Prolog

691 Words
“ Mas. Nggak bisa sebentar aja kamu luangkan waktu untuk aku dan calon anak kita ini?” Wanita berparas manis dengan pipi chubby dan mata agak sipit itu menatap sendu pada sang suami yang sedang mengenakan dasi sembari menatap ke cermin. Di sebelahnya sudah terdapat koper milik pria itu, pertanda dia akan pergi dalam waktu cukup lama. Ia memegangi perutnya yang sudah besar, dalam dua bulan lagi anaknya akan segera lahir ke dunia. Anak yang sudah mereka berdua nantikan selama empat tahun lebih pernikahan. Tahun ini akan menjadi tahun ke lima pernikahan mereka dan anak di dalam kandungan ini akan menjadi kado terbaik. “ Kamu nggak lihat aku udah mau berangkat, Cahya?” ucap pria itu dengan suara meninggi. Ia menatap malas ke arah istrinya. “ Toh kamu biasanya juga sendirian ke dokter kandungan.” ” Tapi kan acaranya besok malam, kenapa kamu berangkatnya sekarang? Harusnya masih ada waktu, setidaknya kamu berangkatnya nanti malam saja setelah mengantarku,” ucap wanita bernama Cahya itu dengan suara bergetar, menahan tangis serta keinginan kuat untuk memeriksa kandungannya bersama sang suami. Tak inginkah suaminya melihat langsung perkembangan anak yang telah mereka nantikan ini? Lalu kenapa saat anak ini hadir, dia malah seolah tidak memperdulikannya? Apakah anak ini penting untuknya? Pria dengan bola mata hitam itu menatap istrinya yang tengah duduk di tepi ranjang. “ Aku sudah memesan tiket. Tiketnya mahal, Cahya. Aku pergi sekarang.” Ia menarik kopernya dan malah pergi dari hadapan istrinya, sebelum wanita itu mengatakan hal yang tidak-tidak lagi. Cahya mendesah pelan di tempatnya. Ia pun beranjak dengan susah payah ke arah jendela, melihat suaminya yang baru saja masuk ke dalam mobil sementara kopernya dimasukkan oleh supir mereka ke bagasi mobil. Tak lama kemudian mobil itu melaju cepat meninggalkan pekarangan rumah. Ia mengusap air mata yang menetes, berusaha kuat demi anak di dalam kandungannya. “ Jika kesempatanmu untuk menemani kami hanya hari ini, apa kau masih akan menolaknya dan lebih mementingkan pekerjaanmu?” ....................... Penerbangan ke Lombok masih dua jam lagi. Langit sengaja datang lebih cepat ke bandara karena dia memang tidak suka terburu- buru. Baginya, lebih baik menunggu dibanding harus berlari- lari dan cek in untuk masuk ke pesawat. Pasti akan sangat melelahkan. Ia tidak suka hal itu. Ia pun memilih untuk meminum kopi di sebuah coffe shop di dalam bandara, memesan latte favoritnya, dengan ekstra krim tentunya. Ia suka minuman dan makanan yang manis. Baru saja Langit meletakkan latte miliknya di meja, ponselnya sudah berdering kencang. Ia berdecak kesal, lupa mematikan ponselnya atau setidaknya mengubah ke mode silent. Nomor asing tertera di layar ponselnya, membuat keningnya sedikit berkerut. Ia berusaha mengabaikan panggilan dari nomor asing itu, tak terbiasa menerima telepon dari nomor asing kecuali nomor itu mengiriminya pesan lebih dulu tentang siapa pemilik nomor itu dan apa kepentingannya. Namun nomor asing itu tak menyerah, hingga membuat Langit pada akhirnya mengangkat panggilan itu dengan perasaan kesal. Sayangnya, apa yang didengarnya di sebrang sana seakan memupus segala harapannya. Sepersekian detik kemudian air mata menetes dari netranya. Pria itu segera beranjak, meninggalkan minuman yang sama sekali belum dia nikmati dan koper yang ditinggalkan begitu saja. .................... Siang itu, rumah sakit Bina Husada terlihat lebih ramai dengan kedatangan dua mobil ambulans yang membawa dua korban kecelakaan maut. Para perawat dan dokter dengan sigap membawa kedua korban ke dalam ruang UGD untuk segera mendapatkan perawatan. “ Satu korban yang mengalami luka paling parah sedang hamil tujuh bulan, dok. Detak jantungnya sangat lemah, detak jantung bayinya juga sudah tidak terdengar, tekanan darahnya tinggi. Kita harus segera melakukan tindakan,” ucap Hani—salah satu perawat yang bertugas di ruang UGD hari itu. “ Segera siapkan ruang operasi.” “ Dokter Nathan,” sahut salah satu perawat lain—Bimo. “ Korban yang satu lagi... “ Ia terlihat ragu. “ Ada apa, Bimo? Bagaimana keadaannya?” “ Korban itu... dokter Aurora. Sekarang dia masih tidak sadarkan diri, detak jantungnya lemah...” Pria bernama Nathan itu hampir saja terjatuh di tempatnya berdiri saat ini, ia tidak menyangka jika korban lain dalam kecelakaan maut ini adalah sahabatnya sendiri. “ Segera lakukan CT Scan dan siapkan ruang operasi jika hasilnya ada pendarahan di otak.” “ Baik, dok!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD