2-Penyusup

2081 Words
Dari kejauhan Gisel melihat sahabatnya itu berjalan cepat sambil sesekali menoleh ke belakang. Tindakan itu membuat Gisel mengernyit bingung, apalagi melihat Meggly yang hampir terjatuh. Gisel lantas mendekat, mencari tahu kenapa sahabatnya kali ini tampak aneh itu. “Meg. Lo kenapa?” Meggly tersentak saat ada sepasang tangan menyentuh pundaknya. Saat melihat Gisel, dia mengembuskan napas lega. Dia lalu menoleh ke belakang, memastikan jika keadaan telah aman. Setelah itu dia menghela napas lagi, menyadari lelaki tadi tidak lagi mengikutinya. “Ada cowok aneh.” Gisel melongok ke belakang tubuh Meggly, mencari tahu siapa yang dimaksud. “Siapa? nggak ada siapa-siapa.” Meggly menarik tangan Gisel menjauh. Awalnya Gisel sempat menahan, tapi melihat raut memohon Meggly, dia menurut. Dua sahabat itu berjalan cepat menuju ruangan mereka. “Lo tahu siapa cowok yang di kelab?” Meggly membuka percakapan setelah duduk di kursi kerjanya. “Cowok yang di kelab kan banyak, Meg,” jawab Gisel tidak tahu lelaki mana yang di maksud sahabatnya itu. Meggly mengerut kening. “Kalau nggak salah namanya Andreas.” “Yang pernah diceritain Sofia?” “Ya itu.” Gisel memutar kursi Meggly, membuat sahabatnya itu sepenuhnya menatapnya. Gisel melihat ada kegelisahan di mata itu. “Kenapa? Kok tiba-tiba jadi bahas Andreas?” Sebenarnya Meggly juga tidak ingin membahas, ah bahkan dia tidak ingin berhubungan dengan Andreas. “Dia nyamperin ke kos,” ceritanya. “Kok bisa?” Mata sipit Gisel sedikit melebar. Gadis berambut gelombang itu mengernyit kebingungan. Dia tahu bagaimana ruang lingkup pergaulan Meggly. Sahabatnya itu tidak pernah mau mengenal lelaki yang suka keluyuran di kelab malam. “Gue nggak tahu kenapa bisa kayak gitu. Tiba-tiba dia nemuin gue.” Gisel menegakkan tubuh, bersandar di kubikel dengan kedua tangan terlipat di depan d**a. “Waktu di kelab lo emang kenalan sama dia?” Meggly menggeleng tegas. “Dia natap aja gue udah menghindar. Apalagi kenalan.” “Terus kok bisa dia ke kosan lo? Gue yakin pasti ada apa-apa,” ungkap Gisel. “Apa target selanjutnya itu lo?” “Maksudnya?” Seketika Meggly kembali was-was. Dia merasa akan ada hal buruk yang menimpanya. Raut gadis itu seketika berubah. Dia tidak ingin hidup tenangnya terganggu karena kedatangan Andreas. Itu tidak baik bagi kehidupannya, apalagi Andreas terlalu liar. “Ya dia mau deketin lo. Yah, player, kan, suka berburu wanita,” jawab Gisel dengan suara pelan. Kedua tangan Meggly menyentuh sisi kepala. Dia menggeleng tegas, mengenyahkan ucapan Gisel yang membuatnya semakin ketakutan. “Gue harus gimana, Sel?” Gisel mengangkat bahu. Dia sendiri belum bisa menemukan solusi dari masalah ini. Tindakan Andreas begitu tiba-tiba dan membuat Gisel ikutan syok. “Kalian kenapa? Pagi-pagi kok udah bingung gitu?” Meggly dan Gisel serempak menoleh ke sumber suara. Mereka menatap wanita berblazer merah dengan make up yang selalu tebal. Sofia. “Lo tahu Andreas? Dia tadi habis ke kosan Meggly,” jawab Gisel. Mendengar nama lelaki yang berciuman dengannya semalam, Sofia mengulas senyum. Dia mendekat dan menatap Meggly. “Lo beruntung dideketin dia. Tapi Jimi yang suka lo. Bukan Andreas, ya!” jelas Sofia, tidak ingin Meggly kepedean. “Apanya yang beruntung?” tanya Meggly tidak habis pikir. “Jimi siapa maksud lo?” Sofia menatap teman sekantornya yang sangat kuper itu. “Temen Andreas. Yah, lumayan ganteng juga. Udah sama Jimi aja.” “Lo jelas tahu tipe cowok idaman Meggly gimana, Sof,” Gisel menjawab. “Yang pinter, yang suka baca. Sama yang nggak suka ke kelab,” ungkap Sofia. Dia lantas mendekat dan menepuk pundak Meggly. “Kalau gitu lo bantu gue deket sama Andreas.” “Nggak bisa. Gue nggak mau hubungan sama dia,” jelas Meggly. “Nolongin temen, Meg.” Sofia tidak menyerah begitu saja. Meggly tetap menggeleng tegas. “Gue nggak bisa, Sof. Lo pasti bisa dapetin Andreas sendiri.” “Oke. Kayaknya gue juga salah minta tolong sama lo,” jawab Sofia lalu berjalan menuju kubikelnya sendiri. Kini menyisakan Gisel yang sejak tadi diam. Dia sebenarnya ingin memarahi Sofia atas ucapan kurang sopannya itu. Namun, Gisel tidak ingin membuat Meggly marah. Meggly termasuk perempuan yang tidak mau terlibat konflik dengan siapapun. “Ya udah, Meg. Soal Andreas jangan terlalu dipikirin. Kalau lo terus cuek, dia pasti mundur teratur,” saran Gisel. Meggly mengangguk mengiyakan. “Semoga ya, Sel. Gue ngerasa nggak tenang kalau dia berkeliaran di sekitaran gue.” “Nggak usah dipikir serius. Kita ngobrol lagi pas istirahat. Bye,” pamit Gisel lalu berlalu ke kubikel depan Meggly. Selepas kepergian Sofia dan Gisel, Meggly menatap monitor yang masih belum menyala itu. Dia masih kepikiran dengan kedatangan Andreas tadi pagi. Drtt!! Getaran ponsel yang tiba-tiba itu membuat Meggly berjingkat. Dia merogoh benda itu dari celana kerjanya dan melihat pesan yang masuk. See you soon, Babe :* - Andreas – Bola mata Meggly membulat. Bagaimana bisa Andreas tahu nomor ponselnya? Meggly menggeleng tak percaya kalau Andreas pasti telah menyelidikinya. Dia yakin, hidupnya tidak lagi tenang seperti hari sebelumnya.   ***   Beberapa hari yang lalu. “Sof. Yakin, nih, kita ke tempat ini?” Meggly mengedarkan pandang, melihat orang-orang yang sedang sibuk menggoyangkan badan. Gadis itu memicing, merasakan lampu warna-warni yang membuat matanya sakit. Dia lalu menoleh ke Sofia, wanita yang malam ini mentraktirnya. “Kata lo cuma makan di kafe,” protesnya. Sofia terkekeh pelan, puas telah mengajak temannya yang polos itu ke kelab. Dia melirik Heida, temannya yang sering ke tempat ini bersamanya. “Da, kita masuk, yuk!” “Eh, kalian tega ninggalin kita?” Gisel mencekal tangan Sofia, menahan teman sekantornya itu meninggalkannya dan Meggly. “Habisnya Meggly kayak keberatan gitu. Udahlah tenang aja,” jawab Sofia lalu berjalan lebih dulu. Meggly melingkarkan tangan ke lengan Gisel. Dia tidak nyaman dengan tempat ini. Dia ingat jelas sebelum berangkat Sofia menjanjikan tempat yang nyaman dan seru. Jika, seperti ini Meggly seketika tidak nyaman, tempat ini menyilaukan dan menakutkan. “Kalian mau pesen apa?” tawar Sofia setelah duduk di meja dekat bartender. “Kayak biasa!” Heida menjawab. Gisel dan Meggly berpandangan, dua orang itu tidak tahu di tempat ini menjual minuman apa saja. Meggly akhirnya menggeleng, tak yakin lambungnya bisa menerima minuman aneh-aneh. “Gue nggak,” tolaknya. Heida dan Sofia mendengus atas sikap sok suci dua temannya itu. Meggly lalu mengedarkan pandang. Dia mengerjab melihat sepasang kekasih yang sedang berciuman. Selama ini Meggly hanya melihat adegan seperti itu di film, bukan kejadian nyata seperti sekarang. “Hai.” Sapaan itu membuat Meggly menoleh. Dia memundurkan tubuh kala melihat lelaki bertopi berdiri dengan gelas bening di tangan kiri. “Jimi? Sini, dong!” seru Heida. Gisel menyenggol lengan Meggly, lantas berbisik. “Itu sepupu Heida kayaknya. Tapi sepupu tiri.” Respons Meggly hanyalah anggukan pelan. Dia melirik ke arah Jimi, lelaki itu sedang sibuk mengobrol dengan Heida. “Jim. Lo di sini ternyata.” Suara berat itu terdengar begitu jelas di telinga Meggly. Sontak gadis itu menoleh dengan waspada. Matanya bertemu pandang dengan mata cokelat gelap yang menatap tajam. Meggly tertegun, lelaki di depannya itu terlihat tampan. Memiliki hidung mancung dan bibir yang sensual. Seketika Meggly membuang muka, mengenyahkan pikiran itu. “Heida lo kenalin temen-temen lo dong,” pinta Jimi. Gadis dengan rambut dicepol itu mengangguk. Dia mulai menunjuk temannya satu persatu. “Yang cantik ini, Sofia. Yang matanya sipit ini Gisel. Yang kelihatan polos itu Meggly.” Andreas yang berdiri di belakang Meggly sontak bergerak maju. Dia memperhatikan gadis yang terlihat duduk tidak nyaman itu. Seketika dia tersenyum, wajah Meggly terlihat begitu polos dan sepertinya tidak pernah ke tempat seperti ini. “Andreas!! Jimi!!” Panggilan kencang itu membuat dua lelaki itu menoleh. Keduanya melambaikan tangan ke lelaki yang tidak kalah tampan dari mereka, Orlan. Tanpa pamit, Andreas dan Jimi langsung melenggang pergi. “Lo nggak pernah cerita, sih, lo sepupuan sama Jimi. Dia kan sahabat Andreas, lelaki terganteng!” kata Sofia. Diam-diam Meggly mendengarkan. Dia setuju dengan kalimat terakhir Sofia, Andreas memang tampan. Namun, lelaki itu terlihat menyeramkan. “Gue sama Jimi sepupu tiri, jarang akur juga,” Heida menjawab. Sofia memajukan tubuh, lantas mulai bergosip. “Andreas tuh player, tapi banyak yang mau jadi pacarnya. Gue juga mau jadi pacarnya. Nggak nolak sama sekali malah.” Cerita Sofia membuat Gisel dan Meggly berpandangan. Jika, sudah tahu Andreas player, kenapa juga masih mau dengan lelaki itu? Seperti di dunia ini kekurangan populasi lelaki saja. “Andreas emang ganteng. Tapi kalau dia nggak tertarik sama cewek, nggak bakal diladeni. Tapi kalau lagi tertarik, apapun bakal dia lakuin. Jimi pernah cerita gitu,” kata Heida. Cerita itu membuat Meggly tersentak. Nyatanya paras Andreas tidak sebanding dengan sikap lelaki itu. Sekarang dia malah terjebak satu ruangan dengan lelaki seperti itu. Meggly lalu mengedarkan pandang, mencari pintu keluar. Saat menoleh ke belakang, dia melihat Andreas sedang duduk santai dan menatapnya. Sontak Meggly membuang muka, dia mulai ketakutan. Terlebih setelah mendengar cerita Sofia dan Heida barusan.   ***   Andreas memperhatikan foto gadis berseragam SMA dengan kucir dua. Dia mengulas senyum menyadari betapa lugunya gadis di foto itu. Sudah SMA, tapi masih suka berkucir dua, tanpa poni pula. Puas mengamati, Andreas meletakkan bingkai foto ke tempat semula di pojok meja rias. Dia lalu mengedarkan pandang ke ranjang sempit di dekat jendela. “Gue bisa ngasih tempat yang lebih mewah dari ini. Asal lo ikutin permainan gue,” gumamnya dengan seringai menyeramkan. Lelaki itu kembali mengamati ruangan sempit itu. Dia melihat lemari kayu yang terbuka setengah. Karena penasaran, Andreas berjalan mendekat. Dia melihat baju tertumpuk rapi dengan d******i warna netral, hanya warna hitam, putih dan cokelat. “Kaku banget!” nilai Andreas atas pakaian yang tertumpuk rapi di depannya itu. Ceklek! Tiba-tiba terdengar suara knop pintu terbuka. Andreas seketika berbalik, lalu melipat kedua tangannya di depan d**a. Tak lupa punggungnya dia sandarkan di lemari belakangnya. Gayanya seperti seorang penguasa. Pandangan Andreas tertuju ke Meggly yang melepas sepatu di depan pintu itu. Sepertinya gadis itu itu belum menyadari kehadiran seseorang. Beberapa detik kemudian, gadis itu menegakkan tubuh, barulah dia sadar kamarnya telah didatangi penyusup. “Kenapa Anda bisa masuk?!” Seketika Meggly mundur selangkah. Dia menoleh ke kiri dan ke kanan, bermaksud mencari bantuan tapi yang didapati lingkungan sekitar tampak sepi. Meggly buru-buru memakai sendal jepit lalu berjalan ke luar. “Suka kabur-kaburan,” Andreas menggeram. Andreas keluar dari kamar dengan langkah lebar. Dia melihat Meggly berlari ke arah gerbang. Tidak ingin targetnya kembali kabur, Andreas berlari. Baginya mengejar Meggly tidak ada apa-apanya karena sekarang dia berhasil memeluk gadis itu dari belakang. Membuat Meggly memekik tertahan. “Lepas! Apa yang Anda lakukan!!” Tangan mungil Meggly berusaha menarik tangan kekar yang melingkar di perutnya itu. Namun, lilitan tangan itu begitu berat. “Janji jangan kabur. Baru gue lepas,” jawab Andreas sedikit mengancam. Meggly mengangguk, baginya dia harus terlepas dulu dari pelukan ini. Merasa Meggly bisa diajak kerja sama, Andreas melepas pelukannya. Dia memutar tubuh Meggly hingga menghadapnya. Satu tangan Andreas menggenggam tangan Meggly erat, tidak ingin gadis itu kabur. “Jangan berniat membodohi.” Meggly mengalihkan pandang ke arah lain. Strateginya dengan mudah dibaca oleh Andreas. “Apa maksud Anda di kamar saya?” “Oh, Sayang. Tadi nggak baca pesan gue?” Telinga Meggly memanas mendengar panggilan “sayang” yang dilontarkan Andreas. Dia membuang muka, lebih memilih menatap trotoar daripada player di depannya itu. “Kalau ditanya itu jawab. Sama tatap lawan bicaranya.”  Andreas menjapit dagu Meggly. “Kenapa terlihat ketakutan?” Dia mengulas senyum melihat wajah pucat gadis di depannya itu. “Bagaimana saya tidak takut, tiba-tiba Anda datang dan mengganggu hidup saya.” “Nggak mengganggu. Cuma pengen kenalan.” Meggly menggeleng tegas, tidak serta merta percaya. “Jangan ganggu hidup saya. Saya mohon.” Andreas menundukkan wajah, hingga sejajar dengan wajah Meggly. “Gue gak ganggu, Sayang. Oke sekarang kita kenalan. Nama gue Andreas Deandry Octavinus.” Perlahan Andreas melepas genggaman tangannya, berganti terulur ke hadapan Meggly. Kedua bola mata Meggly tertuju ke raut Andreas yang terlihat serius itu. Gadis itu menimbang-nimbang menerima ajakan perkenalan itu atau tidak. Namun, dalam hati dia tidak sudi berkenalan. Di iyain aja ya, biar dia cepet pergi. “Nama saya Meggly,” jawabnya tanpa membalas jabatan itu. “Kita sudah berkenalan, kan? Lebih baik Anda pergi.” Setelah mengucapkan itu Meggly kembali ke kamarnya. Kali ini Andreas tidak menghalangi, sedikit memberi kelonggaran agar gadis itu tidak kabur-kaburan lagi. “Gue besok ke sini lagi, Baby Gly,” gumamnya. Tanpa sepengetahuan Andreas, Meggly bersembunyi di balik gerbang. Dia memperhatikan lelaki itu sampai masuk ke mobil sport merah. Seketika Meggly mengusap d**a, lega karena Andreas tidak lagi mengikutinya. “Tempat ini udah nggak aman.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD