Bab 1

2324 Words
Gisela Pov 1 minggu sebelum pertemuan. Musik klasik Peter Tchaisvosky yang berjudul The Nutcracker mengalun indah dan membuat tubuhku meliuk mengikuti alunan setiap nada. Aku sangat menyukai lagu ini, sebagai seorang Balerina aku wajib berlatih setiap hari, aku selalu berlatih di sebuah sanggar khusus tari balet. "Gisel, setelah latihan kita main ke mall yuk, temani gue beli sepatu balet, yang lama sudah mulai rusak," kata Hilda sahabatku dan juga teman latihan di sanggar mengajakku untuk membeli sepatu balet. "Hmmm gue belum izin nyokap, lo tau sendiri nyokap dan bokap gue gak akan izinkan gue keluyuran setelah latihan, pasti mereka sudah nongkrong di depan buat jemput gue," kataku dengan penuh penyesalan. Ya, sebagai anak tunggal, aku terlalu dimanja orang tuaku, apapun yang aku kerjakan mereka harus tau dan satu lagi ke mana pun aku pergi mereka harus ikut. Semenjak kecil mereka sudah mengatur aku harus melakukan apa, sekolah di mana, les apa dan dengan siapa aku boleh berteman. Sangat membosankan tapi satu hal yang aku syukuri mereka mengenalkan aku dengan kehidupan balerina, aku sangat menyukai balet dan mulai mengikuti balet semenjak aku berusia enam tahun dan menjelang usia 23 tahun ini sudah berpuluh-puluh piala  aku bawa pulang. "Susah memang punya teman anak mami, ya sudah gue pergi sendiri," kata  Hilda kecewa. "Maafin gue ya," aku membujuknya dengan wajah penuh penyesalan. "Gisel," aku melihat di pintu sanggar, Ibu Raya pemilik sanggar dan juga pelatihku memanggilku. "Bentar, gue di panggil bu Raya," Hilda mengangguk dan melanjutkan latihannya. "Ada apa bu? Sepertinya ada kabar bahagia," aku melihat wajah riang bu Raya. Ibu Raya memegang tanganku dan menyerahkan sebuah map, "Impian kamu ke Wina terlaksana, kamu lulus seleksi untuk mewakili Indonesia bertanding balet di Wina," katanya dengan antusias, aku yang mendengar kabar itu dengan segera membuka map dan terlihat surat pemberitahuan beserta tiket ke Wina dan tanggalnya besok. BESOK! "Ibu serius?" Aku masih tidak percaya mendengar perkataan ibu Raya, tanding ke Wina astaga itu impianku dari dulu. "Lihat sendiri tiketnya saja sudah ada, besok kita berangkat Gisel." "Tapi ini mendadak bu, aku belum bilang orang tua dan persiapan segalanya," kataku mulai panik, bagaimana tidak panik aku belum menyiapkan mental, belum juga menyiapkan baju dan sepatu yang akan aku kenakan. "Ini pertandingan Internasional Gisel, semuanya sudah ada yang mengatur, kita tinggal berangkat dan bertanding, masalah orang tua kamu jangan kuatir, ibu yang akan meminta izin." "Arggggg seneng banget," aku meloncat bahagia. Tak sia-sia latihanku selama ini. **** Setelah ibu Raya meminta izin kepada orangtuaku dan mereka mengizinkan aku pergi karena ini kesempatan langka. Awalnya mereka ingin ikut tetapi aku melarang, kapan lagi aku belajar dewasa kalau setiap aku pergi mereka selalu mengikutiku walau untuk bertanding sekalipun dan untungnya mereka mengerti dan tidak memaksa untuk ikut. Aku mendorong koperku sambil berlari memasuki bandara, aku sedikit telat karena macet dan juga kerempongan akibat Mama sibuk menyuruhku membawa inilah itulah pokoknya harus inilah itulah. Brakkkk Tanpa sengaja aku menabrak seorang pria yang berjalan di depanku. "Maaf," karena terburu-buru aku kembali meninggalkan orang yang aku tabrak tanpa melihat pria itu dan mencari ibu Raya yang sedang menungguku di dalam. "Ibu," teriakku dan aku menghela napas karena aku tidak ketinggalan pesawat. "Kamu ini selalu telat, ayo masuk." ibu Raya membantuku membawa koper sedangkan aku hanya bisa tersenyum simpul. Aku menunggu petugas bandara melakukan checkin tiketku. Wah ternyata banyak juga penumpang yang ingin ke Wina. Mataku melihat satu persatu penumpang dan segerombolan pria berbaju hitam menarik perhatianku, aku melihat dan menghitung ada sepuluh orang memakai jas hitam, kemeja hitam dan dasi hitam serta ada seperti headset di telinganya. Ckckckck masih ada ya di Indonesia mafia, apa mereka mafia? Penampilan mereka persis seperti mafia di film Hongkong, kataku dalam hati. Aku masih menunggu ibu Raya selesai dan tiba-tiba pria berpakaian jas itu sedikit mendorongku. Aku melihat seorang pria muda datang dan ke sepuluh orang tadi memberi hormat. "Dasar tidak tau aturan, tidak bisa antri apa," kataku menggerutu dan pria muda tadi menghentikan langkahnya dan melihatku, pria itu mengenakan kacamata jadi aku tidak bisa terlalu jelas melihat wajahnya, dia hanya mengenakan kemeja hitam dan celana jeans sangat bertolak belakang dengan pengawalnya. Aku menghindari tatapannya dan kembali sibuk dengan ponselku. Aku melihat pria tadi menendang kaki satu persatu pengawalnya. "Jangan langgar aturan, biarkan nona itu yang sedang terburu-buru terlebih dahulu," katanya dengan nada tinggi. Aku kaget, kok bisa ada orang sekeras itu kepada bawahannya apalagi menggunakan kekerasan. Pria tadi memutar langkahnya dan kembali antri dibelakangku. "Ayo Gisel, kita naik pesawat," ibu Raya menyerahkan tiket kepadaku dan dengan cepat aku meninggalkan tempat itu dan rasanya pria tadi masih menatapku tajam. **** Setelah melalui perjalanan cukup panjang dan melelahkan, aku dan Ibu Raya akhirnya tiba di Wina, kedatangan kami disambut pihak konsulat Indonesia. Aku dan Ibu Raya menunggu mobil di lobby dan lagi-lagi mataku tertuju akan segerombolan pria berjas hitam yang aku temui di bandara sedang sibuk memasuki beberapa mobil, aku juga melihat pria muda itu dengan berwibawa sambil berbicara di ponsel dengan menggunakan bahasa Wina masuk ke mobil sport hitam. "Udaranya bagus mudah-mudahan semua berjalan lancar, kamu harus latihan dengan baik, dua hari lagi giliranmu buat bertanding, sekarang istirahat setibanya di hotel, ibu akan sedikit sibuk dengan urusan pertandingan." "Baik ibu, di hotel aku akan latihan jangan kuatir,"  balasku dengan penuh percaya diri, aku harus menang karena ini satu-satunya cara untuk bisa Go International. Setiba di hotel, ibu Raya meninggalkanku dan sibuk menuju tempat pertandingan, aku yang sedikit lelah, menuju kamar mandi dan membersihkan tubuh yang sedikit lengket. Setelah mandi aku akan tidur sebentar dan setelah itu baru latihan. **** Hari menunjukkan pukul empat sore ketika aku terbangun, ah akhirnya lelah dan pegalku hilang. Aku membuka pintu balkon dan menghirup udara kota Wina. Sangat menyejukkan dan menenangkan, aku sangat menyukai kota ini seandainya aku menang, aku pasti bisa berkarir di sini. Ketika menikmati pemandangan, telingaku mendengar suara pria mencaci dan memaki, aku mencari arah suara itu dan mataku terhenti ke kamar di sebelah kamarku. “Barang masih dalam perjalanan b******k! Geng Drostine tidak pernah ingkar janji.” Aku masih mendengar pria itu masih memaki. Tapi keberadaanku membuat pria tadi menghentikan makiannya dan kembali masuk ke kamarnya. “Kenapa aku selalu bertemu dan melihat pria itu sih, ih mengerikan,” aku menutup pintu balkon dan menghidupkan musik klasik dan mulai berlatih untuk penampilanku lusa. Ponselku berbunyi, aku mematikan musik dan mengangkat ponsel, aku tertawa melihat nama yang keluar di layar ponselku. “Halo kak Raka” “Kamu sudah sampai Gisel?” “Sudah kak, ini aku lagi latihan doakan ya aku menang, kakak lagi apa?” “Pasti dong, kakak akan selalu doakan kamu, kakak masih di kantor, fiuhhh kejahatan semakin merajalela dan kakak sibuk buat memberantasnya” “Hahahahha makanya siapa suruh jadi polisi” “Semua demi melindungi kamu.” “Gombal banget. Sudah dulu ya kak, aku mau lanjutkan latihan” “Ya sudah hati-hati disana, kalo ada apa-apa kabarin kakak.” “Siapppp.” Aku mematikan ponselku. Raka Firdaus adalah tetangga sekaligus teman dekatku maksudku bukan pacar tetapi teman dekat, teman tempat aku bisa curhat dan teman yang selalu bisa aku minta tolong, aku tau dia menyukaiku tapi aku tidak mau mengubah status kami yang teman dekat menjadi “teman dekat” entah kenapa aku tidak memiliki perasaan yang sama. Aku ingin jatuh cinta dan mencintai pria yang bisa membuat hatiku berdetak dengan cepat dan membuat hanya dirinya yang ada di pikiranku. Ah entah sampai kapan aku menunggu pria yang entah ada di dunia ini. **** Tanpa terasa hari ini hari pertandinganku aku sudah bersiap di backstage, aku mengenakan baju ballerina berwarna ungu muda rambutku juga sudah digulung rapi berbentuk cepol. Jantungku tak berhenti berdetak dengan cepat, keringat dingin membasahi tanganku. “Gisela Julia,” aku mendengar namaku dipanggil pembawa acara dan aku langsung berlari ke tengah panggung dan mengikuti alunan musik yang mengalun. Aku hanya mengikuti setiap nada yang langsung secara otomatis membuat gerakan meliuk-liukkan badanku. Setelah selesai aku melihat para penonton bertepuk tangan dengan riuh dan aku mengucapkan terima kasih. “Ibu,” panggilku kepada Ibu Raya setelah penampilanku selesai. “Hebat, kamu lihat tadi Gisel? Semua orang bertepuk tangan,” kata Ibu Raya dengan sangat bangga. “Iya bu, aku tidak menyangka reaksi penonton seperti itu, apa aku bisa menang bu?” tanyaku lagi. “Pastiiii, ibu yakin setelah melihat reaksi penonton tadi.” Aku menunggu dengan sangat gelisah, bahkan aku menahan keinginanku untuk ke toilet. “Kamu mau ke toilet Gisel?” Tanya Ibu Raya setelah melihatku gelisah Aku mengangguk “Tapi nanti saja Bu, aku tunggu pengumuman dulu,” kataku menolak “Udah pergi dulu saja sana, masih satu jam lagi pengumumannya,” kata Ibu Raya “Baiklah Bu,” aku meninggalkan ibu Raya dan berjalan menuju toilet, di dalam toilet aku membersihkan dan merapikan dandananku, ketika akan keluar aku melihat segerombolan pria berjas hitam berdiri di depan pintu masuk toilet pria. Aku menutup tubuhku dengan cardigan dan berjalan hendak meninggalkan tempat itu, tetapi baru setengah perjalanan aku mendengar teriakan dari dalam toilet, aku menghentikan langkahku dan aku memutar tubuhku untuk melihat asal suara itu. “Lebih baik anda pergi Nona,” kata salah satu pria berjas hitam dengan logat bahasa inggris Aku ingin pergi tapi mataku melihat sesosok pria berdarah di depan pintu, melihat itu kakiku rasa terpaku dan seperti tidak mau lepas. “Nona,” pria tadi ingin mendekatiku. “Please, jangan sakiti saya,” aku terduduk ketakutan Aku masih bergetar karena melihat kejadian barusan, aku masih terduduk ketika melihat sepasang kaki keluar dari toilet dan melewatiku, hanya aroma pinus yang tertinggal. Semakin lama para pria yang berbaris tadi semakin menghilang dan meninggalkan aku yang masih ketakutan. Sepuluh menit aku masih terdiam, hingga ibu Raya mencariku dan menemukanku ketakutan di depan toilet. “Gisel kamu kenapa?” Tanya Ibu Raya membantuku berdiri. “Ada mayat bu, aku melihat ada mayat,” kataku dengan suara bergetar “Di mana, astaga Gisel,” kata Ibu Raya panik, jariku menunjuk arah toilet. Aku mendengar Ibu Raya berteriak dan beberapa petugas keamaan datang dan masuk ke dalam, aku masih memeluk ibu Raya ketika petugas itu membawa keluar mayat pria itu. “Nona bisa ikut kami kekantor polisi?” Tanya seorang polisi kepadaku. “Ibu, aku takut," Kataku gemetaran “Anda aman nona, kami akan melindungi anda,” kata polisi itu lagi “Ibu, bagaimana dengan perlombaan.” “Kamu ikut saja mereka, setelah di sini selesai, ibu akan menyusulmu.” “Ibu jangan sampai orang tua saya tau termasuk kak Raka, ibu mengertikan kalo mereka sampai tau.” Ibu Raya mengangguk dan membiarkan aku pergi mengikuti polisi tadi. **** Di kantor polisi aku menerima berbagai pertanyaan dan aku menjawab setau yang aku lihat, tetapi ketika mereka bertanya apa aku melihat pria yang diduga membunuh pria tadi, aku menjawab bahwa aku tidak melihat wajahnya, hanya aroma dan kakinya yang terlihat olehku. Setelah berbagai pertanyaan aku jawab, polisi itu memperbolehkan aku kembali ke hotel. “Baiklah Nona, terima kasih atas bantuannya, besok anda harus ke sini lagi untuk melihat para pelakunya.” “Astaga, saya takut pak,” jawabku menolak keinginan polisi itu. "Jangan takut, mereka tidak akan mengenalimu dan melihatmu.” Aku hanya bisa menghela napas dan sepertinya mulai hari ini hidupku tidak akan pernah bisa tenang lagi. **** Seminggu keberadaanku di Wina setengahnya aku habiskan untuk ke kantor polisi, masalah pertandingan aku akhirnya mendapat juara dua, walau kecewa aku sangat bangga, di penampilan pertamaku di event internasional aku langsung mendapat juara dua dan sekolah balet di Wina menawarkan beasiswa. Aku ingin mengambilnya tapi aku harus meminta izin orangtuaku dulu dan mereka memberiku waktu satu bulan untuk menjawabnya. Masalah diriku menjadi saksi sampai sekarang para pelaku itu belum juga tertangkap, ah mudah-mudahan mereka tertangkap sehingga tidak ada lagi kejahatan di dunia ini. Setelah meminta izin pihak polisi, hari ini aku akan kembali ke Indonesia. Seperti biasa Mama dan Papa sudah menungguku di Bandara dan yang membuat aku terkejut, kak Raka juga ada dengan masih memakai baju dinasnya. “Mama Papa,” aku berlari dan memeluk orang tuaku. “Hai Gisela Baby, apa kabar kamu, seminggu tidak melihat kamu membuat Mama kangen berat.” “Ah Mama masih lebay,” aku menyerahkan piagam dan juga surat undangan untuk sekolah ke WIna. “Ini apa?” Tanya Mama dan Papa “Beasiswa ke Wina,” balasku bahagia “Gak boleh!” kata Mama langsung “Yah Ma, ini kesempatan langka tau, susah loh masuk ke sekolah ini,” balasku “Tapi kamu anak kami satu-satunya, kalo kamu sekolah ke Wina, kami gimana?” “Tante dan Omkan bisa ikut,” kata Kak Raka, ah kakak memang teman terbaikku. Mama dan Papa menghela napas “Baiklah, kapan kamu pindah?” Tanya Mama “Satu bulan lagi.” “Baiklah kalo itu memang sudah keputusan kamu.” Aku memeluk Mama dan Papa dan mengucapkan terima kasih kepada kak Raka, walau aku tau kak Raka akan sedih dengan kepindahanku walau tidak ditunjukkannya. “Kakak masih dinas? Kok masih pake baju ini,” kataku ketika kami berjalan menuju parkir. “Kakak ada operasi target hari ini, kamu pulang sama mama dan papa dulu ya, nanti kakak ke rumah.” Aku mengangguk dan masuk ke mobil bersama mama dan papa. **** Author Pov Raka mengganti bajunya menjadi baju biasa, hari ini dia akan mengikuti geng Drostine yang menurut mata-mata akan melakukan transaksi besar-besaran sepulangnya dari Wina. Mereka membawa produk baru dan akan menjualnya kepada para pengedar di sebuah tempat yang masih dirahasiakan. Raka menunggu di tempat kedatangan, sebuah foto dikeluarkannya dari jaketnya. “Varrel Drostine, hari ini aku harus menangkapmu kejahatanmu sudah sangat mengkuatirkan, entah berapa banyak lagi anak muda meninggal akibat barang yang kau jual, sudah cukup adikku yang menjadi korban,” Raka menjadi polisi tujuannya cuma satu menghapus peredaran obat-obat terlarang yang diedarkan Geng Drostine, setelah adik satu-satunya menjadi pencandu berat dan sekarang terbaring koma akibat over dosis karena menggunakan obat produksi geng Drostine. Raka masih sibuk melihat orang yang ada difotonya, tidak lama Raka melihat Varrel keluar dan dikelilingi para pengawalnya. “Aku harus menangkap mereka dengan barang bukti di tangan,” Raka mengikuti Varrel. Varrel sadar dia sedang diikuti oleh polisi, tapi dia hanya diam dan ingin mengerjai polisi bodoh yang menyamar itu. Dirinya sudah berpengalaman di dunia hitam semenjak usianya sepuluh tahun, semenjak menggantikan ayahnya yang sudah mulai menua. “Kita putar-putar dulu, jangan sampai polisi melihat kita bertransaksi,” kata Varrel kepada  tangan kanannya yang bernama Azka. “Baik Tuan Muda.” Azka membawa mobil Varrel ke sebuah mall, Raka kaget menurut informannya Varrel akan melakukan transaksi tapi kenapa malah ke mall. “Target ke Mall, informan lo benaran gak kasih infonya?” Tanya Raka sedikit kesal berbicara di telepon. “Bener Bro, transaksinya besar hari ini, bernilai milyaran.” “Tapi ... ah ya sudah, gue coba ikuti dia.” Raka memarkirkan mobilnya dan mengikuti Varrel yang sudah memeluk seorang wanita muda di sampingnya. Raka masih mengikuti Varrel, Varrel yang sadar masih berusaha tenang, dia harus mengalihkan perhatian polisi dan kabur dengan mobil yang sudah berisi barangnya. “Kamu masuk ke toko baju dan pilihlah baju kesukaanmu sebanyak apapun, tapi tolong alihkan perhatian polisi yang ada di belakangku,” Varrel menyerahkan kartu kredit kepada Vivian Drostine, sepupunya yang tadi tanpa sengaja ditemuinya. “Ingat loh jasa aku tidak gratis kak, kartu ini jadi milikku loh,” kata Vivian “Ambil saja.” “Terima kasih kakak,” Vivian mencium pipi Varrel. Vivian sibuk memilih baju sambil memperhatikan Raka. “Target yang menarik." ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD