Bab 1

1850 Words
Tunggu Aku Cinta adalah fitrah manusia yang tak terpisahkan dari kehidupannya. Ia selalu dibutuhkan. Mencintai dan dicintai boleh-boleh saja, tidak ada larangan dalam Islam. Segala yang ada di alam semesta ini merupakan cerminan cinta Allah. Hanya, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana cara membina cinta tersebut. Apakah mendatangkan kebaikan, atau keburukan yang melemparkan ke kubangan lumpur. Sebenarnya cinta itu indah, penuh berkah, dan rahmah. Akan tetapi, cinta semu kerap sekali melemparkan kepada cinta yang sebenarnya. Cinta itu datang secara tiba-tiba karena adanya kesamaan di antara dua insan yang saling mencintai. Cinta bisa datang karena simpatik, kasihan, di pinggir jalan, baru kenalan, bahkan karena dijodohkan sekalipun. Karena adanya kesamaan, akhirnya mereka saling mencintai. Banyak orang yang tadinya biasa-biasa saja, hanya berteman, atau sebelumnya tidak saling mengenal, kemudian bertemu, karena ada kesamaan akhirnya mereka saling mencintai. Banyak orang yang tidak ada kesamaan dengan orang yang dicintainya, hubungan mereka menjadi retak. Akan tetapi kembali lagi kepada pribadi masing-masing, bagaimana cara mengemas cinta tersebut agar tidak merugikan satu sama lain. Namun saling menguntungkan, bagaikan hubungan mutualisme. Seperti itulah yang seorang seperti Imam rasakan. Dia dibesarkan dalam keluarga Islam, namun tak mudah bagi dirinya untuk tidak jatuh cinta pada perempuan yang bukan halalnya. Kesalahan itu sudah terjadi sejak lima tahun lalu. Saat itu Imam masih menempuh pendidikan masternya di Jerman. Pria seperti Imam memang begitu mementingkan pendidikan dibandingkan segalanya. Untuk itu dia selalu berujar pada semua orang jika dia rela menjadi b***k di negeri orang lain demi pendidikannya daripada menjadi tuan besar di negerinya sendiri. Namun akibat dari sebuah pertemuan singkat dengan seorang gadis mampu menjerat sosok Imam di dalamnya. Bahkan dia tidak mampu menolak pesona kenikmatan duniawi itu.   *Flashback 5 tahun lalu ....   "Hi," sapa salah seorang gadis manis pada Imam. "Wie geht es dir[1]?" ucapnya dengan penuh percaya diri. "Nun, es tut mir leid es eilig[2]," jawab Imam dingin. Jujur saja bagi Imam sangat susah untuk terbuka pada orang yang baru dia kenal. Dia seperti membentengi dirinya agar tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang merugikannya. Saat mendapat penolakan dari Imam, wajah gadis itu terlihat sedih. Sebenarnya gadis itu hanya penasaran pada seorang Imam Abdul Hamid. Setiap gadis itu mengamati Imam, bibir Imam selalu berkomat-kamit tidak jelas. Karena itu dia ingin mengenal sosok Imam lebih dekat. Dengan cara mencari banyak info tentang Imam, dia paham orang seperti apa Imam ini. Imam adalah seorang pria muslim yang sangat berbeda. Karena itu dia mulai tertarik mendekati sang Imam.   Flashback end   Imam hanya bisa tersenyum jika mengingat gadis itu. Dia adalah junior di kampusnya dulu, dan yang Imam tahu gadis itu memiliki perhatian lebih padanya. Bukannya Imam terlalu percaya diri, akan tetapi seperti itulah yang dia rasakan. Semenjak tegur sapa pertama dengan gadis itu, Imam berusaha menjaga jarak dengannya. Bukannya dia tidak suka, tapi kembali lagi dia menjaga agar dirinya tidak masuk ke dalam sebuah perbuatan zina. Sellma Gravel. Hanya sebatas itulah yang Imam tahu tentang gadis itu. Gadis periang dengan wajah putih pucatnya. Bibirnya yang kemerahan dan rambutnya yang pirang. Awalnya Imam tak tahu dan tak ingin tahu apa gadis itu orang Jerman asli atau tidak. Tapi setelah ia memilih bercerita banyak dengan adik kesayangannya, Sabrin. Imam seperti mendapatkan kepercayaan diri. "Woy, melamun saja!" sorak salah satu rekan kerja Imam. Dia tidak sadar sama sekali karena sejak tadi dia hanya melamunkan gadis itu. "Banyak pikiran ente? Cerita sama ana sini," cecar rekan kerjanya, Adit. "Ente. Ana. masih saja bahasa ponpes dibawa-bawa," ledek Imam. Tetapi Adit hanya tercengir dengan memamerkan sebuah gigi gingsulnya yang menjadi daya tarik pria itu. "Ye, ana kan memang dari ponpes. Ana nggak biasa loe-gue, berasa kayak ABG," kekehnya. "Memang yang pakai loe-gue cuma ABG?" Imam memperhatikan reaksi Adit sekilas. Pria itu nampak berpikir, lalu kembali lagi menyuarakan isi pemikirannya. "Nih, ya, Bos, ana jelasin. Menurut salah satu hadits waktu Pak Ustad di ponpes ana dulu bilang "Barangsiapa yang memberi jaminan kepadaku (untuk menjaga) apa yang ada antara dua janggutnya (lisan) dan apa yang ada antara dua kakinya (k*********a) maka aku menjamin surga untuknya." (HR. Al-Bukhari). Kurang enak apalagi coba dikasih jaminan surge?" jelasnya. "Dit, habis makan apaan ? Bisa jadi pinter gini?" "Walau tampang ancur begini, pengetahuan ana bisa sejajarkan sama adik iparmu itu. Tapi jangan adu tampang, ana nyerah, Bos." Kedua tangannya terangkat ke udara tanda menyerah. Imam terlihat puas melihat sahabat sekaligus rekan kerjanya itu. Adit akan berkata 'menyerah' jika dihubungkan dengan Fatah—adik ipar Imam—. "Baru sama Fatah sudah nyerah, Dit. Apalagi sama seorang Imam Abdul Hamid," bangganya. "Alah, nama boleh nebeng bapakmu saja bangga!" ketus Adit. Mereka berdua tertawa tak tertahankan. Sosok Adit memang sangat membantu Imam mengusir rasa rindunya pada gadis yang menurutnya telah mengambil separuh hatinya itu. "Yah, si Bos melamun lagi!" serunya Adit malas. "Makanya cepat-cepat nikah, Bos, biar nggak perlu ngelamun lagi kayak gini." "Nikah itu berat, Dit. Tanggung jawabnya setengah dari hidup kita. Apalagi setelah ijab kabul, beuh ... semua dosa istri jadi tanggungan kita juga. Belum dosa anak kita nanti." "Tapi pahalanya banyak, Bos." "Pahalanya nggak akan didapat kalau yang dinikahi berbeda," lirih Imam. "Maksud, Bos?" Adit memasang wajah bingung. Otaknya masih kurang paham dengan suara hati sahabatnya itu. "Dia berbeda, Dit, dia tidak sama dengan kita," tutur Imam lemah. Dia tidak tahu lagi harus seperti apa. Karena saat ini hati dan imannya sedang berperang satu sama lain. "Astagfirullah al’adzim ... Bos, ente yakin? Jangan bilang ente jatuh cinta sama perempuan itu," kalimat yang terlontar dari mulut Adit bukan seperti pertanyaan melainkan pernyataan. Dia memang kaget mendengar penuturan bosnya itu. "Iya, dia nasrani. Itu yang membuatku menjauh darinya saat ini," jelas Imam. "Jadi, karena dia Bos pindah ke Indonesia?" Wajah Adit masih sama, orang yang melihatnya pun tahu bila Adit sangat terkejut mendengar pennggakuan Imam. Dia sungguh tidak menyangka hal ini akan terjadi pada bosnya itu. "Begini, Bos, ana jelasin, deh. Jatuh cinta itu wajar. Itu fitrah setiap orang. Tapi jatuh cinta pada hal yang salah harus sangat diperhatikan. Jujur nih ya, Bos, sebenarnya Bos udah salah. Tetapi lagi-lagi siapa yang bisa mengatur hati seseorang," jelasnya. "Iya, aku tahu Dit, jangan kayak ustad yang gila ceramah." "Bukannya ana mau menggurui si Bos. Tapi alangkah lebih baiknya mencintai yang sepantasnya. Dalam surat Al-Baqarah ayat 221 juga dijelasin: Dan janganlah kamu mengahwini wanita-wanita musyrik sehingga mereka beriman (memeluk agama Islam). Dan sesungguhnya seorang hamba perempuan yang beriman itu adalah lebih baik daripada seorang wanita musyrik sekalipun kamu tertarik kepadanya. Masih banyak, Bos, yang jauh lebih baik agamanya," jelas Adit. "Iya, Dit, itu nggak usah dijelasin. Aku paham," desahnya lemah. "Bagus kalau paham. Jangan sampai salah jalan, Bos, bahaya!" "Iya. Kamu udah kayak Mami. Nggak cukup satu menit ceramah masalah beginian," Imam tertawa masam, jika mami dan papinya tahu hal ini dia tidak bisa membayangkan apa yang terjadi. Karena itu dia ingin kembali ke Jerman dan menyelesaikan segera masalah hatinya ini. Dia tidak mungkin berlama-lama terjerat dalam hal yang tidak baik. "Sudah, Bos, berhenti melamunnya. Kerja lagi," ucap Adit. Dia berlalu keluar dari ruangan Imam menuju meja kerjanya. Saat tepat Adit berada di depan pintu, sosok mami bosnya itu datang dengan wajah penuh senyuman. "Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam. Dit, Imam ada di ruangannya, kan?" "Ada kok, Bu," jawab Adit sopan. Imam tak merasa kaget melihat maminya datang di sela-sela kerjaannya yang cukup padat. Karena memang seperti ini rutinitas sang mami jika papi sedang tidak tugas di luar kota. Mami selalu menyempatkan membawa bekal makan siang untuk papi. Sungguh sangat romantis pasangan yang sudah tidak muda ini. "Mas, kamu sibuk, ya?" "Iya, Mi, Mas banyak kerjaan." "Yah, sayang banget, ya. Padahal siang ini Mami mau ketemu Sendi. Ngomongin soal Sabrin." Imam yang tadinya fokus dengan berkas-berkas kerjaannya. Kali ini menatap tajam ke arah maminya. Dia merasa ada yang tidak beres dengan sifat maminya. "Imam sibuk, Mi," jawabnya santai dengan nada yang dibuat-buat. "Ya, sudah, kalau kamu sibuk. Mami minta ditemani Adit saja." Sebenarnya mami punya maksud lain mengajak Imam untuk ikut dengannya bertemu dengan Sendi. Karena setelah kejadian aneh di rumah sakit waktu itu, mami seperti mencium bau-bau hal yang tidak beres dengan putranya. Dia yakin Imam punya ketertarikan pada Sendi. Untuk itu dia berusaha menjadi mak comblang dalam hubungan mereka. "Mi," panggilnya, "Imam temani." Senyuman puas tergambar jelas di bibir mami. "Gitu dong," ucapnya. Imam sadar dia tengah masuk ke dalam permainan mami, dia juga berusaha menikmati permainan itu. ꭃ Sendi menatap cemas arloji di tangannya. Dia sebenarnya sedang ada urusan siang ini, akan tapi dia tidak bisa menolak permintaan mami dari sahabatnya itu. Niat Sendi hanya ingin membantu dengan sepenuh hati jika berhubungan dengan Sabrin. Namun dia tidak menyangka jika mami mengajak sosok Imam untuk bertemu dengannya. Lalu di mana keberadaan Sabrin? "Assalamu'alaikum, Sen. Maaf, Mami telat," ucapnya. Diciumnya pipi kanan dan kiri Sendi dengan lembut. Mami memang sudah menganggap Sendi seperti putrinya sendiri. "Wa'alaikumsalam. Nggak papa, Tante. Aku juga baru datang," cicitnya pelan. Dia tidak berani mengangkat pandangannya karena dia takut jika pandangan yang di depannya ini merusak iman. "Jangan panggil Tante, Sen, panggil Mami aja. Kamu kan sudah tahu, Mami sudah anggap kamu anak sendiri," diusapnya tangan Sendi lembut. "Kamu kenapa, Sen? Pucat banget wajahmu? Masih puasa kamu?" "Sendi masih puasa, Tan ... eh, Mi," lidahnya masih kelu jika harus memanggil sosok ibu di depannya ini dengan panggilan mami. “Benar kamu nggak papa?” "Nggak papa kok, Mi." Mereka berdua asyik dalam perbincangan tanpa memedulikan Imam yang sudah sedikit bosan. "Sendi, Mami mau tanya sesuatu hal pribadi sama Sendi." "Apa itu?" ucap Sendi. Dia bukan seorang cenayang yang akan tahu apa isi pemikiran mami tanpa perlu bertanya terlebih dahulu. "Sendi sudah punya kekasih?" "Aku tidak pernah berpikir untuk memiliki kekasih, Tante," jawabnya tulus. "Kok Tante lagi? Panggil Mami. Ingat ya, Sen. MAMI." "Maaf, Tan, ehh ... Mami." "Jika Mami meminta kamu untuk menjadi kekasih halal untuk Imam apa kamu mau?" DEG. Sendi hanya bisa diam. Dia seperti mimpi saat ini. Tidak mungkin ini terjadi, karena ini bukan Imam yang memintanya. Tetapi maminya. Jadi ini semacam sebuah lamaran langsung mami untuk Sendi. "Kok diem, Sen?" "Maaf, Mi, kenapa tiba-tiba meminta seperti itu?" "Karena Mami yakin padamu." Yang bisa mami lakukan hanya berharap-harap cemas dengan permintaannya ini. Padahal dia sendiri tak yakin jika Sendi menerimanya dengan tulus. Dan tanpa sengaja, Imam juga mendengar permintaan maminya ini. Sebuah permintaan yang menurut Imam cenderung konyol. Dan dia yakin Sendi akan menolaknya. Karena seorang perempuan punya hak menolak pinangan seorang pria. "Jika maksud Mami dengan perkataan tadi itu untuk mengkhitbahku. Maaf, Mi, Sendi tidak bias," lirih Sendi. "Mami tahu Sendi pasti menolak. Tapi, menolak sesuatu yang baik apa tidak sayang. Pikirkanlah sekali lagi, Mami akan menunggu jawaban darimu." Imam yang terus mencuri dengar perkataan mami dan Sendi. Dia tersenyum masam kerena penolakan Sendi. Tapi memang mungkin ini jalan yang terbaik, karena dalam waktu dekat ini, dia harus merapikan kembali perasaannya pada gadis yang sedang menunggunya di Jerman sana. Sedangkan hubungan Imam dan Sendi hanya sebatas angin lalu. "Insya Allah, Mi." "Gitu dong, Mami ingin kamu benar-benar jadi anak Mami." Tak diduga, pandangan Sendi dan Imam saling bertemu. Entah mengapa Sendi merasa tatapan Imam seperti kecewa dengan jawabannya. Apa dia juga menginginkan ini semua? [1] Bagaimana kabarmu [2] Sekarang, maaf aku terburu-buru ----- Continue Komen jangan lupa
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD