Murid yang merepotkan

1090 Words
Sekali lagi Tachibana terkejut saat Aoi -gadis berkacamata yang duduk dibangku sebelahnya- memanggilnya untuk meminta bantuan Tachibana. "Tachibana-san, bisa tolong ambilkan penghapus dibawah mejamu? Itu punyaku." Kata Aoi. Tachibana melihat ke bawah mejanya, memang benar sebuah penghapus jatuh tak jauh dari kakinya, diantara bangku murid yang ada didepannya dengan mejanya sendiri. Tachibana berusaha meraihnya dengan menggunakan sepatunya, namun malah membuat penghapus itu menggelinding menjauh. "Ya ampun, sudahlah biarkan saja. Aku bisa mengambilnya sebelum pulang." Kata Aoi. Tachibana ingin mengatakan sesuatu, namun Aoi sudah kembali memperhatikan wali kelas mereka. Merasa gagal, Tachibana berpikir satu-satunya kesempatan untuk mengobrol dengan Aoi sudah hilang. Sementara kelas menjadi riuh entah karena apa, Tachibana diam-diam menyelinap masuk ke bawah meja. Tubuhnya muat berjongkok disana, namun sulit meraih penghapus Aoi karena terhalang kaki meja. Ding-dong... Ding-dong..! Bel pulang sudah berbunyi, dengan serentak murid-murid kelas 2-D itu berlarian keluar dari kelas. Tidak ada yang memperhatikan Tachibana dibawah meja, berhasil mengambil penghapus namun terjebak di tempat sempit itu. Rambutnya tersangkut rel laci meja, dan entah bagaimana roknya tertancap pada ujung paku cacat dikaki meja. "Aoi! Ayo cepat! Tempat crepesnya akan segera tutup!" "Tapi-" "Ayo Aoi!" Ritsuka menarik lengan Aoi sebelum gadis itu sempat berbicara. Melihat kepergian Aoi, Tachibana ingin menyusulnya untuk menyerahkan penghapusnya, namun dia tidak bisa segera keluar dari bawah meja. Semakin dia berusaha menarik beberapa helai rambutnya yang tersangkut itu, semakin perih kulit kepalanya. Kelas berangsur-angsur kosong. Pintu-pintu dibiarkan terbuka, membawa angin sore dari koridor yang dipenuhi murid-murid. Langkah-langkah kaki yang berlari, suara-suara yang saling menyapa perlahan menjauh meninggalkan Tachibana dibawah meja. *** Dibawah laci kelas 1-A tempatku mengajar siang juga tidak ada. Yang berarti map itu harus ada di dalam laci meja kelas 2-D. Kalau tidak, berita menghilangnya hasil ujian matematika kelas 2 akan menjadi masalah yang besar. Pintu kelas 2-D masih terbuka, dua siswa yang mengikuti kegiatan klub menyapaku di koridor. Suara teriakan dan lemparan bola terdengar dari lapangan. Klub tenis? Mungkin juga klub baseball. Aku tidak tahu. Yume Tachibana. Melangkah masuk ke ruangan itu sambil melihat murid badung yang duduk dipojokkan dengan pandangan keluar jendela, awalnya kupikir itu ilusi. Sampai sepatuku terbentur meja guru. "Sensei?" Tachibana melihatku. Ternyata asli, bukan ilusi. "Menunggu kegiatan klub?" Tachibana menggeleng saja. "Kenapa Sensei kembali ke kelas?" "Ya, ya." Teringat map yang penting itu, aku segera membuka laci meja. "Dapat." "Apa itu hasil ujian matematika?" Aku memicingkan mata padanya. "Kau tidak diam-diam melihatnya kan, Tachibana?" Tachibana menggeleng. "Baguslah." Ucapku lalu berjalan keluar. Namun baru dua langkah diluar kelas, aku kembali masuk. "Kenapa rambutmu itu?" "Oh ini." Tachibana mengelus rambutnya yang acak-acakan. "Sepertinya putus, Sensei." "Hah?" Aku tidak paham maksudnya. "Terserahlah, tapi kalau kau tidak punya kegiatan apapun di sekolah, sebaiknya langsung pulang sebelum malam." "Ya, Sensei." Ucap Tachibana. Alih-alih bangkit berdiri, di duduk saja. "Pulanglah." "Baik, Sensei." Tapi Tachibana tidak bergerak pulang. "Apa ada yang kau tunggu?" Tanyaku. Tachibana menatapku dengan heran. Lalu tiba-tiba muncul saja pikiranku tentang masa-masa remaja yang penuh semangat festival budaya, dan cinta. Tentu saja, pasti itu. Biarpun penampilannya aneh, penyendiri dan tampak selalu kelelahan, Tachibana juga seorang perempuan. Mugkin saja dia sedang menunggu seseorang untuk lalu menyatakan isi hatinya. Entah kenapa, rasanya bangga juga. "Berjuanglah, Tachibana." Ucapku lalu cepat-cepat pergi sebelum siapapun yang ditunggu Tachibana itu datang. Aku tidak ingin jadi guru yang suka mencampuri urusan percintaan murid, tapi mendukung mereka pun adalah tugasku. *** Sementara itu Yume Tachibana bingung apa maksud Takahashi Sensei dengan menyemangatinya. Apa guru matematikanya itu tahu persoalan yang tengah dia hadapi? Tapi bagaimana bisa. Yume tidak bisa bergerak. Dia duduk saja di kursinya, menunggu hari gelap dan sekolah sepi agar dia bisa melangkah pulang. Kalau dia pikir-pikir, Takahashi Sensei itu seperti seorang cenayang. Pikir Yume. Dalam benaknya berdiri Kazuki Takahashi berpenampikan bagaikan peramal dengan bola kristal ditangan kanannya. Sudah lebih dari sekali guru itu membantu Yume. Saat diatap siang tadi, juga jauh hari sebelum mereka bertemu kembali di sekolah. Yume mengingat kembali peristiwa itu. Suatu malam di dalam kereta pulang saat dirinya masih menjadi seorang siswi kelas 3 SMP. Hari itu hujan deras sekali sampai-sampai kereta penuh sesak bahkan di kereta terakhir yang ditumpanginya. Berdesak-desakkan, Yume memeluk tasnya didada, takut hilang dicuri orang. Saat kereta melaju Yume bersandar dipintu kereta, namun saat kereta tiba di stasiun kota B yang menjadi pusat perkantoran, gelombang manusia yang naik dan turun saling bertabrakan dan menyeret Yume dalam arus mereka. Terputar-putar, didorong kesana ke mari, Tachibana merasa mual. Dia tidak bisa bergerak masuk maupun keluar. Tubuh-tubuh orang dewasa yang tak sabar naik dan turun dari kereta tidak memberi kesempatan untuknya bergerak. Teet teet! "Pintu kereta akan segera ditutup, mohon perhatikan keselamatan anda. Pintu kereta-" Saat mendengar instruksi dari pengeras suara, Yume baru tersadar kalau dia sudah berada diluar kereta, terdorong dan terdampar cukup jauh dari pintu kereta. Mustahil baginya untuk masuk karena pintu sudah akan tertutup. "Kereta terakhirku-" Kalau Yume melewatkan kereta itu, maka dia terpaksa menyewa taksi untuk pulang, masalahnya dia tidak memiliki uang sama sekali untuk membayar taksi. Disaat itulah dia bertemu Kazuki Takahashi. Berlari tepat dari belakangnya menuju kereta. Yume ingat dengan jelas seakan kejadiannya baru terjadi kemarin. Dia ingat saat tangan Kazuki Takahashi menariknya dan bersama mereka berlari masuk tepat sebelum pintu tertutup rapat. Baik Kazuki dan Yume tidak saling mengenal saat itu. "Te-terima kasih.." Ucap Yume. Namun Kazuki tidak memperhatikan. Dia sibuk melirik jam tangannya seperti diburu waktu. Yume ingin mengucapkan terima kasihnya dengan benar. "Anu.. Terima kasih." Tapi saat itu Kazuki menerima telepon sehingga dia tidak mendengar ucapan Yume. Kazuki masih saja berbicara dengan telepon genggamnya saat kereta sudah tiba di stasiun kota E tempat tinggal Yume, sehingga pada akhirnya gadis itu tidak sempat mengucapkan terima kasih. Dia bertekad suatu saat jika bertemu lagi dia akan berterima kasih dengan benar. Tanpa disangka-sangka mereka bertemu dua tahun kemudian di Sekolah Menengah Atas sebagai murid badung dan guru matematika. Tapi, sampai sekarang pun belum ada kesempatan yang baik untuk berterima kasih. Kira-kira, Sensei masih ingat tidak, ya? Pikir Tachibana. *** "Takahashi-san, apa anda masih memeriksa hasil ujian matematika kelas 2?" Tanya Iida Sensei sambil berjalan dan menyalakan lampu ruang guru. Aku mengangkat muka dan melihat langit gelap dari jendela ruang guru. "Wah tidak terasa sudah malam saja. Apa kau sudah selesai, Iida Sensei?" "Ya. Karena beberapa sudah ku kerjakan dirumah, sisanya jadi lebih sedikit dari yang kuduga." Aku menatap sisa tumpukan kertas di meja lalu melihat jam tangan yang menunjukkan jam 7 lebih sedikit. "Sepertinya aku akan mengerjakan semuanya sekarang, gerbang sekolah baru akan tutup jam 8 nanti, kan?" Iida Sensei mengangguk. "Kenapa tidak dibawa pulang saja?" "Kalau dibawa pulang aku malah tidak berminat mengerjakannya, jadi lebih baik langsung diselesaikan saja. Lagi pula hanya tersisa beberapa." "Oh begitu, apa ada yang bisa saya bantu?" Aku cepat-cepat menggeleng. "Tidak, aku bisa mengerjakannya sendiri." Iida Sensei tampak kecewa. "Kalau begitu aku duluan ya, sampai jumpa." "Ya. Selamat malam." Saat itu pintu tiba-tiba digeser dan penjaga sekolah berlari masuk. Aku dan Iida Sensei saling bertukar pandang penuh tanya. "Hiroshi-san, kau baik-baik saja?" "Hantu..." Ucap Hiroshi-san kesulitan mengatur pernafasan. "Ada hantu!!!" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD