Bab 2

1366 Words
Author Pov Varrel masih mengikuti Vivian memilih baju, Vivian masih melihat ke arah Raka yang juga masih mengikuti mereka. Vivian menarik pinggang Varrel dan berbisik pelan ke telinga Varrel. “Aku suka polisi itu kak dia sangat tampan dan sangat panas, jangan pernah sentuh dia sedikit pun, aku akan membuat dia bertekuk lutut padaku.” “Ingat Vivian, jangan menggunakan hati kamu tau sendiri polisi musuh besar geng Drostine," ujar Varrel memberi peringatan. “Gak kak, aku hanya gunakan dia untuk bersenang-senang saja kok,” balas Vivian dengan sebuah kedipan mata. Varrel tertawa, dia tau Vivian wanita seperti apa. Vivian meninggalkan Varrel dan berjalan ke arah Raka yang sedang berdiri di dekat pintu masuk sambil melihat-lihat baju. Vivian berdiri di samping Raka, Raka menjadi jengah kenapa wanita yang tadi bersama Varrel kini mendekatinya. “Beb ini cocok gak sama aku?” Tanya Vivian ke arah Varrel, Vivian memperlihatkan sepasang bikini pink. “Hmmm bagus, nanti kamu pakai langsung ya,” Varrel tau itu cara Vivian untuk menggoda Raka. Raka bertambah jengah karena Vivian dengan sengaja mempertontonkan bikini pink tepat di depan mukanya. “Ah gak ah, terlalu cewek.” Vivian kembali meletakkan bikini tersebut dan mengambil hanger bikini yang berada tepat di bawah tangan Raka. “Maaf Mas, saya mau yang ini,” kata Vivian sedikit manja, Raka tidak sadar sekarang dia berada di barisan bikini wanita. Vivian tertawa melihat reaksi Raka yang sadar dia seperti penguntit m***m. “Mas beli bikini juga? Buat pacar? Istri atau…” “Ah gak, buat adik saya,” Raka mengambil bikini buat anak-anak, Vivian tertawa dan memberi tanda kepada Varrel untuk bisa kabur. Varrel berusaha keluar dari butik tanpa diketahui Raka, Varrel masuk ke ruang ganti dan mengganti bajunya dengan baju pengawal. “Oh ya? Umur adiknya berapa, kalo yang mas pegang itu gak cocok buat anak-anak, aku bantuin milih ya mau warna apa pink, biru, merah,” Vivian masih berusaha mengalihkan perhatian Raka, mata Raka masih ke arah gerombolan Varrel. “Ini saja mbak dan terima kasih atas bantuannya,” Raka dengan buru-buru meninggalkan Vivian, setelah membayar di kasir. Raka mengikut gerombolan Varrel yang sudah meninggalkan butik. “Terima kasih,” ucap Varrel kepada Vivian saat dia akhirnya bisa terlepas dari Raka. “Astaga Kak, aku sangat menginginkan lelaki itu, dia sungguh sangat menarik,” kata Vivian kepada Varrel. “Jangan gila Vivian, Papimu bisa marah kalau kamu dekat dengan seorang polisi, kakak tidak ikut campur ya dan satu pesan kakak jangan gunakan hati jangan sampai kamu jatuh cinta kepada dia, dia musuh kita.” “Kakak tidak mengenal aku? Aku hanya mau dia untuk bersenang-senang, kakak lupa semua pria yang aku kencani kalo tidak pengusaha, mafia dan polisi belum masuk ke daftar para mantanku.” “Dan satu lagi jangan menyerahkan keperawanan kamu buat dia, ingat Vivian kakak tidak mau kamu terluka.” “Hahahaha ya gak lah kak, aku menginginkan dia bukan untuk b******a, aku akan membuat dia bertekuk lutut padaku dan menjadi mata-mata geng Drostine, dia akan memberikan info kepadaku setiap aku pinta.” “Dia bukan polisi seperti itu Vivian.” “Kita lihat saja, ya sudah kakak sana ingat loh persenan buat aku jangan lupa.” Varrel mencium pipi Vivian, Varrel memang sangat menyayangi Vivian yang sudah dianggap sebagai pengganti Valentine, adiknya yang sudah meninggal dan Varrel berjanji akan melindungi Vivian dari kejahatan para pesaingnya. Varrel menuju parkiran dan membuka bagasi mobil sportnya, terdapat beberapa buah tas yang berisi sabu. Varrel tertawa dan mengendarai mobil sportnya menuju tempat transaksi. Raka yang mengikuti gerombolan Varrel curiga setelah melihat arah ke mana mereka pergi, kesebuah karoeke. Raka akhirnya sadar dirinya di tipu. “Sialllll, Raka b**o!” Raka berputar dan berlari kembali menuju butik di mana tadi dia bertemu gadis yang dikiranya pendamping Varrel. Raka melihat wanita itu masih mencoba beberapa baju. Ketika Vivian masuk ke ruang ganti, Raka juga masuk dan mencengkram tangan Vivian. “Ke mana Varrel?” Tanya Raka sedikit kasar kepada Vivian. Vivian tertawa karena akhirnya Raka sadar dia ditipu. Vivian mengangkat bahunya tanda memberitahu bahwa dia tidak tau Varrel kemana. “Jangan tertawa nona,” Raka masih membentak Vivian. “Permisi mas, saya mau coba gaun ini, mau tetap di sini atau keluar,” Raka masih berdiri menunggu jawaban dari Vivian. Vivian bertindak nekad karena Raka masih tidak mau keluar. Dibukanya gaunnya dan menunjukkan tubuhnya di depan mata Raka. Raka berpaling, Gila ini cewek, seenaknya membuka bajunya di depan pria yang baru dikenal, kata Raka dalam hati. “Mas tolongin dong pasangin restletingnya,” Vivian masih berusaha menggoda Raka. Raka merasa jengah dan keluar dari ruang ganti itu. “Sial,” Raka sangat marah karena penyamarannya untuk menangkap Varrel gagal total. Vivian tertawa mendengar gerutuan Raka. “Sangat menarik.” **** “Ma, Pa aku ke sanggar dulu ya, mau latihan,” kata Gisel meminta izin kepada Mama dan Papanya untuk pergi latihan balet. “Loh kok latihan, kamu juga baru sampai apa tidak mau istirahat dulu, lagian Papa gak bisa antar soalnya papa lagi sakit perut, diare.” kata Mama Gisel. “Gak lah ma, aku tidak capek. Aku masih harus berlatih, jadi saat aku ke Wina nanti, ilmuku tidak terlalu dangkal, aku pergi naik taksi saja, nggak apa-apa kok," Gisel menyunggingkan senyumnya. “Hmmmm baiklah dan hati-hati, jangan lewat gang belakang sanggarmu, bahaya di sana banyak preman.” ujar mama Gisel memberi pesan. “Iya gak lewat sana.” Gisel mengambil tasnya dan berjalan keluar dari kamar. Setelah yakin mamanya tidak melihat, Gisel memanggil taksi dan menyuruhnya ke sanggar. Tetapi karena ini jam pulang kerja, jalanan menjadi macet dan satu-satunya cara supaya cepat sampai ke sanggar hanya melalui gang belakang yang akan tembus langsung di belakang sanggar. Gisel meminta taksi berhenti di gang belakang lalu dia membayar taksi dan berjalan dengan cepat ke arah gang itu. Gisel masih berjalan ketika dia melihat beberapa preman sedang meminum minuman keras. Para preman itu menghambat jalannya. “Hai cewek, wow bro kita dapat mangsa oke kali ini.” “Kalian mau apa?” Tanya Gisel ketakutan. “Jangan nolak neng, kami akan membahagiakan lo dunia akhirat.” "Hai," teriak Varrel. Para preman itu melihat ke arah suara itu. Terlihat Varrel yang berdiri santai di samping mobilnya, tangan kanannya sibuk menggulung lengan baju. "Siapa lo, mending jangan ikut campur kalo masih mau hidup!" Gisel itu terlihat ketakutan, tangannya melindungi dirinya dengan tas yang dibawanya. "Tolongggg tuan," katanya lirih ke arah Varrel. "Kalian apa tidak malu mengganggu wanita itu? Gue saja tidak tertarik dengan tubuhnya," kata Varrel. Para preman itu semakin mendekati Varrel. "Lo mau ikut kita cicipi gadis ini, dijamin perawan dan lo boleh lah menjadi pencicip pertama," kata preman itu. "Oh ya, tapi sayang gue tidak suka membagi wanita kepada pria lain, kecuali lo rela memberikannya kepada gue." Preman itu melihat gaya pakaian dan juga mobilnya. "Orang kaya mending kita minta bayaran dan cewek ini bisa untuknya." "Boleh juga, minta saja sepuluh juta," balas preman lainnya. "Oke." "Hai bung, kalo lo mau sepuluh juta dan gadis ini bisa lo bawa." "Deal," jawab Varrel tanpa berpikir panjang Varrel membuka dompetnya dan mengeluarkan uang sepuluh juta, para preman itu girang tidak terkira karena akan mendapatkan uang banyak. "Sana, pria itu mulai sekarang akan menjadi tuan lo dan lo harus bahagiakan dia," kata preman itu kepada Gisel yang masih ketakutan. "Jangan, saya gak mau," Gisel diseret dan dibawa ke mobil Varrel yang telah membayarnya. "Tuan tolong jangan sakiti saya," kata Gisel mengiba. "Masuk ke dalam," perintah Varrel dengan dingin. "Tuan." "Masuk kata gue!" katanya dengan nada tinggi. Gisel semakin ketakutan dan memutuskan untuk masuk. Dirinya gemetaran dan juga merasa hidupnya sebentar lagi akan hancur, keisengannya untuk melewati gang sempit ke tempat latihan baletnya berujung buruk. Gisel takut melihat keadaan di luar, dia hanya bisa menutup mata. Sepuluh menit kemudian pintu di sampingnya terbuka. "Tuan, tolong lepaskan saya." Masih dengan wajah mengiba. Pria itu memakai kacamatanya kembali dan melajukan mobilnya meninggalkan para preman yang sudah tersungkur dihajarnya dan uang sepuluh juta itu berserakan di atas tubuh preman itu. Varrel mengemudikan mobilnya berputar melewati sanggar Gisel. “Tuan, tolong lepaskan saya, jangan sakiti saya.” Gisel masih meminta kebaikan Varrel. Varrel menghentikan mobilnya dan melihat ke arah Gisel. “Jangan pernah melewati gang itu Nona manis, jika tidak mau tubuh kamu itu terjamah preman seperti tadi.” “Ma… Maaf,” kata Gisel ketakutan. Tangannya masih memegang tasnya dengan sangat erat. “Nama kamu siapa nona?” Tanya Varrel yang sedikit tertarik mengetahui siapa nama gadis polos. “Gisel.” “Oke Gisel, silakan turun. Saya hanya bisa sampai di sini menolong anda.” “Eh.” “Turun,” kata Varrel “Tuan melepaskan saya? Bukannya tadi…” “Jadi Nona lebih memilih saya bawa ke hotel daripada saya lepaskan? Oke kita bersenang-senang saja di hotel bagaimana?” kata Varrel menantang Gisel. “Ah gak, maaf dan terima kasih,” Gisel keluar dari mobil dan Varrel kembali melajukan mobilnya ketempat transaksinya. “Tuan yang sangat baik, fiuhhh aku kira aku akan dibawanya, ah aku sampai lupa menanyakan namanya tapi sepertinya wajahnya tidak asing di mataku, di mana ya rasanya pernah bertemu,” Gisel masih menatap kepergian mobil penolongnya. Mata Varrel pun tidak beranjak dari kaca spionnya untuk memperhatikan Gisel yang masih menatapnya. “Gadis yang terlalu polos, bukan tipeku.” ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD