Bab 1

1131 Words
Sempurna atau tidaknya, kitalah yang menentukan.   Sarah hanya mampu meratapi nasibnya di depan cermin besar. Pakaiannya masih terbalut kebaya putih yang telah menjadi saksi dimana perubahan statusnya dari seorang perempuan single menjadi seorang istri. Tangannya yang tergambar henna mengusap kuat lelehan air mata yang membasahi pipinya. Sungguh takdir ini tak pernah terbayangkan sebelumnya. Dia juga sulit untuk menolaknya karena tidak ada satupun alasan yang bisa Sarah suarakan di depan kedua orang tuanya. Apalagi bagi kedua orang tua Sarah, Lian termasuk laki-laki baik. Meskipun usianya masih terlalu muda jika dibandingkan dengan Sarah. Akan tetapi siapa yang bisa menentukan dia jodoh kita atau tidak. Karena jodoh sama sekali tidak mengenal kata usia. Saat isak tangis Sarah semakin kuat, pintu kamarnya terbuka. Di sana berdiri Lian dengan wajah bingungnya. Sejenak dia diam. Lalu kemudian menutup kembali pintu kamar tersebut. Lian yakin Sarah butuh waktu. Sarah butuh sendiri untuk memikirkan takdir baru yang harus ia jalani. Dia hanya perlu memahami diri Sarah. Mungkin beberapa waktu ini kehadirannya akan ditolak oleh Sarah. Tetapi Lian sadari memang akan seperti ini jadinya bila terjadi pernikahan tanpa pacaran. "Loh, Lian. Kok nggak masuk kamar?" tanya Ibu Sarah. Kebetulan setelah resepsi kecil-kecilan yang diadakan di rumah Sarah, Lian berserta Sarah memutuskan untuk menetap sementara di rumah ini. Selain karena permintaan kedua orang tua Sarah. Lian juga yakin Sarah belum percaya sepenuhnya pada dia, meskipun kini statusnya sudah sah menjadi suami Sarah. "Iya, Bu. Belum ngantuk." jawab Lian halus. "Ya sudah, Ibu tidur duluan ya. Jangan terlalu malam tidurnya." Lian hanya mengangguk. Melangkahkan kedua kakinya ke luar rumah. Duduk di teras depan, sembari menatap rumah-rumah sekitar dengan tatapan kosong. Tinggal di perumahan seperti ini memang terkadang merasa sepi. Berbeda dengan perumahan kampung yang masyarakatnya lebih suka bersosialisasi. Buktinya saja sekarang ini. Jam baru menunjukkan pukul 9 malam, tetapi semua pintu rumah tetangga sekitar sudah tertutup rapat. Bahkan lampu rumah mereka sudah padam.  Menandakan penghuninya sudah akan beranjak tidur. "Ini yang gue nggak suka kalau tinggal di komplek." gumam Lian. Sesaat dia mendesah berat. Jika nanti Sarah sudah nyaman atas kehadirannya, Lian berjanji akan membawa Sarah untuk tinggal di lingkungan yang masyarakatnya lebih banyak bersosialisasi ketimbang masyarakat komplek pada umumnya. Suara teriakan dari Sarah terdengar setelah lampu rumah tiba-tiba padam. Kedua orang tua Sarah yang sudah tertidur tidak mengetahui jika putrinya ketakutan setengah mati dalam kamar dengan keadaan mati lampu. Buru-buru Lian masuk ke dalam rumah. Hanya bermodal tangan dan kakinya yang meraba-raba untuk melangkah, Lian berulang kali menabrak kursi kayu serta meja yang menjadi perabotan di dalam rumah tersebut. Ketika Lian berhasil masuk ke dalam kamar, Sarah langsung berteriak memanggil namanya. Dengan cepat Lian mengambil ponsel yang sejak sebelumnya berada di atas meja. Ponsel tersebut dia nyalakan. Lalu menghadirkan cahaya yang cukup bisa menerangi ruangan kamar tersebut. "Dari mana aja sih?" tanya Sarah galak. Lian kikuk. Dia berdeham sejenak. "Abis dari teras." "Kalau gelap begini aku nggak bisa tidur." ucap Sarah tiba-tiba. Lian tidak langsung menjawabnya. Dia nampak bingung melihat ranjang tidur mereka penuh berisikan seserahan yang diberikan oleh keluarga Lian. Semuanya belum ada yang Sarah bereskan. Bahkan pakaian perempuan itu saja masih mengenakan kebaya yang sama. "Memangnya kamu mau tidur?" "Terus kita memang mau ngapain lagi?" tanya Sarah dengan nada suara yang tidak santai. Lian tersenyum geli. "Maksud aku memangnya kamu bisa tidur dengan baju kebaya itu. Lagi pula kita mau tidur di mana sih, Sar? Lihat aja ranjangnya penuh sama seserahan yang belum dibereskan." "Kalau buat aku masih muat kok. Kalau kamu kan bisa tidur di luar." ucap Sarah jutek. Egonya masih terlalu tinggi. Padahal mau sekuat apapun Sarah mengelak, kini Lian adalah suami sahnya yang tidak sepatutnya Sarah abaikan begitu saja. "Ya udah aku tidur di luar." "Eh..., " tahan Sarah. "Nanti aja keluarnya kalau lampunya udah nyala. Emang aku suruh tidurnya sekarang." Berusaha untuk menahan tawanya, Lian terbatuk. Dia memberikan kode kepada Sarah untuk mengganti pakaiannya lebih dulu sebelum beristirahat. "Mau ganti sendiri atau aku gantiin?" goda Lian. "Dih, siapa juga yang mau digantiin baju sama kamu!" Sarah berjalan ke kamar mandi yang berada di dalam kamar tersebut. Berpura-pura tidak melihat bila Lian kini sedang menertawakannya. "Nggak papa sekarang kamu kabur. Suatu saat jangan salahkan aku kalau kamu sendiri yang berlari ke arahku." gumam Lian yang terlihat begitu santai. Sambil menunggu Sarah mengganti bajunya. Lian berinisiatif membereskan seserahan yang diletakkan di atas ranjang, untuk dipindahkan ke sudut kamar. Kemudian dia juga yang melepaskan sprei pengantin dan menggantinya dengan sprei batik baru yang dia ambil dari dalam lemari. Tentu saja dengan keterbatasan cahaya dia melakukan semua itu.                 Untung saja di rumah dulu dia sudah terbiasa membereskan tempat tidurnya sendiri. Meski dia seorang anak laki-laki, namun bukan berarti semuanya selalu dibantu oleh Ibu.                 Lian cukup berbeda jika dibandingkan dengan kondisi anak-anak lainnya. Entah didikan yang salah, atau memang karakter mereka yang sulit sekali diberitahu, hampir semua pekerjaan rumah dibantu oleh orang lain. Seperti keadaan di rumah Sarah ini. Lian yakin Sarah selalu terbiasa dibantu oleh pekerja rumah tangga yang memang keluarga ini miliki.                 Sambil mendesah berat, Lian memikirkan bagaimana caranya mengarahkan Sarah tanpa perempuan itu merasa digurui olehnya. Apalagi faktor usia yang berbeda jauh membuat Lian tidak yakin mampu.                 Sesaat ketika Sarah keluar dari kamar mandi. Dia cukup kagum melihat kemandirian Lian. Laki-laki seusia Lian yang biasanya masih jauh dari kata dewasa, namun Lian menunjukkan perbedaan yang cukup terlihat. Dengan kedua tangannya sendiri Sarah melihat Lian membereskan semuanya. "Silakan tidur tuan Putri," goda Lian. "Makasih." jawab Sarah jutek. Sebelum Sarah merangkak naik ke atas ranjang, Lian menarik lengan Sarah cukup kencang. "Kamu udah sholat isya?" "Belum." "Sholat dulu sana. Baru tidur." "Kamu mau tanggung dosa aku kalau sekarang aku sholat!! " jawab Sarah kasar. Saat Lian menatapnya, Sarah langsung terburu-buru menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. Dia takut ketahuan oleh Lian bila saat ini sebuah kebohongan yang sedang dirinya mainnya. Tetapi sepertinya Sarah salah menilai sosok Lian. Laki-laki itu mencoba mengerti bila Sarah masih belum menerimanya menjadi seorang suami. Karena itulah Lian memilih untuk mengikuti kemauan Sarah. Dia merapikan selimut yang Sarah gunakan. "Kamu yakin mau selimutan rapat begini? AC nya nggak nyala loh." goda Lian kembali. Semakin Sarah membentengi dirinya dari sosok Lian, laki-laki itu semakin menjadi. Dia tidak akan menyerah hanya karena Sarah tidak menerimanya. "Ya udah kalau memang mau selimutan. Aku nggak mau aja besok kita masuk koran karena istri ditemukan meninggal pada saat malam pertama akibat kehabisan napas. Tapi sayangnya kehabisan napasnya bukan karena aku. Tapi karena kelakuan kamu sendiri." tawa Lian pada bagian akhir. Ini baru malam pertama mereka menyandang status suami istri, namun Sarah sudah benar-benar kesal bukan main pada sosok Lian. Lalu bagaimana malam-malam berikutnya? Apakah Sarah mampu menghadapi sikap santai Lian? Atau bahkan Lian yang akan menyerah menghadapinya. Sarah tidak berani menebaknya. Karena sekarang pun takdirnya sama sekali tidak tertebak sebelumnya. Memiliki suami yang usianya berbeda 9 tahun dari dirinya.  ---- Continue
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD