Mona's Surprise Party

2412 Words
Gadis semampai dengan kaki jenjang melangkah melewati koridor yang menghubungkan dua gedung bertingkat. Dilihatnya arloji yang melingkar manis di lengannya lalu meningkatkan kecepatan langkahnya. Nada dering gawainya mulai ramai terdengar, sebelah tangannya merogoh ke dalam tas dan mengklik tombol berbicara. " Hallo Mon, ada apa?" " Aku dah di loby Grace nih. Cepetan dikit napa sih? Bentar lagi Radi nyampe apartemennya lho. Kita harus sampai duluan di sana." " Iya..iya.. ini juga aku lagi jalan, lima menit lagi nyampe kok." " Eh, masih banyak yang mau kita kerjain loh, Sayda." " Iya..iya.. ngerti. Ini aku baru nyampe loby, Mon. Tuh aku dah kelihatan kamu pakai baju hijau pupus celana coklat tua kan?" Sayda tertawa melihat gadis itu berbalik ke belakang dan membalas lambaian tangannya. " Aduuuhh...lama banget sih Jeng. Aku kira kamu udah ready di lobby ini tadi. Jadi panik deh." " Nggak usah risau lah, aku pasti bantuin kamu kok. Susah banget melepaskan diri dari cengkeraman kanjeng ratu Florina. " " Diapain kamu sama dia tadi?" " Nggak diapa-apain kok. Aku cuma disuruh ikut meeting sama klien aja. Selesai itu pas udah ambil ancang-ancang kabur, eh dia pakai datang ke meja lalu taruh berkas suruh benerin. Jadinya lama deh. Maaf ya. " " Ya udah lah. Eh, Pru kemana?" "Pru udah meluncur ambil kue tartnya. " " Da, kamu aja yang nyetir mobilku ya?" " Okey," jawab Sayda singkat sembari menangkap kunci mobil dengan sigap dan terkekeh. " Kamu udah makan siang Da?" " Belum lah, itu kanjeng ratu ngasih kerjaan nggak kira-kira. Mau ditinggal ingat janji sama kamu. Makanya aku selesaikan semua dulu biar bisa pulang cepat dan dia nggak protes." " Nggak usah khawatir, Mama Ratih udah pesan makanan banyak kok malam ini. Dia juga kangen sama kamu Da. " Sayda menoleh sambari melangkah cepat disamping Mona Switenia sahabatnya mulai kecil. "Iya, aku udah lama banget nggak ketemu Mama Nisrina. Nggak sabar kepengen ketemu. Semoga dia bawain soto babatnya. Hem... kenapa jadi laper ya diriku." " Eh emang iya sih, soto babatnya Mama Nisrina emang juara." " Eh Mon, Radi pulang jam berapa sih?" " Pesawatnya landing jam 19.00 sih. Perjalanan dari airport ke apartemen satu jam setengah, ya anggaplah dua jam sama macetnya. Ini kan pas rush hour " " Ya ampun Mona.... masih tiga setengah jam lagi Non, santai aja." " Eh jangan bilang begitu ya. Telat dikit lagi dari sekarang berangkatnya, kita udah pasti kejebak macetnya orang pulang kantor. Lagian nih balon-balon sebanyak ini masih belum ditiup." Mona mengangkat paperbag besar berisi balon.  " Tenang aja, ini aku bawa pompanya dua udah ada sama aku." Sayda terkekeh pelan. Dinyalakan audio mobil dan dia mulai bernyanyi pelan. Mobilnya berjalan dengan kecepatan sedang membelah jalanan ibukota Argatan. Sesekali dia melirik ke samping memperhatikan tingkah Mona yang tidak seceria biasanya. " Kamu kenapa sih Mon, mau ketemu tunangan kok kayak gelisah? Kamu yang mau kasih surprise, tapi sekarang seolah-olah kamu yang dapat kejutan." " Ehm... aku nggak tahu kenapa ya perasaanku kok nggak enak deh. " " Banyak berdoa aja Mon. Positive thinking dan positive feeling aja. " Iya kali ya." " Orang mau nikah itu biasa sih banyak kegalauannya. Antara Mau tapi takut. Kadang-kadang berani tapi sesaat ragu. Bener nggak?" " Kamu kayak pernah nikah aja tahu segalanya." " Aku memang belum nikah Mon, tapi sering baca dan dengar pengalaman orang." Mereka masih berbincang dan tertawa selama perjalanan. Mona dan Sayda sudah bersahabat mulai masuk SD hingga duduk di bangku SMA. Kuliah di negara yang berbeda membuat mereka berjauhan meski sesekali Mona satang ke kota tempat Sayda melanjutkan studinya. Mona bertunangan dengan Radium Latief berkat usaha perjodohan yang dilakukan Pruistin dan Sayda. Dalam hitungan beberapa bulan ke depan mereka akan menikah. Hari ini Radium Latief berulang tahun dan Mona beserta keluarganya berencana mengadakan surprise party kepada Radi. Berbeda dengan Mona, hubungan Sayda dan Barrium Latief adik kandung Radium jauh lebih lama. Sayda dan Barry bolak balik menjalani long distance relationship karena pendidikan yang mereka tekuni tidak satu negara. Namun kini di saat keduanya sudah satu kota, malah kuantitas dan kualitas hubungan makin menurun. Keduanya sama-sama sibuk mengejar karier, hingga suatu ketika Barry harus menemukan fakta kalau Sayda dikejar beberapa lelaki dan membuatnya sangat cemburu. Barry meminta orangtuanya untuk segera melamar Sayda dan segera menikah. Kedua orang tua Barry, Nisrina dan Pasya Latief sangat mendukung putranya berjodoh dengan Sayda karena mereka pun telah terpesona dengan kepribadian Sayda yang santun, sederhana namun cemerlang. Karier Sayda yang baru dirintis dan mulai menanjak dan usia yang relatif muda membuat Sayda bernegosiasi menunda waktu pernikahan. Barry menerima keputusan itu walau kecewa. Mobil yang Mona dan Sayda tumpangi telah terparkir rapi di bagian depan lobby. Mereka berjalan beriringan hingga masuk ka bagian tengah loby. Seorang gadis dengan pakaian kerja abu-abu dan rok selutut menghadang langkah mereka. " Kalian dari mana sih? Hari gini baru sampai sini." " Jangan tanya aku, tanya nih sama tuan puteri di sebelah." Mona memberi kode dengan ibu jarinya ke arah Sayda. " Maaf, tadi aku ditahan sama kanjeng ratu Florin. Tahu sendiri kan dia gimana." " Makanya tadi aku ajak kamu kabur sebelum jam makan siang, kamu masih asyik dengan laptop." " Ya kan masih nanggung tinggal sedikit Pru. Aku dah ambil ancang-ancang keluar malah dicegat sama kanjeng ratu. Diajak meeting sama klien. Aku kira mereka makan siang, ternyata sampai sana mereka sudah selesai makan dan Florina langsung ngomong to the point. Jadinya aku gigit jari deh." " Kaciiaannn deh kamu," ledek Mona dengan muka memelas kepada Sayda. Sayda hanya membalasnya dengan senyum kecut. " Kue taart-nya udah dapat kan Pru?" Tanya Sayda. " Udah dong, tuh di atas meja." Pru menunjuk dengan dagunya ke arah meja. " Trus kenapa kamu nggak langsung naik ke tempat Radi aja Pru?" " Karena diriku nggak pegang access card jadi nggak bisa sampai sana Non..." Ucap Pruistin sebal. " He..he..he..iya access card-nya ada di aku sayang, " ucap Mona terkekeh. " Ya udah deh, kalian naik aja duluan nanti aku nyusul. " " Kami mau ngapain?" Pru bertanya pada Sayda. " Aku mau minta tolong mas-mas OB di sana buat niup balon biar cepet selesai. ” Mana pompa dan balonnya?" Pru dan Mona menjulurkan paperbag berisi balon dan pompanya. "Nah kan ada empat pompanya, Masnya di sana juga empat orang jadi cepatlah selesai pekerjaanku." Sayda terkekeh pelan lalu melenggang dengan ceria setelah mengambil dua paperbag dari tangan dua sahabatnya. " Pinter si Dida cari peluang." Pruistin tersenyum melihat tingkahnya. " Da, abis itu tugas kamu buat menata balon-balon di ruangan lho yah." Ucap Mona setengah berteriak. " Oke" jawab Sayda sambil membentuk huruf O dengan ibu jari dan telunjuknya. Pruistin dan Mona masih bisa melihat Sayda mengobrol sambil memperhatikan anak-anak OB meniup balon sebelum mereka memasuki elevator dan tersenyum melihat sahabatnya yang selalu ceria dan enerjik. Pruistin Latief adalah anak semata wayang Dharmawan Latief, adik kandung dari Pasya Latief, ayah kandung dari Radium dan Barrium. Pru adalah kakak tingkat Sayda di kampus. Mereka satu jurusan dan sudah akrab sejak SMA. Selisih usia mereka tiga tahun, namun karena Sayda cukup cemerlang mampu mengejar dengan kelas akselerasi saat SMP dan SMA. Jauh dari tanah air dan menuntut ilmu di negara orang membuat keduanya semakin dekat. Sejak lama Pruistin tahu kalau kakak sepupunya Barrium jatuh hati pada Sayda. Pruistin banyak membantu Barry agar bisa jadi pacar Sayda, sekaligus sebagai mata-mata Barry ketika dirinya jauh dari Sayda. Kelebihan dari Sayda adalah sikap empati dan kepemimpinannya. Dia mampu mengarahkan dan memotivasi orang hingga mampu bertindak sesuai tujuannya. Ide pemikirannya yang segar dan cemerlang seakan out of the box membuatnya sangat produktif dan inovatif. Tak berapa lama berselang Sayda sudah tampak kesulitan membawa balon-balon itu masuk elevator sehingga dua orang OB tadi tidak tega dan membantunya. " Ya ampun...tahu bawanya akan serepot ini lebih baik ditiup di sini saja ya Mas, " celoteh Sayda ketika kerepotan mengeluarkan balon-balon itu dari dalam elevator. " Sudah terlanjur Mbak." " Jadi ngerepotin Mas-Mas ini saja ya." " Nggak apa-apa Mbak, kami senang menolong kok," jawab salah satu OB itu. Sayda melihat pintu apartemen Radium setengah terbuka, sehingga dengan mudah Sayda masuk ke dalamnya. Setelah mengucapkan salam Sayda heran dengan kondisi ruangan yang sepi. Kemana Pru dan Mona ya? Apakah mereka sedang di dapur atau di atas?  " Ditaruh dimana balon-balon ini Mbak?" " Ooh...taruh di situ aja Mas. Maaf ya saya sudah merepotkan. " " Apa ada lagi yang bisa kami bantu?" " Kayaknya nggak ada deh. Yang ini saya bisa handle sendiri. Oh ya, ini ada sekedar buat makan bakso sama teman-temannya yang di bawah tadi. Tolong diterima yah." Sayda menyelipkan tiga lembar uang kertas pecahan seratus ribu ke tangan salah satu pria itu. " Lho... nggak perlu begitu Mbak. Kami ikhlas kok." " Eh, rejeki nggak boleh ditolak lho. Pamali kata nenek saya bilang." Sayda tertawa ringan. " Ya sudah terima kasih ya Mbak. Kami pamit dulu. " Sayda mengangguk memperhatikan kedua pria itu menghilang di balik pintu. Dia melirik arloji di pergelangan tangannya. Masih banyak waktu, namun dia memilih menyelesaikan dekorasi dengan balon-balon ini dulu. Dengan cekatan dan terampil, Sayda menyelesaikan dekor ini dengan indah. Dia memasang pita dan bunga-bunga kering sebagai pemanis ruangan. Setelah ruang depan dan tengah rapih, baru gadis itu berjalan ke belakang mencari dua sahabatnya yang besar kemungkinannya berada di dapur. Sayda memanggil nama kedua sahabatnya namun harus kecewa dengan ruang kosong yang ditemuinya. Keningnya berkerut, memikirkan kemungkinan terbesar keberadaan Pru dan Mona. Ini bukan kali pertama Sayda berada di apartemen Radi. Beberapa acara sering diadakan di tempat ini, dan dia selalu dapat undangan. Tak ada pilihan lain, Sayda menaiki tangga memutar menuju lantai atas. Dipanggilnya kembali nama Pru dan Mona namun tak satupun yang berbalas. Sayda menelusuri lorong yang ad di depannya sampai akhirnya dia mendengar dengungan orang berbisik dan lambat laun didengarnya isakan seseorang yang menangis. " Pru .... Mona? Lho kenapa menangis, ada apa?" Sayda menghampiri mereka. Pru menaruh telunjuk di bibirnya tanda Sayda harus menghentikan omongannya. Sementara Mona sudah menubruknya dan terisak dalam dekapannya. " Ada apa?" Bisik Sayda pelan kepada Pru. Pru menunjuk kamar dengan celah kecil yang terbuka. Sayda memicingkan matanya mecoba mempertajam indra penglihatannya. Namun telinganya menangkap dengan jelas suara-suara orang melenguh, mengerang dan desahan yang saling bersahutan. Sayda tersentak.  Itu kamar Radi, lalu siapa orang yang sedang bersenggama itu? Bukankah Radi masih dalam perjalanan? Lalu siapa yang di dalam kamar?  Apakah Radi telah pulang dan membohongi Mona?  " Benar kan Da, perasaanku tidak enak mulai tadi. Ternyata ini jawabannya," ucap Mona disela Isak tangisnya. " Ssh...jangan nangis dulu Mon. Kita kan nggak tahu siapa yang di dalam." " Tapi itu kan kamarnya Bang Radi Da, siapa lagi kalau bukan dia?" " Kita masih belum bisa melihat jelas Mon. Jangka berprasangka buruk dulu." Sayda mencoba membujuk Mona.  " Ayo kita ke sana Da, aku yang nyalakan camera video jadi kita punya bukti." Saran Pruistin tegas. Badan Mona bergetar. " Kamu di sini aja kalau nggak sanggup lihat, " perintah Pruistin pada Mona yang diam. Sayda dan Pruistin menyiagakan camera videonya, mereka berjalan perlahan menuju pintu kamar. Mona mengikuti dari belakang. Seketika pintu terbuka lebar dengan suara yang keras dan lampu menyala dengan benderang. " APA YANG SEDANG KALIAN LAKUKAN DISINI?" Teriak Pruistin. Kondisi di dalam kamar sungguh menyedihkan. Seorang lelaki terlentang tanpa busana memainkan puncak d**a perempuan yang juga dalam polos tanpa sehelai benangpun mereka bergerak seirama dengan mulut yhang terus mendesah. Pasangan itu tidak menggubrisnya hingga Pruistin harus mengulanginya dengan teriakan lebih keras lagi. Perempuan yang duduk di atas paha pria yang telanjang itu segera menoleh dan membuat mereka tercengang. " Ka...Ka...Kak... Barry? Apa yang kamu lakukan?" Mendengar namanya disebut, lelaki itu menoleh. Seperti tersadar dan mendorong perempuan yang ada di atas tubuhnya hingga jatuh ke ranjang. Lelaki itu memicingkan matanya dia meremas rambut di kepalanya dengan kuat. " Sa...Sayda...kamu Sayda?" Ucap lelaki itu dengan terbata. Tubuh Sayda menggigil menahan rasa sakit dan kecewa. Darahnya seolah menggelegak mendidih menandakan amarahnya yang memuncak. " Jadi ini yang kamu lakukan jika tidak bersamaku? Teganya kamu  Kak.” Teriak Sayda penuh amarah. “ Sungguh kejam kamu Kak. Jadi seperti ini wajah aslimu kak Barry? " Lelaki itu dengan cepat berdiri dan memunguti pakaiannya di lantai dan seolah tak malu memakai pakaian dalam di depan Sayda. " Sayda, ini tidak seperti yang kamu lihat...." " Yang aku lihat sudah sangat jelas Kak. Aku sudah tidak bisa berharap apa-apa lagi padamu. Hubungan kita sudah selesai sampai di sini." Sayda segera membalikkan badan dan berlari keluar dari dalam kamar. " Sayda....Sayda....tunggu aku, jangan pergi dulu !" Barry berusaha mengejar Sayda dengan boxer yang melekat di tubuhnya dan  kemeja  yang  belum  terkancing. Sayda yang sedang menangis bertatapan dengan orang tua Barry yang baru sampai tangga paling atas yang heran dengan tingkah calon menantunya. " Sayda, ada apa? " Tanya Nisrina. Sayda menggeleng dan terus menangis, hanya kata Maaf berulangkali yang terlontar dari bibirnya dengan deraian air mata yang mengalir deras. Teriakan Barry yang mengejarnya membuat Gadis itu kembali berlari menuruni tangga dengan cepat, menyambar  tasnya yang diletakkan di ruang depan dan  menutup pintu keluar lalu berlari ke arah elevator. Sepintas keduanya seperti adegan film kartun Tom  and  Jerry yang saling berkejaran. Tangan Pasya Latief menahan langkah putranya. " Kamu apakan Sayda hingga menangis seperti itu? " " Kenapa pakaianmu seperti ini Bar?" Tanya Nisrina. "Nanti saja Pa, Ma, Barry jelaskan." Ucap Barry sambil menuruni tangga mengejar Sayda. Sayda sudah sampai di depan elevator dan sibuk menekan beberapa tombol di sana. Ketika langkah Barry semakin mendekat, pintu elevator terbuka, gadis itu melesat masuk dan bertubrukan dengan Radium dan pengawalnya. Radi yang awalnya tersenyum melihat gadis itu berubah heran. " Tahan dia Di, jangan dilepaskan," Perintah Barry. Radi dan kedua pengawalnya saling bertukar tatap. Pintu elevator tertahan beberapa saat. " Kenapa kamu menangis Da? Ada apa?" Tanya Radi. " Sayda, kita harus bicara. Tolong sekali ini saja." Ucap Barry  terengah-engah.   " Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Hubungan kita sudah selesai." Sayda membalas dengan nada sengit meskipun wajahnya masih basah karena air  mata. Radi dan dua pengawalnya berada di antara Sayda yang ada di di dalam elevator dan Radi di luar elevvator. " Jangan memutuskan sepihak, aku tidak terima. Aku mencintaimu Sayda, aku sayang kamu sejak dulu. Please...jangan seperti ini." " Kalau kamu mencintaiku mengapa kamu tidur dengan perempuan lain di depan mataku Kak? Hubungan kita sudah tidak punya masa depan lagi. " Sayda menangis keras, tampak benar hatinya terluka. Dia mendorong Radi keluar. " Biarkan aku pergi, " jeritnya yang memilukan membuat tiga orang itu keluar dan membiarkan pintu elevator tertutup membawa Sayda pergi. Mereka menghalangi Barry yang hendak melompat masuk ke dalam elevator. Barry berteriak memanggil Sayda. Dia memukul pintu elevator yang tertutup berulang kali lalu jatuh terduduk di lantai dan menangis tersedu. Radi memandang adiknya dengan prihatin. Ditepuk bahu adiknya, dia sudah dapat menangkap apa yang barusan terjadi.   *******   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD