Tiga

2073 Words
Sabrina mampir ke minimarket  keesokan hari. Ia ingin bertemu dengan orang yang menjadi pahlawan dalam kasus perampokan berantai. Jika pria itu berbelanja di sini, mungkin ia tinggal dekat dengan minimarket. Selama beberapa hari ini, Sabrina tidak tenang. Rasa penasaran yang selalu mengganggu tak bisa dihilangkan.    Nyonya pemilik toko segera mengenali Sabrina. Wanita bertubuh tambun tersebut mengangguk. Memberi isyarat bahwa sosok yang dicari tengah berada di situ.    ***    Sejak pagi, Luca merasa kelaparan. Reina buru-buru pergi dan hanya meninggalkan nasi goreng sisa semalam. Karena itu, ia mampir ke minimarket dekat rumah. Tempat dulu menghadapi perampok. Nyonya pemilik tertawa lebar dan menyambut ramah. Bagi mereka, dirinya adalah pahlawan.    Gadis berparas manis dengan rambut panjang menarik perhatian. Ada sesuatu pada sosok yang sedang melangkah pasti tersebut. 'Lari! Lari! Cepat pergi!" bisik hati kecil lelaki itu. ***   Sabrina terperanjat, tidak menyangka orang yang akan ditemui malah melarikan diri. Gadis itu segera mengejar, tapi lelaki tersebut bergerak lincah dan cepat menyuauri rak-rak di minimarket dan bergegas keluar.   Bruk!!! Hendak mengejar orang itu, tapi ia justru menabrak seorang gadis.   "Kamu tidak apa-apa?" tanyanya pada orang yang terjatuh tersebut sembari membantu berdiri. Gadis itu hanya mengangguk. Sabrina melihat lelaki yang ia buru sudah tidak ada dan memutuskan untuk berlalu.   'Detektif? Jadi gadis itu detektif? Tapi untuk apa dia mencari kakak? Atau jangan-jangan kakak memang terlibat masalah?' duga Reina bertanya-tanya.    Tadi ia tak sengaja lewat dan melihat sosok perempuan akan mengejar Luca. Dia sengaja menabrakkan diri, sehingga orang yang mengincar Luca tak bisa mengejar.    'Aku harus segera pulang.' ***   "Aku tidak tahu apa maksud kamu," ucap Luca untuk kesekian kali saat Reina mendesak. Adiknya itu benar-benar ingin tahu jika dia terlibat masalah.    "Perempuan itu seorang detektif. Tak mungkin dia mencarimu tanpa alasan."    Kata-kata tersebut membuat Luca tertegun sesaat. Reina terus menatap tajam.    "Ah, aku baru ingat sekarang. Beberapa hari lalu, ada perampokan di minimarket tersebut. Aku mengalahkan penjahat itu. Kurasa detektif mencariku karena masalah tersebut."    Tatapan Reina tak melunak sedikitpun. Gadis muda tersebut mendengus kesal.    "Kak, kenapa Kakak tidak paham juga? Apa Kakak lupa kata-kataku? Jangan terlibat masalah! Kita hidup dalam persembunyian. Bagaimana kita bisa bersembunyi, jika Kakak terus saja menarik perhatian?"    "Aku hanya ingin menolong."    "Lain kali, jangan lakukan itu! Jika terjadi masalah, sebaiknya kita diam! Jangan pernah ikut campur!"    Luca mengangguk. "Aku minta maaf," ucapnya singkat. Namun, Reina masih saja merasa kesal. Gadis bermata indah tersebut yakin jika hal itu terulang, Luca akan tetap melakukan hal yang sama. Entah kapan, kakaknya itu akan mendengar kata-katanya. ***     Sabrina tidak habis pikir. Mengapa orang yang membantu mereka menangkap justru melarikan diri? Padahal, ia hanya ingin mengucapkan terima kasih. Pikiran manusia memang tidak pernah sepenuhnya bisa dipahami. Dia juga tidak pernah bisa mengerti alasan orang tega membunuh orang lain hanya karena kebencian atau dendam. Perlahan, gadis berwajah tirus tersebut menghela napas panjang.     Mendapati rekan juniornya tersebut sedang melamun, Kanaya bergegas menghampiri sembari merapikan pakaian yang dikenakan.    Ketukan ringan di meja kerjanya membuat Sabrina terperanjat. Gadis itu segera mengalihkan perhatian dari komputer yang sedari tadi hanya ditatap dengan pandangan kosong kepada orang yang kini duduk di depannya.    "Kanaya? Ada apa?"    "Justru aku yang harusnya bertanya padamu. Ada apa? Kau membuka dan membaca semua berkas, tapi tatapanmu kosong. Kelihatan sekali pikiranmu tidak ada di sini."    "Maafkan aku! Hanya saja aku tidak bisa berhenti memikirkan tentang orang itu."    Kanaya menghela napas panjang. "Kau selalu begini, jika ada yang mengganggumu, kau tidak bisa memikirkan hal lain. Kali ini pasti soal orang yang membantu penangkapan perampok berantai, benar 'kan?" tebak wanita itu.     Sabrina mengangguk. "Bagaimana kau bisa tahu?" bisiknya.     Kanaya kembali menghela napas panjang. "Aku sangat mengenalmu, Sabrina. Jika ada yang membuatmu penasaran, kau pasti akan terus memikirkan dan berusaha memecahkannya."     "Masalahnya, aku nyaris bertemu orang itu. Yang membuatku bingung, dia malah melarikan diri."     "Kan aku sudah bilang! Entah orang itu salah satu dari kita atau memang dia pernah bermasalah dengan kita, kalau didengar dari ceritamu, kemungkinan yang kedua jauh lebih besar. Sekarang jangan pikirkan itu! Kita fokus saja pada pembunuhan Pak Jaya. Aku cemas dia bukan satu-satunya korban dalam kasus ini." ***     Tebakan Kanaya tidak meleset. Saat ini ada seorang pria uzur dengan rambut kelabu-putihnya berusaha melarikan diri di tempat sepi.     Rumput tinggi serta pepohonan lebat di sekeliling tempat itu membuat suasana makin suram. Purnama terlihat tertutup mendung kelabu seolah menandakan peristiwa buruk akan terjadi.     Sosok berjubah hitam membuntuti dengan langkah ringan. Seringai kejam tersembunyi di balik wajah yang tertutup topeng.     Sang calon korban terseok dan jatuh tersungkur. "Halo, Pak Harjo, bagaimana rasanya berhadapan dengan maut?" desah sang pemburu yang kini berada tepat di hadapan dengan pisau terhunus di tangan kanannya.     Tanpa membuang waktu, mata pisau tajam tersebut menusuk tubuh Pak Harjo yang masih berupaya bangkit berdiri. Tusukan itu kemudian menghunjam berulang kali di sekujur tubuh lelaki malang tersebut.     Meski terluka parah, Pak Harjo masih berusaha untuk merangkak pergi. Jejak-jejak darah yang mengalir dari tubuhnya membasahi tanah tempat dia terbaring. "Seharusnya kau pasrah akan nasibmu," desis pembunuh itu tepat di telinga.     Pisau tersebut kemudian terangkat tinggi dan menghunjam langsung pada jantung sang korban. Mengakhiri nyawa lelaki tua itu.     Tubuh lelaki tersebut meregang sesaat, tetapi kemudian tidak lagi bergerak. Mata hitam itu masih terbuka. Melotot seolah tidak percaya hidupnya telah berakhir.     Sang pelaku tersenyum puas, melihat korban kini tewas di tangannya. "Kau memang harus mati, Pak Tua, karena kau orang yang sangat kejam. Ini adalah hari pembalasan. Oh ya, kau tidak akan kesepian karena tidak lama lagi, teman-teman baikmu akan menyusul ke neraka," bisiknya. ***     Adrian menghela napas panjang. Mata hitam tajam tersebur masih terpaku menatap layar ponsel di hadapan. Ada pesan masuk dari sang istri, kalau malam ini ada kasus penting, jadi wanita itu akan pulang sendiri. Adrian tidak perlu menjemputnya.     'Lagi-lagi seperti ini. Entah sejak pertengkaran mereka dan sikap saling mendiamkan, hubungan mereka kian jauh dan hambar. Kalaupun ia menjemput Kanaya, itu hanya melakukan tanggung jawab dan rutinitas belaka. Tidak lagi ada perasaan lebih di dalamnya.     'Ini bukan salahku! Ini semua salah Kanaya! Dia yang terlalu egois! Lebih mementingkan pekerjaan daripada keluarga!' kilahnya.     Paras tampan itu terlihat kesal, tetapi semua berubah saat sosok gadis cantik bertubuh molek membuka pintu. Senyum menggoda di balik wajah berpoles riasan tersebut membuat Adrian lupa diri. Seolah terhipnotis, ia berjalan mendekat dan merengkuh mesra.     "Shelly, kenapa kau begitu lama? Hampir habis kesabaranku menunggu dirimu."      Gadis berparas rupawan tersebut tersenyum manja. Bukannya menjawab pertanyaan, ia malah mencumbu mesra sang lelaki. ***       Tempat lengang dan terpencil tersebut berubah ramai saat jenazah Pak Harjo ditemukan. Seorang penjaga malam melihat ada yang aneh. Sebuah kain putih dengan bercak darah. Pria paruh baya tersebut segera menghubungi polisi.     Mereka lalu menelepon kantor Kanaya dan Sabrina. Kedua detektif wanita tersebut segera datang ke TKP.     Penyelidikan segera dilakukan. Beberapa petugas nampak menjaga dan menganalisa TKP. Mencari saksi dan barang bukti. Kanaya menggeleng. Ini pembunuhan yang sama dengan Pak Jaya. Firasatnya benar. Kasus ini berubah menjadi pembunuhan berantai dan mungkin akan ada korban-korban berikutnya.     ***    Para wartawan datang berkerumun. Peristiwa tewasnya Pak Harjo yang kaya dan terkenal sebagai pengusaha mapan, tersebar luas tanpa bisa dibendung.    Para petugas keamanan bekerja ekstra menghalau orang-orang media agar tidak ada yang menerobos pita pembatas dan mengacaukan TKP.    Kanaya menghela napas sembari menggeleng melihat keributan tersebut. Mereka sebenarnya ingin kasus tersebut ditutup dari publik, tetapi kini semua sudah meluap tanpa bisa dicegah.     Di tengah-tengah kekacauan datang seorang wanita paruh baya yang berteriak keras. "Orang sepertinya memang pantas mati!" ***       Keriuhan di TKP tersebut terekam dan disiarkan langsung di televisi. Senyum Luca mengembang melihat semua itu.    Reina beralih menatap kakaknya. "Kak,  pembunuhan itu ...."    "Bukan aku pelakunya, tapi di luar sana, ada orang yang membenci mereka sama seperti kita," potong Luca. Tatapan mata pria itu masih terpaku pada layar.     Reina hanya diam dan menatap ragu pada lelaki di sampingnya tersebut. ***     Wanita yang membuat kekacauan di lokasi pembunuhan tersebut segera ditangkap dan ditenangkan. Namun, masih saja ia menjerit-jerit histeris, bahkan menyumpah. Ternyata, ia memang menderita depresi berat.     Kanaya memegang kepalanya yang terasa sakit. Kasus ini benar-benar sebuah kekacauan. Ia merasa tidak bisa lagi berpikir jernih di tempat seribut ini.     Sabrina bergegas menghampiri. "Sebaiknya kita kembali ke kantor. Tempat ini terlalu berisik."     Kanaya mengangguk menyetujui usul juniornya itu. Benar juga, toh mereka sudah selesai memeriksa semua. Hal yang lain anak buah mereka bisa menyelidiki. ***     Sabrina melihat Kanaya nampak gelisah. Berulang kali, rekan seniornya tersebut memeriksa ponsel. Wanita itu telah menelepon berulangkali ke rumah dan pembantu yang mengangkat, mengabarkan bahwa Kayla sudah tidur, sedang Adrian belum pulang. Kanaya segera menelepon ponsel sang suami, tetapi ternyata tidak aktif, sedang di kantor Adrian tidak ada yang mengangkat. Kecemasan Kanaya makin menjadi. Kemana perginya pria itu?     Sabrina berdehem sejenak. Saat ini, mereka harus fokus pada kasus ini. Tadi Kanaya yang menegurnya, dan sekarang justru dia sendiri yang melamun. Wanita yang duduk di sampingnya mengangguk sembari tersenyum. Rapat kembali dilanjutkan.     "Jadi, kita belum menemukan petunjuk apa pun?" tanya Pak Hari, atasan mereka di tempat tersebut.     Sebagai pemimpin, Pak Hari adalah sosok yang disegani. Dia dulu juga seorang detektif cerdas yang memecahkan banyak kasus. Kini dirinya dipercaya sebagai pimpinan kantor detektif itu. Di usia yang tidak lagi muda, kemampuan analisisnya masih saja mengundang decak kagum dari para anak buahnya, termasuk Kanaya dan Sabrina.     Serta-merta Kanaya mengangguk. "Benar, semua yang ada di TKP bersih. Tak ada jejak sidik jari atau sisa-sisa rambut maupun kuku pelaku yang bisa memberi kita petunjuk tentang DNA pelaku. Tempat itu terlalu terpencil, sehingga tidak ada kendaraan yang lewat. Kamera CCTV juga tidak ada di sana."     Sabrina mengangguk. "Satu-satunya petunjuk hanyalah kasus ini berkaitan dengan kasus pembunuhan Pak Jaya."    "Apa mungkin Pak Jaya dan Pak Harjo saling mengenal?"     Sabrina mengangguk. "Berdasar data di kedua rumah korban, mereka berdua adalah kerabat dan rekan kerja."     Pak Hari diam sesaat. Ia berpikir keras. "Kurasa pembunuhan ini bermotif dendam. Selidiki siapa orang-orang di sekitar kedua korban. Mungkin mereka adalah pelaku atau calon korban selanjutnya. Kita harus melakukan tindakan pencegahan, agar pembunuhan selanjutnya tidak terjadi. Kalian harus sepenuhnya fokus pada kasus ini! Untuk kasus lain, tim lain yang akan menanganinya."     "Siap, Pak!" Serempak kedua detektif tersebut menghormat dan bergegas pergi dari ruangan. ***     Adrian terbangun di samping  Shelly. Lelaki itu bergegas memakai pakaiannya, perlahan mengecup lembut kening sang kekasih yang tengah terlelap, lalu bergegas keluar.     Luca sedang berjalan pelan menikmati pagi di kompleks sepi yang tidak jauh dari kediamannya tersebut. Ia lalu Adrian yang berjalan terburu menuju mobil. Luca hanya tersenyum kecil. Merasa ada yang melihat Adrian menoleh dan menatap tajam lelaki yang tidak dikenalnya. Luca hanya menggeleng dan bergegas berlalu.     Reina sedang menyajikan makanan, saat Luca pulang sambil tersenyum riang    "Ada apa? Kau tidak terlibat masalah bukan?"    Lelaki itu menggeleng. "Tentu, aku tidak terlibat masalah. Hanya saja aku melihat sesuatu yang menyenangkan di luar sana."    Reina menatap Luca penasaran, tetapi pria itu hanya menggeleng. ***    Sabrina dan Kanaya menyelidiki semua orang yang dikenal oleh Pak Jaya dan Pak Harjo. Namun, bukannya mendapat informasi, malah orang-orang itu terlihat ketakutan.    Salah seorang di antara mereka yang bernama Pak Santoso kemudian menunjukkan surat ancaman yang diterimanya. Hanya kata 'MATI!!!" yang tertulis di atasnya. Warna merah kecoklatan yang digunakan membuat Sabrina menduga tulisan itu dibuat menggunakan darah.    Pria berambut putih tipis tersebut nampak sangat ketakutan. Siapa pun yang menerima surat ancaman tersebut akan menjadi sasaran si pembunuh. Kanaya dan Sabrina akhirnya memutuskan untuk meminta perlindungan ekstra untuk beliau. Sementara itu, Sabrina pergi ke laboratorium untuk mengecek darah yang terdapat pada kertas. ***    Kanaya bergegas pulang setelah memastikan semua baik-baik saja. Saat tiba di rumah, wanita itu bergegas menuju kamar Kayla. Dikecupnya perlahan kening buah hati yang tengah terlelap. Tidak ingin membuat gadis kecil tersebut terbangun, ia segera bergegas menuju ke kamar.    Dia melihat Adrian juga sedang tidur membelakanginya. Diliriknya sekilas ponsel pria itu yang masih menyala. 'Jadi sekarang Adrian bahkan berpura-pura tidur hanya karena tidak mau melihatku?'    Kanaya mengedipkan mata untuk menghalau air mata yang mulai menitik. Sebenci itukah Adrian padanya?    Tidak ayal, kesedihan tersebut menggelayut dalam diri Kanaya membuat dia nyaris tidak bisa terlelap. ***    Pak Santoso berusaha untuk memejamkan mata. Namun, ancaman tersebut seolah kembali membayang. 'Aku aman sekarang. Pembunuh sialan itu tidak akan bisa membunuhku, dia bahkan tidak akan bisa mendekatiku. Ya benar, aku aman! Orang-orang ini sangat terlatih. Mereka pasti bisa melindungiku,' ucapnya pelan untuk menenangkan diri.     Beliau nyaris terlelap saat suara bising membuat terbangun kembali. Perlahan, ia membuka mata dan terdiam ketakutan saat sosok berjubah hitam berdiri tepat di hadapannya.    "Bagaimana rasanya saat mautmu datang?" tegur orang misterius tersebut seraya menghunus pisau di tangan.    "Ja-ngan!!! To-long le-pas-kan a-ku!!!" pinta pria renta tersebut dengan tubuh gemetar.    Sosok di depannya mendengus keras. "Tidak seorangpun bisa lari dari maut, apalagi penjahat kejam sepertimu! Kau layak untuk mati!" teriaknya sambil menyerang lelaki malang tersebut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD