1- Kehilangan

2385 Words
“ Maafkan kami, tapi kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Namun kondisi istri anda terlalu lemah dan janinnya juga tidak dapat kami selamatkan,” ucap Mario—dokter spesialis bedah di rumah sakit Bina Husada. “ Kami turut berduka cita.” Ia pun memilih untuk pergi, membiarkan pria yang adalah suami dari korban itu menenangkan dirinya. Langit langsung jatuh terduduk di tempatnya. Ia tidak menyangka jika hari ini akan menjadi hari terberat yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Bagaimana bisa semua ini terjadi begitu cepat. Baru saja tadi pagi istrinya minta ditemani ke dokter kandungan, tapi sekarang istri serta calon anaknya malah meninggalkannya. “ Apa kau sedang menghukumku? Apa kau begitu marah padaku, sayang?” Ia menutupi wajahnya, menangis tersedu- sedu. Tanpa memperdulikan orang- orang yang menatapnya penuh rasa iba. Ia tidak butuh dikasihani. Ia hanya butuh istri dan calon anaknya kembali. “ Maafkan aku, Cahya. Maafkan aku. Seharusnya aku meluangkan waktu untukmu, seharusnya aku menemanimu, seharusnya aku tahu kamu membutuhkanku.” ....................... “ Pendarahannya sudah berhasil ditangani, kita tinggal menunggu saja hingga dia sadar dan memantau kondisinya,” ucap Nathan yang baru saja selesai dengan operasinya. Dengan berat hati ia harus mengoperasi sahabatnya sendiri, yang tentu tidak akan mudah bagi dokter manapun untuk melakukan tindakan operasi pada orang yang dikenal dekat. “ Tolong selesaikan,” ucapnya yang sudah sangat lemah. Untung saja ia berhasil menyelesaikan operasi ini dengan baik. “ Baik, dok,” ucap Leona—salah satu dokter residen yang menjadi asisten Nathan saat ini. Nathan pun segera keluar dari ruangan operasi, melepaskan pakaian khususnya dan segera membersihkan dirinya sebelum keluar. Ia menarik rambutnya ke belakang, merasa begitu cemas dengan apa yang terjadi hari ini. Ini kali kedua Aurora menjalani operasi besar setelah operasi besar lain yang dilakukannya lima tahun yang lalu. Ia tidak akan pernah lupa pada hari itu, hari dimana Aurora hampir hancur. “ Dokter. Pak Andri, ayah dokter Aurora... dia baru saja meninggal. Operasi jantung yang dilakukan tidak berhasil,” ucap Vera—salah satu perawat yang baru saja selesai menjadi asisten di meja operasi beberapa jam yang lalu. Tangannya sampai bergetar dan wajahnya yang pucat. “ A—apa?” Nathan semakin shock. Semua yang terjadi di hari ini terlalu tiba- tiba. Kematian korban pertama dalam keadaan hamil, Aurora yang harus menjalani operasi karena pendarahan di kepalanya, dan sekarang... ayah dari sahabatnya sendiri sudah meninggal dunia karena operasinya gagal. Ia pun kembali melangkah dengan perasaan semakin kacau ke arah taman rumah sakit. Ia benar- benar perlu menenangkan diri. “ Sebenarnya apa yang terjadi hari ini, Tuhan? Kenapa banyak sekali kehilangan hari ini? Apa kami para dokter belum maksimal melakukan tugas kami sehingga menyebabkan banyak orang yang merasa kehilangan?” Saat paling memberatkan para dokter adalah ketika mereka tidak berhasil menyelamatkan nyawa seseorang. Bukan karena mereka tidak maksimal melakukan pekerjaannya. Tentu bukan. Jika bisa, mereka akan mendedikasikan seluruh kemampuan mereka untuk menyelamatkan nyawa para pasien. Namun takdir terkadang berkata lain. Tidak semua hal bisa sesuai dengan keinginan manusia, Tuhan pasti punya rencana tersendiri di balik semua kehilangan yang dirasakan saat ini. ...................... Gadis kecil dengan bola mata kecokelatan itu terduduk di ruang tunggu operasi. Ia sudah mendengar soal kepergian kakeknya yang begitu tiba- tiba. Para paman dan bibinya terlihat begitu sedih, sama sepertinya. Hanya ia tidak bisa menangis saat ini, air matanya seakan tidak bisa keluar. Ia terlalu sedih sampai tidak tahu bagaimana harus meluapkannya. Pasalnya, bukan hanya kehilangan sang kakek yang membuatnya sedih, tapi juga kecelakaan yang ibunya alami. Bahkan saat ini ibunya masih di ruang ICU untuk memantau kondisinya. “ Sabhira.” Salah satu bibi gadis kecil itu memanggil namanya—Mona. Ia adalah kakak tertua dari ibunya. “ Kami akan mengurus pemakaman kakek dulu. Kamu di sini nggak apa- apa, kan? Jika ada kabar terbaru soal ibumu, segera kabari kami.” Sabhira hanya mengangguk lemah, tanpa menatap lawan bicaranya. Perlahan, semua paman dan bibinya pergi, meninggalkannya seorang diri di tempat ini. “ Mom... “ Ia mulai terisak, takut jika akan kehilangan ibunya juga. Tanpa ibunya, ia bukanlah apa- apa. Di dunia ini, yang paling ia butuhkan hanya ibunya. Bukan yang lainnya. “ Sabhira.” Suara bariton seorang pria yang cukup Sabhira kenal terdengar. “ Dokter Nathan?” Sabhira mengangkat kepalanya, melihat ke arah pria berjas putih yang menatap sendu padanya. “ Aku baik- baik saja kok.” Ia berusaha tersenyum, mengetahui kekhawatiran di mata pria di depannya. Nathan memang pria yang baik. Selama ini dia menjadi sahabat yang baik untuk Aurora—ibunya Sabhira. Bahkan dokter Nathan sendiri yang melakukan tindakan operasi pada ibunya. “ Ibumu pasti akan segera sadar. Dia wanita yang kuat. Kamu tahu itu, kan?” Sabhira mengangguk lemah. Ia sangat tahu sekuat apa ibunya sebagai seorang wanita. Sejak dulu, banyak yang telah ibunya lewati. Banyak kejadian buruk yang dia lalui tapi ibunya masih bisa terus bersamanya dan berusaha membahagiakannya. Padahal ia tahu, ibunya sama sekali tidak bahagia. “ Sabhi hanya takut dengan reaksi mommy saat tahu kakek sudah tidak ada. Padahal dia sudah buru-buru ke sini untuk menemui kakek, tapi kecelakaan itu malah terjadi.” Ia tidak pernah tahu dengan apa yang Tuhan rencanakan pada hidup ibunya. Segala rasa sakit dan kehilangan telah ibunya rasakan sejak dulu. Lantas, kapan kebahagiaan untuk ibunya hadir? Ia rindu melihat senyum tulus di wajah sang ibu, bukan senyum penuh keterpaksaan yang menyayat hatinya. “ Ibu pasti nggak bisa melihat pemakaman ayahnya sendiri.” “ Dia pasti mengerti. Kakekmu juga pasti mengerti kenapa ibumu tidak bisa menemuinya untuk terakhir kali. Mungkin mereka sedang berpamitan saat ini,” ucap Nathan berusaha menenangkan. “ Mau coklat panas? Ke kantin yuk!” “ Iya.” Sabhira tidak menolak. Dibanding terus menerus di tempat ini, ia hanya akan semakin sedih membayangkan keadaan ibunya sekarang. Bukan hanya fisiknya yang sakit, tapi hatinya pasti ikut menderita. ..................... Langit menatap dua makam di depannya dengan hati yang perih. Hatinya terasa hampa, seolah hidupnya tak lagi memiliki makna. Hanya dua orang yang kini telah tertanam di dalam sana yang menjadi penyemangat hidupnya. Tanpa mereka, hidupnya tidak lagi berarti. Ia terpaksa meninggalkan kedua makam itu untuk pulang ke rumah, rumah yang bahkan entah pantas atau tidak disebut rumah. Karena rumah itu sekarang menjadi sangat sepi seolah tak berpenghuni. Rumah itu terlalu besar untuk dirinya yang hanya sendirian. “ Ini semua karena kamu! Anak dan cucu saya meninggal karena kamu! Dasar pria nggak bertanggung jawab!” Bukannya sebuah kalimat- kalimat menenangkan yang Langit dapatkan ketika pulang ke rumahnya yang masih dipenuhi sanak saudara, termasuk mertua dan orang tuanya. Namun malah makian dari mertua perempuannya yang terdengar nyalang, menyudutkannya dengan segala amarah yang memuncak di dalam hatinya. “ Cahya sudah sering cerita soal kesibukanmu dan tidak pernah meluangkan waktu untuknya. Gara- gara kamu! Gara- gara kamu anak saya.... “ “ Mah. Sudah.” Bastian—mertua laki- laki Langit memeluk istrinya, agar emosinya tidak semakin membuncah. Apalagi di hari berduka seperti ini dan di depan banyak orang. Walau ia sebenarnya juga sakit hati dengan apa yang telah menimpa putri satu- satunya yang ia miliki. “ Biar, Pah! Biar dia tahu diri! Kalo dulu bukan karena kita nggak ingin Cahya kecewa, nggak mau mamah nikahin Cahya sama dia. Apa susahnya nganterin istri ke dokter kandungan aja? Apa susahnya hah?!” Mia—mertua perempuan Langit berusaha menjangkau menantunya itu, bila perlu ia menghancurkan wajah sok sedih itu hingga tidak berbentuk. Ia muak melihat menantunya sendiri, sangat muak. “ Maaf, Pah... Mah... “ “ Cahya berhak bahagia, seharusnya saya tahu... kamu bukan pria yang bisa membahagiakannya! Ayo kita pergi, Pah. Mamah jijik lihat muka dia.” Mia langsung mengambil tasnya dan segera pergi dari sana. Bastian mau tak mau segera menyusul istrinya, ia tahu jika sudah emosi begini... istrinya bisa melakukan apapun. “ Sudahlah, Nak. Semua sudah takdir, mereka tidak tahu apa yang sudah kamu lalui selama ini,” ucap Ines—ibunya Langit yang segera memeluk anaknya itu. Langit semakin rapuh di dalam pelukan sang ibu, ia menangis di sana tanpa memperdulikan tatapan belas kasihan dari keluarganya yang lain. “ Harusnya Langit mengatakan pada Cahya yang sebenarnya, bu. Biar dia tahu kenapa Langit sangat sibuk akhir- akhir ini.” Ines mengusap puncak kepala anaknya dengan lembut, mencoba memberikan kenyamanan pada anak laki- lakinya ini agar semakin kuat menghadapi segala yang telah terjadi. “ Yang kamu lakukan sudah benar, Nak. Kehamilan istrimu sangat rentan jika dia ikut stress. Kamu sudah melakukan yang terbaik, terkadang takdir Tuhan memang tidak sesuai dengan yang manusia inginkan. Tapi kamu jangan sesekali menyalahkan Tuhan, semua sudah jalannya seperti ini.” “ Tapi bu... Cahya dan anakku... aku kehilangan mereka.” Bukan tanpa alasan Langit semakin sibuk dengan pekerjaannya. Ia harus menyelamatkan coffe shop serta supermarket yang menjadi bisnisnya itu dari kehancuran. Beberapa waktu lalu, kejadian perampokan di supermarket miliknya membuat saham perusahaannya turun. Mungkin banyak pemilik saham yang tidak percaya dengan perusahaannya lagi. Ia mencoba mengembalikan semua kepercayaan itu dan meyakinkan mereka jika supermarketnya sudah snagat aman. Sebisa mungkin ia menutupi semua kerugian saat itu. Para perampok pun sudah tertangkap dan sudah diketahui modusnya, ternyata mereka memang komplotan yang sudah lama menjadi buronan. Usaha Langit tidak sia- sia. Sahamnya kembali naik seiring kepercayaan orang- orang yang didapatnya kembali. Ia bahkan berencana membuka coffe shop baru juga di Lombok. Ia sengaja menyembunyikan semua masalah pekerjaannya dari Cahya, karena kehamilan wanita itu sangat rentan. Cahya mengalami tekanan darah tinggi saat kehamilannya dan sering mengalami flek jika lelah atau stress sedikit, alasan itulah yang membuat Langit merahasiakan semuanya. Hari ini seharusnya menjadi minggu terakhir kesibukannya, setelahnya ia bisa meluangkan banyak waktu untuk Cahya dan menjelang kelahiran anak mereka. Namun Tuhan punya takdir lain, takdir yang bahkan tidak pernah terlintas di pikiran Langit. Jika ia harus kehilangan istri serta calon anaknya yang telah mereka nanti selama empat tahun lebih pernikahan. Rasa sakit yang entah apa bisa ia sembuhkan atau justru akan semakin parah. Wanita yang ia cintai tak bisa lagi ia lihat di dunia ini, lalu untuk apa dirinya masih hidup? Untuk apa semua usaha yang telah ia bangun selama ini? Belasan coffe shop, beberapa supermarket besar miliknya... semua tidak ada artinya lagi. ........................ Setelah hampir dua hari tidak sadarkan diri, Aurora akhirnya membuka matanya kembali. Yang terakhir diingatnya hanya sebuah mobil berwarna putih yang secara tiba- tiba menyalip kendaraan di depannya hingga mobil itu masuk ke jalur yang berbeda dan menabrak mobilnya yang kebetulan berlawanan arah dengan arah datangnya mobil putih itu. Benturan keras di kepalanya membuat Aurora merasa sangat kesakitan, lalu semuanya gelap. Kegelapan yang menyelimutinya begitu lama, membuatnya merasa takut. Perasaannya semakin cemas saat melihat sosok ayahnya yang terlihat begitu sehat, tidak seperti biasanya. Tapi hal itu membuatnya bersyukur karena pada akhirnya ayahnya bisa baik- baik saja. Ayahnya bisa sehat seperti dulu lagi. Pria yang adalah cinta pertamanya itu selalu memperlakukannya dengan baik, membuatnya merasa sangat ingin memiliki suami seperti sosok ayahnya yang penyayang. Walau semua itu tidak pernah dirasakannya hingga usianya sudah tiga puluh empat tahun ini. Namun melihat sang ayah bukannya membuatnya bahagia, justru perasaannya semakin sakit. Entah kenapa hatinya begitu sakit seolah pria di depannya ini tidak nyata.  Yang pertama kali Aurora lihat saat membuka mata hanyalah ruangan putih serta alat- alat yang menempel di tubuhnya. Perlahan, air matanya meleleh kembali. Ia ingin melihat ayahnya, ia sangat merindukan pria itu. Bagaimana keadaan ayahnya sekarang? Ia harus melihat ayahnya agar hatinya bisa sedikit lebih tenang. “ Mommy!” Sabhira langsung masuk ke ruang ICU dengan pakaian khusus ketika melihat ibunya telah membuka matanya kembali. Jika saja alat- alat yang menempel di tubuh ibunya tidak menghalanginya, ia pasti sudah memeluk ibunya dengan erat. “ Kenapa lama sekali tidurnya?” Aurora tersenyum melihat kecemasan di wajah putri satu- satunya yang ia miliki. “ Kakek... kakekmu... “ Tiba- tiba senyum di wajah Sabhira lenyap, digantikan oleh wajah sendu yang tak ingin Aurora lihat. Karena wajah itu seolah memberi kabar buruk padanya, kabar buruk yang tidak pernah ingin ia dengar. Beruntung dokter Nathan segera datang setelah tahu jika Aurora sudah sadar. Ia segera memeriksa kondisi Aurora yang sudah dua hari tak sadarkan diri pasca operasi. “ Untunglah,” ucapnya dengan perasaan lega yang luar biasa. Kepulihan Aurora menjadi angin segar untuknya setelah dua hari lalu dua pasien di rumah sakit ini meninggal dunia. “ Kamu memang wanita yang kuat. Anakmu ini sudah menangis terus dua hari ini karena kamu belum sadar. Dia takut kehilangan kamu.” Ia mengusap puncak kepala Sabhira dengan lembut. Sabhira mengerucutkan bibirnya. “ Mommy membuatku cemas.” “ Maaf, sayang. Tapi kakekmu... ayahku... bagaimana keadaannya?” Aurora menatap Sabhira dan Nathan bergantian. Ia ingat jika hari itu ia buru-buru pergi ke rumah sakit karena ayahnya mengalami serangan jantung dan akan melakukan operasi, maka ia pun menyetir dengan terburu-buru hingga tidak sempat menginjak rem atau menghindari tabrakan dari mobil putih itu. “ Mom... kakek... “ Sabhira terlihat ragu. Terlihat tetes demi tetes air mata yang turun dari netranya, semakin membuat perasaan Aurora tak tenang. “ Kakek sudah meninggal. Kakek sudah dimakamkan kemarin.” Aurora terdiam, mencoba mencerna semua informasi yang didapatkannya hari ini. Ayahnya telah meninggal? Mana mungkin? Bukankah dia sudah terlihat sangat sehat seperti dulu? Bukankah dia pria yang kuat dan berjanji untuk selalu menemani putri bungsunya ini? Bukankah ayahnya tidak bisa jika tidak melihatnya sehari saja, lalu kenapa sekarang ayahnya pergi meninggalkannya? “ Ayah... “ “ Kami benar- benar menyesal dengan apa yang sudah menimpamu, Aurora. Aku yakin kamu wanita yang kuat. Ayahmu sudah berusaha semaksimal mungkin untuk bertahan hidup, tapi rupanya takdir berkata lain. Tuhan sudah rindu untuk bertemu dengan ayahmu, dia juga sudah tidak sakit lagi.” “ Tapi, Nathan... aku belum siap... aku belum siap kehilangan ayah. Bahkan aku belum berpamitan padanya. Aku... aku juga tidak datang ke pemakamannya.” Aurora mulai terisak dengan hati yang terasa begitu perih. “ Di dunia ini tidak ada satupun orang yang siap dengan kehilangan, Aurora. Kehilangan tidak pernah terasa baik- baik saja tapi kita tetap harus mengikhlaskannya. Ayahmu sudah bahagia di atas sana.” Walau merasa sakit yang tak tertahankan, Aurora mencoba menerima. Menerima semua takdir yang telah Tuhan berikan padanya. Bukankah rasa sakit dan kehilangan sudah menjadi makanan sehari- harinya selama ini? Bukankah hidupnya memang dipenuhi rasa sakit? Bukankah kebahagiaan memang tidak pernah ada dalam kehidupannya selain sosok ayahnya? Lalu kenapa ia harus terlalu berduka atas kehilangan ini, kehilangan yang seharusnya sudah ia persiapkan sejak dulu. Kehilangan yang sudah menjadi hal biasa selama tiga puluh empat tahun kehidupannya. Pada dasarnya, kehilangan adalah teman sejatinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD