Sayap Patah

1991 Words
Denting elevator itu baru saja berbunyi menandakan pintu akan segera terbuka. Seorang gadis cantik berkaki jenjang setengah berlari dengan terburai air mata membuat sekumpulan pria yang ada di dekat elevator reflek menoleh ke arahnya. Tingkah gadis yang terlihat linglung membuat beberapa OB saling bertukar tatap satu sama lainnya dan mengangkat bahu. Mereka sepakat mendekati gadis yang tampak bingung itu. Baru sekitar satu jam mereka tinggalkan gadis ramah dan ceria itu dalam keadaan baik di penthaouse eksklusif, kini mereka harus menyaksikan dia dalam keadaan terguncang dan hancur. Seseorang memberanikan diri menyapanya. “ Maaf Mbak, ada yang bisa kami bantu?” Sayda menoleh, dia mengenali mereka sebagai petugas Ob yang tadi membantunya. “ Tolong carikan saya taxi untuk pulang.” “Baik. Mbaknya duduk saja dulu di sana, kami akan mencarikan taxi untuk mbak.”  Sayda mengangguk dan mengikuti mereka menuju sofa putih melingkar yang ada di bagian tengah lobby. Seorang pria datang kembali padanya dengan sekotak tissue. “ Mungkin Mbak butuh ini,” ucapnya sambil menjulurkan kotak tissue itu padanya. “ Makasih ya Mas.” “ Sama-sama Mbak. Kalau ada yang diperlukan lagi, kami akan membantu.” “ Ini sudah cukup Mas, “ ucap Sayda menunduk dengan suara pelan dan bergetar. Petugas OB itu mengangguk lalu bergerak menjauh. Tatapan mereka terlihat prihatin dengan keadaan Sayda. Sayda menjatuhkan kepalanya pada bantal kursi yang didekapnya dan menangis tersedu-sedu. Seorang wanita cantik berjalan anggun lalu berhenti di depan sofa tempat Sayda menangis. “ Dida....Sayda? Kamu Sayda bukan? Sayda?” Dia mulai menepuk dan mengguncang punggung gadis itu. Sayda menengadahkan kepalanya. Pandangan yang buram karena air mata mennagkap sosok yang sangat dikenalnya itu. “ Bu Florina?” Wanita yang di panggil Florina itu membuka kaca mata hitam yang dikenakannya dan disangkutkan ke atas rambutnya. Dia terperangah. “ Sayda, kamu mengangis?” Sayda mengelap air mata yang tersisa di wajahnya dengan kedua tangan secara cepat.  Florina sangat prihatin melihat kondisi stafnya. Sayda yang periang dan selalu tampil ceria dan optimis seolah kata sedih tak pernah hinggap di hatinya. Sayda yang cerdas dengan ide-idenya yang segar dan cemerlang bukanlah wanita yang lembek. Dia adalah tipe wanita yang kuat, sangat ulet dan seorang pekerja keras. Menemui Sayda dalam kondisi berantakan dan terpuruk seperti ini jelas-jelas di luar dugaannya.  Tiga tahun lebih Florina bekerja di atap yang sama bersama Sayda, mereka pernah melewati situasi yang genting dan darurat, namun dia belum pernah menemui Sayda dalam keadaan menyedihkan seperti ini. Florina menunduk dan mengambil kedua yangan Sayda dalam genggamannya lalu menyentaknya untuk berdiri. Sayda mengikuti instruksinya, tapi baru beberapa detik saja dia berdiri, Florina sudah menarik tangannya dengan kuat untuk berjalan hingga membuat gadis itu limbung. “ Ayo ikut saya, kita pergi dari sini.” Bagai kerbau yang dicocok hidungnya Sayda mengikuti Florina.  Salah satu tangan Sayda masih kuat dicengkram Florina. Mereka menuju ke tempat parkir dimana mobil Florina berada. “ Masuk! “ perintah Florina sembari membuka pintu. Dengan patuh Sayda mengikutinya. “ Kamu mau saya antar pulang atau....” Florina mencoba menawarkan sesuatu. “ Bawa saya kemana saja asal bukan kembali ke apartemen saya,” jawab Sayda cepat sambil menyeka air mata. Bahunya masih berguncang, isaknya masih terdengar pelan, menyakitkan. “ Baik, saya turuti keinginan kamu, dengan satu syarat..... kamu harus jujur menceritakan apa yang telah terjadi.” Sayda mengangguk dan berkata lirih “ Ya”.  Florina mengambil beberapa tissue lalu dijulurkan tangannya ke depan Sayda. “ Kamu jelek sekali kalau menangis,” ucap Florina sambil melirik ke perempuan yang masih terisak di sebelahnya.. Sayda menoleh memandang atasannya di kantor yang kini duduk di sebelahnya mengemudi lalu mencibir ke arahnya.  Florina memang bukan pribadi yang ramah dan sangat tegas dan keras, tapi juga bukan perempuan jahat. Sayda sudah tak peduli lagi dengan menjaga image atau performa diri yang baik, dia hanya tidak mampu menahan luapan rasa kecewa dan sedihnya. “ Mama Pulaaang... Mama pulang... Maa...maa....” Florina baru saja membuka pintu dan masuk beberapa langkah, langsung disergap oleh anak kecil berusia lima tahun yang berlari dan memeluk dirinya. Florina tertawa lalu menunduk dan balik memeluk gadis kecil itu dengan erat. Sayda terperangah, tubuhnya seolah membatu melihat interaksi diantara ekduanya. Bu Florina sudah punya anak? Benar-benar kejutan tak terduga. Jadi selama ini dia menyembunyikan anak ini? Ya Tuhan...ini bakal jadi gosip hangat di kantor kalau teman-temannya satu lantai mengetahui. Bisik Sayda dalam hati. “ Mama, siapa dia?” tanya gadis kecil itu mengarahkan dagunya pada Sayda. Florina tersenyum dan menoleh ke arah Sayda. “ Dia teman mama sayang. Sayda kenalkan ini putriku Titania, panggilannya adalah Titan.“ Sayda menunduk menatap mata gadis kecil itu lalu menjulurkan tangannya. “  Hallo Titan, kenalkan saya teman Mamamu. Nama saya Sayda atau kamu bisa panggil Tante Dida “ Gadis kecil itu tersenyum, pipinya yang putih merona merah dna matanya yang biru kehijauan berbinar indah dan lucu. Benar-benar menggemaskan. “ Tante teman Mama sekolah?” Tanyanya dengan minik yang lucu. “ Bukan sayang, Tante Dida teman kantor mama kamu.” “ Apa di kantor tidak ada anak kecil di sana Tante? Aku kepingin ikut bersama Mama tapi tidak pernah boleh. Mama selalu pulang malam, jadi nggak bisa main deh.” Ucapnya manja seolah mengadu padaku. “ Sayang, di kantor itu tidak anak kecil. Semua orang dewasa yang bekerja.” Florina berusaha menjelaskan pada putrinya. “ Ma, kata bu guru di sekolah harus membantu orang tua di rumah. Bolehkah Titan membantu Mama bekerja di kantor. Titan pinter kok Ma, nggak nakal juga.” Gadis kecil itu mulai merayu membuat Sayda tertawa. Florina menatap ke arahnya dengan tersenyum. Rupanya Titan berhasil menghalau kesedihan yang tadi mendera Sayda. “ Dida, sebaiknya kamu membersihkan diri dulu lalu kita lanjut makan malam. Bi Nunik akan menunjukkan kamar tamu. Aku bisa meminjamkan bajuku untuk sementara waktu kamu di sini.” Sayda mengangguk dan mengikuti Nunik, asisten rumah tangga Florina. “ Silahkan Non, ini kamarnya. Di sana kamar mandinya. “ Nunik berjalan serta mebuka pintu kamar mandi. Sayda mengintip sekilas. Sayda menangguk dan tersenyum. “ Nanti Bibik ke sini lagi bawakan pakaian buat Non Dida.” “ Terima kasih Bik.” “ Sama-sama Non.”    Florina baru keluar dari kamarnya dan mendapati Sayda tengah asyik bercengkrama dengan Titan putrinya. Sayda dengan sabar meladeni cerita Titan, sesekali menggodanya dan membuatnya tertawa meskipun sinar di matanya masih redup. “ Kita makan dulu yuk.” Sayda dan Titan beranjak menyusul Florina yang kemudian duduk di meja bundar yang besar di ruang tengah. Mereka terlibat perbincangan hangat, sesekali tertawa ketika Titan yang cadel tergelincir lidahnya menyebutkan kata atau kalimat yang lucu. Sayda mendapati bahwa Florina bukanlah pribadi yang dingin. Ketika berada di rumah, dia adalah seorang ibu yang hangat, perhatian dan penuh kasih sayang. Sayda betanya dalam hati apa gerangan yang membuat Florina seolah membuat dinding tinggi ketika berurusan dengan pekerjaan di luar rumah sehingga teman-temannya terkadang menjulukinya monster atau nenek sihir. Melihat perlakuan Florina pada dirinya sore tadi dan interaksi mereka di apartemen pribadinya membuat Sayda dihinggapi rasa malu sudah berprasangka jelek dan menuduh yang tidak-tidak pada atasannya.   Sayda masih berada berdiri di pinggir balkon yang menghadap ke jalan protokol utama bagian selatan ibukota Moonlight. Udara dingin di lantai sebelas ini cukup menusuk tulang. Dirapatkannya cardigan hijau lumut itu dan kedua lengan yang saling merangkul untuk mengusir hawa dingin. Sayda membiarkan rambutnya berkibar terkena usilnya terpaan angin. “ Sebaiknya kamu di sini dulu bersama kami untuk menenangkan diri. Atau kamu punya rencana ke tempat lain? “ “ Apa itu tidak merepotkan Bu Florin?” “ Tidak sama sekali, Dida. Aku lihat kamu cukup akrab dengan Titan dan dia bisa buat kamu tersenyum dan tertawa.  Jadi saya berpikir kalau keberadaan Titan dapat membantu memperbaiki mood kamu.”  “ Bagaimana bisa saya menghindar dari pesona Titan yang lucu dan menggemaskan. Anda beruntung memiliki putri secantik dan secerdas dia. Semua orang akan jatuh hati begitu melihat dan berinteraksi dengannya.” “ Titan tadi banyak bercerita dan bertanya tentang kamu. Baru beberapa jam saja kalian bertemu, ceritanya sudah banyak saja. Seperti sudah kenal bertahun-tahun.” Florina memalingkan kepalanya pada Sayda. “ Kamu masih berhutang cerita pada saya, Da. Bisa kita mulai sekarang?” Tanya Florina. Sayda menoleh ke Florina, sejenak mereka saling bertukar tatap. Sayda lalu mengangguk. “ Kamu nggak usah sungkan, Dida. Rasanya saya masih tidak percaya tadi sore melihat kamu menangis dan linglung seperti itu. Staf andalan saya yang terbaik dan cemerlang begitu terpuruk, rasanya seperti mimpi.  Sayda cukup di sini kamu nangis. Nanti begitu kamu keluar dari sini, saya ingin kamu tegar. Buktikan pada mereka Sayda tidak akan tumbang karena masalah ini. Biarkan mereka tahu kalau kamu wanita yang kuat.  Sayda mengangguk dan Florin memeluknya lagi. “ Saya memberi kamu libur tiga hari untuk menenangkan diri. Karena setelahnya adalah hari sabtu dan minggu, maka kamu bisa masuk senin minggu depan,” ucap Florina santai begitu pelukan mereka terlepas.  Sayda menganga tidak percaya kalimat itu dilontarkan dari bibir Florina. Ditatapnya dalam bola mata Florina mencari kebohongan, namun tak ditemuinya di sana. “ Kamu bisa mengandalkan saya. Saya ada di pihakmu dan mendukungmu selalu. Saya akan menghubungi Ramdan agar bisa mengambil barang-barang yang kamu butuhkan di apartemen kamu besuk pagi. Buatkan saja daftar dan tempat menaruh barang yang mau kamu ambil itu untuk memudahkan kerja Ramdan, lalu taruh di atas meja makan.”  “ Baik Bu.”   ***** " Ada apa ini?" Tanya Pasya Latief  melihat keramaian yang menyambutnya ketika pintu elevator terbuka. " Barry, kamu kenapa Nak? Pakaianmu kenapa seperti ini?" Tanya Nisrina Latief panik mendapati putra bungsunya terduduk dengan air mata masih tersisa di wajahnya.  " Radi, kamu apakan adekmu?" Suara keras Pasya Latief terdengar menggelegar.  " Aku juga baru sampai Pa. Sebaiknya Papa tanya langsung pada Barry." Pasya mengamati sekelilingnya " Kalau begitu ayo kita masuk dulu," Ucapnya kemudian. Barry merasakan pening di kepalanya. Radi membantu adiknya berdiri dan memapahnya berjalan. Ruangan yang sudah dipenuhi dengan bunga  dan balon-balon yang dihias cantik dan ucapan selamat ulang tahun sudah terpasang dengan rapi dan indah. Mereka terpana melihatnya. Beberapa petugas catering tampak hilir mudik menyiapkan masakan langsung menoleh begitu rombongan tiba. Mona yang tengah berdiri gusar di pinggir tangga seketika berlari dan memeluk Radium Latief. " Selamat ulang tahun sayang, semoga sehat dan tambah sukses." Mona mencium pipi radi kanan dan kiri. Radi menangkup kedua pipi tunangannya. " Ada apa Mona?" Dia melihat wanita itu tersenyum getir, ada duka di matanya. Masih terlihat jejak air mata di sana." Kita bicara di atas saja dulu Bang, Pa, Ma." Mona memberi kode lewat lirilan matanya jika pembicaraan mereka butuh privasi dan tidak bisa dilakukan di lantai satu  karena banyak orang  di sana.  " APA? Kalian berani bersenggama di dalam kamarku?" teriak Radi. begitu Pruistin menceritakan apa yang baru saja terjadi. " ANAK KURANG AJAR. BIKIN MALU KELUARGA." Maki Pasya Latief pada anak bungsunya disertai tamparan berkali-kali. Semua yang ada di situ bergidik. Mona sudah kembali menangis. " Sudah Pa, sudah.... " Nisrina menangis memegang lengan suaminya yang hendak melayangkan tinju pada anaknya.  "  Ya Tuhan Barry, kenapa bisa gelap mata begitu Nak?" " Aku nggak tahu Ma, kepalaku awalnya pusing... lalu semua terjadi begitu saja, nggak sadar." " Apanya yang nggak sadar kalau kamu juga menikmatinya. Pruistin, Mona coba ceritakan apakah saat kalian memergoki mereka Barry dalam keadaan sadar atau pingsan?" kedua gadis itu langsung bertukar tatap. " Ayo cepat jawab!" Perintah Radium/ " SADAR," jawab Pruistin tegas. Tatapan marah dilontarkannya pada Barry, meskipun dia adalah sepupu kesayangannya. " Kamu mau menjebak anakku?" Tunjuk Nisrina pada perempuan yang sejak tadi menangis dengan wajah tertunduk dan tubuh gemetar. Wanita itu mengangkat wajahnya ketika Nisrina mendekatinya. " Aku heran ternyata di balik kecantikan dan keanggunanmu, kamu wanita berhati iblis. Ular berwajah malaikat. Pendidikan tinggi tidak menjamin akhlak dan tingkah lakumu. Kamu itu dokter Ardilla, kenapa bersikap seperti jalang?" Ucap Nisrina menuding dengan telunjuknya di depan mata Ardila dengan nada tinggi dan mata melotot. Bibir Ardila bergetar tanpa bisa mengeluarkan sepatah katgapun. Kepalanya hanya menggeleng. " Sampai kapanpun aku tidak akan pernah mengijinkan dan merestui hubunganmu dengan Barry." Tangis Ardila pecah. " Dida...Dida...kemana Sayda?" Tanya Nisrina panik seakan baru menyadari sesuatu. " Sayda langsung lari dan menangis begitu melihat kak Barry dan Ardila..... " " Ya Tuhan Dida...." Tangis Nisrina meledak. " Kamu akan mendapat penyesalan yang amat menyakitkan seumur hidupmu karena telah melepaskan Sayda, Barry." Ucap Nisrina penuh emosi.  Seseorang memasuki kamar Barium. " Maaf Tuan, Nyonya, para tamu banyak yang sudah hadir." " Pa, Ma, Sebaiknya kita tunda dulu pembahasan ini. Aku turun dulu  menemui tamu. " " Kamu duluan Di, sebentar lagi Papa menemani." " Mama nggak mau turun, Pa." " Ya sudah Mama di sini bersama Pru. Biar Mona menemani Radi di bawah." Radi memandang Mona penuh cinta. " Aku minta waktu membereskan riasan dulu ya Bang." " Oke, aku tunggu kamu di bawah." Ucap Radi dan mengecup puncak kepala Mona. *******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD