Chapter 2

1618 Words
"Before you leave me today ...," nyanyi Fiona dengan suara sumbangnya sembari memasuki kelas. Sebuah senyuman terpancar begitu jelas di wajahnya. Ia melangkah menuju tempatnya duduk setelah melihat meja yang letaknya dua meja dari tempat duduk Tristan. Meja Richard. "Pagi, Carol," sapa Fiona pada Carol yang sedang membaca buku paket. Carol mendongak dan menatap Fiona aneh. "Lo kenapa senyum-senyum gak jelas gitu? Kemasukan setan?" Fiona berdecak kemudian menoyor pelan kepala Carol. "Iya, setannya lo!" Setelah menaruh tas dan duduk manis, Fiona menarik napas sejenak sebelum akhirnya berbicara dengan wajah yang berseri-seri "gue punya rencana bagus." "Apa?" tanya Carol acuh dan masih fokus pada buku yang ia baca. "Gue mau ngerubah teman-teman di kelas," kata Fiona percaya diri. Refleks Carol menoleh. "Semua? Demi apa? Emangnya lo sanggup ngerubah sikap anak-anak sini yang udah kayak kambing?” tanyanya dengan sebelah alis yang dinaikkan. Fiona memang terkadang suka aneh.  "Bukan semua, Car. Hanya untuk orang aja karena sikap mereka itu yang paling berpotensi untuk Bryan ngejek kelas kita," jelas Fiona. "Ohh, makanya, ngomong itu yang jelas, jangan setengah-setengah," ujar Carol setelah menarik nafas, kemudian ia kembali fokus pada buku paketnya. "Yaudah, sih." Merasa tidak tahu apa yang akan dilakukan karena Carol tampak tak ingin digangu, Fiona lantas mengeluarkan ponsel dari saku seragamnya dan meng-stalk akun Richard menggunakan akun palsunya. Ia membuka profil akunnya, bermaksud mengganti bio ** dari yang semula 'Sayang Richard' menjadi 'Richard is mine'. Ya, sudah dari setahun yang lalu Fiona membuat akun baru hanya untuk mengupload foto Richard dengan caption yang ia harap dapat membuat cowok itu peka. "Bryan?" ucap Carol tiba-tiba. "Apa?" Fiona mengalihkan pandangannya pada Carol. "Tadi lo sebut nama Bryan, kan?" Fiona mengangguk. "Apa hubungannya sama dia?" lanjut Carol dengan kening mengerut. Fiona meletakkan ponselnya sembarang di meja, sedikit mengarahkan badan pada Carol, berdeham pelan lantas berucap, "iya, gue emang ngomong namanya tadi. Niat gue mau bales dendam biar dia gak seenak jidat ngejek kelas kita lagi. Dan ada tiga orang dari kelas ini yang sangat berpotensi besar untuk Dia ngejek kita lagi," jelas Fiona. “Bryan—si cowok nyebelin temen SMP lo itu, kan?” Fiona mengangguk. Carol sepertinya mulai tertarik karena kini ia membiarkan bukunya tergeletak di atas meja dalam keadaan tertutup. "So, tiga orang itu siapa?" "Melody, Tristan, dan ...," Fiona menggantungkan kalimatnya. "Dan?" kejar Carol. "Ehm ..., Richard.” Carol terdiam sebentar. "Hah, ngaku lo, pasti lo sengaja, kan, biar makin dekat sama dia? Ayo, ngaku!" tuduh Carol seraya menunjuk-nunjuk Fiona dengan jarinya. Sedangkan Fiona hanya membalas dengan cengirannya dengan jari yang membentuk huruf V. "Hah?" Fiona dan Carol spontan menoleh ke depan. Dan Fiona langsung membulatkan matanya begitu tahu ponselnya sudah berada di tangan Ben. "Jadi lo-" Dengan gerakan cepat, Fiona  menutup mulut Ben menggunakan tangan sebelum cowok itu menyelesaikan ucapannya. "Kalo sampe ada yang tahu, gue gak lagi setujuin hubungan lo sama Carol!" bisik Fiona tajam membuat Ben langsung menutup mulutnya rapat-rapat. Gadis itu kemudian merampas ponselnya dari tangan Ben. "Ih, Na. Kok, lo ngomongnya gitu, sih!" kesal Carol. "Hush! Udah diem!" kata Fiona, lalu kembali mengalihkan pandangan yang semula pada Carol ke arah Ben. "Awas ya, lo!" Ancam Fiona sekali lagi. "Iya, iya. Biasa aja, sih," balas Ben. “Kok lo bisa sih kepikiran sampe buat akun ig kek gitu?” “Dia kan alay,” sambung Carol. “Biarin!” balas Fiona. “Eh, tapi Richard tau, loh, akun ini. Dia sempet beberapa kali buka juga,” kata Ben. Pria itu memang yang bisa dibilang cukup dekat dengan Richard di antara murid-murid di kelas ini. Mata Fiona berbinar. “Seriusan?” “Iya, lah! Orang lo tag terus di setiap postingannya.” Lagi-lagi Carol membalas. “Udah, sih, Car! Biarin gue seneng, napa.” Fiona kembali pada Ben. “Trus-trus, reaksinya gimana? “Nope. Data raja mukanya kek biasa.” “Yah ….” “Semangat, Na. Ada saatnya, kok, nanti. Tenang aja,” ucap Ben. “Iya, kan Car?” Carol sama sekali tidak mengalihkan pandangan dari ponselnya. “Gue amin-in, aja, biar fast.” “Jahat banget, sih!” “Iya, dia emang jahat. Gak pernah peka, males gue,” bisik Ben pada Fiona.  “Eh, gue denger, ya!” Carol melayangkan lirikan tajamnya yang membuat Fiona dan Ben terkikik geli. Ben merupakan teman sekelas mereka berdua dari kelas sepuluh. Pria itu juga sudah lama menaruh rasa. Dan sama seperti Fiona, orang yang disukainya masih tidak peka akan perasannya. Tapi ia kadang berpikir, Carol sebenarnya tidak peka atau pura-pura tidak peka? BYURR!!! "Eh, itu di luar ada apaan? Kok kayak ada yang disiram gitu? Keluar, ayo!" tanpa menunggu jawaban Carol, gadis beralis tebal itu sudah terlebih dahulu menarik tangan sahabatnya, disusul Ben yang juga penasaran dengan apa yang terjadi di luar. Di koridor depan kelas dua belas ipa 2,  gadis dengan riasan yang cukup tebal dan kaca di tangannya, tengah berkacak pinggang sembari menatap sinis seorang gadis yang sekarang sedang duduk di lantai dengan seragam yang basah. Di sampingnya terdapat sebuah ember yang lumayan besar dengan masih ada sisa-sisa air di dalamnya. "Heh, lo piker gue nggak tahu semua nyinyiran lo selama ini? Apa? Sok kecantikan? Maksud lo gue? Heh, lo ngaca gak? Nih, gue kasih kaca biar bisa liat muka lo!" ucap Melody dengan kasar sembari berjalan mengitari gadis itu lantas menyodorkan kaca tepat di depan wajahnya. Beberapa saat kemudian, Melody menarik kaca itu dan kembali berkacak pinggang. "Udah, kan? Kalo gitu sekarang jawab, apa yang lo lihat di sana? Ayo, jawab!" bentak Melody membuat gadis yang kini telah menangis itu terkejut. Melody sedikit menunduk, lantas mendekatkan bibirnya pada telinga gadis yang diduga bernama Gia itu. "Di sana, cuman ada cewek gak tahu diri yang kerjaannya ngomongin nama orang ," bisik Melody dengan tajam.  Ia kemudian berdiri lagi. "Minta maaf, cepet!" desak Melody, namun Gia malah semakin sesenggukan. "Cepatan!" "Ma-maaf, Kak." kata Gia pelan. "Yang keras!" Lagi-lagi Melody membentak. "Maaf, Kak!" Gia bahkan hampir berteriak. Senyum kemenangan terpancar jelas di wajah Melody. "Bagus." Melody lalu berjalan dengan angkuh memasuki kelas, meninggalkan kerumunan orang-orang yang mulai bubar. Dari sekian banyaknya orang yang tadi mengerumuni Melody dan Gia, tak ada satupun dari mereka yang bermaksud menolong murid kelas sepuluh itu. Begitupun Fiona, Carol dan Ben yang turut menyaksikan aksi Melody. Sampai akhirnya, Gia harus bangun sendiri dan melangkah pergi daripada menahan panas di telinganya atas cemooh orang-orang. Sebenarnya Fiona ingin sekali membela Gia, tapi ia sudah saling berjanji dengan Carol untuk tidak memiliki urusan dengan Melody. Bukannya mereka takut. Hanya saja itu tak penting dan sangat membuang-buang waktu. "Carol, gue udah nentuin siapa orang pertama yang bakal gue rubah sikapnya  dari tiga target yang ada," ucap Fiona. Carol mulai was-was, "Na, jangan bilang ...," dan ucapannya terhenti begitu melihat senyuman manis Fiona. "Carol, Car, Please, mau ya bantun gue?" pinta Fiona dengan wajah memelas. Saat ini mereka tengah berjalan keluar dari koridor sekolah. Dari jam istirahat, Fiona terus memohon bantuan pada Carol. Tetapi, gadis itu tetap kukuh menolak permintaan Fiona.  "Nggak!" tukas Carol. "Carol, please, lo kan sahabat gue, mau, ya? Ya? Please," lagi dan lagi Fiona terus memohon sambil mengatupkan tangannya di depan d**a. "Nggak Fiona! Kita kan udah janji kalo nggak akan pernah berurusan sama dia." "Tapi kan, perjanjian itu dibuat untuk dilanggar. Ini juga demi kelas kita. Emangnya, lo mau si Bryan ngejekin kita terus? Nggak, kan? Yaudah, kalo gitu iyain dong.  Lo juga udah janji mau bantuin misi gue kali ini.” Fiona berusaha membujuk Carol. Carol berhenti melangkah, menoleh pada sahabatnya."Tapi, bisa nggak sih jangan dia dulu?" Ia lalu kembali berjalan. Fiona menghalangi langkah Carol. “Gue bakal turutin semua permintaan lo.” Carol terdiam terlihat berpikir sebentar. Ia menaikkan sebelah alisnya. “Apapun?” "Iya, apapun." "Oke, fix. Gue bantuin," kata Carol. Bukannya senang, Fiona malah melongo. "Udah? Gitu aja? Astaga, Car, tau gini, gue ngomong kayak gitu daritadi. Ah, anjir emang," umpat Fiona gemas dengan dirinya sendiri. "Makanya, kalo punya otak itu dipake." Carol menoyor kepala Fiona. "Eh, gue pake ya!" Fiona mengangkat tangannya hendak mencubit Carol, namun gadis itu sedikit berlari menjauh lantas berbalik menghadap Fiona. "Ah, masa? Kok, gue gak percaya, ya?" ucap Carol setengah berteriak. "Eh, itu Richard!" teriak Carol lagi. Fiona langsung celingak-celinguk mencari keberadaan cowok itu. Sayangnya, ia sama sekali tidak menemukan tanda-tanda adanya batang hidung Richard di sekitar sini. Sedangkan Carol yang berjarak tujuh langkah di depannya malah tertawa senang karena berhasil mengerjai dirinya. "Awas ya lo!" Ancam Fiona setalah mengetahui kalau dirinya sudah dibohongi Carol.  "Fiona!" Fiona menaikkan alis, ia merasa seperti ada orang yang memanggil namanya. Ia pun berhenti berjalan lantas menoleh dan melihat dari kejuahan seorang cowok sedang berlari hendak menghampirinya. Cowok itu berhenti di depan Fiona dengan napas tersengal. Ia sedikit menduduk, menumpu pada kedua lututnya.  "Kenapa?" kata Fiona dengan polosnya. Cowok itu langsung berdiri tegap dan tersenyum. "Pulang bareng, yuk?" ajaknya. "Davin, lo jauh-jauh lari ke sini sampai ngos-ngosan gitu, cuma mau tanya itu? Buang-buang tenaga tau, gak," usai berkata begitu, Fiona langsung kembali berjalan. "Ya, gak papa. Kan gue yang lakuin," jawab Davin sambil mensejajarkan langkahnya dengang langkah gadis manis di sampingnya ini. Fiona dan David kembali bertemu dengan Carol di lobi sekolah. Gadis dengan rambut yang juga sebahu itu ternyata menunggu Fiona. Ketiga remaja itu kemudian berjalan berdampingan sampai ke depan gedung sekolah. “Na, seratus persen gue yakin dia mau nganterin lo pulang,” bisik Carol Fiona rasanya ingin menjedotkan kepala sahabatnya itu pada tembok saja. Bagaimana bisa ia berbicara tentang Davin saat cowok itu sedang berjalan bersama mereka? Apa dia tidak takut akan didengar Davin? Atau mungkin saja Carol sengaja agar cowok itu bisa mendengarnya, pikir Fiona. “Apaan sih, Car?” balas Fiona yang juga berbisik. Tak berapa lama, mereka betiga sudah sampai di luar sekolah. Fiona tak lebih dulu pulang, ia menunggu sampai jemputan sahabatnya tiba. “Tadi guru PKN gak masuk ya di kelas lo?’ tanya Carol membuka pembicaraan. Merasa ditanyai, Davin mengangguk. “Iya, dikasih tugas aja. Kalian?” “Iya, sama . Males banget ngerjainnya,” kata |Fiona dengan wajah kesal, membuat Davin tersenyum kecil. “Eh, jemputan gue udah dating. Gue duluan ya, Na.” Mata Carol lantas mengarah ke Davin. “Titip temen gue ya,” Davin lagi-lagi mengangguk. Jadi, gimana?" tanya Davin, setelah kepergian Carol. Apa?" Fiona menoleh sekilas sehingga matanya bertemu dengan manik hitam milik Davin. "Pulang bareng gue?"  "Ok," jawab Fiona tanpa berpikir panjang.  Toh, daripada harus panas-panas menunggu taksi dan mengeluarkan uang, lebih baik ia menerima ajakan Davin. “Btw, Na,” kata Davin yang tiba-tiba menghentikan langkahnya, pun Fiona juga ikut berhenti. “Gue emang mau ngajakin lo pulang bareng, kok. Bukan karna ucapannya Carol.” Fiona tersenyum mendengar ucapan cowok di depannya ini. “Gue tahu, kok.” *** Hai! Mohon dukung kami dengan cinta! <3
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD