Bab 1. Bukan Model Bokep

1262 Words
Bagi perempuan, bahagia itu sederhana. Seperti halnya melihat laki-laki tampan di sekitar mereka.   Sepasang sepatu heels itu nampak seirama mengetuk lantai, membawa si pemilik menuju tempat yang diinginkannya. Waktu yang menunjukkan pukul 2 siang membuatnya tak memperhatikan langkah kedua kakinya sama sekali. Apalagi keadaan mall pada musim liburan seperti ini sangat luar biasa penuh, sepenuh hati perempuan ini yang kesal setengah mati setengah mendapat nyinyiran dari kedua orang tuanya di rumah tadi. Ada saja permintaan aneh yang disuarakan oleh kedua orang tuanya. Dan siang ini, permintaan ajaib itu kembali muncul. Mereka minta lemari es dua pintu! Kelihatannya biasa saja memang. Tapi ya Tuhan, bagaimana cara membeli lemari es dua pintu pada tanggal tua seperti sekarang ini? Apalagi gaji satu bulan yang didapatkan perempuan ini hanya seperempat dari total harga lemari es dua pintu. Lalu bagaimana dia bisa mencari sisa kekurangannya? "Maaf," ucapnya ketika tak sengaja Sofi menabrak kereta bayi yang isinya banyak sekali barang bawaan si pemilik. Tanpa menunggu jawaban dari orang itu, Sofi terus melangkah pasti menuju salah satu outletnya, tempat di mana dia bekerja. Sudah hampir 5 tahun Sofi bekerja sebagai sales promotion girl atau biasa dipanggil SPG pada sebuah perusahaan retail yang cukup besar di Indonesia. Karir di perusahaan itu memang tak seindah paha model papan atas, namun bagi Sofi semuanya cukup lumayan. Gajinya memang hanya sebatas UMR, tetapi bonus yang diberikan bisa hampir 5 kali lipat dari gaji. Setiap brand ternama yang join bisnis dengan perusahaan tersebut pastinya memberikan bonus lebih bila berhasil menjual produknya. Dulu Sofi memulai karirnya dari seorang SPG biasa pada umumnya yang tidak paham dengan banyaknya macam produk gadget. Tetapi perlahan perempuan itu belajar, hingga akhirnya dia berhasil menjadi seorang store head atau kepala toko dari salah cabang perusahaan retail tersebut. "Aduh, sorry.. Sorry.. Gue telat." seru Sofi ketika ia tiba di outletnya. Semua anak buahnya, baik yang mendapatkan shift pagi ataupun siang menatap ke arahnya. Keadaan outletnya yang cukup penuh pengunjung membuat mereka semua diam tanpa bisa menjawab balasan dari kata-kata Sofi tadi. "Makan apa Mbak siang ini?" tanya perempuan muda yang duduk di belakang kursi kasir. Ini sudah menjadi hal biasa pada kebijakan outlet yang Sofi pimpin. Dia menetapkan bila ada karyawan yang terlambat maka wajib mentraktir semua teman-teman outletnya. Dan selalu Sofi yang mentraktir mereka semua. "Nasi goreng aja buat sore ini." "Yah. Kok nasi goreng. Kan nasi goreng mah keluarnya sore? Terus yang masuk pagi gimana tuh Mbak?" protes salah satu anak buah Sofi. "Loh, kamu emang mau pulang cepat? Udah berapa ratus juta jualanmu? Hari libur pulang cepat, kamu yang rugi sendiri, Ram." Tegur Sofi pada laki-laki seusianya yang bernama Rama. "Kan malam minggu, Mbak. Mau ngedate lah kita. Masa di outlet mulu. Kapan lakunya?" ucap Rama tanpa bermaksud menyindir. Tapi berbeda dari tanggapan hati Sofi. Perempuan itu meringis, merasa miris dengan nasib percintaannya. Setelah putus dengan teman kampusnya dulu yang sangat-sangat tidak disetujui oleh kedua orang tuanya, Sofi sampai kini masih sendiri. Lebih tepatnya dia memilih untuk sendiri dulu. Pikirnya untuk apa dia pacaran kalau pada akhirnya sang pacar ditolak mentah-mentah oleh kedua orang tuanya. Buang-buang waktu saja. Karena itu Sofi lebih berniat mencari sosok laki-laki yang sesuai dengan keinginan orang tuanya. Jujur saja dia pun lelah bila terus-terusan dijadikan boneka yang menghasilkan uang oleh orang tuanya. Bahkan Sofi merasa masa mudanya habis hanya demi mengabulkan keinginan orang tuanya. "Ram, lo ngomong apa sih? Jangan nyindir Mbak Sofi gitu ah. Lihat tuh mukanya Mbak Sofi berubah gitu. Kan dia setiap harinya di outlet. Bahkan bisa sampai 15 jam sendiri." Celetuk yang lainnya. "Kalian itu ya, siapa yang kesindir. Aku setuju kok sama apa yang Rama bilang. Hidup itu nggak selamanya hanya berputar dari rumah ke outlet kan. Apalagi yang masih muda kayak kalian, harus rajin-rajin melihat dunia luar," jawab Sofi bijak. "Mbak juga masih muda kok," sahut perempuan yang bekerja sebagai kasir outlet ini. "Udah-udah, mau muda ataupun tua, toh semua orang bisa menikmati hidupnya masing-masing. Kalau uang terus yang dikejar sampai kapan bisa ketangkap sesuai yang diinginkan. Mendingan dibawa santai aja. Lakukan yang terbaik, pasti uang akan mengikuti hasilnya kok." Sahut laki-laki yang terlihat lebih muda. Sofi tersenyum kepada mereka semua. Menatap satu demi satu anak buahnya yang pemikirannya jauh lebih terbuka dari kedua orang tuanya. Ternyata banyak kesimpulan yang bisa Sofi ambil dalam hidup ini. Bila pada kenyataannya usia tidak bisa menentukan sikap serta pemikiran manusia. "Sudah. Kerja ... Kerja ... Itu banyak pelanggan yang lepas," seru Sofi membangkitkan semangat anak buahnya. Namun Sofi sendiri paling tidak bisa membuat hatinya semangat akibat dari tekanan yang kedua orang tuanya berikan. *** "Mbak, kalau kayak gini barangnya bisa kita ganti nggak sih?" Sofi terhenti merapikan gudang yang digunakan sebagai tempat menyimpan barang-barang jualan mereka. Perempuan itu sekilas menatap ponsel pintar terbaru yang harganya tak seberapa untuk orang-orang kaya. Dari bentuknya, Sofi tidak merasa ada yang aneh. Layarnya pun menyala, tidak seperti ponsel rusak kebanyakan yang diminta ganti oleh si pembeli. Lalu kenapa Rama meminta ijin Sofi untuk menggantinya?           "Memangnya ini kenapa?" "Nih, Mbak pegang aja. Jangan lupa Mbak goyang-goyang." Sofi menerima ponsel berwarna hitam itu dari tangan lama. Kemudian dia melakukan sesuai yang Rama instruksikan. "Loh kok bisa koplok begini bunyinya?" tanya Sofi bingung. "Itu dia, Mbak. Katanya baru kemarin dia beli di sini. Tapi kata Ferdy, sales yang kebetulan kemarin jualin, ponsel itu nggak papa di tangan Ferdy. Jangan-jangan ponselnya udah jatuh, terus minta ganti. Dia sih ngomongnya masih garansi toko. Secara belum ada 1x24 jam." "Kemarin dia yang beli ke sini?" tanya Sofi memastikan. "Iya. Diceknya juga di depan dia." "Ferdy nya mana?" "Lagi beli makan, Mbak. Tadi gue WA dia, terus Ferdy ngomongnya begitu. Kalau semuanya udah dia cek sesuai prosedur," jelas Rama. Sekali lagi Sofi memperhatikan ponsel itu baik-baik. Tidak ada lecet fisik pada ponsel pintar itu. Semuanya masih mulus seperti ponsel baru pada umumnya. Bila Sofi mengatakan kalau ponsel ini pernah jatuh, rasanya Sofi tidak menemukan alasan dari tuduhannya itu. "Orangnya ada?" "Ada tuh di depan. Lagi di temenin Lina, katanya ganteng sih. Jadi dia betah temenin." Ekspresi jijik tergambar di wajah Sofi. Sudah menjadi hal umum di outlet ini bila anak buahnya yang bernama Lina adalah salah satu perempuan jaman now. "Yang mana orangnya?" tanya Sofi ketika ia dan Rama sudah keluar dari gudang. Keadaan outlet yang ramai, membuatnya bingung siapa pemilik dari ponsel ini. Tetapi ketika ia melihat Lina sedang bersama salah satu laki-laki di ujung sana, Sofi langsung bisa menebak bila dia orangnya. "Maaf Mas, masalah ponsel ini ...." tegur Sofi hingga membuat laki-laki yang memiliki tinggi kurang lebih 190cm itu berbalik. Menatap Sofi dari atas sampai bawah. "Bagaimana dengan ponsel saya, apa bisa diganti baru? Ponsel itu belum saya pakai sama sekali. Tapi kenapa bisa rusak seperti itu dalamnya." Jelas si laki-laki itu sambil mempraktekan dengan satu tangan seolah-olah sedang menggoyangkan ponsel. "Baik, Mas. Kami akan ganti baru. Tapi ada beberapa persyaratan yang harus Mas penuhi," ucap Sofi cepat. Rama yang berada di sampingnya membuka mulutnya lebar-lebar seakan tak percaya. "Baik, kalau memang begitu prosedurnya. Apa yang harus saya lengkapi?" "Foto kopi KTP saja." "Hanya itu?" "Hanya itu," untuk yang lainnya menyusul antara kita berdua saja. Lanjut Sofi pada hatinya sendiri. "Kalau begitu, ini KTP saya." Sebuah KTP diserahkan laki-laki itu kepada Sofi. Dengan nama yang tertulis di sana, Sofi mengulangnya dalam hati. Nevan Byantara. Sebuah nama yang terkesan biasa saja. Namun pada kenyataannya fisik sang pemilik nama tidak bisa dikatakan biasa. Karena mampu memikat siapa saja yang melihatnya. "Ganteng kan Mbak?" goda Lina ketika laki-laki itu telah pergi dari tempat mereka. "Bukan ganteng lagi, Lin. Tapi ... Rawwwwrrrr ... Seksi ...." "Tuh kan, bener. Mata perempuan mah nggak pernah salah," sambung Lina masih terpesona dengan punggung laki-laki itu yang mulai menjauh. "Iya nggak salah. Perempuan sukanya sama laki-laki model bokep begitu. Padahal mah ...." "Enak aja model bokep! Bilang aja kamu iri!" seru Sofi dan Lina bersamaan. Rama berusaha mengalah atas pendapat kedua perempuan itu. Karena di mana pun perempuan berada, mereka paling tahu yang mana batu kali. Dan yang mana batu permata. -------Continue Taplove dulu dong..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD