Aku Menemukanmu ...

1468 Words
Pelajaran selesai ketika bel berbunyi. Ichiro sensei membereskan buku-bukunya, lalu memberi salam kepada murid-muridnya sebelum keluar dari kelas. "Ah. Akhirnya ...." Helaan nafas terdengar setelah Ichiro melewati pintu. Beberapa orang langsung berdiri, bergerombol menyerbu kantin untuk mengisi perutnya. Para gadis berkumpul, mulai membicarakan gosip, make up dan tren fashion terkini. Di samping itu, Vena hanya menatap ke luar jendela sejak pelajaran dimulai. Dia tersenyum tipis saat memperhatikan anak-anak bermain bola di lapangan. Dibandingkan pelajaran yang diberikan Ichiro Sensei tadi, Vena lebih tertarik untuk pergi ke lapangan dan bermain bersama teman-teman. Apa gunanya belajar sesuatu yang sudah dia pelajari? Vena datang ke sini untuk mencoba hal-hal baru. "Hei, kau!" Seorang gadis memukul meja Vena hingga alat-alat tulisnya berjatuhan ke lantai. Dia kemudian duduk di atas meja. Memandang Vena yang nampak kecil di bawahnya. Vena memalingkan wajahnya dari jendela dan memberi tatapan menyelidik kepada gadis itu. "Hallo?" sapanya polos. "Hallo katamu? Apa kau gila?" Vena tersentak ketika nada gadis itu tiba-tiba meninggi dan yang lainnya tertawa. "Hei, kau! Jangan berlagak di sini. Tak peduli kau datang dari mana, dan dari sekolah apa. Sesampainya di sini kau hanya murid sekolah swasta. Bawahan Rachel dan juga tunanganku." Vena menatap tanpa ekspresi. Dia menyandarkan punggungnya di kursi. Jemarinya memainkan pengatur waktu di dalam jam tangannya. "Jadi?" Dia bertanya. Nada dinginnya seakan menantang Roze. Namun Roze justru terdiam bingung. "Jadi ... kau harus mengikuti ospek dariku," jelas Roze dengan wajah linglung. Belum pernah dia menggertak orang yang setenang ini. Apa mungkin karena Vena orang baru, jadi dia tidak tahu siapa tunangan dan ayah Roze? Atau mungkin karena ini pertama kalinya Roze mengambil alih posisi Rachel, ketuanya. "Ospek." Vena mengulangi kata yang membuatnya bingung. "Apa itu ... ospek? Apa semacam istilah politik, hukum, biologi, atau semacamnya?" Seseorang di belakang Roze tertawa. "Apa kau beneran pindahan T.I.T.S.H? kau bahkan tidak mengerti kata 'ospek'," cibir Rachel. "Siapa kau, hah? Kenapa rambutmu tidak pirang seperti orang Tulip kebanyakan, kenapa rambutmu malah hitam? Kenapa kau punya mata hijau yang ... ah! Aku ingin mencongkelnya dan mengoleksinya di dalam lemariku." Tadi nama, mata dan sekarang rambut. Apalagi yang akan disinggung orang-orang tentang Vena? Wajah gadis itu menjadi geram saat Rachel mengangkat dagunya dan memberi tatapan menantang. "Ah sudahlah. Tak ada gunanya mengajari anak bodoh." Roze menahan tubuh Rachel dan membawanya mundur. Dia lalu memandang Vena dan berbisik seram, "Dengar ya, pokoknya ikuti saja apapun perintahku, atau kau akan menemui kematianmu sendiri." Rachel menepuk pipi Vena tiga kali, lalu memberi kode kepada kawanannya untuk pergi. "Kematian ...," Vena bergumam sendiri. Kalimat itu tidak asing untuknya. "Dia Roze. Yang memimpin di depan itu, namanya Rachel. Tolong jangan diambil hati ya, mereka sedikit tidak waras," ujar seorang gadis yang duduk di depan Vena. Dia membalikkan badannya dan memberi senyuman ramah. "Saat aku pertama kali datang ke sini, dia bersikap sok berkuasa di kelas. Bahkan ada kakak kelas yang berani dia lawan. Padahal kenyataannya, dia bukanlah siapa-siapa. Ibunya adalah simpanan pejabat. Kau tau sebutannya? Anak haram. Ya. Begitulah. Dia berlagak begitu supaya mendapatkan pengakuan ayahnya. Dia benar-benar menjijikan." "Dan kau?" Vena menatap gadis berwajah asia itu sambil membalas senyumannya. "Siapa namamu?" tanyanya. "Oh. Maaf. Aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Gladies Marchelle. Aku dari Sampaguita." Gladies mengulurkan tangannya. Gigi putihnya berjajar rapih menampilkan senyuman. Dia senantiasa menunggu, sampai tangan Vena menjabat tangannya."Sekolah ini bermacam-macam ras ya. Semua dari belahan dunia datang ke sini. Katanya, ini adalah sekolah swasta terbaik. Aku ke sini karena kenalan ayahku rata-rata sekolah di sini. Selain dikenal elit, sekolah ini juga merupakan arena tempur para remaja. Salah satunya, kejadian yang kau alami tadi. Oh ya, ngomong-ngomong, apa kau baik-baik saja?" "Oh. Hmm. Aku hanya sedikit terkejut. Kupikir semua sekolah adalah tempat remaja bersenang-senang, bukan beradu kekuatan. Jadi ...." Tatapan Gladies tiba-tiba antusias. "Apa? Apa di sekolahmu yang dulu, tidak ada pembullian? Tulip adalah negara yang maju. Pasti menyenangkan tinggal di sana. Bagaimana menurutmu? Kenapa kau mengundurkan diri dari TITSH dan pergi ke sekolah swasta?" "Pembullian?" Vena memandang ke arah pintu. mencari ke mana gadis-gadis tadi pergi. "Itu buruk. Apa sekolah membiarkan hal seperti itu terjadi?" tanyanya tanpa melihat Gladies. Vena lihat Gladies memutar bola matanya. Dia mendecak. "Sudahlah, tak perlu dipikirkan. Jika ada yang mengganggumu, aku akan menghajarnya untukmu." Gladies lalu tersenyum. "Mau ke kantin?" lanjutnya mengajak. Kedua gadis itu berjalan sejajar, melewati kerumunan orang yang memenuhi koridor. Guru BK berlarian mengejar murid yang kabur dari hukumannya, menyenggol Vena yang kala itu sedang melintas di ruang guru. Wajahnya langsung panik. Terlalu banyak orang yang harus dilewati Vena. Keadaan berbanding terbalik dengan apa yang dia lihat tadi pagi. Tawa orang-orang, tangis, gerutuan, bahkan kata-kata gombal pun masuk ke indra pendengarannya. Berkecamuk dalam pikiran. "Ramai sekali," gumam Vena. "Apa sekolahmu yang dulu tidak seramai ini? Kupikir lebih banyak. Luasnya saja sampai puluhan hektar." Vena terdiam dan terus belajar. Dia bahkan tak tahu di mana letak sekolah itu. "Lihat! Mereka berulah lagi," seru Gladies sembari menunjuk ke lapangan. Tampak kawanan Roze dan Rachel bergerombol dengan penonton di depan mereka. Seorang gadis meringkuk di atas tanah. Kesakitan dan menahan sesuatu di perutnya. Rachel menendang-nendang tepat di ulu hati. Orang lain lebih kejam karena tidak ada yang berani menghentikan tindak kriminal itu. "Kau ke kantin lah terlebih dahulu," ucap Vena sambil berlalu menuruni tangga. Gladies terdiam tak terima. Dia melipat tangannya di d**a dan merasa kesal. "Gagal lagi," gumam Gladies. Vena datang tepat saat Rachel mau mengangkat gadis yang sedang dia buli, mendorongnya mundur dan membuat orang-orang terkejut atas kedatangannya yang berani. Vena menatapnya. Dia pingsan namun sudut bibirnya yang berdarah masih merintih menahan. Dengan geram, kini tatapan tajam Vena mengarah pada Rachel. " Kau mau bunuh orang?" tanyanya tegas. Rachel terkekeh. "Baru hari pertama, kau sudah mau jadi pahlawan, hah?" "Tidak. Hanya saja perbincangan kita di kelas tadi belum selesai." "Kau siap untuk ospekmu?" Rachel melihat Cindy. "Bangulah! Tugasmu sudah berakhir. Sekarang si Mata hijau inilah yang akan menggantikanmu," katanya. Dia lalu maju tiga langkah dan memainkan rambut coklat kehitaman Vena. Mereka saling menatap tajam dari sudut yang berbeda. Dalam gerakan tiba-tiba, Rachel mencoba menendang dari belakang. Menyapu kakinya dengan gerakan kilat. Berusaha menjatuhkan Vena ke tanah agar nyaman kakinya menginjak wajah itu. Ekspetasi menjauhi realita. Vena sudah membaca gerakannya. Bahkan menghindar lebih cepat dari sapuan kaki Rachel saat melesat mengenai betisnya. Vena berdiri tepat di belakang Rachel. Tidak melayangkan pukulan apapun. Hanya menghindar, mundur ke kanan dan kekiri. Dia takjub memperhatikan gerakan Rachel yang begitu gesit untuk gadis seusianya. Namun menyayangkan bahwa pukulan itu hanya mengenai angin. Rachel berhenti memukul saat tangan kanannya berhasil dicengkram oleh Vena. "Aku ke sini bukan untuk mengajakmu bertengkar," tegas Vena. Perlahan tangan Rachel diputar ke kanan, diikuti oleh gerakan tubuhnya yang melengkung ke arah yang sama dan bibirnya berteriak sakit. "Tapi jika kau yang mengajak, mungkin aku akan memberimu cendera mata untuk kesan pertemuan pertama kita." KRAAkk.. "AKH!" Rachel memekik. "Lepas!" Dia meronta. Tanpa disadari kalau gerakannya itu membuat pesendiannya bergeser. Vena melepaskan cengkramannya. Namun Rachel justru semakin kesakitan. Rasa ngilu dari keram membuat Rachel spontan jatuh di tanah berumput. Berteriak meminta pertolongan. Tapi penonton tetaplah penonton. Diberi tontonan seperti ini, mereka lebih terhibur lagi. "Apa yang terjadi di sini?" Orang berhamburan pergi saat tahu siapa yang bergabung. Wanita berambut ikal orange yang memakai jas abu-abu itu memang tidak dikenali siapapun. Namun tanda pengenal yang menggantung di lehernya jelas menunjukkan bahwa wanita berusia 34 tahun itu adalah seorang guru. Vena terdiam menatap kedatangan Nara. Wajahnya tetap tanpa ekspresi. Seolah tak ada yang terjadi di beberapa menit sebelumnya. Polos tanpa dosa. Nara menatap Rachel, Roze, Cindy, lalu kepada Vena. Dia mendesah nafas lelah. "Baru hari pertama. Dan kau sudah mematahkan tangan orang," katanya tak percaya. "Kapan kau akan berhenti membuat masalah?" "Aku hanya bercanda tadi. Aku cuma mau mengobrol dengannya dan--" "Senseii ...." jeritan Rachel memotong. "Tanganku! Tanganku tak bisa digerakkan," keluhnya. "Suruh siapa membangunkan macan betina yang tertidur," balas Nara tak peduli. Kembali memandang Vena. "Apa yang akan kau perbuat setelah ini?" Dia bertanya dalam bahasa Tulip. "Pulang ke asrama." Vena mengulurkan tangannya. "Mana kunci kamarku?" Vena akhirnya hanya membiarkan Nara mengurus kekacauan di lapangan. Kiri kanannya ketika menuju asrama sangatlah sepi. Hatinya merasa lega, namun jiwanya masih tersesat dengan pemikiran yang tiada habisnya. Pagi tadi senyum Vena tak lepas saat menaiki anak tangga pertama gedung sekolah. Sekarang di gedung asramanya, ekspresi Vena menjadi sangat muram. Tadi pagi dia merasa hidupnya akan bahagia di sini, sekarang dia merasa seperti melangkah menuju kuburannya sendiri. Ada banyak orang yang lebih gila dari dirinya. Ada seorang pelajar yang hobi sekali membunuh. Bagaimana Vena akan tinggal di sini? Tempat yang mendapat peringkat terbaik ini bahkan lebih kejam dari jalanan. "Yo!" sapa seorang lelaki, di asrama perempuan. Vena langsung memasang kuda-kudanya dan menatap tajam pada lelaki itu. "Hai! Aku Hideki Arata."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD