Cewek Polkadot

1175 Words
Yume Tachibana melenggang masuk ke kelas. Beruntung kaki-kaki jenjangnya berlari cukup cepat dan tiba di pintu kelas tanpa terlambat. Dia merasa mual akibat adrenalin saat melompat-lompat melewati beberapa anak tangga seperti kesetanan. Tapi tidak seperti biasanya, ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya merasa ganjil tapi juga menyenangkan. Sesuatu yang membuatnya bersemangat. Dalam kelas teman-temannya sudah duduk di kursi masing-masing sambil menunggu guru mereka. Yume menuju kursinya sendiri, tepat dibarisan paling belakang di dekat jendela. Saat berjalanpun semua orang menatapnya. Gadis itu duduk dikursinya. Melirik kesana ke mari, mencari siapa saja yang kebetulan menatapnya, atau mungkin seseorang yang menggenggam minuman. Tapi tidak ada yang menatapnya secara terang-terangan, dan waktu istirahat telah selesai sehingga tidak ada seorang pun yang membawa minuman di dalam kelas. Tak lama kemudian guru mereka datang. Serentak Yume berdiri bersama teman-temannya, memberi hormat lalu duduk kembali. Matanya tak fokus, semangat menggebu-gebu dalam dadanya membuatnya gelisah. Mencari teman. Memulai percakapan. Pikirannya hanya fokus pada kata-kata gurunya tadi. "Tachibana?" Saat diabsen pun Tachibana tidak mendengar, dia benar-benar teralihkan. "Tachibana?!" Saat itu seorang gadis yang duduk disebelahnya mencubit ringan lengan Yume. "Tachibana-san." Tachibana terkejut, terpanah melihat gadis itu menyapanya lebih dulu. "Ha-halo.. Aoi-san." #Tukk! Sebuah pena mendarat dikepala Yume, seketika membuatnya tersadar. Saat menoleh, guru matematika mereka sudah berdiri didepannya. *** Aku memukul dahi Tachibana sekedar untuk mengejutkannya. "Yume Tachibana! Kalau kali ini kau tidak menjawab juga, kuanggap kau membolos." "Ha-hadir!" "Bagus." Seisi kelas tertawa pelan. Saat berjalan kembali ke depan kelas, kulirik Tachibana yang tidak tampak malu-malu kepada teman-temannya. Anehnya, dia seperti terkejut dan heran apa yang sedang mereka tertawakan. Selama proses pembelajaran, kuperhatikan gadis setengah badung itu tampak serius mencatat, namun sesekali mengawasi sekelilingnya entah untuk apa. Semakin lama Tachibana semakin sering melirik teman-temannya. Apa yang dia pikirkan dan yang dia ingin lakukan, aku tidak tahu. "Tachibana." Sebagai hukuman karena tidak fokus memperhatikan, aku memanggilnya untuk mengerjakan contoh soal di papan tulis. "Baik." Tachibana berdiri dan maju kedepan. Saat berdiri di depan kelas, sedikit berjinjit untuk menuliskan jawabannya, murid-murid di dalam kelas itu saling berbisik. Aku melihat salah satu dari mereka menunjuk kearah kaki Tachibana. Kuikuti pandangan mereka. Sepasang kaki jenjang yang memakai sepasang kaos kaki hitam bolong-bolong. "Seperti polkadot, ya." Bisik mereka. Apakah Tachibana mendengarnya? Aku tidak tahu. Kalaupun gadis itu mendengarnya, sungguh ajaib dia tetap bisa menjawab dengan benar dan rinci atas contoh soal yang kuberikan. Padahal gadis itu tidak benar-benar memperhatikan saat aku menerangkan didepan kelas. Mungkin karena kepintarannya itulah yang membuatku sering memanggilnya untuk mengerjakan contoh soal. Merepotkan kalau memanggil murid yang tidak tahu harus jawab apa. "Terima kasih, silahkan duduk kembali.." Kembali ke papan tulis, memeriksa jawaban Tachibana sekali lagi. Tidak salah, selalu benar. Setiap contoh soal dan kuis matematika selalu bisa dia kerjakan dengan baik. Tapi jika aku membuka daftar nilai ujian kelas ini, nilai Tachibana hampir tidak menyentuh standar kelulusan. Pertanyaannya, mengapa? Itu suatu fenomena yang aneh. Biasanya berkebalikan dengan Tachibana, nilai siswa akan tiba-tiba melonjak naik saat ujian, baik ujian tengah semester maupun ujian naik kelas. Entah karena belajar semalaman, menyiapkan trik-trik bekerja sama, atau bahkan berbuat curang sendirian. Tapi Tachibana berbeda. Khusus untuk ujian saja, nilainya tak begitu bagus. Meja-meja dirapikan saat mata pelajaran selesai, biasanya sambil menunggu bel pulang sekolah berbunyi, waktu kosong itu kugunakan untuk mengatakan satu atau dua patah kata. "Hasil ujian kalian akan keluar besok, bagi yang merasa nilainya jelek, silahkan mendaftarkan diri di kelas tambahan." Ujarku. "Takka Sensei!" Salah satu siswa mengancungkan tangan. Muramiya, ketua kelas 2-D. "Bagaimana dengan tema festival budaya untuk kelas kita?" Festival budaya. Acara tahunan yang luar biasa melelahkan. Menyenangkan saat kau masih seorang pemuda 17 tahunan, mendekor ini-itu, bernyanyi, memasak, rumah hantu, drama dan segala macam tema yang membangkitkan semangat masa muda. Tapi, berdiri disini -memandang siswa-siswa 17 tahunan itu dari mata seorang bangkotan yang hampir berkepala tiga- sebagai guru, rasanya melelahkan juga mengurusi semangat masa muda mereka. Beruntung baru kali ini aku ditugaskan menjadi wali kelas. Jadi guru saja sudah melelahkan, apalagi harus menjadi wali kelas berturut-turut. "Lakukan saja seperti yang kalian lakukan tahun lalu. Selain tidak merepotkan, kalian tidak perlu susah payah memikirkan ide baru." "Tapi sepertinya salah satu kelas 1 sudah mengajukan tema itu ke OSIS." Kata Muramiya. "Wah, bagaimana ya..." Bertopang dagu, aku berpikir sejenak. Tapi bukan tema festival budaya yang kupikirkan. Bagiku matematika adalah sesuatu yang menarik, sulit dan menantang, selalu ada sensasi menyenangkan saat menemukan hal-hal yang sulit dari matematika. Karena itu menyenangkan membagi ilmu itu kepada orang lain apalagi kepada mahkluk-mahkluk pencari jati diri yang entah kenapa 90% diantara mereka membenci matematika. Tapi menjadi wali kelas, sungguh berbeda dari matematika. "Kalau begitu kuserahkan kepada kalian untuk berdiskusi lebih dulu, di home room besok baru akan kita bicarakan lagi." Gumaman setuju dan tidak setuju terdengar dari berbagai arah. Muramiya mengancungkan tangan lagi dan bertanya tentang hal-hal yang kurang kuminati. Kata-katanya itu timbul tenggelam bersama dengan tanggapan dari murid lainnya. Saat itu perhatianku sudah tertuju kepada si cewek polkadot. Apa yang dia sedang lakukan?! Ding-dong... ding-dong..! "Baiklah, sampai jumpa dilain waktu." Ucapku sambil meraih buku-bukuku. "Takka Sensei!" Tepat sebelum berjalan keluar pintu seorang murid menghampiri meja guru. "Takka Sensei!" "Sudah kukatakan yang benar itu Takahashi Sensei, Yamashita." "Sudah kukatakan yang benar itu Choko, Takka Sensei." Kata Yamashita dengan meniru kata-kataku. "Ya, ya." Aku buru-buru melangkah keluar. Choko Yamashita adalah jenis murid yang paling merepotkan, dan aku tidak ingin berlama-lama dengan murid sepertinya. "Masih ingat tentang perjanjian kita kan?" "Ya, ya." Jawabku asalan tanpa berhenti melangkah. "Benar masih ingat?" Bisik Yamashita. Kakiku berhenti. Otomatis. Mendadak. Dan tentu mengejutkan gadis itu. "Yamashita, tolong gunakan bahasa formal jika berbicara dengan gurumu." "Tapi kau sudah janji." "Yamashita." Tegurku. "Maaf, Takka Sensei." Ucapnya. "Tapi ini sudah jadi kesepakatan. Kalau nilai ujianku sempurna, Sensei akan berkencan denganku." "Sejak kapan itu jadi kesepakatan? Ada-ada saja." Rasanya geli juga menghadapi murid seperti Yamashita. Suka seenaknya saja menentukan sesuatu berdasarkan emosi mereka. Ya, Yamashita bukan satu-satunya murid yang mengajakku berkencan. Bercanda atau tidak, mereka benar-benar merepotkan. "Sensei sendiri yang bilang, kan?!" Tuntutnya. "Ya, dan itu jelas-jelas adalah sebuah guyonan. Aku tidak menghendaki hubungan guru dan murid yang seperti itu." "Tapi Sensei-" "Yamashita," Tepat di depan pintu ruang guru, aku berbalik menghadap gadis itu. "Apa kau punya keperluan diruang guru?" Dari wajah Yamashita sudah terlihat bagaimana menyeramkannya suaraku saat itu. Dan memang hal itu kusengaja agar dia segera sadar diri dan pamit pulang. Kalau hal seperti ini terus berulang dan terdengar orang lalu menjelma menjadi salah paham bisa-bisa kami dipanggil menghadap kepala sekolah. Yamashita membungkuk memberi hormat lalu langsung berlari menjauh. "Dilarang berlari di koridor!" Seruku padanya sebelum masuk ke ruang guru. "Selamat sore, Takka Sensei." "Ya, selamat sore, Iida Sensei." Iida Sensei adalah guru bahasa inggris dan juga wali kelas 2-B. Sama sepertiku, dia juga dimutasi dari sekolah lain, hanya saja dia sudah pindah ke sekolah ini satu tahun yang lalu. Yang artinya akulah guru paling baru alias junior -berdasarkan waktu kerja, bukan umur- di sekolah ini. "Takahashi-san, hasil ujian kelas anda sudah aku letakkan diatas meja." "Terima kasih, akan segera  kususun. Hasil ujian matematika kelas 2-B juga sudah selesai aku periksa." "Benarkah? Kalau boleh, aku ingin melihatnya. Ada beberapa murid kelasku yang benar-benar harus kuperhatikan saat ini." "Ya, silahkan. Biar kuambilkan." Ucapku sambil menarik laci meja. Kosong. "Apa ada masalah, Takahashi-san?" Tanya Iida saat melihatku berdiri dan melangkah keluar ruang guru. "Mapnya ketinggalan di kelas. Akan segera kuambilkan." "Oh, baiklah. Tidak perlu terburu-buru, aku juga belum niat pulang sekarang." "Ya, ya." Seharusnya map hasil ujian kusimpan saja di meja kerja bukannya membawanya jalan-jalan kesana ke mari. Akibatnya ketinggalan, kan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD