Bab 2. Jeritan Hati

1120 Words
Nyatanya bukan rasa sakit yang kini kupermasalahkan. Namun pikiran buruk yang tak lepas menghantui diri ini.   Pada hari libur yang sengaja dia ambil ketika semua orang mulai melakukan aktifitas kembali diawal minggu, Sofi terlihat bermalas-malasan. Dirinya baru membuka mata setelah Ibunya menggedor-gedor pintu kamarnya begitu kuat. Padahal niat Sofi seharian ini ingin beristirahat tanpa diganggu. Setelah aksi lemburnya ketika weekend kemarin, seluruh badan Sofi terasa remuk. Andai saja gajian sudah masuk ke rekeningnya hari ini, pasti Sofi tidak ragu-ragu memanggil tukang urut untuk memijat seluruh tubuhnya terutama bagian betisnya yang sering keram akibat memakai sepatu heels. Namun semua itu hanya tinggal rencana. Gajinya belum juga masuk ke dalam rekeningnya. Serta gangguan dari sang Ibu membuatnya tidak bisa tidur kembali. "Ada apa sih?" kesal Sofi. "Kapan bisa belanjain Mama. Mama udah nggak punya apa-apa nih? Beras nggak punya, sabun, semuanya udah pada habis," rengek orang tua Sofi kembali. Sofi mendengus kesal. Selalu seperti ini. Ibunya sendiri tahu bila gajinya selalu masuk pada tanggal terakhir di akhir bulan. Namun tetap saja tidak mengerti segala kondisinya. "Ma, Sofi belum gajian," jawabnya sedikit membentak. Wajah Ibunya langsung terlihat memelas. Dia berjalan meninggalkan Sofi sambil menggerutu sendiri. "Emang selalu begini kata orang. Anak kaya, punya penghasilan, orang tua jadi kayak pembantu. Ditanya baik-baik tapi malah dibentak-bentak." Sambil menenangkan hatinya, Sofi ingin sekali menjerit kencang. Adegan seperti ini pasti akan berakhir dengan tangisan hatinya yang terasa pedih. Mengapa orang tuanya sama sekali tidak mengerti kondisinya? Dia juga bukan orang kaya. Dia hanya seorang pekerja biasa. Tapi masih saja dipaksa mengikuti keinginan mereka. Sofi yakin Ibunya tahu dia masih memiliki sedikit simpanan tabungan. Tapi bukan berarti simpanannya itu harus dia berikan juga kepada orang tuanya. Dia berkerja. Dia juga butuh ongkos untuk datang ke tempatnya bekerja. Walau sesekali, tapi dia juga butuh jajan untuk bisa menghilangkan sedikit lelah. Namun apa, kedua orang tuanya seolah menutup mata akan semua hal itu. Yang mereka tahu selama Sofi memiliki uang, semuanya harus bisa diberikan kepada mereka. Dalam diam, Sofi masuk kembali ke dalam kamarnya. Menangis pilu seorang diri memikirkan kejamnya hidup yang Tuhan berikan kepadanya. Kata-kata Ibunya tadi kembali terngiang di telinganya. Ibunya tidak punya beras untuk dimasak. Lalu bila Sofi tidak memberikan uang kepadanya, mau makan apa Ayah Ibunya nanti sampai dia gajian? Akhirnya Sofi lagi yang mengalah. Pikirnya biarlah dalam 3 hari ke depan sebelum gajian, dia tidak akan jajan apa-apa dulu. Yang penting Ibu dan Ayahnya bisa makan. Walau hanya nasi dan garam. Kadang ia tahu kedua orang tuanya memang sangat keterlaluan. Sampai-sampai sering kali Sofi membentak mereka. Namun bukan berarti Sofi tidak sayang mereka berdua. Sofi sayang, dan ingin memberikan yang terbaik untuk keduanya. Tetapi baru seperti ini yang bisa Sofi berikan. Harusnya kedua orang tua Sofi bisa mensyukurinya. Sofi sering dengar orang banyak berkata. Waktu sekolah dulu, orang tua selalu mengantarkan anaknya sampai depan gerbang sekolah. Lalu ketika anak sudah besar, mengapa banyak anak yang lupa mengantarkan kedua orang tua mereka ke depan pintu surga? Setelah memastikan air matanya sudah tidak ada lagi, Sofi keluar. Mencari di mana keberadaan Ibunya. Yang dilihat keadaan rumah sepi. Ayahnya sedang pergi mengantarkan adiknya ke sekolah menggunakan sepeda motor hasil pembelian Sofi secara kredit selama 3 tahun terakhir ini. "Ma ...." panggil Sofi. Ibunya yang sudah berusia di atas 50 tahun itu terlihat sedang berkeringat di dapur. Mencuci dengan tangan semua baju dan celana yang Sofi pakai. Hati Sofi semakin menjerit. Ya Tuhan, apa dia masih tega tidak melengkapi semua kebutuhan kedua orang tuanya? Sedangkan dengan kedua tangannya sendiri, semua pakaian Sofi beliau cucikan. "Sofi belum gajian. Ini ada uang pegangan Sofi. Cuma 100 ribu. Tapi bisa Mama belikan beras dulu. Nanti pas Sofi gajian baru kita belanja ya." "Iya, makasih ya. Mama mau belikan beras. Sisanya mau bayar uang sampah. Habis sudah 5 bulan kita belum bayar-bayar," cerita sang Ibu dengan wajah bahagia. "Kok nggak bayar-bayar?" "Habis uangnya ke pakai. Udah Mama simpan-simpan, ada aja yang perlu dibeli lagi. Jualan di warung udah nggak laku. Paling cuma buat ongkos Desi doang. Sisanya beli buat masak. Sekarang tetangga-tetangga lebih suka belanja ke supermarket dari pada ke warung kelontong." Sofi hanya bisa terdiam. Tidak ada komentar yang mampu ia keluarkan dari semua cerita Ibunya itu. Banyak hal yang perlu dia perbaiki dalam keluarganya ini. Salah satunya ekonomi keluarganya. *** "Lo kan libur, Mbak. Kok masih aja ke outlet?" tanya Lina bingung. "Mau ngecek aja, kalian jualannya bener apa nggak," tawa Sofi geli. Bukan itu sebenarnya alasan utama Sofi datang ke outlet di hari liburnya itu. Melainkan dia benar-benar suntuk berada di rumah. Ada saja keluhan yang dia dengar dari kedua orang tuanya yang membuat Sofi pusing. Maka dari itu, lebih baik dia datang ke outlet sembari mengecek bagaimana penjualan di hari senin seperti sekarang ini. Keadaan mall pada hari senin kurang lebih sama seperti kuburan. Sepi dan senyap. Hanya terdengar beberapa sales yang saling berteriak, menawarkan jualan toko mereka. Padahal tidak ada satu orang pun yang lewat di dekat mereka. "Sepi banget sih, masa baru jualan satu. Mana harganya cuma 900 ribu. Gimana sih? Emang nggak ada pendingan jualan?" tanya Sofi pada Rama yang sibuk bermain demo live. "Itu yang dijual juga pendingan kemarin, Mbak. Dia datang lagi hari ini tadi," sahutnya tanpa menatap Sofi. "Terus nggak ada lagi?" "Belum pada pulang kantor, Mbak. Lihat aja mall sepi begini," bantu Lina menjelaskan. Sofi menyetujui penjelasan Lina. Jam baru menunjukkan pukul 4 sore. Yang hadir di mall hanya anak-anak pulang sekolah saja. "Ya udah. Tetap semangat aja. Jangan sampai closing hari ini cuma segitu," tutur Sofi. Dia bergerak keluar dari outletnya. Lalu kemudian memfoto keadaan mall yang sepi untuk report yang dia berikan kepada team leader. Namun ketika Sofi asik memfoto, bahunya ditepuk oleh seseorang. Saat tahu siapa yang menepuknya, kedua manik mata Sofi membulat besar. "Ponsel saya kemarin belum sempat saya ambil." "Ponsel?" ulang Sofi gugup karena ditatap dari jarak begitu dekat. "Iya. Yang kemarin rusak. Katanya mau diganti baru. Tapi sabtu kemarin saya ada urusan, jadinya belum sempat ambil ke sini. KTP saya juga masih sama Mbak," Tersenyum sambil meringis, Sofi berjalan masuk ke dalam outlet. Lina yang tak menyadari kedatangan laki-laki tampan pujaannya, begitu kaget saat Sofi berteriak memanggil namanya. "Lin, KTP masnya yang kemarin mana ya?" "A ... Ada mbak. Barangnya juga belum diambil kan," jawab Lina terbata-bata. "Mas duduk dulu. Saya ambil barangnya di gudang," ucap Sofi. "Oke. Tapi itu ganti baru kan?" "Iya. Tetapi ponselnya saja yang kami ganti baru. Tidak dengan aksesorisnya. Apa masnya bawa dus serta aksesoris ponselnya?" Ada gurat menyesal terpancar dari wajah tampan itu. "Nggak bawa saya, Mbak. Besok saya antar ke sini bisa?" Mendadak Sofi menjadi ragu dalam menjawab pertanyaan dari laki-laki itu. Hatinya menjawab setuju atas usulan dari laki-laki yang bernama Nevan ini. Tetapi logikanya berteriak jangan. Bisa jadi dia sedang melakukan aksi menipu yang sekarang marak terjadi. "KTP saya biar ditinggal di sini dulu. Sampai besok dus sama aksesorisnya saya bawa ke sini. Bagaimana? Apa perlu jaminan lain?" "Jangan, Mas. Saya percaya kok," tapi kalau mas mau menjaminkan hati mas, saya tidak bisa menolak. Lanjut Sofi di dalam hatinya. ____ Continue Jangan lupa komen dan Taplove
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD