2 | Keponakan Pak Broto

1827 Words
www.caricouple.com Situs kencan online yang direkomendasikan Meila benar-benar seru. Luna tidak menyangka kalau bermain hal semenggelikan mencari pasangan lewat media online terasa begitu asyik dan sangat menghibur. Malam itu, sepulang dari tempat tongkrongan mereka, Luna langsung membuka alamat yang diberikan Meila. Setelah mengisi biodata dengan lengkap, Luna langsung berhasil menemukan lima orang cowok yang match dengannya. Namun dari kelimanya, yang paling menarik perhatian Luna adalah cowok berlesung pipi bernama Rafka dan pria blasteran bernama Samuel. Rafka adalah pengusaha marketplace dan Samuel mengaku bekerja di universitas besar sebagai seorang dosen. Luna benar-benar tidak menyangka kalau mencari calon suami potensial bisa dilakukan dengan cara apa saja dan hal itu benar-benar mudah. Dengan begini, Luna optimis bulan depan Mama akan girang karena putri satu-satunya sudah memiliki pacar yang tampan dan juga mapan. “Pagi!” Luna mencium kedua pipi orangtuanya dan duduk di kursi makan sambil tersenyum cerah. “Pagi, sayang,” balas Papa dengan koran yang sudah di tangan. “Tumben anak Papa nggak cemberut pagi-pagi?” “Iya,” ibunya ikut menyahut. “Biasanya pagi-pagi udah cemberut.” “Memangnya nggak boleh?” Luna pura-pura tersinggung di tempat duduknya. “Ya, boleh dong, Sayang..” sanggah Papa. “Jadi?” “Jadi apa?” “Ada apa sampai kamu bisa sesenang ini pagi-pagi begini?” Senyum di wajah Luna masih terlihat saat gadis itu menggeleng. “Nggak ada apa-apa.” Rina berdeham, “Mama kok curiga ya sama kamu?” Papa membalik koran sambil ikut berkomentar. “Mama ini curiga apa lagi? Anaknya seneng kok nggak boleh.” “Bukannya gitu, Pa. Luna ini anaknya kan suka aneh-aneh.” “Aneh gimana sih, Ma? Luna nggak ngapa-ngapain, kok.” Ya ampun. Kebahagiaan Luna jadi agak menguap karena dituduh yang macam-macam. Padahal kan dia anak baik. Walau terkadang memang suka aneh-aneh sih. Kali ini ganti Papa yang berdeham. “Sudah, jangan ribut. Masih pagi kok sudah berantem.” Mama dan Luna langsung diam. Di rumah ini sosok Papa memang sangat dihormati. Kalau beliau sudah bilang diam artinya mereka harus diam. Mama tidak pernah terlihat membantah dengan Papa dan Luna jadi ikut-ikutan melakukan hal yang sama. “Hari ini kamu lembur lagi?” Papa langsung banting stir. Topik pembicaraan berubah dalam waktu sekejap. “Kayaknya sih, Pa,” jawab Luna sambil mulai menyendok sambal bumbu kuning ke atas piringnya. “Soal tutup buku masih belum selesai seratus persen. Jadi hari ini mesti dirampungkan.” “Kamu kok suka sih kerja keras begitu?” Mama kembali protes. “Kan lebih enak kalau kerja di kantor Papa. Jadi kamu nggak perlu lembur kalau akhir bulan. Masih ada waktu buat cari pacar.” Ujung-ujungnya kembali ke perkara calon suami potensial. “Kan namanya juga belum waktunya, Ma. Nanti kalau udah ada, Luna pasti kenalin kok. Nggak ada hubungannya sama kerjaan.” “Ya jelas ada. Kerja di bank gitu kan waktunya banyak dihabisin di kantor. Apalagi akhir bulan atau pas mau tutup buku tahunan. Kamu jadi jarang ngurus diri, nggak ada waktu buat keluar cari pacar. Bolak-balik ya ngurusin masalah keuangan perusahaan.” Jarang ngurus diri bagaimana? Luna ke salon hampir satu minggu sekali, waktu weekend. Untuk masalah keluar jalan-jalan bisa dilakukan Luna setiap hari dengan Meila dan Renata. Mama saja yang nggak tahu. Maunya Luna tiba-tiba bawa pacar ke rumah, lalu cari tanggal dan melakukan pesta perkawinan. Dasar Mama! “Sudah-sudah, ini kenapa jadi berantem lagi?” Papa melipat korannya di atas meja. Lalu menoleh ke arah Luna. “Hari ini mau berangkat sama Papa atau bawa mobil sendiri?" “Aku bawa mobil sendiri aja, Pa.” bisa jamuran kalau sampai kantor belum ada manusia. Papa mengangguk dan mencium kening anaknya. Sementara Papa pergi, Mama berjalan di belakangnya dengan membawakan tas kerja ayahnya. Diam-diam Luna berpikir, apa nanti pas gue nikah juga gitu? Gadis itu menggelengkan kepala guna mengusir imajinasi yang ada di dalam kepalanya. “Sadar, Luna. Punya pacar aja belum, udah mikir nikah segala.” *** Mini cooper yang dikendarai Luna sampai di depan parkiran khusus karyawan tepat pukul sembilan pagi. Niat hati ingin leha-leha sebentar, rupanya dia justru salah prediksi dan ujung-ujungnya kejebak macet di jalanan. Sial memang! Sudah jomblo, habis ini dapat omelan atasan pula! “Telat lagi, telat mulu, telat terus, telat aja sampe mampus!” baru sampai di depan kubikel, suara toa Renata sudah membahana mengolok-olok kebiasaannya. Meila terkikik di balik meja kerjanya sendiri. “Asal jangan telat datang bulan aja. Bisa bahaya kalau mbelendung tapi nggak ada bapaknya.” “Diem kalian!” Luna meletakkan tas kerjanya dengan serampangan hingga bunyi brakk tak bisa di elakkan. “Astaga, sampai kapan sih jalanan berhenti macet?” “Sampai cicit lo punya cicit, terus si cicitnya cicit cicitnya lo punya cicit lagi.” Jawab Renata, asal-asalan. Luna mendengkus sebal melihat tawa Renata yang meledak di samping kubikelnya. “Eh, Lun. Dipanggil sama bos ke ruangan tuh!” beritahu Meila dengan tampang menahan tawa. Renata menyahut, “Nah, kan. Apa gue bilang? Lebih yahud emang berangkat kerja pakai motor. Bisa salip sana-sini. Nggak kejebak macet deh!” “Apaan lo? Kemaren yang ngeluh kehujanan malem-malem siapa? Yang bilang masuk angin gara-gara naik motor setiap hari siapa? Nenek lampir?” Meila mulai melancarkan aksi melawan Renata. “Lo kok gitu sih Mei? Ini kan scene khusus buat Luna. Kenapa gue juga ikutan kena?” “Guysssss…” Luna buru-buru menginterupsi sebelum perang dunia kembali terjadi di antara kedua sahabatnya. “Plis, jangan berantem sekarang. Gue butuh dukungan buat ngadepin bos genit itu sekarang.” “Semangat Luna!” kor Renata memberi semangat. Meila ikut menyahut, “Ayo, Lun. Kalau si botak berani macem-macem, tendang aja dedek bayinya.” Dengan keberanian nyaris 0,5% Luna meninggalkan meja kerjanya dan berjalan menuju ruangan yang terletak persis di belakang dinding teller. Asupan semangat dari kedua sahabatnya sama sekali tidak membantu. Apalagi tips dari Meila soal menendang dedek bayi bos besarnya itu. Jijik kan, kalau sampai lututnya bersentuhan dengan benda lembek yang menggantung dan bersembunyi dibalik—astaga, lupakan! “Masuk!” sahut suara di dalam setelah Luna mengetuk pintu sebanyak dua kali. Melihat kedatangan Luna, Pak Broto yang memiliki nama lengkap sepanjang kereta api itu menegakkan punggung di kursi kebesarannya. “Permisi, Pak. Bapak memanggil saya?” dengan sopan Luna bertanya. “Silakan duduk,” Pak Broto mempersilakan. Luna segera melakukan apa yang dititahkan kepadanya. “Hari ini kamu terlambat lagi?” Luna mengangguk. “Benar, Pak.” “Sudah berapa kali kamu terlambat dalam waktu satu minggu ini?” Luna berusaha mengingat-ingat. Tapi memang dasarnya dia pelupa jadi dia jawab saja, “Maaf, Pak. Saya lupa.” “Kamu lupa?” pak Broto tercengang di tempatnya. “Setiap hari kamu datang terlambat, Luna. Dan bagaimana bisa kamu bilang kalau kamu lupa?” Gadis itu meringis. Dia memang lupa. Jadi gimana dong? “Tidak masuk akal!” ceroros si bos besar lagi. “Saya akan memaafkan kesalahan kamu selama seminggu ini, asal..” Kepala Luna terangkat. Di depannya Pak Broto mengubah mimik wajahnya dari super serius menjadi super mengerikan dan penuh tipu daya. “Asal apa, Pak?” “Bagaimana kalau kamu temani saya kondangan akhir pekan ini? Dengan begitu saya tidak akan memberikan kamu SP dan kerjaan kamu aman.” Benar-benar bos tidak tahu malu! Luna berdiri secara tiba-tiba hingga kursi yang dia duduki terjungkal ke belakang. “Maaf, Pak. Lebih baik saya mendapat SP atau kalau perlu dipecat saja kalau syaratnya seperti itu.” “Kamu tidak mau?” raut heran melintasi pipi bulat Pak Broto. “Padahal itu cuma syarat sederhana.” “Saya tetap tidak bisa!” “Baik-baik,” Melihat kekesalan gadis itu Pak Broto mengangguk-angguk. “Kamu duduk dulu. Jangan marah-marah kalau tidak mau cepat tua. Bukannya kamu belum menikah?” Loh, kenapa jadi bahas-bahas status sekarang? Luna tidak bergeming hingga Pak Broto menghela napas panjang dan menyerah. “Begini,” katanya, melanjutkan,“Saya tahu, selama ini saya banyak dikenal sebagai laki-laki hidung belang. Itu memang karakter saya waktu melihat perempuan cantik. Tapi itu dulu, saya benar-benar sudah berubah sekarang.” Luna mengernyit. Kemana sebenarnya arah pembicaraan ini? “Lalu kenapa bapak ngajak saya kondangan?” “Saya cuma mau memperkenalkan kamu dengan keponakan saya. Dia tampan, mapan, dan baru pulang dari luar negeri. Kamu juga cantik, manis, cerdas dan masih single. Jadi saya rasa kalian cocok.” Mulut gadis itu menganga tidak percaya. “Bapak mau comblangin saya sama ponakan bapak?" “Benar.” “Maaf, Pak. Saya tidak bisa.” “Loh, kenapa?” Pak Broto terkejut lagi. “Kamu sudah punya pilihan sendiri?” Menerima tawaran dari bosnya sama saja dengan membiarkan Mama memilihkan calon suami untuk dirinya. Luna menggeleng ngeri. Tidak mau mengambil risiko dengan konsekuensi serupa. Lebih baik dia melanjutkan misi dengan mencari calon suami potensial sendiri. Lagipula, akhir pekan besok, dia sudah ada janji temu dengan Rafka. “Iya, Pak.” Jawab Luna. Memilih aman. Pak Broto menghela napas panjang. “Sayang sekali kalau begitu.” Gadis itu meringis. Apa status jomblonya sudah tersebar ke mana-mana, ya? Kenapa bos besarnya juga sampai tahu mengenai hal sepribadi itu. “Kalau begitu kamu bisa kembali bekerja. Maaf karena sudah membuat kamu salah paham.” Lelaki tua itu tersenyum sopan dan Luna membalasnya dengan hal yang sama. “Saya permisi, Pak.” Begitu keluar dari ruangan bosnya, Luna menghirup napas panjang seraya berjalan kembali ke kubikelnya. Tapi karena kurang fokus atau memang ceroboh, gadis itu justru oleng dan menabrak seseorang yang kebetulan melintas dan berpapasan dengan dirinya. Tubuh kecilnya melayang-layang sebelum sebuah lengan kuat menariknya mendekat. Padahal Luna sudah bersiap merasakan sakit dan malunya terjerembab di lantai. “Kamu tidak apa-apa?” suara berat laki-laki itu sempat membuat Luna terpesona. Begitu tersadar, gadis itu cepat-cepat menarik diri dan menemukan sepasang netra tajam memandanginya dengan raut wajah bingung. “Sepertinya saya pernah melihat kamu sebelumnya.” What the hell! Dunia benar-benar sempit. Bagaimana bisa laki-laki yang Luna temui kemarin sore bisa ada di kantornya sekarang? Gadis itu mengerjap, berusaha menyadarkan diri kalau-kalau itu hanya imajinasi semata. “Eh?” dia gelagapan. Saat dilihat dari jauh saja sudah ganteng, semakin dilihat dari dekat rupanya semakin ganteng. Dengan gerakan tak kentara gadis itu mengusap hidungnya sekilas. Takut mimisan saking terpesonanya. “Maaf, wajah saya memang pasaran.” Lelaki itu masih mengamatinya. Benar-benar merasa pernah melihat sebelumnya. Lalu dia mengangguk pelan. “Mungkin cuma perasaan saya saja." “Terima kasih sudah menolong saya. Kalau begitu saya permisi dulu.” Baru saja Luna beranjak, pria itu justru menahannya. “Tunggu!” “Ya?” gadis itu menoleh. “Bisa kasih tahu saya di mana ruangan Pak Broto?” “Pak Broto?” tanpa sadar ia membeo. “Iya. Broto Asmoro Djoyo Rangakbu.." pria itu masih menyebutkan nama lengkap bosnya sementara kepala Luna sudah mulai berspekulasi sendiri. Jangan-jangan, cowok ini ponakan Pak Broto yang mau dikenalin ke gue? Luna melotot ngeri membayangkan kesempatannya sudah hangus oleh ucapannya sendiri. “Kamu tahu, tidak?” laki-laki itu mengibaskan tangan di depan wajah Luna yang tengah melamun. “Oh, iya,” dengan segera, gadis itu menujuk ke tempat dia keluar sebelumnya. Lelaki itu mengangguk paham dan mengucapkan terima kasih. Begitu tubuh tinggi tegap itu menghilang di balik pintu kaca buram di depannya, Luna langsung memekik histeris. “GUE NYESELLL!!!” Kepala belakangnya langsung ditimpuk remasan kertas salah satu karyawan yang tengah bekerja di balik layar komputernya. “Berisik!” Luna mendelik. Tapi tak urung pergi dari sana sebelum dikeroyok massa. Dia harus menceritakan perihal pertemuannya dengan cowok ganteng kemarin sore kepada Meila dan Renata. Mereka pasti histeris dan tidak menyangka kalau Pak Broto, si botak tua yang sering genit namun sudah mengaku tobat itu memiliki keponakan super kece yang masih lajang. Astaga. Luna harus mencari cara supaya acara kondangan itu bisa terjadi. Harus!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD