Bab 1

1497 Words
Lima Tahun Sebelum Pernikahan. Aisha Pov Aku menghentakkan kaki menunggu kedatangan Daddy dan Mommy yang baru pulang dari bulan madu, hampir 2 minggu ini rumah terasa sepi tanpa kehadiran mereka, walaupun ketika mereka ada di rumah aku selalu melihat usaha Mommy merubah sikap dingin Daddy yang dingin menjadi sedikit menghangat, entahlah aku pun heran melihat sikap Daddy yang nggak pernah bisa bersikap romantis, yeah seperti yang pernah aku bilang jika Daddy itu adalah kulkas berbentuk manusia, dingin dan jika sudah memutuskan sesuatu akan sangat susah mengubahnya, meski bersikap dingin tapi aku tau Daddy sangat mencintai Mommy dan anak-anaknya walau salah satu anaknya bukan darah dagingnya. Fiuh rasa kesal menunggu kedatangan Daddy bertambah jika aku kembali mengingat keberadaan Kak Biyan di rumah, entah kenapa aku selalu sebel dan kesal melihat dirinya. Walau aku akui Kak Biyan mempunyai wajah tak kalah tampannya dari wajah Daddy, tapi tetap saja aku kesellllll dan nggak suka kalo ia bersikap baik padaku. Suara pemberitahuan tentang kedatangan pesawat Daddy membuatku bergegas mendekati pintu kedatangan dari luar negeri, mataku fokus melihat satu persatu penumpang yang keluar, hingga sosok tampan dan gagah Daddy keluar bersama Mommy yang terlihat anggun meski usianya tak lagi muda, aku melambaikan tangan dan menghambur kepelukan Daddy seakan sudah bertahun-tahun aku tidak melihatnya. "Daddy... Ai kangen loh sama Daddy dan Mommy, huhuhuhu kalian lama sekali pergi bulan madunya, pokoknya Ai nggak mau ya punya adik lagi, cukup satu gadis nakal seperti Ocean tapi sanggup membuat kepala Ai mengeluarkan asap setiap hari," gerutuku dengan nada manja, mengadukan sikap Ocean yang nakalnya minta ampun, aku masih heran kenapa aku dan Ocean memiliki sifat bertolak belakang. Ocean tumbuh menjadi gadis tomboy dan slenge-an sedangkan aku girly dan manja. "Daddy dan Mommy juga kangen sama kamu, kamu nggak bandelkan selama kami tinggalkan? Kakak kamu mana?" senyum ceriaku langsung hilang saat Mommy bukannya memelukku sepulangnya dari bepergian tapi malah menanyakan Kak Biyan, anak kesayangannya. "Nggak tau... nyasar kali," balasku sambil mengangkat bahu, Mommy menjewer telingaku setiap aku menjawab acuh seperti tadi, aku hanya bisa berusaha melindungi diri dari siksaan Mommy dengan bersembunyi di belakang Daddy. "Sudah... sudah... Ai kamu baru pulang sekolah?" tanya Daddy saat melihatku masih berseragam putih abu-abu, aku mengangguk dan memegang perutku yang cacingnya sudah demo minta diberi makan siang, Daddy mendongakkan wajahnya seperti sedang mencari seseorang. "Dad, laparrrr ayo kita cari makan," rengekku lagi, tapi Daddy seperti enggan membawaku ke restoran sebelum melihat Kak Biyan. "Tunggu dulu, kakak kamu mana sih? jangan-jangan kamu isengi lagi dia ya, kali ini ulah apa lagi yang kamu buat Ai?" tanya Mommy dengan mata besarnya, aku berusaha menahan tawa dan membalas pertanyaan Mommy dengan mengangkat kedua bahuku. Aku bersiul-siul dan tak lama aku mendengar nafas terengah-engah dari mulut Kak Biyan, aku menahan tawa melihat wajahnya penuh dengan peluh. Mommy mendekati Kak Biyan dan seperti biasa reaksi Mommy layaknya ibu-ibu lebay di sinetron yang nggak terima anak lelakinya dikerjai. "Ya ampun, kok baju kamu basah sih nak," tanya Mommy. Kak Biyan melirikku dan aku balas dengan mengejeknya dengan lidahku. "Biyan salah terminal Mom." Aku akhirnya tidak bisa menahan tawa dan akhirnya tertawa terpingkal-pingkal, tentu saja baju kak Biyan basah, aku meninggalkan dia di terminal 1 A sedangkan orang tuaku sebenarnya berada di terminal 2 E. Biarin siapa suruh telat jemput aku tadi dan yang semakin membuat aku kesal bisa-bisanya Kak Biyan tebar pesona dulu dengan meladeni teman-temanku yang minta kenalan. "Aisha... ckckck kamu ini kok iseng sekali sama kakak sendiri, kasihankan lari sejauh itu," yeah Mommy dengan wajah ibanya melap keringat Kak Biyan dengan sapu tangannya dan memandangku seolah musuh besarnya, aku bersikap acuh dan kembali menggandeng tangan Daddy yang selalu diam jika aku dan Mommy berdebat tentang kak Biyan. "Lapar Dad," rengekku, Kak Biyan memilih berdiri disamping Mommy sedangkan aku berdiri disamping Daddy, bukannya marah Kak Biyan malah menyunggingkan senyumnya, tapi kok aku jadi salah tingkah seperti ini dan aku nggak suka kak Biyan tersenyum seperti itu kepadaku, pokoknya kak Biyan nggak boleh tersenyum. Titik nggak pakai koma apalagi tanda tanya. **** Aku tersedak saat meminum jus jerukku saat Daddy memberitahu sebuah kabar yang mengejutkan, seharusnya aku bahagia mendengar kabar itu tapi anehnya aku merasa sedih mendengar kabar itu, kabar bahwa Daddy sudah menemukan kampus yang bagus untuk Kak Biyan melanjutkan kuliahnya. Kampus yang sangat jauh dari Indonesia, kampus yang dicari Daddy saat dirinya dan Mommy berbulan madu. "Biyan nurut apapun yang daddy putuskan untuk hidup Biyan," balas kak Biyan dengan pasrah, padahal aku tau cita-citanya menjadi pelukis bukan pebisnis, aku tau saat menemukan lukisan di gudang yang tergeletak begitu saja. "Bagus, jadi daddy akan atur keberangkatan kamu minggu depan," balas Daddy sambil meminum kopinya. "Terlalu cepat Mas, aku masih mau menghabiskan waktu bersama dia... 5 tahun itu waktu yang panjang dan aku pasti merindukan anak pertama kita," aku dengan malas-malasan memotong steak yang tadinya terlihat menarik tapi dalam sekejap seperti sandal jepit. Meski aku suka kesal tapi hampir 10 tahun ini kami tinggal serumah, jika kak Biyan pergi terus aku kehilangan orang yang bisa aku isengi dong, huwaaa pasti akan membosankan. "AKU NGGAK SETUJU!" kataku sambil mengangkat tangan. Mommy, Daddy serta kak Biyan langsung menatapku "Pokoknya Ai nggak setuju, Ai yang seharusnya kuliah diluar bukan kak Biyan, pokoknya sebelum Ai kuliah kak Biyan nggak boleh pergi!" kataku dengan alasan mengada-ada, Daddy meletakkan pisaunya dan menatapku. "Apa sih alasan kamu menolak rencana Daddy, bukannya seharusnya kamu bahagia akhirnya kakak kamu pergi dan orang yang selalu membuat kamu kesal akhirnya pergi jauh, tapi kenapa sekarang kamu menolak ide Daddy?" tanya Daddy, aku langsung gelagapan. Mana mungkin aku memberitahunya jika aku nggak mau Kak Biyan pergi sejauh itu bisa-bisa kak Biyan ge er dan beranggapan aku sudah menerimanya. "Ya nggak suka saja Daddy menyekolahkan Kak Biyan sejauh itu, kampus di sini banyak kok yang bagus, lebih baik dana pendidikannya untuk aku," balasku, Daddy menghempaskan sendoknya dan aku tau itu artinya Daddy sangat sangat sangat marah mendengar ucapanku yang terkesan iri serta dengki. "Ai... Daddy berulang kali memberitahu jika Daddy nggak suka kamu bersikap egois seperti ini, apa salahnya Daddy mengeluarkan uang untuk kak Biyan, dia anak Daddy juga sama seperti kamu," aku langsung menunduk karena takut emosi Daddy akan semakin tinggi jika aku menjawab ucapannya. "Dad, Aisha masih kecil... jadi jangan marah lagi, Biyan akan nurut sama Daddy," balas kak Biyan yang berusaha menghentikan amarah Daddy, dan mendengar jawaban kak Biyan yang selalu menuruti keinginan Daddy membuatku semakin kesal, dengan refflek aku menendang kakinya sebelum lari meninggalkan restoran meski Daddy beberapa kali memanggil namaku. Pokoknya aku nggak terima kak Biyan pergi sejauh itu! **** Sudah dua hari ini aku mendiamkan Daddy, ini caraku agar ia merubah keputusannya, aku tidak keluar dari kamar dan enggan untuk sekolah dan tetap Daddy beranggapan jika aku melakukan ini semua karena iri dan dengki. Tok tok tok Aku acuh dan tetap mendengarkan musik kesukaanku, pasti itu Mommy atau Ocean, Daddy? Beuh jika aku seperti ini Daddy tidak akan pernah mau berusaha membujukku, Daddy memang memanjakanku tapi kalo sudah marah, mungkin hanya Mommy yang bisa menjinakkannya. "Ai nggak mau makan!" teriakku saat kembali mendengar ketukan pintu. "Aisha, buka pintunya... kakak mau bicara," aku mematikan playlist yang berputar di ponselku dan langsung bergegas membuka pintu, aku melihat Kak Biyan membawa baki berisi makanan dan s**u putih. Sebenarnya aku lapar tapi gengsi dan usaha mogok makan membuatnya berusaha menahan rasa lapar. "Pokoknya Ai mogok makan sampai Daddy membatalkan niatnya untuk menyekolahkan kakak sejauh itu!" teriakku dan berniat menutup pintu kamar, tapi kaki Kak Biyan menahan pintu itu agar tidak tertutup. "Aisha... makan dulu, setelah itu kamu mau demo kek, mau marah-marah kek kakak nggak akan pernah larang," aku menggeleng dan berusaha menutup pintu tapi aku lupa tenagaku berkurang karena sudah dua hari tidak menerima asupan nasi. Dengan sekali hentak pintu itu terbuka lebar, kak Biyan masuk dan menutup pintu agar pembicaraan kami tidak didengar orang lain. Aku membelakanginya dan berharap ia segera keluar jika aku mengacuhkannya. Bukannya keluar Kak Biyan malah menarik tanganku hingga tubuh kami saling bersentuhan, dan dengan refflek aku berusaha mundur akibat merasakan sebuah sengatan seperti listrik saat tubuh kami bersentuhan, tapi kak Biyan menahan pinggangku dengan tangannya. "K...kak lepas," kataku gelagapan, Kak Biyan menggeleng dan masih memelukku. "Kamu suka ya sama kakak makanya menolak keras kepergian kakak," ujarnya penuh percaya diri, aku mendorongnya agar menjauh dariku. "GE ER! Aku... aku nggak suka kakak! aku..." bahkan aku bingung mengutarakan alasan menolak kepergiannya. Kak Biyan melepaskan pelukannya dan menuruhku duduk diranjang, lalu ia mengambil piring berisi nasi dan berniat menyuapiku. "Sini kakak suapi, 5 tahun waktu yang lama loh dan mungkin ini terakhir kalinya kakak menyuapi kamu," mendengar ucapan Kak Biyan semakin membuat hatiku sedih, dan lucunya aku membuka mulut dan menerima suapannya. Kak Biyan benar, bagaimana jika aku merindukan suapannya. Bagaimana kalo aku merindukan keisengan-keisengan yang aku lakukan padanya, bagaimana kalo aku rindu melihat senyumnya setiap aku melihatnya kesusahan. "HUWAAAAAAA KAK BIYAN JAHATTTTTT," rengekku dengan mulut penuh nasi, bahkan aku melihat beberapa butir nasi keluar dari mulutku dan berserakan di wajah kak Biyan. "Maafin kakak ya," Kak Biyan menghapus airmataku dengan tangannya dan aku kembali merasakan sengatan listrik, padahal bukan hari ini saja kami bersentuhan. "Kak..." "Hmmm mau lagi nasinya?" tanyanya sambil menyendokkan nasinya kearahku. "Kak..." "Apa sih Ai," Kak Biyan tersenyum lagi, lagi memegang dadaku yang bergetar tak karuan. "Kakak mau nggak jadi pacar Ai?" ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD