Chapter 1

1634 Words
BRUKKK!!! Fiona jatuh terduduk di lantai kelas. Entahlah bagaimana itu terjadi. Tapi bisa dipastikan itu adalah ulah salah seorang temannya, walaupun nyatanya tidak. "Anjirr!" teriak Fiona sembari mengelus bokongnya. Fiona lantas berdiri kemudian duduk kembali di bangkunya. Sedikit mengumpulkan nyawa lalu merenung tentang mimpinya tadi. Ia sempat merasa bingung mengapa bisa mendapatkan mimpi seperti itu. Padahal ia yakin tidurnya tidak terlalu nyeyak, mengingat di mana ia berada sekarang. 'Kenapa mimpi gue kek gitu?' batinnya. Fiona melangkah keluar kelas. Ia merenggangkan tangannya seolah ini adalah rumahnya sendiri. Ini masih terlalu pagi dan di kelas baru hanya terdapat beberapa orang termasuk dirinya. Gadis berambut sebahu itu tersenyum sinis ketika dari arah berlawanan muncul cowok tinggi berkulit putih yang berjalan sambil mengangkat dagu. Rasanya menyebalkan harus melihat cowok itu di pagi hari seperti ini, membuat moodnya turun saja. "Tumben dateng pagi, biasanya aja telat," cibir Fiona saat cowok itu berada dua langkah dari tempatnya berdiri. Cowok ber-nametag Bryan itu berhenti dan menaikkan alisnya. "Lo ngomong sama gue?"  "Menurut lo? Tuan Bryan yang terhormat." "Oh iya, katanya ulangan Kimia kemarin, dari kelas lo ada yang gak tuntas, ya? Kok lucu sih, bukannya kelas lo termasuk kelas unggulan?" "Lo ngomong apaan?" ucap Fiona. "Kenapa? Lo malu buat ngakuin itu? Atau jangan-jangan, lo yang gak tuntas?" tuduh Bryan. "Kok lo songong, sih? Eh, asal lo tau ya, gue dapet 98 ulangan Kimia kemarin. Iya, udah, gue tau kok kelas lo tuntas semua, jadi nggak usah lebay," kesal Fiona sambil menekan kata lebay. "Trus juga katanya kemarin si siapa tuh yang bandel banget, dipanggil sama kepala sekolah. Hati-hati loh ya, kelas lo gak lulus entar. Siapa tau aja, kan. Harusnya juga lo sadar, kelas lo itu gak ada apa-apanya dibanding kelas gue, jadi gak usah sombong. Ulangan Kimia yang segitu gampangnya aja gak tuntas, gimana sama soal UN nanti." Cerocos Bryan panjang lebar membuat Fiona memutar bola matanya malas. "Trus, gue harus bilang WOW gitu, buat lo?" "Lho, bukannya lo udah bilang, ya?" tanya Bryan sambil menampilkan wajah polos yang kelihatan sekali dibuat-buat. "Udah ya, gue mau masuk dulu. Takutnya kalo terlalu banyak ngomong sama orang gak elit, gue juga ikutan gak elit, entar."  Setelah itu, Bryan masuk ke dalam kelasnya yang memang bersebelahan dengan kelas Fiona. "Sabar ya, Fi. Senyumin aja buat orang kayak gitu, mah. Entar kalo dia udah jatuh, baru deh lo ketawa sepuasnya." Fiona mengelus d**a, mencoba menetralkan rasa kesalnya. Bryan Jonathan. Nama itu selalu membuat Fiona kesal setengah mati. Kalau diingat-ingat, Bryan sudah ia kenal selama lebih dari dua tahun. Ia dan cowok itu memang berasal dari SMP yang sama. Bahkan mereka sudah saling kenal dari kelas tujuh, biarpun tidak pernah sekelas. Bryan memang dari dulu sudah menyebalkan. Fiona awalnya merasa senang karena akan satu SMA dengan Bryan, karena teman-teman sekelasnya memasuki SMA lain. Tapi sekarang ia menyesali itu, karena entah mengapa sekarang Bryan menjadi lebih menyebalkan. Fiona akhirnya memutuskan untuk menunggu Carol—teman sebangku sekaligus sahabatnya—di dalam kelas karena di sepanjang koridor sudah agak ramai dengan murid-murid yang baru datang. Sepuluh  menit dihabiskannya untuk melamun sembari memandang keluar kelas lewat kaca yang berada tepat di sampingnya. Memang, Fiona dan Carol memilih tempat duduk di paling pojok agar mereka bisa tidur, makan, ataupun mengobrol saat guru sedang menerangkan di depan kelas. Juga, untuk melihat barisan para cogan dari kelas sebelah ataupun dari kelas bawah.  Tentunya ini bagi Fiona, karena Carol malah tak suka dengan yang seperti itu. Bangku mereka tak benar-benar di paling belakang, masih ada satu lagi bangku yang diduduki murid berandal. Saking asyiknya melamun, sampai-sampai Fiona tak sadar kalo gadis yang sedari tadi ditunggunya itu sudah duduk manis di sampingnya. Dengan jahil, Carol berencana menyapa Fiona dengan cara yang andalannya. Ia mendekati telinga Fiona, lantas berteriak. "PAGI FIONAA!!!" Teriakan Carol berhasil membuat Fiona terkejut dan apa yang ia lamunkan seketika buyar. Fiona menoleh dengan wajah yang dibuat datar. "Biasa aja, t*i!" Carol malah membalas ucapan Fiona dengan cengirannya. "Udah naruh suratnya?" tanya Carol. Fiona membulatkan matanya, "anjirr, gue baru inget!" Fiona lantas mengeluarkan sebuah amplop biru dengan terburu-buru dari tas kemudian melihat kesekitarnya. Air mukanya seketika menjadi memelas.  Sedangkan Carol malah memutar kedua bola mata melihat tingkah sahabatnya. Dalam hati ia membatin, 'fio, fio, kapan sih ninggalin sikap ceroboh lo?' sambil menggelengkan kepala. "Udah gak bisa lagi. Anak-anak udah pada dateng. Yah, gimana dong? Pake acara lupa lagi. Padahal itukan niat awal gue dateng pagi." Fiona menyandarkan tubuhnya kembali pada bangku dengan memelas. Amplop biru tadi masih ia genggam. Carol menarik nafas lantas menepuk pelan pundak Fiona. "Udah, gak papa. Masih ada hari lain, kan? Simpen aja ini buat besok," ucapnya lembut lantas tersenyum kemudian mengeluarkan buku paket dari dalam tas. Merasa ada yang ganjil, keduanya saling menoleh, terdiam agak lama hingga Fiona yang berbicara lebih dulu. "Kenapa kita jadi drama gini?"  "Hah?" Carol menaikkan sebelah alisnya. "Eh, iya ya bener. Sejak kapan kita kayak tadi? Udah kayak di ftv aja."  "Tapi, kita cocok loh kalo main ftv. Ntar, lo jadi pemeran utamanya, nah trus gue yang jadi jahat dan berencana ngerebut cowok lu," ucap Fiona. "Iya, dan lo gak bakalan dapetin cowok gue karna cowok gue itu setia." "Iya, tapi ntar gua bakalan buat cara licik biar cowok lo terpikat sama gue."  "Iya, tapi tetep aja pada akhirnya cowok gue jadinya sama gue dan lo mati." "Iya, ta-" "Kalian bisa diem gak, sih?!" bentak sebuah suara dari arah belakang. Fiona dan Carol menoleh ke arah pemilik suara dan sama-sama memutar mata ketika tahu siapa pemilik suara itu. Dia Tristan. Atau lebih tepatnya Tristan Giovanni. Murid paling nakal di kelas ini. Wajahnya memang tampan, tapi yang selalu menampilkan raut ketus dan songong membuat siapa saja yang melihatnya menjadi kesal. Dua di antaranya adalah Fiona dan carol, tentu saja.  Fiona berdecak. "Ngomongnya biasa aja, jangan luar biasa!" balasnya, tanpa takut. Ini tahun keduanya sekelas dengan cowok itu. Sedikit mengetahui bagaimana watak Tristan walau tidak dekat dengannya. Carol kemudian menyikut lengan Fiona dan memberi isyarat untuk melihat ke arah pintu kelas dengan ekor matanya. Fiona mengikuti arah pandang Carol dan menarik nafas sejenak ketika mendapati seorang gadis dengan riasan yang cukup tebal sambil menggenggam kaca kecil di tangannya, sedang berjalan menuju tempatnya duduk.  Bukannya apa, hanya saja Fiona merasa tak habis pikir tiap kali melihat gadis itu. Wajahnya cantik, bahkan Fiona merasa Melody lebih cantik darinya. Tetapi kenapa ia selalu memakai produk-produk yang bisa saja merusak wajahnya itu? Entahlah. Semua riasannya itu malah membuatnya wajahnya yang semula tak bersahabat, menjadi semakin terlihat culas. Tidak heran ia selalu sendiri. Tapi beberapa bulan lalu ia sempat mempunyai geng kecil yang sayangnya tidak bertahan lama. Fiona pun yakin teman-temannya itu hanya dekat dengannya agar bisa populer juga, mengingat Melody cukup dikenal siswa-siswa di sekolah ini. "Mau ke sekolah apa mau kondangan? Bosen gue lihatnya. Eh, tapi kira-kira tiap hari materi yang dikasih masuk otaknya, nggak ya?" Tanya Fiona pada Carol. Carol mengedikkan bahu. "Gimana mau masuk, orang tiap guru nerangin di depan aja megang kaca mulu." "Kata kakak gue nih ya, hanya orang jelek yang lihat kaca mulu," bisik Fiona ketika Melody—gadis yang mereka bicarakan—sudah duduk di tempatnya yang memang berdekatan dengan meja mereka. Mereka berdua terkikik. Sedetik kemudian, Fiona malah terdiam. Ia menahan napas seraya matanya terus fokus pada cowok yang baru saja memasuki kelas. Dia Richard Adiatma. Cowok yang berhasil membuat Fiona jatuh cinta bahkan pada pandangan pertma, saat ia menginjakkan kaki di sekolah ini. Ia hanya lewat sekali di depan Fiona saat hari pertama MOS, dan jantung gadis itu langsung berdentum-dentum tanpa penyebab. Dan ketika Richard berjalan melewati tempatnya duduk, saat ini dentuman di jantungnya masih ada, tanpa penyebab juga.  Fiona masih terus diam, mencoba menahan debaran di d**a yang dua kali lebih cepat dari biasanya. Ia takut cowok yang saat ini sudah duduk di tempatnya itu mengetahui bunyi detak jantungnya. "Bernapas, Na," tepukan Carol di bahu Fiona membuat gadis itu akhirnya kembali sadar.  "Biasa aja lagi, perasaan tiap hari lo liatin dia, deh." "Beda, Carol. Hari ini gak tau kenapa, dia kayak punya pesona baru gitu," balas Fiona. Carol lagi-lagi memutar bola mata, "tiap hari juga lo ngomong gitu kali," lantas membalikkan badan ke depan membuat Fiona mendengus. "Carol," panggil Fiona. "Carol," kali ini panggilannya diiringi cubitan kecil di tangan Carol. "Carol!" "Ih, diem deh! Gue belom selesain PR, Na!” ketus Carol karena kasi Fiona barusan. Fiona memang kadang suka menyebalkan. Berteman dengannya hampir tiga tahun membuatnya kebal. "Ish." Fiona memutuskan untuk kembali diam. Ia mengarahkan pandangan ke arah luar lewat kaca di sampingnya. Mengamati beberapa cowok yang ia yakin adalah adik tingkatnya, tengah mengoper bola ke sana-ke mari.. Ini memang kebiasannya. Tak jarang matanya langsung kembali segar setelah melihat itu ketika ada pelajaran yang memobosankan sekaligus membuatnya mengantuk.  Gadis yang kali ini menguncir rambutnya itu menarik napas. Ia kembali memikirkan arti dari mimpinya beberapa saat lalu, sebelum akhirnya mengeluarkan sebuah buku tulis dan pulpen. Ia mulai mencoret-coret lembaran pertama buku itu. Beberapa saat kemudian seakan mendapat ilham entah darimana, matanya berbinar-binar.  Fiona mengingat ejekan Bryan tadi terhadap kelasnya dan menyunggingkan senyum sinis. Di kepalanya sudah ada satu rencana cemerlang : 'ia akan merubah sikap buruk teman-temannya'. Tapi tentu saja tak mungkin semua teman sekelasnya. Fiona mengarahkan pandangan ke segala penjuru kelas yang sudah semakin ramai. Setelah beberapa saat mengamati, ia sudah mendapat tiga target. Hanya 3 orang, dan mereka yang menurut Fiona sikapnya paling berpengaruh besar atas ejekan Bryan. Lalu, ia mulai menulis. 1. Melody Trinity. 2. Tristan Giovanni. 3. Richard Adiatma Untuk yang ketiga kenapa Fiona menuliskan nama Richard? Sebenarnya pria itu tidak terlalu bermasalah. Nilainya selalu tinggi. Hanya saja ia suka sekali tidak mengerjakan PR dan sikapnya yang dingin seperti es batu. Juga, karena rencana tersembunyinya untuk ingin lebih dekat dengan Richard.  Siapa tahu, karena kedekatan mereka nanti, Richard dapat membalas perasaan Fiona. Mungkin saja, kan? Biarkanlah Fiona berharap. Sebenarnya, jauh dari karena ejekan Bryan, Fiona memang ingin merubah sikap buruk temannya. Walaupun itu hanyalah menjadi niat yang ia anggap angina lalu saja karena merasa mustahil terjadi. Tapi ia tak menyangka kalau niatannya itu menjadi hal yang paling ingin dilakukanya sekarang. Karena ia sedikit yakin, kalau orang yang sikapnya bermasalah dan kurang baik, pasti ada alasan kuat yang membuat mereka seperti itu.  Fiona menarik nafas sejenak lantas menatap coretannya. 'Semoga semuanya berjalan lancar.' Ia membatin. *** Terima kasih sudah membaca! :) Mohon dukung kami dengan cinta!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD