Chapter 2

2461 Words
Nama : Liona Ayura            Usia.   : 25 tahun          Status : Single        Job      : Bekerja di kafe sebagai pelayan.             Bekerja sudah menjadi kebutuhan baginya demi sesuap nasi. Berbekal ilmu yang dia dapat hanya sampai sekolah menengah atas, beruntung ia masih bisa mendapat pekerjaan walaupun hanya sebagai pelayan. Kurang lebih sudah lima tahun Ayu bekerja di kafe. Bersama teman-teman seperjuangannya yang dulu melamar pekerjaan bersama-sama.             Kini, hanya tinggal bertiga yang masih bertahan di kafe. Sejak dua teman lainnya memilih untuk keluar dan mencari pekerjaan lain yang digaji lebih besar. Ayu bukannya tidak ingin mencari, dia sudah betah dan nyaman bekerja disana. Gaji nya juga lumayan cukup untuk menghidupi dia dan adiknya.            Setelah enam bulan pergantian pemilik kafe, Ayu dan pelayan lainnya tidak pernah bertemu dan tahu siapa pemilik kafe baru nya. Yang mereka tahu dari sang manager, pemiliknya masih muda dan tampan, plusnya masih jomblo. Ayu tidak tertarik sama sekali dan tidak ingin tahu, biarlah dia hanya bekerja dan jadi pelayan baik, begini saja sudah bersyukur. Dan sampai sekarang tidak tahu kalau Rama adalah pemilik kafe tersebut.              "Yu, Yu, Yu," panggil Marsya teman seperjuangan nya. Mereka saat ini sedang di pantry mencuci dan mengelap apa yang ada di sana disaat belum terlalu ramai pelanggan.           "Hemm," sahut Ayu yang tengah mencuci gelas.         "Cowok ganteng yang suka jemput kamu, masih berstatus temen sama kamu?" seraya mendekat dan menyender di tembok.           Ayu berdehem, "Iya, dia teman."           "Temen apa temen?" goda Marsya. Usianya seumuran dengan Ayu.          "Temen Sya."             "Temen kok hampir tiap hari jemput nya gak bosan tuh cowok jemput kamu mulu? Apa dia gak punya pacar gitu yang minta dijemput lelaki itu? Ia gak Jeng?" tanya Marsya padanya yang baru datang membawa gelas bekas pelanggan. Ayu menoleh sebentar lalu melanjutkan aktivitas mencuci.            "Siapa? Cowok handsome?" Marsya mengangguk. "Yoi, jangan-jangan tuh cowok banyak simpanannya lagi. Secara dia tampan, kaya, cewek mana sih yang gak mau sama dia. Loe pasti mau dijadiin selingkuhannya Yu." ujarnya dengan mendekat. Mereka menunggu jawaban Ayu yang masih asyik mencuci.           Dua temennya ini memang selalu kepo untuk urusan teman-teman lainnya. Bahkan untuk sekedar  menyembunyikan rahasia dari mereka saja susah. Diantara mereka tidak pernah ada yang namanya kebohongan. Real, mereka selalu cerita apa saja tentang kehidupannya, termasuk ciuman pertama yang Marsya rasakan tak luput ia menceritakannya juga. Parah sih tuh anak, apa-apa diceritain.               Justru karena itulah persahabatan mereka kuat, satu teman susah, dua teman lainnya membantu. Satu teman sedih, dua teman lainnya memberi tawa. Walaupun dengan sifat mereka masing-masing yang sangat berbeda, Marsya si heboh dan centil, Ajeng si julid dan tomboy, Ayu pendiam dan pemalu, tapi hati-hati kadang dia suka mengeluarkan sifat bar-bar nya di saat tertentu dan mendesak. Baginya lebih baik mereka seperti ini apa adanya dari pada munafik, sok suci didepan, namun menusuk di belakang.               "Kami hanya teman Sya, Jeng, tidak lebih. Selama ini dia juga tidak pernah membicarakan perempuan lain dihadapanku. Kalaupun ia memang punya pacar ya terserah saja, toh hidupnya dia aku gak akan larang. Dan kalau memang bener dia punya pacar kenapa gak dikenalin sama aku? Dan selalu jemput aku. Padahal aku sendiri udah nolak jangan dijemput terus, tapi dia nya yang maksa terus. Aku gak bisa nolak, aku menghargai pertemanan kami." Ayu menceritakan semuanya.              "Itu artinya cowok itu suka sama kamu. Kamu nya gak peka ih gemes deh. Kalau aku udah ku tembak dari kemarin-kemarin tuh cowok." ucap Marsya setelah mendengar cerita Ayu.           "Mati donk," timpal Ajeng menjawab sekenanya. "Dia gak mau ngenalin loe sama cewek lain karena bisa aja loe dijadiin simpanananya."           "Ih kok gitu? Kamu mikirnya yang positive donk jangan negatif mulu tentang orang." Marsya membela.               "Bodo. Gue hanya ngomong dengan apa yang gue tangkep dari omongan Ayu tadi," kilah Ajeng.              Ayu hanya menghela napas pelan, ia tidak tahu apa perasaannya saat ini. Toh baru kenalan dan dia bilangnya juga teman. Ayu tidak berani berharap. Mengharapkan mempunyai laki-laki sempurna seperti Rama. Fisik oke, kaya jelas, body goals, sopan juga.               "Jangan dengerin si julid Yu, menurutku cowok itu suka deh sama loe," ucap Marsya meyakinkan.             Ajeng bersidekap melipat tangannya didada. "Mikir donk my sweety," pinta nya pada Marsya dengan menunjuk kepalanya dengan telunjuk Ajeng. "Kalau emang tuh cowok suka ma Ayu, pernah liat gak Ayu dikasih atau dibeliin apa aja sama tuh cowok?"                 Marsya mengkerutkan sebelah alis seraya berpikir. "Nggak pernah." jawabnya. "Pernah gak Yu, Rama kasih sesuatu sama kamu selama jadi temen enam bulan ini?"             Ayu menggeleng. "Dia pernah memberikan ku martabak selai strawberry."                  "Hei, cowok tajir hanya ngasih loe martabak? Hellow, minimal ngasih loe baju, sepatu atau tas bermerk gitu. Lihat ponsel Ayu aja masih model jadul ini," merogoh saku celana Ayu memperlihatkan ponsel jadul yang hanya mengeluarkan bunyi tuut..tuut.. saat panggilan telepon. "Lah, minimal ngasih loe hp keluaran terbaru kek, yang kamera nya tiga mata itu."             Marsya hanya diam mendengar penuturan dari sahabat julidnya itu. Ayu menghela napas pelan. Dia tidak memikirkan masalah itu, lagian kalaupun dikasih dia akan menolak. Ayu bukan perempuan yang selalu minta pada orang lain. Kecuali orang itu yang kasih dan memaksa seperti Rama memaksa memberi martabak selai strawberry pada Ayu. Padahal Ayu tidak suka selai strawberry, ia hanya menyukai selai kacang. Alhasil dengan perdebatan sengit yang tak kunjung dimenangkan olehnya, Ayu mengalah dan membawa nya pulang. Sang adik menerima nya dengan wajah berbinar mendapat oleh-oleh martabak strawberry.            Tapi berkaca dari kehidupan Ayu dan Rama sangatlah jauh. Bagaikan bumi dan langit, bagaikan antara tuan dengan hamba, antara atasan dan bawahan, sangatlah berbanding terbalik. Ayu tidak ingin merasa senang dulu. Ia masih tidak berani berharap lebih pada lelaki itu. Ayu tahu diri.          "Gak tau deh, kalian jangan mikir yang tidak-tidak. Aku memang tidak suka meminta apapun padanya. Mengantarkan ku pulang saja setial hari sudah beruntung. Lumayan kan buat ongkos 20 ribu aku simpan hehe." Ada kekehan dalam kalimat terakhir Ayu yang membuat kedua temannya ini melempar tawa. Jodoh gak akan kemana. Gumamnya.              Kalaupun mereka akan berjodoh apakah akan semudah itu? Atau akan berakhir seperti sinetron, si tampan yang kaya raya menikah dengan si miskin upik abu?            Tuhan akan mendekatkan mereka dengan cara yang lain. Melalui seseorang, Tuhan antarkan ujian cinta dan kebahagiaan di akhirnya.             ********** Dengan bekerja tak terasa malam sudah menyapa. Keringat hasil dari banting tulang merupakan suatu kebanggaan tersendiri baginya. Setiap hari ia lakoni hidup fokuskan hanya untuk bekerja. Demi adik dan tentu saja demi dirinya.              Bekerja melayani pelanggan kesana kemari tak lepas dari senyumnya. Ia syukuri, nikmati semua yang ada didepannya. Walau tak jarang banyak yang menggoda tapi "Di senyumin ajah." begitu tuturnya.              Para pekerja melepas penat dan lelah seharian setelah melayani beberapa bahkan berpuluh-puluh pelanggan. Ya karena kafe ini terletak di tengah kota yang dipenuhi dengan kaum anak muda tentu saja mereka memilih datang ke kafe untuk sekedar nongkrong.             Ayu yang sedang duduk menunggu giliran berganti baju, mengibaskan tangan mengusir lelah dan capek. Datang dari arah luar seorang wanita yang seharusnya sudah pulang, dia kembali dan berteriak.              "Yu,, ampuun cowok kamu udah datang tuh." ucapnya heboh dengan napas ngos-ngosan.            "Emang biasa kan dia jemput aku, kamu udan tahu itu Sya." Ayu menanggapi nya dengan santai.           "Kali ini dia berbeda beib."           "Kenapa?"              "Apa coba?" tantang Marsya dengan balik bertanya membuat Ayu mendesah pelan. "Hihi dia bawa bunga. Aaaaaa so sweeeet!!" Marsya menjerit heboh. Untung di kamar ganti hanya mereka yang belum pulang.           Ayu ikut terkejut.           Apa? Bunga? Wajah Ayu merona seketika. Ah jangan geer dulu, itu bukan untukku pasti. Duh, jangan bikin salah paham dong. Yu, sadar dia hanya ingin berteman denganmu. Dan ingat, kamu bagaikan anjing dengan tuannya.           Lho, berarti aku anjing dong? Guk guk guk. Ayu berpikiran yang tidak-tidak dengan pikirannya sendiri. Secepat kilat ia mengganti baju seragam dengan kaos warna merah yang sudah sedikit memudar. Jeans hitam dan sepatu putih.             Dapat dilihat oleh Ayu tubuh kekar lelaki itu yang menyender dibahu mobil hitam tengah asyik memainkan ponsel.          Benar kata Marsya, dia bawa bunga. Tidak tanggung-tanggung tiga buket bunga mawar merah sekaligus. Kok tiga? Ayu malu-malu, ia jalan berdampingan dengan kedua temannya.             Rama merasakan kehadiran Ayu dari aroma parfum milik wanita itu. Ia menoleh dan tidak lupa memberikan senyuman maut yang membuat wanita pingsan.           "Alamak, ganteng banget Ohh." Marsya tiba-tiba terkulai lemas di jalanan. Benar, senyuman maut nya dapat membuat Marsya pingsan. Padahal sudah sering Marsya melihat Rama seperti itu.              "Marysa, kamu kenapa?" ucap Ayu panik melihat wajah Marsya bukan pingsan namun melongo tak berkedip. "Ajeng bantuin!" pinta Ayu namun Ajeng malah diam menghilangkan tangan di d**a. Ia tahu kalau Marsya hanya pura-pura. Kelemahannya adalah lelaki tampan dan kaya.              Ayu menepuk pipi Marsya berulang namun tidak ada tanda-tanda pergerakan. Rama yang juga sebenarnya tahu kalau teman Ayu hanya pura-pura, ia berniat membantu.             "Kamu tidak apa-apa?"             "Ti-tidak, tadi aku kaget melihat dewa Arjuna didepanku. Bangunin donk," pinta Marysa dengan manja membuat Rama mengurungkan niatnya untuk membantu. "Bantuin!" semakin manja.          "Sini gue bantuin, lemes amat jadi cewek." Ajeng menarik tangan Marsya dengan kencang hingga ia berdiri dan menjerit bersamaan.             Ayu hanya menunduk malu melihat kelakuan temannya.             "Sudah lama disini?" tanya Ayu mengusir kegugupan.                  "Hemm, baru kok," Rama tersenyum. "Ini kamu suka bunga?" seraya memberikan satu buket pada Ayu.                    Ayu menerima dengan mimik wajah terpaksa tersenyum. Ia tidak begitu menyukai bunga. "Terima kasih," ucap Ayu agar lelaki itu tidak tersinggung.                "Ini juga buat kalian," Rama memberikan masing-masing satu pada Ajeng dan Marsya.             Lho, kok mereka dikasih juga? Tuh kan Ayu, sadar diri. Jangan kelewat batas, dia hanya temen kamu.                Padahal Rama memberinya agar temen Ayu tidak menilainya pilih kasih. Jadi dia beli sekalian tiga buat teman-temannya. Ia ingin Ayu peka kalau lelaki itu mencintainya.             "Sorry, gue gak suka bunga," tolak Ajeng, lalu bunga nya direbut oleh Marsya.              "Makasih Rama, aku suka bunga kok. Semua bunga suka, asal pemberian kamu."             "Besok gue kasih bunga Kamboja," timpal Ajeng membuat Marsya sukses cemberut.              Marsya tidak menghiraukan ucapan Ajeng. "Boleh kita ikut? Boleh ya, pliss. Tubuhku masih lemah," ucap Marsya setengah parau.           Rama melihat Ayu yang juga meminta izin mengiyakan. "Boleh!"               "Nggak, kita naik taxi aja. Biasanya kan gitu iya kan?" tanga Ajeng pada Marsya. "Kadang juga suka dijemput pacar. Sekarang pacar loe gak jemput?"              "Ng-nggak, aku gak punya pacar sumpah."             Ayu tersenyum, "Gak papa Jeng, kita pulang bareng aja. Ia kan Rama?" lelaki itu tersenyum mengangguk.              "Gak Yu, kita mau ke toko buku dulu."              "Loh mau apa? Tumben kamu ke toko buku, biasanya juga balapan liar sama si Alex." Ajeng membekap mulut Marsya dan membawa nya menjauh mengisyaratkan Ayu.            "Kalian pulang aja dulu!" teriaknya.             "Rama, maaf temen-temen ku ya."           "Udah biasa kan hehe. Aku suka teman seperti mereka, apa adanya." Rama tersenyum ke arah ayu. Mobil melaju pelan, membelah aspal jalanan yang lengang.            Sesaat hening, tak satupun dari mereka bersuara hingga akhirnya Rama yang memulai "Emm besok kamu libur kan?"           "Ia," dengan wajah menunduk.               Rama menarik napas mencoba mengusir ke gugupan. Ia sudab sering mengajaknya jalan tapi kenapa kali ini seperti baru pertama kali saja. "Besok kita jalan, hanya ditaman saja. Tidak kemana-mana."              Lama beberapa saat tidak ada jawaban sampai  Ayu berkata. "Boleh."                Bisa terlihat jelas bahagia di raut wajah Rama "Kita couple ya, pakai baju merah. Bagaimana?" tawar Rama seraya menelan ludah. Tidak biasanya Rama seperti ini. Kalem dan sok cool nya berubah disaat Rama sedang jatuh cinta, ya seperti ini.            "Baiklah, terserah kamu aja," ucap Ayu malu-malu.           Suasana kembali hening. Akhirnya mobil berhenti dan mereka masih berada didalam mobil yang diam. Ayu bingung, dimobil berduaan dengan lawan jenis tidak tahu harus berbuat apa. Apalah Rama yang dari tadi tidak berhenti berdebar. Namun ia masih dalam kewarasan sehingga berhasil menguasai diri untuk tidak berbuat yang aneh-aneh.           Merasa situasi semakin horor, Ayu hendak keluar namun Rama tiba-tiba mendekat. "Jangan pak kita hanya teman, tidak lebih. Aku belum bisa melakukannya," ucap Ayu dengan mata tertutup takut dan tubuh gemetar. Lama tidak merasakan sentuhan, Ayu membuka mata dan Rama memandangnya dengan alis berkerut.            "Sebelum keluar buka dulu self belt nya." Rama mendekat hanya untuk membuka itu.         Teng....             Saat itu juga wajah Ayu merah padam bahkan sampai ke ubun-ubun. Ia malu telah berpikiran yang iya-iya dan buruk tentang Rama. Dasar Ayu, kenapa bisa berpikiran hal negatif.            "Masuk dulu?" tanya Ayu yang sudah berada di depan gerbang kecilnya.            "Tidak, aku masih kurang nyaman sama adikmu. Lain kali saja kalau aku sudah siap." Ayu mengangguk mengerti. Ia masuk lalu berbalik melihat Rama yang masih memperhatikan.             "Hati-hati dijalan pak." Ayu menunduk memberi salam dan Rama membalasnya dengan lambaian tangan dan mengangguk.             Rama pergi menghilang dari pandangan dengan hati berbunga-bunga.            
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD