Teori 2: Waktu yang Tepat untuk Bertemu Mertua

2211 Words
“Kamu pulang jam berapa nanti, Yang?” tanya Danu setibanya di parkiran kantorku. “Kalau lancar ya tenggo, kalau enggak paling jam delapan. Lagian besok kan libur. Kenapa?” “Kita enggak bisa pulang bareng ntar sore.” “Kenapa?” kejarku. Padahal aku sudah memikirkan menghabiskan malam ini bersama Danu. Membayar beberapa kali malam Sabtu yang terlewat karena lembur gila-gilaan. Aku sudah merencanakan dinner romantis dan kemudian Sabtu besok menyeret Danu buat menemani aku nyalon seharian. Dan ditutup dengan meringkuk di pembaringan duapuluh empat jam di hari Minggunya. Tapi ternyata— “Aku pulang ke Surabaya, penerbangan sore nanti.” “Kok? Tumben tiba-tiba?” Dahiku berkerut tak suka. Sesuatu yang tidak sesuai dengan rencana seperti ini membuatku uring-uringan luar biasa. “Ibu nelpon pagi tadi. Katanya calonnya kakakku mau datang ke rumah besok. Kamu tau kan, aku satu-satunya anak lelaki di rumah.” “Mbak Dinara?” tanyaku. Mbak Dinara adalah kakak perempuan Danu yang tertua, aku sudah tahu bagaimana wajahnya saat kepo melalui akun media sosialnya. Cantik, agak mirip Danu di bagian tulang pipi dan hidungnya. Bukannya Danu mancung kayak tokoh-tokoh Yunani itu, ya, cuma juga enggak bisa dibilang pesek. Tipe yang enak dilihat aja gitu, tapi enggak sampai ganteng jadi rebutan. “Kok tau, Yang? Iya, Mbak Dinara lamaran.” Ha… wahai lelaki, jangan meremehkan gadis-gadis yang tengah melakukan fit dan proper test untuk calon masa depan. Semua akan dikorek lengkap sampai ke ujung palung terdalam. Termasuk silsilah keluarganya. Kalau ada akses rekening tabungan yang bisa diintip juga pasti sudah kulakukan diam-diam. Realistis sajalah, ya. “Ya… kamu kan pernah cerita kalau punya kakak dan adik cewek,” kilahku. Meski aku yakin, Danu tak pernah menyebutkan nama mereka. Danu balas mengangguk, sembari membuat pesanan di salah satu biro perjalanan terkenal dari ponselnya. “Kapan nikahnya?” “Kata Ibu, empat bulan lagi. Calon suaminya kan cuti perempat bulan.” Lamaran… kakaknya Danu udah lamaran aja. Terus resepsi… kyah… aku teringat satu hal. “Oh, oke. Jadi, kapan kita fitting baju buat nikahan Mbak Dinara?” ucapku ceria, membuat Danu menolehkan kepala. Dahinya mengernyit alih-alih menjawab. “Kita seragaman kan?” todongku. Danu mengangkat bahu. “Lamarannya aja baru besok, Yang. Mana aku tahu.” Jawaban macam apa itu? “Ih… harus dipikirin dong. Aku ogah ya ntar kawinan Mbak Dinara pakai baju jadi yang enggak pas di badan,” semprotku. “Kebayang dong, dua jam di resepsi nanti aku malah enggak bisa menikmati acara karena salah bajunya. “Yang, empat bulan lagi, Yang,” peringat Danu. Dia memijat pelipisnya. Maksudnya apa? Aku merengut. “Ya emang, tetap harus dipikirkan, dong,” titahku. “Kamu pikir ngejahit baju di butik langganan itu bentar?” “Iya, Sayang. Atur aja kamu gimana enaknya. Ya udah, nanti aku telat ke kantor,” pamitnya seraya mencium keningku. Danu mematikan air conditioner  tanda ingin segera keluar. “Nanti kalau udah tau warnanya langsung chat, ya? Biar aku nyari bahannya.” Termasuk dananya lho, Nu. Danu memijat hidungku gemas. “Aku harus bilang iya lagi, nih?” godanya. “Aku percaya pilihan kamu, Yang. Aku ngikut aja.” Aku menyembunyikan senyum mendengar kata-kata Danu. Dia percaya aku, itu artinya dia mengakui kalau aku emang bisa diandalkan. Kan? Sudah kubilang kami serasi. Salah satu ciri pasangan serasi itu adalah saling mengandalkan. Seraya membenahi peralatan kantorku dari mobil Danu, setelah ini aku bakal menghampiri kubikel Saga untuk kepastian tebengan pulang. Ogah banget, ya, naik taksi dari lobi gedung. Lalu, tiba-tiba aku teringat satu hal— “Nu?” “Ya?” “Kamu kapan ngenalin aku ke Ibu? Kan enggak mungkin aku ujug-ujug datang ke nikahan Mbak Dinara sementara belum pernah ketemu keluarga kamu.” Danu hanya mengedipkan mata. “Nanti ya, Sayang.” “Nanti?” “Aku pasti ngenalin kamu ke Ibu,” jawabnya seraya meremas bahuku. “Tunggu sebentar ya, Yang.” “Sebentar itu enggak spesifik, Nu.” Tangan Danu terulur ke belakang, menekan tombol lantai tempat dia bekerja. Bank tempat Danu berkantor berada tiga lantai di bawah kantorku. “Aku harus cari waktu dulu, Yang. Ibu juga pasti repot soal kawinan Mbak Dinar. Aku janji pasti ngenalin kamu.” “Pulang ini, ya?” desakku. “Biar gampang nanti—“ “Iya, aku bilang nanti sama Ibu,” potongnya. “Aku ngantor dulu, Yang.” Hal seperti inilah yang membuatku bertahan dekat dengan Danu selama setahun sebelum menyandang status sebagai kekasihnya. Danu serius, dan ciri-ciri lelaki serius adalah mau dan mampu mengenalkan aku ke keluarganya. Kuberitahu, ya, gadis-gadis, kalau kamu pacaran udah sebulan dan enggak ada tanda-tanda mau dikenalin sama keluarganya, kamu kudu aware. Itu udah sinyal negatif. Apalagi kalo kamu pacarannya di atas usia duapuluh lima. Mending balik kanan kalau ketemu lelaki semacam itu. “Oke, Mona, bulan ke dua kenalan sama keluarganya, bulan ke tiga mengunjungi keluarganya, bulan ke empat keluarganya balas berkunjung ke keluargaku, bulan ke lima kami sekeluarga menghadiri pernikahan Mbak Dinara, dan selanjutnya… tinggal merencanakan pernikahan kami saja,” gumamku seorang diri. Syukurlah nanti di saat pernikahanku dan Danu enggak ada drama pelangkah-pelangkah apalah itu buat kakak tertuanya. Setidaknya dananya bisa dialokasikan untuk kepentingan lain. Yeah… Tuhan memang baik. Aku dan Danu sudah pasti berjodoh sesuai yang direncanakan. [Preferensi]   Enam tahun bergabung di salah satu Kantor Akuntan Publik di Lingkar Mega Kuningan Jakarta Selatan, bisa dibilang pencapaianku mungkin yang terbaik di antara semua karyawan. Berjuang dari level associate—level karyawan paling bawah—dan menduduki tahta sebagai manager selama setahun ini. Aku memiliki tim kerja sendiri. Kemi yang menjabat sebagai senior associate masuk dua tahun setelah aku. Disusul dengan Lanti dan Saga yang sebentar lagi menduduki jabatan setara Kemi. Bisa dibilang, akulah bos mereka. Namun, persahabatan yang terjalin dua tahun belakangan ini membuat luntur segala tata krama mereka. Terlebih lagi di luar kantor. Lanti, Saga dan Kemi dipertemukan nasib entah baik atau buruk yang pada masa-masa sekarang bisa mereka tertawakan sebagai kenangan. Menjadi junior—yang biasanya diembel-embeli Saga dengan nol kecil—sudah barang tentu pekerjaannya menyerupai kuli. Sabet sana sabet sini. Menjadi tukang fotokopi atau melakukan apa pun yang disuruh senior adalah hukum tak tertulis yang harus mereka patuhi. Persahabatan kami dimulai saat aku dengan segala keisengan menguji mereka dengan tugas vouching. Sumpah, vouching tuh lebih nyesek dari pada jadi tukang fotokopi. Sebenarnya, vouching itu kerjaan gampang, enggak butuh otak, cuma mencari voucher bukti transaksi dan dicocokkan dengan pencatatan klien. Kedengeran mudah, eh? Tapi, dengan timbunan order yang bervariasi dalam sebulan menuntut stok sabar yang enggak terbatas. Bayangkan tumpukan itu dikali duabelas? Jawabannya singkat: lembur berhari-hari. Tapi, mereka bisa melaluinya. Bahkan menantangku untuk memberikan pekerjaan lebih dari itu. Mengingat kerja keras mereka, membuat peti kenangan sewaktu aku berada di posisi mereka terbuka lebar. Alih-alih main tunjuk perintah, aku bahkan ikut menceburkan diri pada tugas vouching itu akhirnya. Apakah penderitaan sebagai cungpret junior nol kecil cuma segitu? Hell no! Masih banyak tugas yang kalau aku jabarkan niscaya bisa membuat kudanil pintar membuat laporan laba rugi. “Jadi, gue lagi yang presentasi?” tanya Kemilau Hetami. Tanpa banyak bicara dia menyambar flashdisk di mejaku dan mencolokkan ke tabletnya. Membaca sekilas paparan yang telah aku sempurnakan semalam. Kemi membetulkan lipit roknya yang mengerut ke arah yang salah. Gadis ini sebenarnya menarik hati kalau sedang diam membisu. Namun, semuanya buyar begitu dia bicara. Tidak ada anggun-anggunnya sama sekali. Apalagi di depan kami, yang tersisa hanya gila dan nyablaknya. Namun, justru dari situlah soft skill andalan Kemi. Jika dia bicara dengan klien, biasanya akan cepat mendapat anggukan positif. Pintar mengambil hati. Maka, enggak heran kalau Kemilah yang selalu mendapat tugas memaparkan hasil kerja kami di depan klien atau partner. Bisa dibilang, komposisi dalam tim kerja kami sangat mumpuni. Aku, yang kata mereka otak dari segala macam kerjaan ini bertugas menyusun perencanaan sebelum melakukan audit pada perusahaan klien. Lanti yang telaten bertugas mengumpulkan data dari klien dan mencocokkannya dengan bukti. Sedang Saga, intuisinya yang tajam dalam mengendus temuan atau kejanggalan adalah nilai plus yang belum tentu dimiliki tim lain. Sisanya, cukup mulut manis Kemi menyelesaikan segala-galanya. “Gue penasaran,” celetuk Kemi. “Apa Danu mampu bertahan ngadepin Mona yang sistematis abis?” Aku memutar bola mata mendengar pilihan kata Kemi. Sistematis yang dia maksudkan jelas-jelas tersirat menyindirku. Enggak berani keluar jalur. “Mona enggak bakal ambil keputusan jadian kalau dia enggak yakin Danu bisa bertahan,” bela Lanti. Dari dulu, gadis anggun satu ini selalu menjadi penyelamat dan penetral dalam hubungan kami berempat. Tak pernah berburuk sangka, positive thinking, dan telaten. Benar-benar calon istri yang baik, namun herannya dia betah menjomblo sampai sekarang. Entah menunggu apa, mungkin keracunan delusi CEO dari novel-novel yang dia baca. “Tuh, Lanti aja tau, Kem,” balasku. “Lagian, apa yang salah dengan sistematis, berkembang terencana? Kita enggak bakal salah langkah—“ “Karena hidup itu penuh kejutan, Mon. Lo belum ngerasain aja pas sesuatu yang lo rencanain gagal di tengah jalan. Lo bakal kelabakan, tapi di situ seninya.” Seni? Sejak kapan kegagalan menjadi sebuah seni? “Kalau lo, mungkin ya, Kemi. Tapi gue, udah nyiapin bukan cuma Plan A dalam setiap keputusan gue. Plan gue udah sampai D paling enggak,” jawabku sedikit meninggi. “Jadi, lo jadian sama Danu karena emang udah sesuai dengan rencana lo, gitu?” cecar Kemi. “Kalau meleset dari target lo buat nikah satu tahun lagi memangnya kenapa?” “Ya… berimbas ke hal-hal lain dong. Kacau,” sahutku. “Lagian, gue ama Danu udah kenal setahunan, Kemi. Dan kami bisa bertahan, terus gue nunggu apa lagi?” “Nunggu apa lagi? Astaga, Mon, entar itu juga yang lo jadiin alasan putus. ‘Gue udah pacaran lama, jadi gue putus, nunggu apa lagi?’ Gitu, Mon?” “Ya… enggak gitu juga kali, Kemilau Hetami. Maksud gue—“ “Maksud gue, hidup lo cuma sekali, Mona. Cobalah sekali-sekali keluar dari berbagai perencanaan lo yang konyol itu. Lo pacaran karena emang lo pengin, bukan karena itu udah sesuai dengan rencana lo, dengan umur lo,” repet Kemi pedas. “Tapi, nyatanya segala macam yang gue rencanain berakhir baik kan, Kem? Lo enggak bakal bisa ngepit tas Prada di ketiak lo itu kalau perencanaan gue pas audit kemarin enggak matang,” sambarku. “Enggak akan bonus turun sebelum tanggal lo biasa mulai mengemis nista sana-sini buat minjem uang.” Kemi diam tak berkutik. Ia menyulut rokoknya dalam diam. “Kemi benar, dia hanya khawatir kamu ngelakuin ini cuma karena memenuhi targetmu, Mon,” akhirnya Lanti bersuara. “Dan, aku yakin, Mona udah cukup gede buat mikirin segala risikonya,” tambahnya menenangkan. “Oi… oi, kalau masih mau lanjut berdebat, gue makan duluan,” sela Saga. Dia sudah ngeloyor pergi meninggalkan kami. Aku dan Kemi bertatapan. Sejenak kemudian sama-sama mengeluarkan kekehan geli. Percakapan yang seperti ini sudah biasa buat kami, mengalir memicu diskusi, tapi jauh dari kata menghakimi. Hanya perasaan saling mengkhawatirkan menyelubungi. That’s what friends are for… itulah yang bikin aku betah berada di antara orang-orang gila ini. “Lagian, kalau rencana-rencana gue gagal, ada kalian yang selalu siap menampung gerutuan dan tangis gue, kan?”   [Preferensi]   “Kok enggak ngabarin kalau udah nyampe?” tudingku langsung saat telepon di seberang sana dijawab ‘halo.’ “Maaf, Yang. Ponsel aku ketinggalan di kamar. Aku nemenin Ibu dan Mbak Dinar belanja ke supermarket tadi. Mau masak buat besok.” “Oh,” jawabku pendek. Sebenarnya, dari dulu aku selalu menghindari topik masak-memasak ini jika sedang bicara dengan Danu. Bukan apa-apa, aku harus menjerat dia sampai bertekuk lutut dulu sebelum menyadari pacarnya ini cuma bisa masak mie instan. Aku selalu mengalihkan pembicaraan jika Danu mulai membahas betapa perempuan-perempuan di keluarganya sangat terikat dengan aktivitas dapur. Bukannya aku mengingkari kodrat, ya, cuma untuk apa restoran dan rumah makan bertebaran kalau semua perempuan harus bisa memasak di rumah? Enggak sehat, oh… women, zaman sekarang sudah banyak yang menyediakan makanan sehat yang isinya sayuran semua kalau mau mencari dengan teliti. Tinggal klik beberapa kali dan tentu saja sediakan duitnya. Kelar masalah. “Kamu udah ngomong ke Ibu?” “Soal?” “Ngenalin kita? Seperti yang kamu bilang kemarin,” ujarku mengingatkan. Lama tak terdengar jawaban. “Nu, kamu ketiduran?” “Eh, enggak,” jawabnya. “Kamu belum ngomong sama Ibu?” kejarku lagi. “Hm… udah tadi. Pas nyampai.” Sumpah, aku gemas kalau Danu mulai ngomong dengan kalimat pendek dan patah-patah begini. “Ibu masih repot ngurusin Mbak Dinar, jadi belum bisa bicara banyak,” lanjut Danu dengan nada yang agak berbeda. Aku enggak bisa mendefinisikan, tapi terasa sekali kalau Danu hati-hati sekali saat menyampaikannya. “Nu? Everything’s ok?” tanyaku beberapa detik terdiam. “Ok. Lanjut besok, ya. Aku capek banget,” pamitnya sebelum mematikan sambungan. Meletakkan ponsel di meja kecil, aku mengambil alih novel milik Lanti yang tergeletak di sampingnya. Tadi malam, aku sudah membaca sampai adegan the heroine diajak bertemu keluarga the hero dan kikuk salah tingkah. “Oh, no, harusnya lo mencari tahu dulu tentang tips-tips mendekati calon mertua, girl,” gumamku. ‘Kok panggilnya Tante, panggil Mama dong, kan bentar lagi jadi menantu ini.’ Aku benar-benar tersenyum membaca satu kalimat ini. Kalau dulu aku mencerca sekali novel hopeless begini, tapi kali ini aku sungguh-sungguh berharap kalau ‘Mama’ dalam novel itu menjelma menjadi Ibunda Lentera Girindanu.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD