Satu.

1065 Words
Sebenarnya Pandu memang tidak berbohong pada Bu Sukma, ia benar-benar tidak tahan ingin buang air besar. Setelah ia selesai melakukan itu, ia segera menjalankan amanah dari Bu Sukma untuk datang ke BP. Oke, karena memang dasarnya Pandu adalah lelaki jantan yang selalu memegang ucapannya, jadi baiklah; ia akan pergi ke ruang BP hanya untuk sekedar menerima cermahan dari banyak guru didalam ruangan itu. Namun tak apalah, toh yang lelah mengomel bukanlah dirinya, melainkan guru-guru itu. Ia hanya bertugas mendengarkan, duduk manis dan menunggu hingga tiba saatnya selesai. Lagi pula jika tidak ada murid seperti Pandu, apa tugas guru BP? Pikirkan saja. Enak sekali mereka memakan gaji buta, itu tidak bisa dibiarkan. Setelah mendengarkan ceramah selama hampir satu jam, Pandu segera berjalan menuju rooftop untuk mengambil jaketnya yang ia jemur disana. Percayalah seragam Pandu sudah setengah kering akibat terlalu lama terkena kipas angin blower diruang BP tadi. Sedangkan jaketnya ia sampirkan di atas meja yang sudah resmi menjadi bagian dari rooftop saat ia dan teman-temannya sengaja gotong jauh-jauh kerooftop dari kelas mereka. Pandu mengeluarkan ponselnya, lalu jemarinya mengetikkan sesuatu di salah satu room chat. killer katanya Pandu Longsadapit: rooftop, ga pake lama. Ia kembali menyimpan ponselnya kedalam saku celana lagi. Ia duduk ditepian rooftop. Bagi Pandu dan teman-temannya, rooftop adalah tempat penghilang steres saat disekolah. Bukan steres karena pelajaran, melainkan karena ribuan oceh, celoteh, dan sumpah serapah dari para guru. Lima menit kemudian, keempat cowok datang menghampiri Pandu. "Abang Pandu masuk sekul toh, kirain enggak." sahut Jeri. Pandu menoleh, lantas mengulas senyum tipis saat teman-teman setianya langsung merespon pesan yang ia kirim disebuah grup chat yang ada di Line. Memang begitu mereka semua, tidak pernah yang namanya slow respond. "Ngape lu tong, keujanan?" sahut Habib yang baru saja duduk dimeja. "Menurut lo?" ketus Pandu. "B aja kali sensi amat. PMS lu?" Pandu hanya melirik sinis. "Jadi, apa cerita hari ini?" tanya Ciko yang sudah menghidupkan sebatang rokok untuk kemudian ia nikmati sambil berduduk santai. "Nggak jauh-jauh," Gibran menyahut. "Iya, gue diskors lagi." ucap Pandu. Keempat temannya hanya menrespon dengan wajah datar mereka masing-masing. Mendengar pernyataan Pandu barusan sudah tidak lazim bagi mereka, Pandu memang langganan skorsing, jadi sudah tak heran jika dalam satu bulan Pandu mendapatkan skors hampir perminggunya. "Gak bosen-bosen." ujar Gibran yang notabenenya adalah yang paling rajin masuk sekolah, plus paling peduli dengan pelajaran diantara keempat temannya. "Bu Suk reseh." gerutu Pandu. "Berapa hari?" "Tiga." "Lumayan lah, emak lo irit duit gak ngasih lo jajan tiga hari." celetuk Jeri disertai kekehan teman-temannya, terkecuali Pandu. "Lagian aya-aya wae." Habib bersuara, lalu ia beranjak dari duduknya. "Yuk ah kantin, laper berat gue." Pandu, Gibran, Jeri, dan Ciko segera mengikuti langkah Habib. Mereka keluar dari rooftop untuk menuju kantin. Pandangan seluruh siswi jelas tertuju pada 5 s*****n yang sedang melintas koridor menuju kantin. Sorakan para siswi pun mulai berkumandang ditelinga kelima cowok tersebut. "Bebeb Pandu, oh my god!" "Gibraaaaan!" "Habibku ulalaaa!" "Ciko my love!" "Jeriiiiii, ah gak kuat gue!" "Pannnn!" "Nduuuu!" "Bunuh eneng dirawa-rawa bang, eneng udah nggak kuat..." "Tiga detik lagi gue pingsan. Satu, dua, ti..." "MasyaAllah," "Nikmat Tuhan yang mana yang akan kamu dustakan?" "Tolongin gue, oksigen- oksigen!!" Sementara kelima cowok ini hanya terus berjalan mengikuti koridor yang akan membawanya menuju kantin. Setelah kantin sudah didepan mata, mereka segera masuk lalu duduk dibangku kantin seperti biasanya. Bangku ini memanglah milik mereka, dan akan tetap kosong sampai kapanpun jika bukan mereka yang menyinggahi. Jadi, ada satu tempat makan dikantin yang sudah resmi menjadi hak milik mereka sejak mereka kelas 11 semester pertama. Entah mengapa semua warga disekolah ini menurut saja ketika tempo hari Pandu bilang; "Yang boleh duduk disini cuma gue dan keempat temen gue! Yang lain, ya silahkan duduk kalo bersedia riwayatnya end." Dan meja kantin yang rumornya milik mereka inipun sudah mereka beri nama 'Juminten', dan juga sudah tertera jelas tulisan yang ditulis menggunakan tipe-x; "Tempat ini sudah menjadi hak milik Pandu, Gibran, Ciko, Habib, dan Jeri." Entahlah, semerdeka mereka. "Bude, bakso beranaknya biasa ya, lima. Anaknya banyakin, biar rezekinya juga makin banyak." seru Habib dan langsung diiyakan oleh Bude Fatma- si pedagang bakso beranak dikantin. Dan inilah mereka, anggota Geng Killer dengan Pandu sebagai kapten. Anggotanya bukanlah hanya mereka berlima, tetapi terdiri dari kurang lebih 50 orang, yang tak lain adalah dari luar sekolah. Namun geng ini bukanlah geng tukang rusuh yang akan menimbulkan ketidaktenangan manusia, melainkan geng yang dibentuk untuk mempererat solidaritas dan kualitas pertemanan. Memang benar, jika yang baru mendengar nama geng ini pasti akan berasumsi yang bukan-bukan. Namun, mereka salah besar. *** "Kalian pada tau gak sih kabar dua anak baru yang ngehits banget baru-baru ini." sahut Habib sambil memakan cemilannya. "Anak baru?" "Dua orang?" "Cewek?" Habib mengangguk, "Iya cewek. Cantik katanya sih," Gibran mengernyitkan dahi, "Kok gue gak tau sih?" "Ya iyalah. Pak Lambe kita kan cuma Habib seorang, jadi kita mah cuma diem aja dan nerima gosip dari Habib, sedangkan Habib yang berlalu lalang nyari hot news." tutur Ciko dihadiahi dengan gelak tawa dari Jeri dan Gibran. "Tapi seriusan cantik? Kalo gitu mah gue mau balik kesekolah aja deh." ujar Jeri dengan wajah yang sumringah. "Emang balik lagi, motor gue masih disana." ujar Pandu dengan wajah datarnya. "Motor gue juga." timpal Gibran. Sejak dari kantin tadi, mereka berlima memutuskan untuk bolos pelajaran lagi, kali ini mereka singgah dirumah Ciko yang berada tak jauh dari GIS. Memang begitu mereka, bertidak sesuka hati bagaikan anak jendral. "Tapi serius, Bib, cantik?" tanya Jeri lagi ternyata sangat ingin tahu. "Bib coba lo kasih tau dengan detail, ternyata kelamaan ngejomblo bikin Jeri jadi agak angong-angong gimana gitu." Ciko berbicara lagi mengundang tawa Gibran dan Habib. "Katanya sih cantik, Jer." ucap Habib. "Sip-an mana sama Mpok Ipeh?" tanya Ciko mengangkat satu alisnya jahil. "Beuh, Mpok Ipeh mah gak ada tandingannya." ujar Habib sambil memeram melekkan matanya. Gibran melengos, "Mulai deh, mesum." Sekedar info, Mpok Ipeh adalah pemilik kedai serta penjual pecel lele yang berada dibelakang gedung GIS. Kedainya selalu ramai siswa-siswa GIS yang ingin cuci mata, tidak salah memang; Mpok Ipeh adalah janda yang memiliki body goals. Juara pokoknya. "Yuk ah yuk balik kesekolah." Jeri bersemangat sekali nampaknya. "Apaan sih gue masih mau santai." ujar Ciko disertai anggukan Gibran dan Habib. Jeri hanya mendengus sebal lalu menyambar cemilan yang ada ditangan Habib. "Bete gue, temennya mau ngegebet cewek bukannya didikung malah digituin." ujar Jeri berlagak marah. "Dih, jijik bangsat." ujar Habib dengan kekehannya. "Lagian mana mau anak baru itu sama muka bopeng kaya lo," ujar Gibran sangat nyelekit. Jeri melempar kacang polong kearah Gibran, "s****n lu, biji." Sedangkan Pandu yang sedari tadi hanya menyimak obrolan dengan tak ada niat sedikitpun ingin menimbrung, lantas berdiri lalu mengambil jaketnya yang ada dibibir kasur. "Gue mau ambil motor." Ya, memang begitu Pandu. Ia tidak mau ikut campur dalam hal yang menurutnya tidak penting. Tidak salah jika ia dijuluki "Si Raja Es" di GIS.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD