Bab 2

2553 Words
Bahagia Itu MudahHari ini hati Imam sedang merasa sangat bahagia, bagaimana tidak, tepat pagi ini setelah menunggu cukup lama dia sudah kembali ke negara tempat dia meninggalkan separuh hatinya, Jerman. Dan di sinilah dia kembali untuk menjemput kekasih hatinya. Insya Allah akan menjadi kekasih hati Allah juga kelak nantinya. Walau Imam sendiri tidak yakin dia bisa mengajak gadis itu mengikuti agamanya. Tapi yang dia yakini sekarang, jika dia tak mampu hidup sendiri tanpa sosok gadis itu di sampingnya. Imam sadar kebahagian ini bukanlah kebahagiaan yang hakiki. Namun biarkanlah dia merasakan kebahagian semu ini walau sesaat. Karena pengertian bahagia menurut Imam adalah bagaimana dia bisa selalu berada di sisi gadis itu. Astagfirullah al'adzim.. Disebutnya istigfar berkali-kali. Dosa selalu mengikuti langkah kakinya jika bertemu dengan perempuan yang bukan halalnya. Tapi biarlah egonya menang untuk kali ini. Suatu saat dia yakin cinta gadis itu akan sepenuhnya milik Allah nantinya. Tanpa perlu konfirmasi di mana keberadaan Ell—sapaan dekat Sellma—, Imam segera meminta sopir yang menjemputnya di bandara tadi untuk ke tempat yang dituju. Mobil yang ditumpangi Imam bergerak menuju daerah Munchen. Jalanan kota di Jerman sangat berbeda dengan jalanan di kota Jakarta. Tapi menurut Imam, Jakarta tetap kota terindah. Karena di sanalah keluarganya berada, ada mami, papi, dan Sabrin. "Hatte zu, packen[1]," teguran sopirnya berhasil menghentikan lamunan Imam tentang segala hal yang tengah dia pikirkan. Dipandanginya sebuah gedung berlantai tiga yang saat ini sebagai tempat Ell bekerja. Tepat Imam turun dari mobilnya, beberapa pasang mata wanita menelitinya dari atas hingga bawah. Imam memang tampak memukau pagi ini. Dia memakai setelan jas hitam dengan cutting yang sangat pas di tubuhnya. Tetapi Imam tidak peduli dengan pandangan orang lain. Yang dia pikirkan saat ini hanya satu gadis, dialah Ell. "Imam!" seru Ell. Mereka tak sengaja bertemu di lobi kantor ini. Ell sudah tidak heran dengan wajah tampan Imam. Tetapi bukan karena ketampanannya Ell menyukai Imam. Tapi karena ada sesuatu hal yang berbeda di dalam diri Imam kepadanya. "Hi," sapa Imam basa-basi. Dia sungguh canggung dengan pertemuan kembali mereka. "Why you not didn’t say to me, if you want to come back? I’ll pick you up," Ell tidak mampu menutupi kebahagiaannya. Inilah waktu yang dia tunggu-tunggu, sosok Imam di hadapannya saat ini. "Ell, i want to tell something to you. May you follow me? We need to talk about us." Ell tampak berpikir sebentar, namun tak lama dia menyanggupi permintaan Imam. Dia mengajak Imam untuk sekadar minum kopi di cafe tepat di samping kantornya ini. "What matter?" Ell menatap kedua mata hitam Imam. Akan tetapi Imam sampai saat ini belum bisa mengeluarkan suaranya. Dia masih tak yakin apa yang dia inginkan saat ini adalah yang terbaik atau tidak. "Marry me, Ell." Ell terbatuk mendengar kalimat sakti itu keluar dari mulut Imam. Memang perkataan ini yang Ell ingin dengar, tapi tidak dengan cara seperti ini. Ell ingin seperti pasangan kekasih lain yang bisa merajut cinta terlebih dahulu baru mereka menikah. Tetapi lihatlah Imam saat ini, dia tanpa ekspresi meminta Ell menikah dengannya. "What? Imam, are you sick?" "No, please. Listen to me. I know you'll be surprised. But you know, in my religion there is no relationship without lawful status," lirih Imam. Ell menggigit bibirnya, dia bimbang jika disudutkan seperti ini. Dia sangat tahu bahwa dirinya dan Imam berbeda. Di lingkungan keluarganya pun banyak hubungan seperti dirinya dan Imam. Ya, seperti yang kita ketahui bahwa di negara Eropa, Jermanlah yang merupakan negara dengan komunitas muslim terbesar kedua setelah Prancis. Jadi tak heran jika banyak pernikahan beda agama di negara itu. "Imam, you shouldn't talked like that. I know we different—" "I know too," potong Imam cepat. "If like that, i proposed you to be my wife. Be my wife cos Allah," mohon Imam. Kali ini Imam sudah berani memegang tangan Ell. Dengan cara ini Imam berharap Ell bisa tulus menerimanya. Hembusan kuat napas Ell dapat Imam rasakan. "Baiklah, Mas Imam." "Kamu ...?" Imam tak menyangka Ell bisa berbahasa Indonesia dengan sangat baik. "Why? Aku belajar banyak tentangmu, dari bahasamu sampai hal terkecil dalam hidupmu." Imam mendengus kesal, untuk apa tadi dia harus repot-repot memakai bahasa Inggris jika kenyataannya Ell bisa berbahasa Indonesia. Karena biar bagaimanapun Imam lebih cinta bahasa Indonesia dibandingkan bahasa lainnya. "Sekarang kita mulai dari mana?" tanya Ell antusias. "Kita mulai dari mengucap dua kalimat syahadat," goda Imam. "Maaf," lirih Ell. Dia belum bisa jika harus berpindah agama mengikuti Imam. Hatinya masih belum siap akan semua itu. "Aku bercanda, Ell. Kita akan mulai dari hubungan yang serius. Menikah. Aku akan menghubungi orang tuaku untuk masalah ini," Imam merasa sudah cukup menutupi hubungannya dengan Ell. Biarkan kali ini hubungannya diketahui oleh kedua orang tuanya. "Oke." ꭃ Mami dan papi yang terkejut mendengar kabar yang disampaikan Imam, langsung berangkat ke Jerman untuk menemui Imam. Tak pernah tebesit sedikit pun dalam pikiran mami dan papi akan kejadian seperti ini. Imam anak pertama mereka akan menikah dengan wanita bukan muslim. Innalillahi .... Papi dan mami lagi-lagi merasa telah salah mendidik putra mereka. Karena kebebasan yang mereka berikan, membuat Imam harus memilih pada pilihan yang salah. Ting nong. Bell apartemen Imam berbunyi, dia tahu siapa yang pagi-pagi sudah datang ke apartemennya. Saat pintu dia buka, terlihatlah sosok wajah lelah mami dan papi. Di usia yang tak muda lagi, menghadapi penerbangan yang memakan waktu cukup lama pasti menguras tenaga mereka. "Assalamu'alaikum," ucap mami. "Wa'alaikumsalam, Mi," sahut Imam sambil mencium punggung tangan papi dan maminya. "Mas, kamu sehat, kan? Kenapa bisa begini sih, Mas?" "Duduk dulu, Mi, Mami pasti lelah," ucap Imam. Imam merasa tidak enak diperhatikan terlalu detail oleh papinya. Jika sudah seperti ini dia yakin papinya itu sudah sangat marah. Dia kembali memutar cara bagaimana agar papi tidak mengeluarkan amarahnya. "Imam," panggil papi ketika Imam mulai bergerak ke dalam. "Apa sebenarnya yang ada di pikiranmu?" tanya papi tegas. "Imam hanya ingin menikah, Pi," jawabnya. "Apa tidak ada perempuan lain yang lebih layak untuk kau nikahi?"bentak papi yang tak mampu menahan emosinya. "Pi, apa karena dia berbeda dengan kita Papi bilang dia tidak layak? Lalu yang seperti apa yang Papi anggap layak untuk Imam? Yang berhijab syar'i? Yang setiap saat mengucap namaNya?" Papi menampar pipi kanan Imam dengan kuat, "Jaga ucapanmu! Sejak dulu Papi berikan kepercayaan padamu. Tapi apa yang kau lakukan?" makinya. Mami yang berdiri di dekat mereka berdua hanya bisa menangis saat suaminya memaki anak laki-lakinya itu. Dia hanya bisa pasrah pada Allah untuk jalan yang terbaik bagi keduanya. "Pi, Imam hanya ingin bahagia. Bahagia Imam itu mudah, Pi, selama ini Imam nggak pernah menyusahkan Papi. Imam selalu berusaha berdiri di atas kaki Imam sendiri. Jadi biarkan saat ini Imam bahagia," mohonnya. Dia bersujud di depan kaki papinya itu. Imam memang sangat sedih, tetapi dia berusaha sekuat tenaga menjaga air matanya. Dia ingin terlihat kuat di mata papinya. Agar restu itu dapat dia berikan. "Nyawa rumah tangga bukan hanya kasih sayang, tapi iman dan karena imanlah yang melahirkan kasih sayang. Bila bukan karena iman, itu pasti nafsu. Papi yakin kau tidak bisa membedakan mana yang cinta dan mana yang nafsu," jelas papi. "Ya, Allah, Pi, Imam paham betul apa yang Papi bilang. Tapi kalau Papi sama Mami menahan Imam, Imam nggak yakin bisa menahan diri untuk tidak berbuat maksiat dengannya. Karena itu biarkan kami menikah." "Jadi kau membenarkan jika kau hanya nafsu dengannya?" bentak papi makin keras. Kepalanya sangat pusing dengan masalah ini. Seharusnya di usia tuanya, dia bisa menikmati masa-masa indah ini. Bukan harus memikirkan masalah yang tak tentu arah. "Kalau Imam nafsu dengannya, sudah Imam nikahi dia sejak lima tahun lalu. Tapi Imam masih bisa menjaganya tanpa melukainya. Imam masih berusaha mencari tahu tentang Islam. Apa salah jika menikah dengan lawan jenis yang tak sepaham tentang agama?" "Lalu kau sudah tahu jawabannya?" Imam mengangguk pasti, "Asalkan dia bisa kubawa mengikuti agamaku kelak nantinya." "Tujuan orang berumah tangga ialah menambah ibadah. Lalu bagaimana menambah ibadah bila pasanganmu justru berbeda agama? Kamu mungkin berniat mendakwah dengan cara menikahi beda agama. Tapi ingat, Nak, dakwah belum tentu jadi namun maksiat sudah pastinya. Sulit memang memberi nasihat pada orang mabuk, apalagi dimabuk cinta. Karena kalau dibiarkan akan semakin parah, dilarang pun akan bertambah juga. Papi yakin kamu nanti baru akan teringat semua nasihat Papi bila air mata sudah jadi aduan. Jika hal itu terjadi, saat itu sesalan tak manfaat, waktu sudah terlalu jauh meninggalkan. Dan yang harus kamu ingat satu hal, orang tua memang tak selalu benar, namun mereka jarang sekali salah," ucap papi tegas. Dia sudah berhasil menangani emosinya. Walau berkali-kali dia beristigfar dalam hatinya. Papi masih menatap Imam yang setia bersimpuh di kakinya, masih belum cukup nasihat yang ingin dia katakan untuk menghentikan aksi nekad anak laki-lakinya ini. "Kamu tahu bila hubungan sudah beda keyakinan, layaknya segera disudahi. Seperti yang kamu tahu, sesama muslim mesra saja haram sebelum datangnya akad nikah. Apalagi kamu berhubungan mesra dengan selainnya, tentu lebih parah. Tolonglah jangan egois dalam memilih pasangan. Karena dalam pilihanmu nantinya ada hak anak-anakmu. Mereka berhak diimami ayahnya, atau diajari Al-Qur'an oleh ibunya," sambung papi kembali. Kepala Imam semakin tertunduk. Semua perkataan yang papi bilang memang sangat benar. Tapi apa dia harus mundur setelah sejauh ini? Apa kembali lagi dia harus menahan perasaan bahagianya? Apa Tuhan tidak memberikanya kesempatan bila cinta dengan orang yang berbeda itu tidaklah salah. Tak butuh waktu lama bagi Imam untuk merenungkannya. Dia kembali teringat sebuah ayat yang berhubungan dengan masalahnya ini. "Menurut Imam seharusnya Papi tahu, laki-laki yang menikah dengan perempuan ahli kitab (Agama Samawi), yang dimaksud agama samawi atau ahli kitab di sini yaitu orang-orang (nonmuslim) yang telah diturunkan padanya kitab sebelum Al Quran. Dalam hal ini para ulama sepakat dengan agama Injil dan Taurat, begitu juga dengan nasrani dan yahudi yang sumbernya sama. Untuk hal seperti ini pernikahannya diperbolehkan dalam Islam. Dan juga dalam surat Al Maidah (5):5 juga tertulis dengan jelas ‘Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi’," jelas Imam. Dia berharap setelah mendengar penjelasannya ini, ada sedikit harapan yang ia simpan bila papi dan mami dapat merestuinya. "Mas, cobalah pikirkan sekali lagi. Mami harap kamu sholat istikharah. Minta petunjuk sama Allah. Jangan seperti ini, Mas," nasihat mami. Imam menatap wajah sendu maminya, dia dilema saat ini. Dia baru kali ini harus berkeras diri melawan kedua orang tuanya. "Mami, maafkan, Mas. Mas tak mengerti mengapa perbedaan masih saja dianggap sebagai sesuatu yang asing. Mas tak mengerti bagaimana pola pikir seseorang yang menganggap perbedaan adalah sampah. Di mana perbedaan tak dapat dihargai, di mana perbedaan tak mendapat tempat seinci pun dalam kehidupan sosial masyarakat. Apalagi masyarakat Indonesia. Mas tahu Indonesia adalah negara yang katanya menghargai perbedaan, akan tapi menyentuh perbedaan pun rasanya amat menjijikkan. Jadi, untuk apakah sang garuda mencengkeram tulisan ‘Bhineka Tunggal Ika’ jika perbedaan masih saja menjadi sesuatu yang tabu?" mami yang sempat berpikir Imam akan menerima masukan dari papi dan maminya ternyata berbalik melawannya dengan kalimat-kalimat mencengangkan. Sedangkan Imam sendiri sudah tidak mampu lagi menahan segala rasa sakit di hatinya. Ia bukanlah robot yang bisa diperintah ini dan itu oleh kedua orang tuanya. Ia ingin bahagia, walau cara yang ditempuhnya jauh dari kata mudah. Namun dia percaya suatu saat nanti akan ada hasil yang baik atas semua usahanya selama ini. "Agama. Sesuatu yang kadang terkesan maya tapi ada. Sesuatu yang kadang tak diketahui tetapi berusaha untuk dipahami. Sesuatu yang di luar otak manusia tapi berusaha untuk dicapai oleh otak manusia. Agama dan perintah Tuhan, apakah selalu mengekang? Seringkali agama menjadi jurang yang tak mampu dijembatani oleh cinta. Agama dan cinta, sesuatu yang Tuhan ciptakan, tapi secara brutal dirusak oleh manusia! Mas tahu, di luar sana ada ribuan atau bahkan jutaan pasangan yang saling jatuh cinta walau dalam perbedaan. Bukankah kehidupan pasti butuh perbedaan? Kalau semua hal sama, bukankah membosankan? Pasangan yang berbeda dalam banyak hal, terutama yang paling kontras adalah perbedaan agama. Mereka berusaha sekuat mungkin untuk menunjukkan bahwa mereka bukanlah sampah yang harus dikucilkan karena pola pikir masyarakat. Mereka bertahan walau dalam kesakitan, mereka berteriak walau dalam kebisuan, nurani mereka terpasung oleh sesuatu yang katanya disebut DOGMA AGAMA. Sesulit itukah mempertahankan cinta, ketika mereka tahu bahwa mereka bukanlah pasangan yang direstui oleh Dogma Agama? Mereka mencoba menutup telinga dari cemooh masyarakat yang tak mengerti apa itu cinta dan apa itu agama. Mereka bertahan untuk sesuatu yang tak tahu di mana ujung dan akhirnya. Itulah cinta, yang mampu membuat dua orang yang terikat menjadi begitu kuat untuk menghadapi cobaan terhebat," sambung Imam dengan sedikit emosi. Cukup sudah dia menahan perasaannya. "Jadi untuk Mami dan Papi, Imam minta maaf. Imam akan terus melangkah untuk sesuatu yang menurut Imam benar," tegasnya "Mas! Apa yang kamu tahu soal agama? Bahkan dulu saat Papi mau memasukkanmu ke dalam pesantren kamu tidak mau dan lebih memilih bersekolah di negara orang lain!" Imam tertawa kecil, dia seperti meledek untuk dirinya sendiri. "Walau Imam bukan lulusan pesantren seperti Papi. Setidaknya mata hati Imam masih terbuka. Asal Mami dan Papi tahu, di negara ini banyak pernikahan beda agama. Dan mereka hidup rukun. Bertahun-tahun mereka bahagia dengan kehidupan yang mereka jalani. Setiap Minggu pagi, sang wanita pergi ke gereja, mengucap penggakuan Iman Rasuli dan mengujar Doa Bapa Kami. Pagi-pagi sekali, sang suami menghadap Tuhan, bersujud haru di bawah telapak kaki Tuhan, sambil membaca surat-surat dengan bahasa Arab. Salahkah kalau dalam perbedaan mereka tetap berbahagia? Salahkan jika ada perbedaan doa dalam menghadap Tuhan? Setidaknya akan ada satu amin untuk menutup dua doa yang berbeda. Bukankah dengan begitu cinta bisa mempertegas tugas utamanya? Menyatukan dua orang yang penuh perbedaan tanpa peduli apa kata orang." Lagi-lagi Imam tertawa. Dia puas mengeluarkan semua isi hatinya. Sudah cukup lima tahun dia menahan ini, dia perbanyak bertanya jalan yang terbaik untuk dirinya pada Tuhan. Dan saat inilah jawabannya. "Kenapa diam, Mi? Ke mana perginya Mami yang selalu bisa menang jika melawan perkataan denganku. Kenapa kalian tercengang mendengar ceritaku? Kenapa kalian membisu ragu mendengar dentuman gelisahku? Jadi, kalian baru sadar kalau di sekitar kalian ada orang yang tersiksa karena Dogma Agama? Jadi, kalian baru sadar ada pasangan yang begitu sulit untuk saling jatuh cinta karena agama? Di mana toleransi beragama dalam kehidupan, Mi?" cecar Imam dengan sedikit berteriak. Mami yang melihat anak laki-lakinya berjuang akan sesuatu yang sulit hanya bisa menangis. Dirinya pun minim akan agama, lantas hal apa yang harus dia nasihati kepada Imam. Mami sadar ada yang salah dengan putranya itu. Tapi bagaimanapun ia berusaha untuk menyadarkan, namun Imam tetap teguh dengan pendapatnya. Setelah lama mereka tampak bergelut dengan pemikiran masing-masing. Akhirnya papilah yang mengambil inisiatif dalam menghentikan perdebatan yang tiada akhir ini. "Lakukanlah, Nak, apa yang kau anggap benar. Insya Allah, jika kau berjalan di jalan Tuhan, kau tidak akan tersesat," nasihat papi. Kali ini membuat hati Imam sedikit lebih tenang. Dia tersenyum getir ke arah papinya. Walau tak mengeluarkan air mata, Imam dan papi sama-sama tahu bahwa mereka berdua merasakan kesedihan yang sama.   Salahkah jika melipat tangan dan menengadahkan tangan bersatu dalam ikatan yang suci? [1] Sudah sampai, pak ------- Continue...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD