#02 - Nenek Aneh dan Buku Tuanya

1083 Words
Tiba-tiba saja nenek itu menunjukkan giginya yang sedikit ompong karena tersenyum—lebih tepatnya menyengir—jantung Beno semakin berpacu dengan cepat. Benar dugaanku, ternyata dia nenek gila, batin Beno. Cowok itu kemudian mengambil ancang-ancang dengan sepedanya. Beno bersiap jika nenek itu bergerak satu langkah saja, maka ia akan mengayuh sepedanya sekuat tenaga. "Tunggu!" ucap Nenek itu sayup-sayup—bahkan mungkin hampir tidak terdengar—disertai dengan hembusan kecil angin yang entah dari mana datangnya dan sangat dingin. Bukannya lari, tapi Beno malah diam. Ia seperti beku di tempat berdirinya. Beno tak mampu menggerakkan kakinya, seperti ada yang mengunci. Dengan perasaan takut-takut, Beno memberanikan diri menatap wajah nenek itu. Wajah nenek itu tampak memelas. Bagaimana bisa wajah yang tadi menyengir sekarang memelas? Apakah dia Benar-benar gila? Hingga bisa mengubah ekspresinya secepat itu. Ataukah dia seorang aktris yang sedang syuting film? pikir Beno. "A ... ada apa, Nek?" Beno terkejut. Apakah suara itu keluar dari mulutnya? Bagaimana bisa? Ia bahkan tidak memiliki keinginan untuk terlibat lebih jauh dengan nenek itu. "Nenek kelaparan, Cu. Sudah dua hari ini Nenek belum makan apa-apa. Bolehkah Nenek minta sedikit makanan darimu?" keluh nenek itu sambil mendekat ke arah Beno hingga hanya menyisakan jarak sekitar 1 meter. Setelah melihat dengan jarak sedekat itu, bukan rasa takut lagi yang hinggap di hati Beno. Rasa takut itu kini sudah digantikan dengan rasa kasihan dan iba. Beno merasa miris melihat keadaan Nenek Tua itu. Kaki kanan Nenek itu tampak  pincang dengan sedikit luka sobek di sana. Sepertinya Nenek itu habis terjatuh atau terjepit sesuatu. Kasihan sekali nenek ini. bahkan untuk makan saja tak bisa. “Bagaimana mungkin untuk mengobati lukanya? Makan saja ia tak bisa,” gumam Beno pelan. "Maaf, Nek. Ben tidak punya makanan," jawab Beno pelan dan berhati-hati. Tampak sedikit kekecewaan di wajah nenek itu. Beno tak tega melihat ekspresi Sang Nenek. Seketika ia teringat bahwa masih memiliki sisa uang sakunya. Beno lalu merogoh sakunya dan mengeluarkan selembar uang dua puluh ribu rupiah. "Tapi Ben masih punya sedikit sisa uang saku, Nek. Mungkin ini bisa membantu nenek membeli makanan dan obat untuk mengobati luka nenek itu." Beno menyodorkan uang tersebut pada Sang Nenek. Tampak binar kebahagiaan di wajah Sang Nenek. Dengan sedikit gemetar Sang Nenek menyambut uang yang diulurkan Beno tadi. "Terima kasih, Cu," ucap nenek itu dengan penuh syukur. Nenek itu kemudian menyodorkan sebuah benda berbentuk segi empat yang digenggam di tangan kirinya sedari tadi, "Ini kamu bawa saja buku tua nenek. Mungkin suatu saat nanti akan berguna untuk kamu. Anggap aja ini hadiah dari Nenek sebagai balasan uang kamu." Beno mengamati buku tua yang disodorkan Sang Nenek. Buku itu memang tampak sudah sangat tua, dengan sampul berwarna kecokelatan seperti kulit kayu yang menambah kesan tuanya. Ditambah dengan warna kertasnya yang kekuningan dimakan usia. "Ah, nggak, Nek. Ben ikhlas nolong Nenek. Buku ini nenek aja yang simpan." Beno menolak buku tua dari Nenek itu dengan sopan. Ia tak mau menerima buku tua yang tampak seperti harta satu-satunya bagi nenek itu. Tapi Sang Nenek terus memaksa, "Sudah, ambil saja. Anggap saja Nenek jual ini ke kamu dengan bayaran uang tadi. Nenek merasa suatu saat kamu akan membutuhkan buku tua ini." Nenek itu terus menyodorkan buku tua-nya pada Beno. Karena merasa tak enak jika terus menolak, Beno kemudian menyambut buku tua itu dari tangan Sang Nenek. Hitung-hitung buat pajangan di kamar, pikir Beno. Sang Nenek tersenyum melihat Beno mau mengambil buku tua pemberiannya. “Mungkin buku ini bisa menjadi penuntun sang penyelamat nantinya.” Nenek itu berucap samar, namun masih terdengar jelas di telinga Beno. Beno mengerutkan kening tak mengerti ucapan nenek itu. “Maksudnya, Nek?” “Tidak. Bukan apa-apa. Semoga kamu selamat sampai tujuan ya, Cu. Sampai jumpa lagi.” Nenek itu melambaikan tangannya kepada Beno. Beno sebenarnya masih ingin bertanya tentang ucapan aneh nenek itu tentang “Sang penyelamat” yang dikatakan nenek itu sebelumnya. Walau samar, namun Beno mendengarkan dengan jelas. Namun Beno mengurungkan niatnya mengingat ia harus belajar untuk simulasi UN besok. Setelah berpamitan, Beno kembali melanjutkan perjalanannya sambil berusaha melupakan pertanyaan yang membuatnya penasaran. *** "Ben, kamu ganti baju dulu ya! Mama masih siapkan makan malam," teriak mama Beno dari ruang makan. "Iya, Ma." Beno meletakkan tas di atas meja di dalam kamarnya. Sambil merebahkan tubuhnya di atas kasur, Beno memejamkan mata perlahan. Ia melepaskan penatnya setelah berkutat dengan soal simulasi UN yang cukup membuat otaknya panas. Sambil mengisi tenaga untuk belajar malam nanti. Tiba-tiba ia teringat buku tua pemberian Nenek berjubah hitam tadi. Entah kenapa rasa penasaran yang kuat hinggap begitu saja dihatinya. Ia merasa buku tua itu memiliki daya tarik tersendiri yang membuatnya penasaran dengan isinya. Beno mengambil buku tua itu dari dalam tasnya. Mengamati sampulnya yang terbilang seikit unik. “Buku ini pasti sangat langka di pasar, lihat saja sampulnya yang unik,” gumam Beno. Tiba-tiba seberkas sinar biru terang muncul dari salah satu halaman buku tua itu. Beno sedikit terkejut. Namun rasa penasaran di dalam dirinya semakin menguat. Dengan perlahan Beno membuka halaman yang memancarkan sinar biru itu. Hanya sebuah kata yang tampak di halaman itu. Beno mengerutkan keningnya heran. Ia lalu membaca perlahan kata yang tertulis di halaman itu. "Magpatuloy." Sunyi. Waktu bagai berhenti sejenak. Beno merasa seperti di ruang hampa. Cowok itu lalu mengerjapkan matanya. Memastikan hal aneh yang baru saja dirasakannya. Ia lalu mengedarkan pandangan ke seluruh isi kamarnya. Menelaah dengan saksama jika ada sesuatu yang berubah atau bergeser barang sedikitpun. Tak ada yang berbeda. Tak ada yang berubah. Semua masih tetap sama. Beno menatap buku ditangannya yang kini sudah tidak lagi memancarkan sinar biru terang. Sebuah suara ketukan lembut terdengar di pintunya. Disusul dengan suara mamanya yang memberitahukan bahwa waktu makan malam telah tiba. Beno bergegas menutup buku tua itu dan meletakkannya asal di atas meja. Cowok itu lalu meraih gagang pintu dan memutarnya, seperti yang biasa ia lakukan. Namun Beno merasa ada hal asing yang hidup di balik pintu kamarnya. Pintu terbuka. Sebuah sinar yang menyilaukan menerobos masuk dengan paksa ke mata Beno. Sesaat Beno tak dapat melihat apa-apa selain sinar putih menyilaukan itu. Tubuh Beno bagai melayang di ruang hampa. Ia kini seperti tak lagi memijak tanah. Entah beberapa detik waktu yang Beno lalui selama mengalami hal itu. Ia tak dapat berpikir untuk menghitungnya. Sampai akhirnya Beno merasakan kakinya memijak tanah kembali. Aroma pepohonan yang menyegarkan menyeruak hidungnya. Suara kicauan burung yang merdu menghampiri telinganya. Serta semilir angin menerpa wajahnya. Beno membuka mata perlahan sambil berusaha menyesuaikan sinar yang masuk. Namun detik berikutnya Beno tercekat. Bukan ruang keluarga rumahnya yang dilihat. Tetapi sebuah tempat yang asing. Sangat asing dan penuh dengan makhluk aneh yang sedang menatapnya tajam.  Makhluk-makhluk itu belum pernah dilihatnya di dunia selama ini. Beno merasa seperti berada di dunia dalam film fantasi. Apa ini mimpi? Gumam Beno. #####
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD