1-Target Baru

2065 Words
Lelaki berjas hitam itu berdiri membelakangi perempuan bergaun krem. Matanya menatap hamparan mini taman yang terlihat asri itu. Kedua tangannya lalu ke luar dari posisi nyamannya—saku—menuju ke pagar pembatas. “Andreas! Kenapa diem aja, sih?” Mendengar panggilan itu Andreas menoleh. Dia menatap wanita berwajah lonjong di depannya itu sambil menghela napas panjang. “Gue nggak bisa tepatin janji,” ucapnya setelah beberapa saat diam merenung. Bola mata wanita itu membesar. Seketika dia mendekat dan menarik lengan kekar Andreas. “Nggak bisa tepatin janji? Lo janji serius sama gue!!” Andreas mengangguk, menyadari sebelumnya berniat serius dengan Zizi. Namun, perasaannya tidak bisa dibohongi, apalagi dia tidak siap hidup dengan wanita itu. Bukannya Zizi jelek, bukan. Bahkan Zizi begitu cantik dengan tinggi semampai. Namun, Andreas merasa kurang srek, kurang klik saja. Sifat mereka terlalu sama dan Andreas tidak ingin pasangan yang seperti itu. “Sorry, Zi. Gue nggak bisa tepatin itu,” kata Andreas sambil menyentuh pundak Zizi. “Lo bisa nyari cowok yang lebih segalanya dari gue,” lanjutnya. “Alesan!” Zizi menyentak tangan besar Andreas dari pundaknya. “Siapa?” “Apanya?” tanya Andreas tak mengerti. “Cewek yang bisa bikin lo berpaling.” Andreas tidak bisa menjawab dan memilih mengalihkan pandang ke mini taman samping kafe. “Nggak ada.” Satu alis Zizi terangkat lalu dia menggeleng tegas. Dia hafal sikap Andreas. Lelaki itu tidak akan memutuskan hubungan secara sepihak kalau tidak ada target wanita yang diincar. “Lo tinggal ngomong siapa yang bisa ngalahin gue!” desisnya. Telinga Andreas mulai panas mendengar ucapan Zizi yang terkesan penuh percaya diri itu. Lelaki itu membenarkan jasnya lalu berbalik. “Ada yang mau lo tanyain lagi?” tanyanya. “Kalau enggak gue balik. Gue harus meeting.” “Lo nggak bisa giniin gue, Andreas!!!” teriak Zizi membuat pengujung kafe menoleh menatapnya penuh tanya. Merasa menjadi tontonan umum, Andreas semakin tidak betah. Tanpa sepatah kata dia pergi meninggalkan Zizi. Andreas berjalan cepat ke pintu keluar lalu menuju mobil sprot-nya yang terparkir. Setelah di dalam mobil, Andreas disambut dengan senyum merekah oleh lelaki yang sejak tadi menunggunya. “Gue udah putusin Zizi. Sekarang mana kontak Baby Gly!!” tagih Andreas. Jimi geleng-geleng tak percaya. Dia sempat melihat bagaimana Andreas memutuskan Zizi, model most wanted di kalangan mereka. “Lo emang buaya buntung,” ejek Jimi lalu merogoh ponsel, menyerahkan benda berwarna hitam itu ke Andreas. Andreas mengangkat bahu tak peduli. Dia asyik memindah kontak gadis incarannya ke ponsel. Setelah itu Andreas mengembalikan benda itu ke Jimi. “Gue bukan buaya buntung. Asal lo tahu buaya itu setia. Gue belum ketemu aja sama cewek yang bikin gue setia,” argumennya. Mendengar kalimat itu Jimi meninju lengan Andreas. “Apa kata lo, deh!” jawabnya. “Apa lo bisa dapetin Baby Gly lo itu dalam sebulan?” tantangnya kemudian. Sontak Andreas menoleh, menatap Jimi dengan senyum miring. “Apa balasan buat gue?” Jimi menegakkan tubuh, menimbang-nimbang bayaran apa jika Andreas bisa menakhlukkan Baby Gly itu. “Vila gue di puncak?” Andreas menggeleng. “Papa gue punya banyak. Bahkan di Malang juga punya.” “Kelab gue di Bali? Udah lama, kan, lo pengen punya kelab tapi nyokap lo nggak ngizinin?” Tawaran Jimi kali ini membuat andrenalin Andreas langsung terpacu. “Deal!” jawabnya tanpa butuh waktu lama. “Tapi kalau lo kalah, mobil sport kesayangan lo buat gue,” kata Jimi yang diangguki Andreas. “Gue kasih lo waktu sebulan,” lanjut Jimi. Andreas mengangguk lagi. Dia merasa bisa menakhlukkan Baby Gly lebih cepat, seperti biasanya saat dia menakhlukkan wanita lain. “Siap-siap aja lo kalah, Bro!”   ***   Semakin malam, kelab itu semakin penuh sesak. Para wanita dan pria menghambur menjadi satu demi kesenangan duniawi. Tak jarang dari mereka bangun dengan kondisi yang tidak bisa ditebak esok paginya. Namun, itu tidak menyurutkan niat mereka menikmati indahnya dunia yang mereka ciptakan sendiri. Tidak jauh dari kerumunan, seorang lelaki berjas hitam duduk dengan gelas kaca di genggaman. Arah pandangnya tertuju ke wanita berpakaian kurang bahan yang melenggak-lenggok tanpa kenal lelah itu. Matanya memindai tubuh yang seolah dia hafal meski hanya sekali dia perhatikan. “Mana cewek yang kemarin?” Pertanyaan itu membuat Andreas menghentikan kegiatannya. “Tenang aja, pasti tuh cewek juga ke sini,” jawabnya percaya diri. “Kalau enggak? Waktu taruhan berjalan cepat, Bro!” kata Jimi mengingatkan taruhan tadi siang. “Tenang. Gue pastiin kalau gue yang menang.” “Oh, ya? Lo udah telepon, tuh, cewek belum? Gimana tanggapannya?” Bibir Andreas tertarik ke bawah, kemudian tertarik lagi menjadi seulas senyum. “Belum gue telepon. Gue sibuk,” ucapnya beralasan. Padahal, saat sampai kantor tadi, dia mencoba menghubungi Meggly, tapi panggilannya tidak dijawab. “Inget. Waktu cuma sebulan,” kata Jimi mengompori. Andreas menegakkan tubuh dan menoleh ke sekeliling. Dia sibuk mencari gadis yang kemarin mengenakan maxi dress berwarna pink. Sangat jarang pengunjung kelab dengan pakaian tertutup seperti gadis itu kemarin. “Mau sampai kapan nunggu? Semenit lagi udah ganti hari,” kata Jimi sambil menatap arloji di pergelangan tangan. Lelaki di sampingnya itu memilih tidak menjawab. Andreas lebih memilih mencari targetnya daripada meladeni perkataan Jimi. Pandangannya lalu tertuju ke meja bar. Dia melihat wanita berambut pendek yang kemarin datang bersama Meggly. “Lo tunggu sini!” ucap Andreas sambil bangkit berdiri. Andreas berjalan sambil membenarkan letak jasnya. Beberapa wanita mengumbar senyum berharap makhluk tampan itu mendekati mereka. Namun sayang, target mereka justru berbelok ke arah meja bar. “Hai,” sapa Andreas setelah duduk di samping gadis berambut pendek itu. “Hai. Lo Andreas, kan?” Tidak aneh bagi Andreas saat kaum hawa mengetahui namanya. Sebagai seorang player tentu sering dibicarakan oleh para wanita. Andreas mengangguk, lalu mengulurkan tangan ke gadis manis di depannya itu. “Nama lo siapa?” Gadis berambut pendek itu membalas jabatan Andreas. “Nama gue Sofia.” “Sofia. Nama yang cantik,” jawab Andreas sambil mengedipkan mata. Penerangan yang minim tidak membuat Andreas kesulitan melihat rona merah yang muncul di pipi lawan bicaranya itu. Dia lalu memajukan tubuh, hingga hidung mancungnya mencium aroma parfum yang cukup menyengat. “Oh, ya, temen lo yang kemarin ke mana?” tanyanya tak ingin terlalu lama berbasa-basi. Sofia mengernyit, seingatnya kemarin datang bersama tiga temannya. “Siapa? Gisel, Heida atau Meggly?” Senyum Andreas terbit mendengar nama terakhir yang disebutkan. “Maksud gue Meggly.” “Dia jarang ke sini. Mungkin dia di kosannya.” “Lo tahu kosan dia di mana?” tanya Andreas mengundang tanya Sofia. Andreas menegakkan tubuh, merasa terlalu cepat menanyakan identitas Meggly. Buru-buru dia memberi alasan. “Lo lihat cowok yang duduk sendirian di sana?” perintahnya sambil menunjuk Jimi. “Ya. Kenapa?” tanya Sofia sambil menatap ke arah Jimi. “Dia pengen kenalan sama Meggly. Tapi nggak tahu gimana caranya. Jadi gue inisiatif nyari info Meggly buat dia,” bohong Andreas. Sofia menatap lelaki tampan di sampingnya itu. Dia sempat berpikiran jika Andreas menyukai Meggly yang terkesan sok suci itu. Sofia lalu menepuk pundak Andreas pelan. “Gue kira lo. Mana mungkin lo ngejar Meggly.” Andreas manggut-manggut. “Di mana kosannya?” “Bayaran apa yang gue dapet kalau ngasih tahu kosan Meggly?” Nih cewek!! batin Andreas. Dia sudah menebak kalau Sofia sama seperti wanita yang ada di kelab. “Satu ciuman?” tawarnya sambil menyentuh bibir Sofia dengan jari telunjuk. Sofia mengulum senyum. “Oke. Lets!” Tanpa menunggu waktu lama Andreas mencium Sofia. Awalnya hanya kecupan, tapi wanita agresif itu menciumnya terlalu dalam. Hingga Andreas terpaksa menarik tengkuk Sofia agar ciuman itu terlepas. “Di mana alamatnya?” tanya Andreas cepat. “Jalan Angkasa Lima nomor satu A. Kos warna pink.” Andreas seketika berdiri. Tidak lupa dia mengusap puncak kepala Sofia, balasan ekstra atas informasi lengkap itu. “Thank you,” ucapnya setelah itu berjalan menjauh. Dari kejauhan, Jimi melihat Andreas berjalan dengan seulas senyum. Jimi menegakkan tubuh, siap mendengar informasi dari sahabatnya itu. “Gimana? Mana, tuh, Baby Gly lo?” tanyanya to the point. “Tenang aja. Besok gue langsung ke kosan dia!” “Lo dapet alamatnya?” “Apa yang nggak Andreas dapet, Bro?” Andreas tersenyum tipis.   ***   Duk! “Aw!!” Gadis berambut panjang itu jatuh terduduk karena kakinya menabrak pinggiran meja. Tangan kurusnya mengusap lutut yang mulai terasa nyeri itu. “Ck!” gerutunya melihat lututnya yang memerah. “Meg!!” Teriakan dari luar menghentikan gerutuan Meggly. Perlahan dia berdiri, menggerakkan kaki kirinya menghilangkan rasa sakit, setelah itu melangkah ke luar. Dia membuka pintu dan melihat siapa yang berteriak barusan. “Ada apa, Fa?” tanya Meggly, bingung melihat Fara—pemilik kamar sebelah—tengah berdiri di depannya. “Dicariin cowok, tuh!” “Siapa?” “Tahu!” kata Fara lalu masuk kembali ke kamar. Tatapan Meggly mengikuti ke mana Fara berlalu. Dia geleng-geleng dengan tingkah temannya yang tidak ada sopan-sopannya itu. Yah, hampir penghuni indekos selalu seperti itu, kurang cocok dengan Meggly. Tidak lama dia ingat dengan ucapan Fara barusan. “Cowok?” gumamnya. Meggly buru-buru mengunci pintu lantas bergegas ke gerbang untuk mencari tahu siapa lelaki yang mencarinya. Selama ini jarang ada lelaki yang menghampirinya. Jikapun ada pasti teman sekantor, tapi selalu memberi kabar dulu jika ingin mampir. Dari kejauhan Meggly melihat lelaki berjas hitam berdiri memunggunginya. Dia tidak bisa menebak itu postur tubuh siapa. Jantungnya mulai berdetak lebih cepat, takut ada hal buruk menghampirinya. Gue ngerasa nggak ada masalah sama, nih, cowok. “Ehm!” deham Meggly untuk menarik perhatian lelaki yang masih memunggunginya itu. Lelaki itu berbalik kemudian tersenyum miring. “Hai!” Mata Meggly membulat melihat lelaki yang dia lihat di kelab ada di hadapannya. Seketika Meggly mundur teratur. “Hai. Jangan takut,” kata Andreas sambil berjalan mendekat. Andreas menahan tawa melihat raut Meggly yang mendadak pucat itu. Andreas lalu menghentikan langkah, agar gadis di depannya itu tidak semakin bergerak mundur. “Mau.. mau.. apa ke mari?” gagap Meggly. Manik mata cokelatnya mengamati lelaki di depannya itu. Tubuhnya tinggi dan tegap sekitar 180 centi dengan bahu lebar. Wajah lelaki itu tidak terlalu tirus, tapi tetap memperlihatkan rahangnya yang tegas. Tidak lupa bagian alis lelaki itu cukup lebat membentuk garis lurus hingga sejejar dengan ujung mata. Tepat di bawahnya ada cokelat gelap dengan bulu mata yang cukup panjang, bahkan Meggly bisa melihat bulu mata itu dengan jelas. Sedikit ke bawah terlihat tulang hidung yang memanjang, hidung mancung yang indah. Semakin ke bawah lagi, ada bibir kemerahan dengan ukuran atas dan bawah yang seimbang. Parahnya bibir itu tersenyum dan Meggly semakin mundur ke belakang. Lelaki ini!! Meggly pernah mendengar cerita Sofia jika lelaki itu bernama Andreas. Player kelas wahid yang mudah mendapatkan wanita semudah menjentikkan jari. “Menemuimu,” jawab Andreas setelah Meggly mendapatkan kesadarannya. Kini, giliran Andreas yang mulai mengamati target di depannya itu. Meggly mengenakan celana kain berwarna kopi s**u dengan kemeja putih berlengan panjang. Andreas tersenyum miring, penampilan Meggly sangat jauh dengan wanita yang selama ini ada di sekitarnya. Melihat mata Andreas yang bergerak ke atas ke bawah, seketika Meggly menunduk mengamati style khasnya untuk ke kantor. Gadis itu merasa Andreas sedang menilai penampilannya. Ah mungkin memperhatikan bentuk tubuh, batin Meggly tak suka. “Maaf, ya. Saya tidak mengenal Anda. Jadi tolong Anda pergi dari kosan saya!” ujar Meggly mengusir. Sudut bibir Andreas tertarik ke atas. Tentu bukan Andreas jika menurut begitu saja. Dia kembali berjalan mendekat, membuat Meggly kembali berjalan mundur. “Justru saya ke mari untuk berkenalan dengan Anda,” kata Andreas dengan bahasa formal. “Tidak!” jawab Meggly cepat. Gadis itu bergeser ke samping. Dia harus segera pergi daripada meladeni lelaki di depannya itu. Melihat wajah Andreas saja dia sudah ketakutan. Memang, Andreas tampan, tapi Meggly merasa ada aura iblis dari lelaki itu, membuat nyalinya menciut. Melihat Meggly yang hendak menghindar, Andreas segera bergerak. Dia menarik pergelangan tangan Meggly dengan cepat. “Saya antar,” tawarnya. “Gak perlu!!” Satu mobil dengan Andreas? Meggly lebih baik jalan kaki menuju kantornya. “Anda tinggal memilih. Berangkat bersama saya atau saya akan mengikuti Anda sepanjang hari. Tanpa terkecuali.” Ancaman itu membuat Meggly langsung mendongak. Dia melihat senyum tipis itu, sejenis senyum lelaki perayu keturunan buaya. Meggly menelan ludah, mengapa pagi harinya seperti ini? Entah kesialan apa yang sedang dia alami. “Tanpa terkecuali?” tanya Meggly dengan suara pelan. “Tanpa terkecuali.” Meggly mengerjab. Hari ini hari apa? Kenapa dia ketiban sial? Lalu, apakah dia harus berangkat bersama player bernama Andreas itu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD