DUA

1570 Words
Katanya, seorang ayah adalah cinta pertama anak perempuannya. Tapi menurut Annabelle, ayah adalah satu-satunya cinta dalam hidupnya. ××× Setelah beristirahat cukup, pukul tujuh malam, Lorena sudah merecoki anaknya untuk mulai mempersiapkan diri. Ada banyak sekali gaun yang berserakan di atas tempat tidur dimana Xabiru sedang memperhatikan sang Mama dengan memeluk sebuah boneka kelinci besar. "Ma, apa ini nggak terlalu kebuka?" Annabelle berdiri di depan meja rias dan melihat punggungnya dari pantulan kaca. Gaun yang dia kenakan berwarna merah hingga mata kaki dengan belahan hampir mencapai pangkal pahanya. Lehernya berbentuk  V line dan punggung terbuka hingga hampir mencapai b****g sekalnya. "Enggak sayang, kamu justru terlihat seksi!" puji Lorena bersorak melihat penampilan putrinya. "Baju mama bolong!" Kata Xabiru ikut berkomentar. Lorena langsung memelototi anak itu. "Ini bukann bolong Biru, Sayang. Ini namanya fashion.  Nanti kalau sudah besar kamu pasti ngerti." Lorena tersenyum manis saat melihat Annabelle mulai terpengaruh oleh ucapan anaknya. "Mama mau pergi?" Xabiru melepaskan boneka kelincinya dan beringsut ke pinggir tempat tidur. Kaki kecilnya tergantung lucu dan tampak sangat putih. Annabelle segera mendekati Xabiru dan memeluknya. "Mama pergi sebentar ya, kamu di rumah sama Oma." "Biru ikut." Rengeknya sembari mengeratkan pelukannya. Lorena buru-buru mendekat dan memisahkan mereka. Agak sulit memang, tapi daripada anak itu mengacaukan rencananya lebih baik dia sedikit bersikap kasar. "Biru mau ikut sama Mama," anak itu memberontak dan dipeluk Lorena erat-erat.  "Biru di rumah aja sama Oma." "Nggak mau!" "Anna kamu berangkat aja, Bams pasti udah nunggu kamu di bawah." Kata Lorena sambil memegangi cucunya yang mulai menangis memanggil Ibunya. Annabelle tidak tega melihat anaknya seperti itu, tapi jika tidak dituruti maka dia yakin sekali Lorena akan terus mencoba mendekatkannya dengan pria pilihan untuknya. Gadis itu mendekati putrinya dan menghapus air mata disana, "Hei, kenapa nangis?" "Biru ikut Mama.." Xabiru merengek di pelukan Ibunya. Annabelle mengecupi rambut putrinya berkali-kali. "Mama cuma sebentar kok, nanti Mama beliin balon buat Biru." Xabiru masih enggan melepaskan Annabelle dan hal itu semakin membuat Lorena kesal. Baru saja Lorena akan memisahkan anak dan ibu itu kembali saat Xabiru tiba-tiba melepaskan Annabele dan berbalik menghadapnya. "Oma nggak jahat?" tanyanya polos. Lorena gelagapan dan segera memasang senyum semanis mungkin, "Enggak dong sayang. Oma kan sayang sama Biru." Melihat ketenangan Biru, Lorena segera menyuruh Annabelle untuk segera pergi. Rupanya anak itu sudah benar-benar menurut karena dia diam saja saat Annabelle kembali berpamitan dan meninggalkan mereka berdua. Dengan langkah malas, gadis itu berjalan menuju ruang tamu dimana seorang laki-laki dengan jas yang tampak rapi sudah duduk manis di salah satu sofa rumahnya. "Maaf lama." Kata Annabelle mencoba bersikap ramah. Mendengar saaan itu Bams segera berdiri dan membiarkan dirinya untuk terpaku selama beberapa saat karna merasa terpukau dengan penampilan perempuan yang ada di hadapannya. "Bukan masalah," kata pria itu, "sudah siap?" Annabelle menangguk dan mereka berjalan menuju pajero hitam yang terparkir rapi di depan rumah. Selama perjalanan Bams sama sekali tidak bisa berhenti melirik ke kursi sebelahnya. Bibirnya tersenyum puas, seolah sangat senang Annabelle bersedia keluar berdua bersama dirinya. Sedangkan Annabelle yang mengetahui jika sejak tadi Bams terus memperhatikan wajahnya, bergerak risih dan mencoba membenahi pakaiannya. "Kenapa?" Tanya perempuan itu pada akhirnya karna sudah merasa jengah. Sedangkan Bams yang ketahuan sama sekali tidak terlihat gugup. Laki-laki itu justru terang-terangan memandangnya dan melempar senyum memikat, "Kamu cantik." Annabelle berdehem, tidak merasa harus tersipu sama sekali. Hanya itu percakapan mereka higga tiba di depan sebuah gedung yang memperihatkan sebuah acara pertunangan seseorang. Annabelle mengernyit melihat betapa banyaknya tamu undangan yang datang, bahkan dari kalangan selebritis yang kerap muncul di layar televisi. Bams membukakan pintu dan mengulurkan satu tangannya. "Ayo turun." What the f*ck! Annabelle ingin mengumpat ketika dihadapannya terbentang karpet merah dengan jajaran wartawan yang sibuk melempar lampu flash untuk setiap tamu yang baru datang. Dengan menaan dongkol karna merasa tidak tahu bahwa acara yang akan dia datangi ternyata semeriah ini, Annabelle menyampirkan sebelah tangannya ke lengan Bams dan mulai berjalan masuk. Dari dulu Annabelle selalu benci dengan acara seramai ini. Dia lebih suka menyepi sendiri dibanding harus berbaur dengan ribuan manusia yang bermuka dua. Saling unjuk diri, memperlihatkan kekeyaan atau kecantikan yang mereka punya. Mereka sampai di aula besar dengan bebagai macam dekorasi mewah yang terbentang sejauh mata memandang. Dia tidak bisa menahan diri lagi untuk segera bertanya, "Ini acara pertunangan siapa?" tanya perempuan itu pada Bams. Sambil terus berjalan mencari tempat duduk, Bams menjawab, "Kamu belum tahu?" Annabelle memutar bola matanya dengan gerakan paling tidak sopan. Jika dia tahu ini pesta siapa, tidak mungkin dia harus bertanya lagi kan? Laki-laki itu nampaknya sedikit kurang nyaman dengan respon perempuan disampngnya. Tapi sialnya ekspresinya itu justru membuatnya ingin segera memilikinya. "Maaf kalau pertanyaanku aneh, aku cuma mengira tante Lorena sudah memberitahu sebelumnya." "Belum." Hanya itu jawaban Annabelle. Bams mengangguk pelan. "Ini acara pertunangan anak tiri Papa kamu, Shena." Double s**t! "Tante Lorena menolak datang dan menyuruh kamu yang menggantikannya." Sambung pria itu lagi. Untung saja mereka sudah mendapatkan tempat duduk. Jika tidak, Annabelle tidak bisa berjanji jika dia lebih memilih berbalik dan pulang ke rumah saja. "Kamu nggak keberatan kan pergi bareng aku?" Tanya Bams saat pembawa acara mulai menaiki sebuah panggung yang tidak terlalu tinggi. Annabelle memberikan tatapan datarnya. "Kalau aku bilang iya?" Lelaki itu terkekeh, "Maaf karna sudah membuat kamu keberatan." "Nggak masalah." Jawab Annabelle seadanya dan mulai fokus pada acara. Di depan sana berdiri seorang laki-laki yang memakai kemeja tanpa jas berwarna abu, kemudian datang seorang gadis dengan balutan gaun yang super ribet karna mengembang di bagian bawah. Annabelle mengernyit. Aneh sekali perpaduan kostum sepasang kekasih itu. Sejak Papa menikah lagi, Annabelle sama sekali tidak pernah lagi bertemu dengannya. Awalnya karena marah, namun lama-lama karna merasa terbiasa hingga Annabelle merasa tidak ada lagi alasan untuk tetap bertukar kabar. Annabelle tahu Shena adalah anak dari istri baru Papanya dengan suaminya yang pertama. Sedangkan sampai sekarang mereka belum kembali diberi keturunan. Annabelle mendesah, diam-diam merasa lega bahwa dia tidak akan mendapatkan seorang adik ketika dia sudah meiliki seorang putri. Mengingat Xabiru.. Perempuan itu terpaku ketika matanya menangkap kedatangan sorang pria yang menaiki panggung dan berbicara dengan sang Papa yang sudah berada disana. Walau jaraknya cukup jauh, Annabelle yakin sekali jika warna mata laki-laki itu berwarna Biru. Annabelle berdiri namun tangannya segera dicekal oleh Bams. "Mau kemana?" "Sebentar," kata perempuan itu sambil melepaskan tangannya. Dia sempat melihat laki-laki bermata biru itu menatap ke arahnya sebelum kemudian berbisik kembali di telinga Papanya dan berlalu pergi setelah itu. Annabelle mengabaikan suara Bams yang masih Nampak penasaran dan memilih melewati deretan kursi agar sampai disamping panggung. Dia mngedarkan pandangan ke sekitar dan mendapati semua atensi terarah padanya. Bodo amat! Annabelle kembali mencari-cari dan memutuskan berjalan lebih dekat lagi. Annabelle melihat laki-laki tadi berjalan membelakanginya dengan langkah terburu-buru. Dia baru saja akan berlari mengejar ketika sebuah seruan menghentikannya. "Annabelle?" gadis itu menoleh dan mendapati Papa berdiri tercengang di tempatnya. "Papa." "Astaga," David terlihat sangat senang dan memeluk putrinya di hadapan semua orang. pria paruh baya itu mengecupi kepala putrinya berkali-kali sambil mengeluarkan air mata bahagia, "Putriku.. " Tidak ada yang perlu dilakukan Annabelle selain membalas pelukan ayahnya. Dan pada saat itulah dirinya menyadari jika dia sangat merindukan Papa. Papa yang menemaninya belajar sepeda, Papa yang mengobati lukanya ketika terjatuh, Papa yang membacakan dongeng sebelum tidur, juga Papa yang selalu berkata sangat bangga ketika dia menunjukkan setiap nilai raprtnya. Annabelle rindu menjadi anak Papa. "Mas!" suara itu disusul tubuh Papa yang bergerak melepaskannya. Matanya masih tampak berkaca-kaca ketika seorang wanita yang sepantaran dengan Mama menyuruh David kembali ke atas panggung karena acara belum selesai dilangsungkan. "acara Shena sudah mau dimulai." "Abel," David mengabaikan istrinya dan memegang kedua pundak putri kandungnya. "Kamu harus janji sama Papa, kalau kamu nggak akan pulang sebelum acara selesai." Annabelle mengangguk dengan perasaan sesak. "Iya, Papa." Bams berhasil menyusulnya tepat sesaat setelah David berbalik pergi dan melanjutkan acara pertunangan Shena. "Astaga, kamu disini ternyata," pria itu mendesah lega dan meraih meraih sebelah lengan Annabelle untuk diajak kembali ke kursi mereka. "Aku bisa jalan sendiri." Annabelle melepas cekalan itu dari lengannya dan berjalan pergi meninggalkan Bams yang terpelongo ditempatnya. *** Acara pertunangan itu berlangsung sangat amat lama. MC seolah sengaja membuat Annabelle muak dengan terus-menerus memanggil bintang tamu untum mengisi jeda. Untung saja David menyadari hal itu karna beberapa saat kemudian acara inti dimulai. Dari tempatnya duduk. Annabelle sepenuhnya menyadari jika Shena adalah gadis yang sangat cantik. Kulit gadis itu kuning langsat-sama seperti tante Dara-istri baru Papa. Rambutnya digelung di atas kepala dengan bentuk elegan dan tidak norak sama sekali. setiap Shena tersenyum, Annabelle seolah tersadar jika nasib gadis itu sangat jauh berbeda dengan jalan hidup yang selama ini dia jalani walau sama-sama berasal dari keluarga broken home. "Yang di dekat Shena itu Papa kamu, kan?" Bams tiba-tiba menyeletuk. Caranya memanggil Shena seolah-olah mereka adalah dua orang yang sudah kenal dekat. "Mirip kamu banget, ya?" Annabelle hanya menjawab, "Hm." Agar Bams berhenti berbicara. Padahal menurut Annabelle, Papa hanya menyumbangkan sifat cuek kepadanya. Selain itu, segalanya adalah warisan Mama. Kulitnya putih, mata lebar dan ujung dagu yang mampu digunakan sebagai tusuk cilok saking lancipnya. Saat kecil, hal itu membuat Annabelle merasa kesal dan tidak terima saat teman-temannya lebih menyebutnya anak Mama, karna paras mereka yang sama, padahal Annabelle adalah anak Papa. Mama tidak pernah mau peduli padanya sebesar rasa peduli Papa kepadanya. Jadi, ketika kedua orangtuanya memutuskan bercerai dan hak asuh dimenangkan oleh Mama, Annabelle merasa hidupnya tidak akan pernah sama lagi seperti sebelumnya. Hal itu diperparah dengan berita pernikahan Papa dengan perempuan yang memiiki putri seumuran dengannya. Annabelle merasa sepenuhnya dia sudah kehilangan kedua sosok orang tua.  Katanya, seorang ayah adalah cinta pertama anak perempuannya. Tapi menurut Annabelle, Papa adalah satu-satunya cinta dalam hidupnya. Jadi ketika dia kehilangan sisa cinta yang ia miliki, kehidupannya menjadi jungkir balik dan membuatnya menjelma menjadi medusa yang tega menggoda satu-satunya sahabat yang bersedia menemaninya. Laki-laki itu adalah Agas Dirgantara... Sosok tegap yang saat ini terlihat memasuki aula dengan menggandeng perempuan cantik bergaun putih dan seorang makhluk mungil yang berada dalam dekapan ibunya. Annabelle terbelalak. Agas dan Nara juga datang ke acara ini?!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD