SATU

2162 Words
       Bandar udara internasional Soekarno-Hatta atau yang disingkat SHIA atau Bandar udara cengkareng, merupakan sebuah Bandar udara utama yang melayani penerbangan untuk Jakarta, Indonesia. Tempat itu dipercaya tidak pernah sepi kegiatan. Maka tak heran Annabelle yang sudah Lima tahun meninggalkan tanah kelahirannya untuk pindah ke Belanda merasa sedikit asing, apalagi sebelumnya ia dan kelurga tinggal di Surabaya, sebelum setahun terakhir sang Mama mengaku pindah demi membangun sebuah bisnis di bidang kecantikan. Ya, dia adalah Annabelle. Putri tunggal dari Lorena dan David yang sudah bercerai sejak ia masuk dunia sekolah. Seorang perempuan dewasa yang sudah meninggalkan kenakalannya di masa lalu dan berniat memperbaiki jalan hidup demi seorang gadis mungil yang saat ini tengah berjalan bersamanya. Wanita itu tersenyum menatap tangan kecil yang ada dalam genggamannya. Menuntun anak itu agar tidak terkena desakan ketika mereka tengah menunggu koper di antrean ban berjalan. "Jangan lepas tangan Mama." Annabelle mengingatkan begitu anak itu mulai tertarik untuk berlari ketika melihat segerombol balon terpasang di sudut lain tempat itu. Si anak kecil nampak berkaca-kaca hendak menangis, hingga membuat Annabelle menarik napas dalam-dalam. "Nanti kita beli sebelum pulang ke rumah, ya?" bujuknya. Nama anak kecil itu Xabiru. Dengan bola mata biru cemerlang dan juga pipi tumpah kemana-mana. Annabelle sangat suka dengan pipi dan juga bentuk rambut Biru yang berponi dan lurus panjang. Ia kerap mendandani anaknya itu seolah tengah bermain Barbie. Xabiru yang mendengar bujukan mamanya segera mengangguk kencang dan mengulas senyum bahagia. Mereka segera pergi setelah mendapatkan koper dan berjalan menuju sopir yang sudah memegang kertas berisi namanya tinggi-tinggi. "Kok bukan Mama yang jemput?" Annabelle menyerahkan kopernya agar disimpan di bagasi belakang, sedangkan ia menggiring Biru agar masuk dan ia menyusul duduk di sebelahnya. "Nyonya sedang sibuk, Nona." Annabelle mengembuskan napas lelah. Bahkan setelah Lima tahun tak berjumpa tidak ada satupun orang yang merindukannya, sekalipun itu orangtuanya sendiri. Ia mengelus rambut Biru ketika anak itu jatuh tertidur di pangkuannya. Namun dari semua hal buruk yang ia terima, Anabelle sangat bersyukur mempunyai Biru. Ia berjanji akan menjadi orang tua yang baik. Menjadi figure seorang Ibu sekaligus Ayah agar anak itu hidup tanpa kekurangan kasih sayang. Pengalaman hidup dalam keluarga yang hancur berantakan membuat Annabelle mengerti pentingnya peran sebuah keluarga dalam pertumbuhan seorang anak. Gen mungkin saja menyatu dengan sifat mereka, namun lingkungan bisa membelokkan perilaku seseorang jika saja tidak ada yang bisa dijadikan pegangan. Dulu Annabelle memiliki Agas, sahabat yang selalu menjaganya agar tidak terperosok dalam jurang. Laki-laki itu selalu membantunya ketika ia membutuhkan pertolongan, selalu siap jika ia butuh sandaran untuk segala masalah yang ia terima. Agas menempatkan dirinya dengan begitu baik. Sampai- sampai Annabelle salah mengartikan dan justru membuat hubungan mereka hancur berantakkan. Perjalanan tiga puluh menit ia habiskan dengan mengenang masa lalu hingga tak sadar ketika mobil sudah berhenti dan Pak Rahmad membukakan pintu untuknya. Annabelle memberi isyarat agar Pak Rahmad tidak membuat suara dan dengan sangat perlahan ia membopong Biru masuk ke dalam sebuah rumah besar berwarna putih gading. Keadaan rumah sangat sepi. Annabelle sedikit kebingungan di kamar mana ia akan tidur karna ini adalah rumah baru yang dibeli mamanya sebulan yang lalu sebelum menyuruhnya untuk pulang karna ia ingin melihat cucunya memanggilnya Oma. Dengan hati-hati, Annabelle meletakkan tubuh Biru ke sofa empuk berwarna cokelat di tengah ruangan, tepat berada di depan televisi. Nampaknya bisnis sang Mama sedang berkembang pesat melihat betapa mewahnya nuansa rumah yang saat ini ia tempati. Annabelle menjalankan kakinya menjauh ke sudut jendela yang menampilkan halaman samping yang penuh dengan tanaman bunga juga kolam renang dengan gaya alami dengan sulur-sulur tanaman rambat sebagai hiasan di dinding batu. Di dekat tenda kecil terdapat ayunan dan kursi besi untuk dua orang. Harusnya rumah itu terasa nyaman dan hangat. Namun entah kenapa Annabelle merasa tidak. Beberapa waktu setelah puas mengamati rumah baru yang akan ia tempati, bunyi mobil terdengar memasuki garasi. Annabelle membuka gorden yang mengarah ke halaman depan dan menemukan  Mama keluar dari SUV hitam terbaru dengan rambut curly dan dress ketat selutut. Sangat gaya mama. Tidak lama dari itu, menyusul mobil lain dengan merk berbeda parkir di belakang mobil Mama. Seorang laki-laki tinggi, memakai jas dengan potongan rambut ala lelaki pada umumnya keluar dengan gaya penuh percaya diri. Annabelle bisa melihat jika Mama langsung tersenyum ketika melihat lelaki itu mendekat dan mengajaknya memasuki rumah bersama. Apa itu pacar baru mama? Lorena melihat anaknya berdiri disamping jendela dan langsung tersenyum lebar, melangkah riang dan merentangkan kedua lengan. "Putri cantikku," pujinya sambil membawa Annabelle ke dalam pelukannya. Pelukan itu terasa kaku dan sedikit aneh walau Annabelle tetap membalasnya karna jauh di dalam hatinya ia merindukan figure seorang Ibu. Setelah melepas pelukannya, Lorena berbalik memandang laki-laki yang saat ini tengah menatap Annabelle dengan gaya menyebalkan. Dengan riang ia berucap, "Bams, dia Annabelle, putri cantik yang pernah aku ceritakan padamu." Bams dengan senang mengulurkan tangan. Lelaki itu tersenyum semanis gula karna kedua lesung pipitnya. Sejenak, Annabelle tampak ragu sebelum Lorena dengan tidak sabar mencubit lengan putrinya hingga perempuan itu menyambut tangan Bams dengan sikap ogah-ogahan. Bams meremas lembut jemari Annabelle dan menyebutkan namanya, "Bams." "Boneka setan." Balas Annabelle sarkas. Lorena kembali mencubit lengan putrinya, sedangkan Bams terkekeh merdu. "Anna memang suka bercanda," Lorena tertawa dan menyentuh lengan Bams dengan lembut agar memaklumi sikap putrinya. Bams hanya mengulas senyum tipis, sedikit geli ketika dengan terang-terangan perempuan itu melempar delikan tak suka kepadannya. Sungguh perempuan yang menggemaskan. *** "Putriku sudah kembali?" David memastikan informasi yang baru ia terima ketika memasuki ruang kerjanya. Alex, orang yang ia tugaskan memantau segala kegiatan anaknya di Belanda  mengangguk dengan sopan. David tidak menyembunyikan perasaan senangnya. Ia mengangguk puas, berterima kasih kepada tangan kanannya dan menyuruhnya mengambil libur karna sudah bekerja keras untuk dirinya. Setelah kepergian Alex, David segera menelpon Lorena, tahu bahwa putrinya akan tinggal dengan ibunya karna merasa sungkan jika harus satu atap dengan istri barunya. Lama ia menunggu namun tidak ada tanda-tanda bahwa mantan istrinya berniat menjawab panggilannya. David mendesah kesal. Ia bangkit dari kursi kebesarannya dan berniat langsung menghampiri putrinya saja. Baru saja ia membuka gagang pintunya, seorang pemuda yang ia kenal bernama Sebastian Winudara sudah berdiri dengan sebelah tangan terangkat seolah hendak mengetuk pintu. "Om mau pergi?" "Putriku sudah pulang," jawab David yang membuat Sebastian langsung paham menilik gesture tubuh pimpinan perusahaan yang dia tempati saat ini. David kemudian melihat jam tangannya dan menatap Sebastian yang selalu berekspresi datar. "Satu jam lagi akan ada pertemuan dengan perwakilan GD, bisakah kamu menghadirinya seandainya aku belum kembali?" Sebastian mengangguk dan David tersenyum singkat sambil menepuk pundak orang kepercayaannya dengan bangga. "Om pergi dulu." Sepeninggal David, Sebastian masih setia berdiri di sana selama beberapa saat. Menghitung dalam hati sebelum kemudian mengambil napas dalam-dalam dan berbalik pergi menuju ruangannya sendiri. Sudah lebih dari satu tahun ia bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang pengolah plastik terbesar di Jakarta. Selama itu pula ia menjabat sebagai Chief Operating Officer, dibawah pimpinan David yang menjawat sebagai Founder sekaligus Chief Executive Office. Sebenarnya sudah beberapa kali David memintanya untuk segera menempati salah satu posisinya saat ini. Namun, Sebastian merasa dirinya belum pantas dan masih perlu membuktikan beberapa hal, apalagi ia tidak mau dicap memanfaatkan hubungan kekerabatan untuk menerima status sosial. Lelaki itu sampai di ruangannya sendiri. Ruangan itu didominasi warna putih dan juga cokelat tua. Perabotannya terbilang lengkap karena Sebastian memegang peranan penting perusahaan milik David. Ia berjalan menuju meja kerjanya, membuka loker dan mengambil sebuah bingkai foto yang berisi sepasang anak kecil yang sedang tertawa diatas sepeda. Putriku sudah pulang.. Ia menghela napas panjang kemudian kembali menyimpan foto itu kedalam laci. Tangan besarnya bergerak mengusap permukaan wajahnya, dan saat itu juga perasaan tenang kembali menguasai pikirannya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Semuanya sudah berubah. *** Setelah kepergian Bams lima menit yang lalu, Lorena berjalan mondar-mandir di depan tubuh Xabiru yang sudah terjaga. Gadis kecil itu memeluk Annabelle kian erat karna merasa tatapan Lorena membuatnya takut sekaligus tidak berani untuk mengungkapkannya. "Dia cucuku?" Lorena mendekatkan wajah untuk melihat lebih dekat kilau mata kebiruan yang menunduk takut kepadanya, "Kamu yakin anak yang kamu lahirin nggak tertukar?" Walau bukan ibu yang baik yang selalu meperhatikan dengan siapa sang anak bergaul hingga menghasilkan seorang anak, tetap saja Lorena mengetaui jika laki-laki yang harusnya menjadi bapak anak itu adalah orang asli Indonesia. Apa mungin pacar anaknya dulu blasteran Amerika? "Mama, takut.." bisik bocah itu sembari menyembunyikan wajahnya dari tatapan Lorena yang semakin intens terhadapnya. Annabelle mengusap lengan putrinya lembut, kemudian ganti menatap kesal wajah ibunya, "Mama jangan buat Biru takut." "Siapa namanya?" Tanya Lorena, tak peduli dengan teguran anaknya sebelumnya dan tetap memandang Biru dengan tatapan sinisnya. "Xabiru," Annabelle menjawab seraya mengelus rambut sebahu anaknya, "Mama bisa memanggilnya Biru." Lorena mengangguk singkat. Masih tidak percaya bahwa yang ada di hadapannya adalah cucu kandungnya yang asli. Walau begitu, ia tetap menyuruh pembantunya menyiapkan kamar bersih untuk anak itu. Annabelle yang mendengar itu buru-buru mencegah. "Biru tidur sama aku." "Anna, sayang.." Lorena mendekat dan iku duduk disamping putrinya yang masih tetap memeluk erat Biru disampingnya. "Biarkan Biru tidur di kamarnya sendiri. Dia sudah besar, pasti lebih nyaman jika punya tempat tidur sendiri." Sementara Biru yang mendengarnya menggeleng kuat-kuat dan menatap Neneknya, "Biru suka tidur sama Mama." "Ya ampun!" Lorena berdiri kesal, "Terserah kamu maunya gimana." Lalu perempuan tua itu minggat bersama suara sepatu berisiknya. Annabelle tersenyum menatap putri kecilnya. Ia paham mengapa Lorena meragukan Biru sebagai cucu kandungnya. Warna mata anaknya sangat berbeda dengan kebanyakan orang Indonesia. Walau begitu Annabelle berjanji ia tidak akan membiarkan Biru mendapat perlakuan berbeda karna dinggap tak sama. "Kita ke kamar, yuk!" "Sama Mama?" anak itu masih melingkarkan kedua lengan mungilnya membelit sang Mama seolah takut jika ia akan ditinggalkan sendirian saja. "Iya, sama Mama." Gadis kecil itu bersorak senang, lantas berdiri saat Annabelle menuntunnya menuju tangga dan berdiri di depan sebuah pintu berwarna putih yang terlihat bersih. Kamar itu cukup besar. Dengan berbagai macam perabotan yang seolah dikhususkan untuk seorang perempuan. Mulai dari dinding, sprai tempat tidur, sampai gorden, keseluruhan berwarna merah muda. Warna kesukaannya dulu. "Pink." Bisik Biru ketika mengamati kamar barunya. Annabelle menunduk menatap putrinya, "Kamu suka?" "Sama kayak warna kamar Mama." Anak itu tersenyum dan melepaskan pegangan tangan Mamanya dan berlari melompat menuju ranjang. Annabelle tertawa. Biru seolah tidak merasa lelah setelah perjalanan panjang. Ia membiarkan Biru yang sibuk bermain dengan puluhan boneka yang entah punya siapa, sedangkan ia memilih membongkar koper dan memasukkan ke lemari kaca yang terletak tak jauh dari ranjang mereka. Selesai dengan pekerjaannya, Annabelle melihat putrinya sudah terlelap di atas kasur dengan puluhan boneka yang mengelilinginya. Ia membetulkan sedikit letak posisi tidur Biru agar lebih nyaman kemudian keluar dari kamar. Perempuan itu turun ke lantai bawah dan mendapati ibunya menutup kencang pintu depan rumah dan berbalik dengan wajah memerah. "Mama kenapa?" Lorena yang melihat putrinya datang langsung merubah ekspresi wajah, "Biru mana?" "Dia ketiduran di kamar." "Oh," sahut Lorena yang kali ini membawa Annabelle agar duduk di sofa berdua bersamanya. "Kamu tahu kan alasan Mama nyuruh kamu pulang?" Annabelle mengangguk, "Mama mau ketemu sama Biru." Lorena menggeleng. "Bukan Biru, tapi Mama mau ketemu cucu kandung Mama." Gadis itu tersentak, "Mama masih nggak percaya kalau Biru cucu kandung Mama?" "Bukan nggak percaya," sahut Lorena kemudian, "Tapi Mama tahu kalau bapak anak kamu asli orang Indonesia. Dan kamu juga nggak ada keturunan dari luar, terus darimana anak kamu itu dapet mata biru kayak gitu?" "Mama.." desah Annabelle resah, "Biru anak aku. Dia lahir dari rahim aku." "Ya sudah, terserah dia anak siapa." Putus Lorena cuek. "Mama nyuruh kamu pulang juga untuk ngomongin hal serius." Perasaan Annabelle mulai tak enak. Terakhir kali Lorena berkata seperti itu padanya adalah saat perempuan itu mengaku sudah berselingkuh dan akan bercerai dengan Ayahnya. Kejadan itu seolah menjadi trauma untuk gadis itu hingga tanpa sadar ia sudah berdiri dan berniat pergi. "Kamu mau kemana?" Lorena mendudukkan kembali putrinya, "Mama kan belum selesai ngomong." "Nanti aja, ma. Biru kayaknya udah bangun." "Sebentar," tahan Lorena yang melihat putrinya yang kembali ingin berdiri. "Mama cuma mau ngomong sebentar." Baiklah. Annabelle menghembuskan napas pasrah ketika kembali berhadapan dengan mama. Lagipula, ia sudah menjadi perempuan dewasa. Pengalaman sudah mengajarkannya begitu banyak luka dan seandainya Lorena berniat kembali melukainya, hal itu akan menjadi salah satu pola hidupnya dan tidak akan mengubah apapun. "Malam ini mama mau kamu pergi ke pesta kenalan mama." Ucap Lorena yang langsung ditolak oleh anaknya. "Aku baru pulang, ma. Masih capek. Lagian aku juga nggak mungkin ninggalin Biru sendirian di rumah." Annabelle tahu, Mamanya berniat menjodohkannya dengan seseorang di pesta yang katanya kenalannya itu. "Kamu tenang saja, nanti biar Bams yang jemput biar kamu nggak capek nyetirnya." Bujuk Lorena yang buru-buru menambahkan saat sang putri sudah melotot padanya, "Biru biar sama Mama di rumah." "Mama mau jodohin aku sama Bams itu kan?" tebak Annabelle yang langsung disambut senyuman manis ibunya. Gadis itu mendesah kesal sambil membuang muka. "Dengerin mama sayang," Lorena kembali membujuk anaknya, "Mama sudah pernah membuat hidup kamu hancur karna keputusan mama. Dan mama mau menebus kesalahan mama itu dengan memperbaiki kehidupan kamu yang sekarang." "Hidupku sudah jauh lebih baik setelah ada Biru." "Nah, itu!" kata Lorena seolah mendapat pencerahan. "Kamu mau anak kamu selamanya hidup tanpa mendapatkan kasih sayang seorang ayah?" "Aku bisa jadi Ibu sekaligus Ayah yang baik buat dia." Balas Annabelle tak mau kalah. Lorena pusing dengan kekeraskepalaan anaknya. "Terserah kamu mau menikah dengan Bams atau tidak, tapi Mama mohon, malam ini saja coba kenali dia lebih dalam. Mama cuma mau yang tebaik untuk kamu." Untuk pertama kali Annabelle melhat tatapan mata ibunya berkaca-kaca setelah mengutarakan pendapatnya. Walau kata-kata yang Lorena katakan itu benar, ia masih belum siap menjalani sebuah hubungan serius bernama pernikahan. Gadis itu menghembuskan napas lelah. Ia memilih kembali ke kamarnya dan bergabung meringkuk bersama putrinya. Bukankah begini saja sudah cukup?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD