Dua

1080 Words
   Pria bertubuh tinggi tersebut sibuk memilih-milih barang yang akan dibeli, sewaktu seorang lelaki bertopeng badut menerobos masuk sembari menghunus parang yang dibawanya.    "Jangan mencoba berbuat macam-macam! Sekarang serahkan semua uang dan perhiasan kalian!" ancam sosok itu pada orang-orang yang ada di minimarket. "Jika ada yang mencoba bertindak nekat atau ingin menjadi pahlawan, dia akan langsung menuju neraka!"    Orang-orang terlihat ketakutan, kecuali Luca yang malah mendengus sembari tersenyum kecil. ***    Sabrina sedang sibuk membaca berkas-berkas di meja, saat laporan masuk. Perampokan bertopeng kembali terjadi. Modus perampokan tersebut cukup nekat dan mengerikan. Selain menguras barang korban, pelaku selalu menghabisi nyawa korban. Entah apa alasannya, meski tak ada yang melihat wajahnya, sang pelaku tetap dengan kejam menghabisi nyawa korban. Hingga saat ini, beberapa nyawa melayang karena tindakan kejam pelaku perampokan dan pembunuhan berantai tersebut.     Mendapat laporan darurat, tentu membuat Sabrin bergegas menuju lokasi kejadian. ***    "Kenapa kau melihatku seperti itu?" teriak sang perampok bertopeng itu marah. Ia merasa Luca telah merendahkan dan mengejek dirinya.    Luca hanya tersenyum, padahal orang-orang yang lain nampak gemetar ketakutan dan memasang wajah pucat pasi.    "Pemuda kurang ajar! Berani kau menertawakan aku? Awas saja aku akan menghabisi nyawamu lebih dulu!"    Perampok bertopeng itu berteriak marah dan menyerang dengan bertubi-tubi, tapi Luca berkelit menghindar dan membalas setiap serangan serta balas menghajar penjahat tersebut. Hingga dalam satu kesempatan, Luca memuntir tangan penjahat tersebut. Parang yang dibawa sosok bertubuh gempal itu terjatuh di lantai dengan suara dentangan keras. Tanpa membuang waktu, Luca membanting sang penjahat. ***    Sabrina baru saja tiba. Gadis berparas ayu tersebut terperanjat saat mendapati penjahat yang hendak ditangkap, malah tak sadarkan diri dengan luka yang cukup parah.    "Ini berkat pengunjung tadi  menolong kami. Ia yang melawan penjahat itu," tutur nyonya pemilik supermarket, diikuti anggukan suaminya.    "Di mana dia?" tanya Sabrina.    Pemilik minimarket tersebut menggeleng. "Kami tidak tahu. Dia pergi begitu saja setelah penjahat itu tak sadarkan diri. Ia bahkan tak menggubris ucapan terima kasih kami." ***    Sabrina disambut meriah saat kembali ke kantor. Ia dianggap berhasil menangkap salah satu penjahat yang selama ini menjadi target mereka.    "Bukan aku yang melakukannya. Seorang pengunjung di lokasi kejadian menyerang penjahat hingga tak sadarkan diri sebelum aku  datang," jelas gadis itu.    "Siapa? Apa kau mengenalnya?" tanya Kanaya.   "Aku tidak tahu. Saat tiba di sana, orang itu sudah tidak ada. Aku sudah memeriksa CCTV di minimarket tersebut, tapi gambar yang didapat tidak begitu jelas. Dia berdiri membelakangi kamera."    Kanaya termenung sesaat mendengar jawaban rekannya tersebut. 'Siapa orang itu? Seseorang yang bisa melawan dan mengalahkan perampok berantai, tentu bukan orang biasa.' ***   Reina menatap kakaknya. Ada sedikit luka di wajah lelaki itu.   "Ada apa ini? Apa terjadi sesuatu? Kau berkelahi?" tanya gadis itu bertubi-tubi.   Luca mendengus keras. "Hanya masalah kecil. Aku sudah mengatasinya."   Jawaban itu tak memuaskan Reina. Gadis itu selalu merasa cemas saat Luca pergi dari rumah. Pria itu selalu saja terlibat masalah.    "Kak, kita berada di sini untuk bersembunyi. Aku mohon Kakak jangan terlibat masalah lagi. Jika sampai ada orang paman yang tahu keberadaan kita, mereka pasti datang dan membawa paksa kita kembali," nasehat gadis itu.    Luca hanya mengangkat bahu. "Aku tidak peduli. Seharusnya mereka tahu, bukan aku orang yang mereka cari."   ***    Sabrina kembali fokus dengan kasus kematian Pak Jaya. Namun sayangnya, hingga larut malam, ia belum menemukan apa pun.    Kanaya menghampiri meja gadis itu.   "Sudah, lanjutkan besok saja! Sebaiknya kita pulang dulu! Kamu juga butuh istirahat," nasehatnya.    Sabrina hanya mengangguk. Tak berapa lama, pintu depan dibuka dari luar. Seorang pria berwajah tegas dan berbibir tipis berjalan masuk dengan langkah tegap. Raut wajah serius itu berubah lembut saat seulas senyum muncul.    Kanaya balas tersenyum pada lelaki yang tak lain adalah Adrian, suaminya. Dia lalu segera pamit pada Sabrina dan menggamit mesra lengan sang suami. Sedang, Adrian hanya mengangguk sopan pada Sabrina.    Sabrina menatap kepergian dua orang itu sembari menghela nafas berat. Kanaya sangat beruntung memiliki suami seperti Adrian. Meski bersifat pendiam, lelaki itu pasti sangat mencintai Kanaya. Sedang dia, nasibnya tidak beruntung. Lamunan membawa masa lalu kembali hadir. ***    Sabrina sangat bahagia. Hidupnya terasa sempurna. Semua karena Arya, pria yang selama menjadi cinta diam-diam Sabrina, ternyata memiliki rasa yang sama. Lelaki berwajah tirus tersebut menyatakan cinta di makan malam romantis di sebuah restoran elit. Temaram cahaya lilin yang menerangi meja tak mampu menyembunyikan semburat merona di wajah Sabrina. Sebuah anggukan mantap darinya membuat mereka resmi menjadi sepasang kekasih.    Segala berjalan lancar di awal. Sabrina begitu bahagia. Hingga, ia dipindahkan ke bagian pembunuhan. Kesibukan menyita waktu serta serangkaian kejadian yang nyaris merenggut nyawa justru membuat Arya tega meninggalkan dia.   Gadis berparas manis itu tidak pernah membayangkan Arya yang pernah berjanji untuk bersama sepanjang waktu, mengingkari janji yang telah dibuat sendiri. Pria itu tega meninggalkan dia di saat terluka dan membutuhkan dukungan.    "Aku tak bisa bersamamu lagi, Ina. Aku terlalu takut untuk membayangkan apa yang akan terjadi dalam kehidupan kita nanti. Bahaya yang selalu mengintai. Aku tak bisa hidup dalam teror seperti itu. Jika kau bisa melepas pekerjaanmu, aku pasti akan kembali padamu," ucap Arya.    Penuturan lelaki yang sangat ia cintai membuat Sabrina tertegun. Ia bisa meninggalkan semua demi Arya, kecuali pekerjaan yang selama ini menjadi cita-citanya. Tak mungkin untuk melakukan itu, sehingga hari itu menjadi akhir hubungan mereka. ***    Sabrina menghela nafas panjang. Kenangan yang hadir kembali membawa sejuta rasa duka. Gadis itu menutup berkas-berkas kasus yang terbuka di mejanya. Ia tak bisa bekerja dalam kondisi seperti ini. ***    Apa yang dibayangkan Sabrina tentang kebahagiaan Kanaya tak sepenuhnya benar. Dalam perjalanan pulang, Adrian dan Kanaya membeku dalam sunyi. Tak ada kata terucap dari keduanya. Tatap mesra maupun sentuhan lembut tak pernah lagi ada. Setiap membuka mulut, yang ada hanya gerutuan dan kemarahan. Karena itu, Adrian dan Kanaya kini memilih saling mendiamkan daripada menyakiti.    Semua bermula dari keinginan Adrian agar Kanaya berhenti dari pekerjaannya. Sebenarnya, ia melakukan itu karena sangat mencintai Kanaya. Setiap istrinya bekerja, kecemasan selalu menghantui lelaki bertubuh tinggi dan berkacamata tersebut. Apalagi, kini ada Kayla, putri semata wayang mereka,yang membutuhkan perhatian dan kasih sayang Kanaya. Yang terpenting, Adrian tak ingin Kayla mendapat bahaya karena pekerjaan ibunya. Selama ini, mereka memang beberapa kali mendapat teror.    Namun, nasehat itu ditolak mentah-mentah oleh Kanaya. Dia tidak mampu membuang semua kerja keras sekian tahun dan hanya berdiam di rumah. Adrian tidak habis pikir mengapa Kanaya begitu bersikukuh mempertahankan pekerjaan, padahal keluarga mereka tidak kekurangan. Sebagai pengusaha muda, Adrian bisa memenuhi semua kebutuhan hidup keluarga kecil mereka. Bahkan hingga berlebih. Akan tetapi, Kanaya tetap bersikeras tak mau berhenti. Pembicaraan mereka pada akhirnya hanya membawa pertengkaran dan perdebatan sengit. Akhirnya, mereka memilih untuk saling mendiamkan agar tak ada lagi keributan.          
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD