkan suara bergumam. “Moana otaknya memang tak begitu cerdas, tetapi dia bukan seorang pembohong, Tayn. Dilihat dari ketakutannya saat bercerita padaku tadi, aku yakin itulah yang tengah terjadi,” cetus Aata. Moana sempat terlihat mendelik mendengar ucapan sepupunya itu, tetapi kemudian mengangguk dan menjawab tanpa memandang mata Tayn. “Aku berkata yang sebenarnya. Karena itu kami butuh ponsel, TV, atau radio untuk mencari tahu apa yang telah terjadi.” “Baiklah, ayo kita ke hotel, mungkin ada titik terang di sana!” ajak teman Aata yang lain. Aata mengangguk sebelum berjalan seraya memegang jemariku, diiringi yang lainnya, sementara Lea mengikuti kami dari belakang dengan mobil. *** Tiba di hotel, kami langsung diajak ke kamar Aata dan Tayn yang ternyata teman sekamar. Lelaki suku Maori itu meminjamkan ponselnya padaku, sementara Tayn mencoba menyalakan TV. “Hello, Mom. It’s ....”         “Oh, Alpha! Is that you?! How are you, Sweetie?! Kau berada di mana?!” pekik Mom terdengar cemas. “Yeah, it’s me. I’m fine, Mom. Ponselku mati. Aku di Taupo. Ada sesuatu terjadi di Rotorua. Apakah di London aman-aman saja?” “Alpha, dengarkan, Nak. Terjadi sesuatu di sini. Sangat parah. Dengarkan Mom. Kau harus segera mencari regu penyelamat UN yang akan mengantarmu ke Filipina atau kau pergilah ke tempat yang aman. Tunggulah di sana. Dad akan memesan heli untuk menjemputmu secepat mungkin. Kau mengerti?” “Kenapa harus ke Filipina?” tanyaku bingung. “Di sanalah tempat teraman. Dunia akan berkumpul di sana. Alpha, berhati-hatilah. Jangan sampai kau tergigit atau terkena muntahan makhluk-makhluk itu.” “Baik, Mom. Di mana Dad?” “Dad sedang sibuk sekarang. Dia berusaha meyakinkan Bibi Rosy dan keluarganya untuk berlindung ke rumah kita sementara. Kami akan berlindung di ruang bawah tanah. Kau ingat ajaran Dad tentang bertahan hidup, bukan? Ia sudah mempersiapkan jauh-jauh hari persediaan makanan di ruangan itu, cukup untuk beberapa bulan. Kami akan bertahan di sini sampai regu penyelamat datang menjemput.” “Baiklah, Mom. Tolong jaga diri kalian!” “Kau juga, Nak. I love you. Kia kaha.” “Love you more, Mom. Kia kaha.” Aku segera memberikan ponsel pada Lea yang sedang menunggu giliran. Perhatianku pun kini tertuju pada layar TV. “.... adanya mikroba Primp sp mengakibatkan terjadinya wabah aneh yang menyebabkan tingkah manusia yang terkena menjadi sosok sejenis mayat hidup. Mereka hilang kesadaran dan memiliki hasrat memakan manusia. Diharapkan pada semua agar menghindar dan segera mencari tempat perlindungan karena penyebarannya begitu cepat dan berbahaya. Tunggu atau cari regu penyelamat UN yang akan membawa kalian ke tempat aman di Filipina. Para ilmuwan tengah membuat antigennya di laboratorium yang dibangun di sana. Demikian BBC World News malam ini.” ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD