Teori 1: Sepuluh Kali Kencan

2469 Words
“Akhirnya… selamat tinggal begadang!” Yang barusan berujar dengan semangat itu adalah salah satu sahabatku, Adipati Sagala, sekaligus satu-satunya cowok dalam tim kerjaku. Jarang-jarang bisa pulang tenggo begini akhirnya kami janjian buat nongkrong di salah satu kafe dekat kantor. Memang ada tempat makan yang cukup oke di lantai bawah kantor kami, tapi… ya enggak mungkinlah ya sudah tiap hari makan di situ karena deadline yang mencekik leher, dan sekarang pada masa kebebasan begini makan di situ lagi. Haram hukumnya, kata Saga. “Sudah gue bilang, pasti kelar sebelum long weekend di awal April,” sahutku dengan penuh keyakinan. Tak ada sesuatu pun yang meleset dari apa yang sudah kurencanakan dengan baik. “Udah gajian, kerjaan kelar, tinggal nunggu bonus turun, apa lagi yang bisa lebih nyenengin ketimbang ini?” “Gue percaya, kalau lo udah ngatur-ngaturin kita, pasti kelarlah,” ungkap Saga. Jempolnya naik setinggi d**a, aku tahu persis itu tandanya dia percaya setengah mati padaku untuk urusan pekerjaan. “Si Lanti sama Kemi ke mana? Enggak ikut?” Lanti dan Kemi yang Saga sebutkan barusan itu adalah dua sahabatku s***h rekan kerja satu timku s***h teman satu kontrakan.  “Padahal udah berangkat duluan tadi,” jawabku. “Mungkin mampir mal sebelah, paling juga survei outlet mana yang lagi ngegelar diskon. Biasalah, mereka kan udah yakin bonus bakal turun, jadi sisa duit dihambur-hamburin entah beli apaan.” “Mantap. Ckckck.” Saga geleng-geleng kepala. Tapi, tak urung dia juga nyengir lebar. Siapa yang enggak nyengir lebar dalam keadaan seperti ini? Asal tahu saja ya, kerjaan sebagai auditor itu gampang-gampang susah. Gampangnya, kita serasa punya kuasa buat ngobrak-ngabrik keuangan orang, enggak peduli jabatannya setinggi CEO pun, kalau kita bertitah temuan ini itu harus diselesaikan, mereka pasti menurut. Susahnya itu biasanya jadwalnya numpuk dalam beberapa bulan. Yeah… kalau lagi peak season kayak kemarin bisa bikin kami pulang pagi selama tiga bulan. Kamu enggak salah baca lho, tiga bulan berturut-turut! Enaknya, kalo udah low season, kerjaan kami cuma training-training meningkatkan skill sambil jalan-jalan atau baca gosip di LINE today. Makanya, kerjaan kelar sebelum menyentuh bulan April bikin kami berasa bebas dari tahanan. Bedanya, jika sahabat-sahabatku memilih shopping sebagai bentuk balas dendam, maka aku lebih memilih perawatan diri dan sejenisnya sebagai ajang pelampiasan. Gila aja, ya, tiga bulan dekil-dekilan, sudah saatnya aku menyervis body ini biar kuat dipakai kerja duapuluh lima tahun lagi. Kenapa duapuluh lima tahun lagi? Karena menurut hitungan yang sudah kurevisi berulang kali, paling enggak butuh duapuluh lima tahun kerja dan rutin menabung baru aku  bisa menikmati pensiun dengan tenang. Aku jelas bukan kayak tokoh-tokoh cewek yang bertebaran di novel yang sering Lanti baca, ketabrak cantik sama CEO lalu kawin dan hidup sejahtera sampai mati pun cukup ongkang-angking kaki saja. Asal pas di kasur aktif ngangkang, itu saja syaratnya.  “Lo jadian ama Danu?” tanya Saga, membuat aku terbatuk-batuk saat menyesap wine-ku. Dasar lelaki, bertanya tanpa tedeng aling-aling. Sahabat-sahabatku memang sudah mengetahui kedekatanku dengan Danu selama setahun belakangan ini. Kalau kamu punya gebetan di gedung yang sama dengan tempat kerja kamu, enggak ada ceritanya bisa menyembunyikan dari teman-temanmu. Namun, untuk urusan peningkatan hubungan ini sepertinya aku belum pernah pengumuman. “Kok lo nanya gitu?”  “Yang lo bawa, mobilnya dia kan?” tunjuk Saga ke mobil hitam yang diparkir di pelataran kafe. Aku mengangkat alis, menunggu Saga melanjutkan kata-katanya. “Baru kali ini gue liat lo bawa mobil dia,” tegasnya. Tak ingin berkelit, aku memilih menjawab jujur. “Ya… begitulah, Ga. Seperti yang lo bilang, gue ama Danu udah setahunan ini deket. Udah bisa diprediksi kan arahnya ke mana?” tanyaku retoris. Bertahan dekat selama setahun, sambil menyelami sifat dan potensi dia untuk dijadikan imam—cieh, bahasa gue kesambet si Lanti—buat apa lagi coba? “Sejak kapan?” “Bulan lalu,” jawabku. “Paslah ya, gue udah kenal dia setahunan juga. Nunggu apa lagi?”  “Lo cinta?” Oh… please. Mengenal Saga, membuat aku paham kenapa dia sampai bertanya hal-hal yang menurutku hopeless romantic kayak begini. Saga itu sisters complex abis, deket dan memuja kakak perempuannya sudah kayak memuja Dewi Kwan Im. Enggak jarang jalan pikirannya sedikit nyerempet kaum Hawa. Mungkin karena itu dia betah jadi satu-satunya cowok di tim kami yang dihuni oleh cewek-cewek berisik nyerempet gila. Kembali ke soal cinta. Emang di zaman sekarang butuh banget cinta? Menurutku, selama aku dan Danu bisa saling nyaman bersama, aku mampu support dia, dia mau menyukseskan hidupku untuk menggapai kebebasan finansial, itu sudah cukup. Soal cinta, pasti ikut sikonsi—situasi, kondisi, toleransi. Kalau versi Saga, akronimnya pake suku kata depan semua. Jadi sikont… anjir, terlarang buat disebut—lama-lama juga pasti aku bisa menyetir perasaan gue buat bertahan sama Danu, ya. “Kenapa lo nanya gitu?” “Ya, gue enggak mau aja lo nerima Danu cuma karena mikir udah saatnya pacaran. Udah sesuai planning dan target lo.” Aku mengerutkan dahi, jelas mengerti ke mana arah pembicaraan Saga. “Ya… umur gue udah dua tujuh, Ga, tapi gue enggak sebego itu juga ngejalanin sesuatu yang gue enggak ada rasa,” kilahku. Bertahan selama setahun lebih, jalan ke sana kemari tanpa status yang jelas, sepik-sepik modus di ponsel setiap hari itu bisa diartikan jatuh cinta kan?  “Baguslah. Kalau begitu, lo yang traktir kali ini, Mon. Itung-itung pajak jadian.” Senyum lebarku langsung kuncup mendengar titah Saga. “Masih ada hal begituan?” tanyaku geli. “Boleh deh, tapi inget, cuma—“ “Gue ogah ya, kalau traktiran kerjaan kelar dan pajak jadian direncanain juga berapa rupiahnya,” serobot Saga. Dasar kurang ajar cowok satu ini! Senyumnya mengembang maksimal. To the point dan selalu ngeskakmat tepat sasaran. Kalau cowok lain punya harga diri dan ogah dibayarin cewek, Saga sebaliknya. Dia nyaman-nyaman aja menguras isi tabungan kami, sementara duitnya habis buat beli mainan rubik yang aku enggak mengerti di mana asyiknya. Hasil dari lamunan dan pemikiranku yang ke mana-mana, catatan waitres yang Saga panggil mungkin sudah penuh dengan pesanannya yang enggak kira-kira. Sumpah, Saga ini makannya sudah kayak kuli bangunan belum dikasih suguhan seminggu. Kalau mau nyuruh-nyuruh dia, tinggal sogok sama batagor juga ngangguk. Murahan banget memang. “Terus… gimana si Danu?” pancing Saga. “Dia oke?” ‘Oke’ yang dimaksud Saga jelas berarti banyak hal. Oke dalam pikiran dan perbuatan, begitu Saga menjabarkan biasanya. Dasar mantan anak Pramuka. “Apanya yang oke?” tanyaku balik. “Ya… seperti yang gue prediksi, gue kenal dia setahun, so far… baik dan potensial. Terus lanjut pacaran, terus—“ “Terus tahun depan kudu lamaran, dan tahun depannya lagi menikah, tahun depannya lagi punya anak,” sambar Saga seraya tertawa. “Monarza dan perencanaannya yang terstruktur apik. Mon… Mon. Ckckck.” Aku paling benci kalau Saga mulai mendendangkan namaku seperti itu. Kalau dia lagi waras hanya berhenti sampai ‘Mon’. Kalau lagi kambuh, nama cantikku bisa berubah menjadi ‘Maemunah’ atau salah satu nama pelawak yang dulu sempat ngetop bareng partner-nya Mama Dedeh. Temon. “Ya… terus apa dong tujuan gue setahun ini pedekate kalo enggak ke situ,” tukasku. “Gue udah kenal Danu dan klik, gue kudu siapin step by step dong buat selanjutnya. Emangnya lo? Umur segini tapi belum punya rencana apa-apa.” “Hidup lo benar-benar penuh target ya, Mon,” bahas Saga, menghela napasnya. “Ya iyalah, gue ogah ya, Ga, ngelakuin sesuatu yang sia-sia, yang enggak ada hasilnya. Gue pedekate, jadian pas gue udah tau dia gimana, atau setidaknya potensi dia ke arah mana. Bisa dijadiin laki beneran atau cuma temen ngilangin bosen. Dan hasil pengamatan gue, Danu bisa diajak berumah tangga dan berkembang biak sesuai dengan rencana.” Saga bertepuk tangan takjub. “Terserah lo aja deh, Mon. Asal kalau nangis-nangis jangan lari ke gue.” Sumpah, aku ingin menggebuk bahunya. Kuberitahu ya, ciri-ciri orang yang bisa dijadikan sebagai sahabat sejati itu yang bacotnya paling enggak mau direpotin, tapi kalau terjadi sesuatu dia justru berada di barisan paling depan untuk kita repotin. Contohnya, Saga. “Jadi lo udah yakin bakal nikah sama dia?” tanya Saga. “Udah kenal dia luar dalam?” Meski sibuk memainkan ponsel dengan tangan kanannya, tangan kirinya sempat-sempatnya menyendok eskrim cokelatnya. Kan? Bilangnya enggak mau repot, tapi tetap dia bertanya untuk memastikan juga. Aku tergeragap sebenarnya. Teringat suatu peristiwa pada kencan pertama. Sesuatu yang harusnya terjadi setelah kami sepuluh kali berkencan, ternyata malah kejadian di first date. Tapi, enggak papa lah ya, enggak mengubah banyak dari rencana. Toh, aku dan Danu juga sudah flirting-flirting sejak tiga bulan yang lalu. Dan mungkin kemarin itu, pertemuan ke sepuluh sejak kami bertemu disertai sinyal-sinyal pengin jadian. Mungkin. “Gue udah analisis sifatnya, Ga, tenang, seharusnya enggak jauh-jauh meleset,” simpulku. “Gila lo, Mon, bukan cuma laporan keuangan aja yang dianalisis. Ckckck,” Saga memijat keningnya, membuat aku tergelak dalam tawa. “Ya udah sih, gue duluan ya, gue kudu jemput Danu,” lanjutku. “Nanti kalo si Kemi ama Lanti datang, lo bayarin aja. Gue ganti besok.” “Tinggalin uang cash lima ratus ribu,” celetuknya tanpa ampun. Asem banget nih bocah. Kalau sudah di luar kantor benar-benar kurang ajar lagaknya. Namun, aku yang tengah buru-buru enggan memperpanjang masalah. Kuselipkan beberapa lembar uang seratus ribuan di balik kunci mobilnya. Enggak lima ratus ribu juga, ya. Tiga ratus ribu aja. Kalau kurang, Saga punya akallah, ya, enggak sampai bikin dia jual diri juga. Saga mengacungkan jempolnya. Aku melengos seraya menyampirkan tas di bahu. Setelahnya, aku merogoh kunci mobil yang kuletakkan di sisi kiri tas. Aku enggak mau, ya, jadi orang yang nyampe mobil baru nyari-nyari kunci. Orang-orang kayak gitu tuh jelas buang-buang waktu, enggak efisien. Sepersekian detik hilang tanpa guna. “Mon?” Terdengar suara Saga, membuatku mendengak setelah berhasil menemukan benda yang kucari. Ya?” “Lo butuh k****m, enggak?” ujarnya dengan seringai usil. Aku berbalik badan sebagai jawaban, menyumpah-nyumpahi Saga yang terbahak puas di belakang. Enggak mungkin lah, ya, ini kan baru sebulan jadian sama Danu. Meski aku sudah sempat mengaudit sepak terjang pengalaman s*****l Danu dan yakin kalau dia bebas dari penyakit-penyakit terlarang, tapi enggak sekarang juga aku menanggalkan celana dalam di depan dia. Mungkin nanti, tapi tidak sekarang.   [Preferensi]   “How was your day?” Danu mengecup keningku saat memasuki mobil dan menggumamkan tanya. Apa dia enggak melihat mukaku yang sudah ditekuk duabelas ini? Aku paham ya, udah bakat lelaki buat enggak peka. Tapi, muka jutek begini jangan juga dianggap angin lalu semata. “Aku harus jawab apa?” sahutku ketus. “Lho?” “Bukan, lho, Nu,” jeritku sebal. “Kamu bilang pulang kerja pukul sembilan. Aku udah buru-buru balik ke gedung ini dan ternyata—“ “Tadi bukannya aku sudah kirim pesan kalau malam ini aku agak telat?” jawab Danu seraya memasukkan persnelling. “Ngabarinnya udah sejam kemudian, udah lumutan aku di parkiran,” rutukku. Bayangin aja, pukul sembilan tepat aku sudah nangkring manis di parkiran. Enggak telat semenit pun. Yang dijemput malah baru memberi respon sejam kemudian, dan baru keluar dari tempat kerjanya sejam berikutnya. Dua jam aku digempur kegelapan sunyi di parkiran. Siapa yang enggak kesal coba? Aku bisa aja pura-pura naik ke kantorku dan menunggu di sana. Namun, ketemu Bos Besar yang suka gatal memberi pekerjaan baru terdengar lebih menyeramkan daripada suntuk di parkiran. “Ya… maaf, Yang. Ini di luar perkiraan. Kamu tau kan kalo akhir bulan kerjaanku lagi padat-padatnya. Ada yang enggak sinkron pas closing,” terangnya. Aku sudah sering mendengar sejak awal aku dekat dengan Danu, kalau akhir bulan kadang dia suka pulang jam tiga subuh. Tapi, kan enggak ada yang nungguin b**o di parkiran juga. “Makanya… apa-apa tuh direncanain, diatur biar enggak kejadian tak terduga kayak gini, kerjaan tuh jangan ditumpuk di akhir bulan,” repetku lagi. “Aku bukan mencari alasan, Yang. Tapi, ada jenis-jenis kerjaan yang emang hanya bisa dilakukan di akhir bulan, enggak bisa dicicil.” “Iya, tau,” sahutku dongkol. Risiko punya kekasih jabatan menengah kayak Danu. Enggak bisa lepas tangan begitu saja, tapi juga enggak bisa main tunjuk dan tinggal pergi kayak Bos Besar. Oh… semoga saja karier Danu lancar, sepuluh tahun lagi bisa jadi pimpinan cabang. Harus. “Kamu udah makan, Yang?”  “Untung aku udah nyuil makanan Saga tadi.” “Oh, jadi nongkrong sama mereka? Gimana kabar kembar-kembar dempet kamu itu?” Mau enggak mau aku terpaksa meringis menahan tawa. Danu menyebut kami berempat kembar dempet ajaib yang ke mana-mana selalu bareng. “Baik, mereka baik. Senyumnya pada lebar, bentar lagi kan terima bonus,” jawabku berseri-seri. “Kerjaan kelar lebih cepat dari yang seharusnya.” Engga perlulah ya, aku bilang kalau tadi cuma nongkrong bareng Saga, sementara dua cewek gila itu kalap belanja. Bukan karena Danu bakal cemburu, hanya saja aku menghindari menjelaskan sesuatu yang enggak penting. “Aku tahu, kamu pasti dalang di balik beresnya kerjaan itu kan, Yang?” ujar Danu. Senyumku terkembang. Satu hal yang membuat aku yakin pada Danu. Kami sama-sama punya rencana, punya target dan sederet langkah-langkah untuk mencapainya. Terakhir, Danu juga enggak segan-segan mengakui hasil kerjaku. Bagiku, pengakuan atas pencapaian yang telah aku lakukan jauh lebih menyenangkan dibanding apa pun di dunia ini. Tak jarang kan, cowok malas untuk mengakui hal seperti ini, karena mereka menganggap cewek biasanya lebih sibuk mendramatisasi hidup daripada melakukan sesuatu. “Langsung pulang?” tanyanya. “Aku nemenin kamu makan aja, ya. Kalau aku makan jam segini yang ada besok pagi badanku jadi paus beranak.” “Ya, enggak gitu juga kali, Yang,” debat Danu. Aku mengangkat tangan tanda menyudahi perdebatan. Enggak ada di dalam kamusku makan malam di luar jadwal yang seharusnya. “Ya sudah, kalau begitu aku antar kamu dulu, nanti beli nasi goreng dekat kontrakan. Kasian kamu pasti udah ngantuk, ya? “Heeh, udah pukul sebelas lewat juga. Aku belum mandi dan ngelakuin ritual sebelum tidur,” jawabku seraya membuka ponsel. Memastikan to do list-ku besok pagi, mengecek presentasi yang akan dipaparkan pada pimpinan, dan memastikan dokumen temuan saat mengaudit perusahaan besar kemarin bisa dicetak begitu sampai di kantor. Tidak ada virus menyebalkan yang membuat dokumen itu menghilang, misalnya. “Kalau kamu ngomongin mandi, pikiranku ke mana-mana, Yang,” bisik Danu saat mobil berhenti tepat di depan rumah kontrakanku. “Jangan aneh-anehlah, ya,” jawabku. “Pulang sana,” usirku sambil tertawa. Hal lain yang kusukai dari Danu adalah kejujurannya atas rasa ketertarikan fisik padaku. Dia tidak berkilah atau jaim di belakang, namun menerkam tanpa aba-aba. Meskipun tak pernah meminta izin sebelum melakukan kontak fisik, kupikir Danu selalu memastikan aku merasa nyaman baru menebarkan sepik-sepik kampretnya. Lagipula, aku memahami kebutuhan biologis lelaki. Kalau cuma tatap-tatapan sambil pegangan tangan itu namanya telepati, bukan pacaran. Saat aku meraih tas tanganku di bangku belakang, Danu lebih cepat menyergap tengkukku dan memenjarakan bibirku di antara pagutannya. s**t-lah! Peduli setan dengan teori sepuluh kali berkencan. Danu memang jagonya mengacaukan pikiran.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD